Chereads / CodexTrigger / Chapter 24 - Bab XXIII - Jantung

Chapter 24 - Bab XXIII - Jantung

Jantung Tyl bagai berhenti berdetak saat dia berjalan sendirian di tanah lapang bertabirkan kabut tebal. Titik-titk embun menyapa puncak rerumputan, tetapi mereka begitu enggan berlabuh pada kulit dan tubuh Tyl. Langkah kakinya terasa begitu berat, walau begitu dia merasakan dorongan untuk terus maju.

Di sana, di balik tebalnya kabut, dia akan menemui hal yang dia cari.

Sayup-sayup terdengar dendang lembut di kejauhan, suara yang begitu indah yang selama ini senantiasa menamani hidupnya. Melawan semua rasa lelah, Tyl mempercepat langkah menembus kabut yang semakin tebal. Ada yang ilusi harus dia kejar.

Pendeknya jarak pandang tidak menghalangi Tyl untuk melihat bayang-bayang seseorang di balik tabir kabut. Rerumputan menjalar cepat menahan kakinya, angin menderu mendorong tubunya, tetapi Tyl tetap berusaha memberontak.

"Jangan pergi," isak Tyl saat belenggu pada tubuhnya menguat.

Sembari menjulurkan tangan, Tyl berkata dalam keputusasaan, "Hidupku tidak berarti tanpamu, Marna!"

Angin kembali menderu, kali ini menyingkirkan seluruh kabut yang menghalangi Tyl. Cerahnya langit menghantarkan lembut sinar mentari yang menyentuh wajah Tyl selembut belaian seorang kekasih. Tyl membuka mata. Di hadapannya terhampar padang bunga luas. Warna-warna yang jenaka itu mengingatkan Tyl tentang orang yang selama ini menemaninya. Tersenyum lembut dan riang bagaimanapun juga keadaan.

Hati Tyl terenyuh. Di tengah-tengah padang bunga berdiri gadis yang dicintai Tyl selama bertahun-tahun. Seorang gadis yang tidak pernah bisa Tyl bayangkan hidup tanpa dirinya. Lyn Marna.

Ditemani senyum lembut, Marna tampak mengucapkan sesuatu. Namun, Tyl tidak bisa mendengar apapun.

"Bodoh, kau bicara apa?" Tyl terisak, air mata mulai membasahi wajahnya. Kakinya melangkah secepat mungkin walau dedurian dari para bunga terus melukainya. "Bicara keras sedikit, aku mau mendengar tawamu sekali lagi."

Marna tampa tertawa kecil. Dia mulai melangkah meninggalkan Tyl. Bersama semesta, Marna dalam lembut buaian helai-helai mahkota bunga yang beterbangan memenuhi tempat itu akibat hembusan angin.

Tyl menjulurkan tangan pada kekasihnya yang bergerak semakin menjauh ke dalam keramaian yang bagai berpesta pora. Marna semakin jauh terlarut dalam tawa bahagia yang begitu manis.

Walau jantungnya tidak berdebar seberapa kuat pun dia berusaha, Tyl berlari sekuat tenaga untuk mengejar Marna sebelum gadis itu menghilang dalam keramaian semesta. Sebelum dia tidak bisa menggapainya lagi. Sengatan yang menyakitkan menusuk jantungnya begitu tajam di kala dirinya seharusnya berbahagia.

"Marna," Tyl nyaris gagal meraih tangan kekasihnya. Gadis itu berhenti dan tersenyum berlatarkan helai demi helai mahkota bunga berbagai warna yang memandikannya. Laki-laki itu tersenyum walau sakit masih begitu menyengat. Dia pun menarik Marna mendekat, bersiap merangkul gadis itu dalam pelukan. Berharap untuk merasakan kelembutan dan kehangatan kekasihnya untuk sekali lagi.

Untuk terakhir kali.

Ratusan helai mahkota bunga putih menyebar ke berbagai penjuru, mendekap Tyl menggantikan tubuh kekasih yang seharusnya ada dalam pelukannya. Setiap helai yang menyentuh lembut kulitnya justru bagai menusuk jantungnya tanpa ampun. Kesempatan itu tidak akan datang, kehangatan itu tidak akan kembali.

Namun, dia merasakan kehangatan lain di jantungnya. Sesuatu yang membuatnya mulai berdetak. Di balik semua itu, sebuah suara terus memanggilnya.

***

"Tyl! Banguuun!"

"Hnngh!"

Tyl merasakan hantaman kuat dan hawa panas mengalir di dadanya. Seketika itu udara memaksa masuk ke dalam dadanya membuatnya terbatuk sesaat. Di saat matanya membuka perlahan, dia melihat Marna bercucuran air mata. Tubuhnya berpendar keemasan sementara tangannya terus menekan-nekan dada Tyl.

"M-marna?" erang Tyl.

Mata Marna membesar, dia menatap Tyl seperti baru saja melihat hantu. Aneh, bukankah Tyl yang seharusnya merasa lebih heran.

Hal yang lebih mengejutkan terjadi tanpa Tyl tidak pernah bisa duga. Masih menangis, Marna mendekatkan wajahnya pada Tyl lalu mencium bibir Tyl. Kehangatan dan tenaga menjalar di seluruh tubuh Tyl, membuat jantungnya berdebar jauh lebih cepat. Kecupan dari Marna, walau hangat, membeberkan segala emosi yang seolah tidak mampu diucap gadis itu. Kemarahan, kesedihan, kekhawatiran, rasa sayang, bahagia, dan kelegaan berkecamuk di masa yang terasa bagai terkunci dalam kala.

"H-hei, aku tahu kalian senang, tapi bisa kalian cari kamar dulu?"

"Bilang saja kau iri Oemmar, makanya cari istri."

"Berisik! Aku ini punya prinsip, tidak mau dijodohkan macam kau, Arden."

Marna tersentak dan melepas kecupannya. Wajahnya memerah. Tyl baru tersadar bahwa dia masih berada di dalam ruang sidang yang porak poranda. Dia berusaha duduk dipapah Marna yang masih tampak malu-malu.

"T-tunggu dulu, apa yang terjadi?" tanya Tyl heran.

"Kau mati tadi," jawab Oemmar sambil memalingkan wajah. Tier menangkap bagaimana mata sahabatnya itu tampak merah dan sembab. "Padahal aku belum membayarmu."

"Hah? B-bukannya Marna yang…."

Tyl berhenti, dia memandang Marna yang menyandarkan kepalanya di dada Tyl. Gadis itu tampak benar-benar hidup, tidak seperti tadi. Isakan dan kehangatan tubuhnya begitu nyata.

Arden menghela napasnya, matanya juga tampak sembab walau tidak merah. Dia tersenyum pada Tyl, lalu secepat kilat mendengus dan melirik tajam pada Ranga.

"Bukan salahku, Arden, dia yang melakukan semua itu tanpa sadar," Ranga menggaruk-garuk kepalanya.

"Melakukan apa?" tanya Tyl.

"Kau sadar tidak? Tadi istrimu belum mati justru kau yang jadi mati suri."

"Kau bicara ap sih, dukun?"

Ranga menghela napasnya, "Pakta suci telah mengikat jiwa kalian, jika salah satu akan pergi, yang satunya pasti akan berusaha menarik. Apalagi Marna hanya kehabisan tenaga, jadi walaupun dia hampir tewas, kau, Tyl, secara tidak sadar menyalurkan tenagamu untuk menyelamatkannya. Tapi di saat bersamaan tenagamu sendiri sudah mau habis dan kau juga malah mau mengambil kerusakan yang Marna terima untukmu, karena itu jantungmu jadi berhenti berdetak."

"Jadi itu alasan bocah kampung ini nyarius mati?"

"Tepat sekali gubernur Shiban," Ranga tersenyum sok tahu. "Lagipula," Dia melirik tangan Tyl. "Serigala tua itu sepertinya enggan membiarkan salah satu dari kalian pergi terlalu cepat. Rohnya pasti menyalurkan tenaga untuk membantu."

Tyl menyadarinya, tangan kirinya masih memegang pedang taring serigala. Sama seperti tangan kanan Marna. Garis-garis tipis kebiruan tampak menari-nari menghubungkan kedua pedang tersebut.

Sembari mengerenyitkan dahi, dia menghela napas, "Aku tidak tahu serigala itu memiliki kemampuan khusus?"

"Ayolah," Ranga mendecakkan lidah. "Bukankah kau seharusnya pintar? Serigala tua itu memiliki roh yang kuat. Lagipula, menurutmu serigala sebesar itu hal biasa, Tyl?."

"Tidak juga," Tyl menggeleng. "Tapi Kenapa serigala itu mau repot-repot menyelamatkan kami? Bukankah kami yang membunuhnya?"

"Mungkin, dia memang menunggumu untuk mengakhiri hidupnya," jawab Arden menggantikan Ranga. "Sama seperti harimau pemilik taring ini. Beberapa hewan tampaknya memiliki roh dan kesadaran lebih bahkan dibanding manusia." lanjutnya sembari mengangkat belati taring harimau miliknya. " Dan di saat kita berhasil melewati ujian yang mereka berikan, roh mereka dengan puas melangkah ke alam arwah dan senantiasa menaungi kita."

Seluruh kata-kata itu masih terdengar tidak masuk akal di kepala Tyl. Akan tetapi, mungkin ada benarnya karena di saat itu dia begitu tertarik mengambil taring serigala tersebut. Lagipula yang mengatakan itu Arden, bukan Ranga. Kalau Ranga, Tyl tidak akan mau percaya.

"Tapi sekali lagi, serigala tua itu hanya membantumu, sisanya tentu saja karena pakta suci kalian," Ranga menaikkan bahu seolah acuh tak acuh.

"Tapi," Oemmar menyipitkan mata menatap Ranga. "Kenapa tidak kau jelaskan tadi saat Marna sekarat?"

Ranga menaikkan bahu dengan acuh tak acuh, "Aku perlu mengamati dulu keadaannya, ini pertama kalinya aku melihat pakta suci secara langsung, Gubernur Shiban. Jadi aku sendiri tidak terlalu yakin Marna akan selamat atau tidak. Lagipula…."

Seringai Ranga berubah jahil, "... jarang-jarang aku bisa melihat raut wajah kalian seperti tadi. Aku pantas menikmatinya."

Semua terdiam mendengar komentar si dukun kesurupan. Oemmar berputar menghadap Arden dengan perlahan, "Kau tidak akan mati suri macam Tyl kan kalau kuhabisi dia saat ini juga?"

Arden hanya mampu menghela napas dalam kepasrahan, "Tenang saja, aku juga baru tahu soal pakta suci hari ini."

Wajah Ranga berubah pucat, "H-hei, pasangan pakta macam apa kau?"

Tyl terkekeh geli untuk sesaat. Setidaknya, untuk saat ini dia mengerti di mana posisi dan kondisinya sekarang. Pesta pernikahannya tadi hanyalah mimpi belaka. Sisanya semuanya nyata, termasuk Marna yang masih tampak terguncang hebat. Mungkin karena ciuman di depan umum tadi.

"Sudah, sudah. Kau ini kenapa, sih?" kata Tyl sambil berdiri dan membantu Marna untuk bangkit.

"Itu ciuman pertamaku," Marna terisak. Masih tampak terguncang.

"Bodoh, bukannya kau yang menciumku?"

"Jadi kau tidak masalah kalau aku jadi agresif seperti ini?" Marna menutup wajah dan menggeleng-geleng senang. Tyl salah, ternyata Marna terguncang bukan karena hancur, tetapi bahagia.

"Percuma saja aku mengkhawatirkanmu."

"Tyl jahaaaat."

Kesatria bayaran itu melihat ke sekitar. Ruangan ini masih berantakan seperti tadi, akan tetapi para penjaga yang tampak kelelahan sudah memasuki ruangan dan membantu mereka yang terluka dan masih kesulitan bangun. Tyl tidak merasakan Rosa, 'mawar berduri racun' itu pasti sudah menghilang.

"Bagaimana dengan Raksi dan Sria?" tanya Tyl kepada rekan-rekannya sembari tidak mengacuhkan istrinya yang masih sibuk malu-malu tidak karuan.

Lina yang sedari tadi hanya diam saja akhirnya menjawab, "Raksi terluka berat, tetapi dia masih selamat. Begitu juga dengan Sria yang masih tidak sadarkan diri. Yha, bagaimanapun juga mereka perlu dihadapkan pada persidangan yang adil. Lagipula, Sria tadi sudah mengakui dia yang meracuni mendiang Raja Eldra. Aku yakin para penasihat dan saksi sidang yang tidak sepenuhnya pingsan mendengar itu."

"Kau tidak apa-apa begitu?" tanya Oemmar, wajahnya tampak cukup prihatin. "Bagaimanapun juga kasus Sria tetap akan mencoreng nama keluarga Myssafir."

"Untukku, setidaknya seluruh keluargaku sudah bisa keluar dari tahanan rumah merupakan hal baik," Lina menggeleng, "lagipula, tidak ada yang harus ditutup-tutupi. Kalau memang ada penyihir hitam di antara kami, maka kami harus menanggungnya. Melakukan apa yang dilakukan Mendiang Kakek dan Ayahku justru hanya menghasilkan kejadian macam ini."

Lina menarik napas dalam, "Aku rasa sudah saatnya kita merubah pandangan akan penyihir. Mengusir beberapa dari mereka bukanlah hal yang baik." Penasihat muda itu memandang lembut pada Marna, "Aku tidak ingin ada Sria lainnya, atau anak-anak yang bernasib seperti Marna hanya karena mereka berbeda. Dan dengan segala pengaruh dan kuasaku sebagai penasihat muda, aku akan berjuang untuk membuat kita bisa saling menerima."

Marna yang sudah bisa mengendalikan dirinya tersenyum kecil pada Lina, "Terimakasih."

Lina menggeleng, "Tidak, sahabat. Aku lah yang berterima kasih."

"Kau tidak terdengar seperti ingin menjadi Penasihat Agung, nona cantik."

"Tidak untuk saat ini, Ranga," Lina tersenyum ramah. "Mungkin suatu saat nanti, lagipula aku masih muda, aku masih perlu pengalaman dan belajar lebih banyak."

"Heh," Oemmar terkekeh kecil, "kau tidak pernah berubah Lina, masih sama seperti dulu saat masih di akademi."

"Dan kau pikir kau telah berubah Oemmar?"

Oemmar menatap Lina dan tersenyum kecil, "Sepertinya tidak."

"Arden…," terdengar suara yang begitu lembut, anggun, tetapi tegas datang dari arah pintu utama yang terbuka lebar. Di sana, bermandikan cahaya mentari dari jendela besar di lorong di luar aula, berdiri seorang perempuan berambut hitam panjang dengan wajah anggun namun tampak bijaksana dan sederhana.

"Rysa, sudah kukatakan kau tidak perlu khawatir," Arden tersenyum lembut pada perempuan itu.

Rysa menggeleng dan berjalan cepat mendekati suaminya, "Aku tidak mengkhawatirkanmu, Gubernur Wijja. Aku mengkhawatirkan rakyat Sirasongi." Dia menghela napasnya setelah berhasil mencapai Arden, "Seorang calon raja harus lebih berhati-hati. Kau tidak boleh segegabah ini lagi nanti."

"Kau dingin seperti biasanya, bahkan pada suamimu sendiri."

"Aku mengedepankan kapasitasku sebagai istri seorang Gubernur."

"R-rysa?" Marna mendadak melangkah mendekati Rysa dan mengenggam tangannya. "Lama tidak berjumpa, jadi tunanganmu yang dulu kau khawatirkan saat di masa-masa akademi itu Arden, ya? Kalian serasi sekali, sama-sama pintar."

Senyum licik tergambar di wajah Arden, "Hoo, ternyata ada seseorang yang menjadi pelanggan di toko kue tempat Marna bekerja dulu. Dan dia bercerita banyak soal tunangannya?"

"Tentu saja," Marna mengangguk. "Dia khawatir sekali saat kau katanya bertingkah aneh di masa-masa mendekati festival akademi saat kalian kau, Oemmar, dan Tyl ikut turnamen."

Masih dengan sinis, Arden berdecak, "Tidak kusangka, Rysa yang begitu dingin ternyata sangat perhatian."

"B-bukan urusanmu, Gubernur Wijja," Rysa memalingkan wajah dari Arden. Setelah beberapa saat dia tersenyum pada Marna, "Terimakasih, kue-kue buatanmu enak sekali."

"Hatcchii!" Oemmar mendadak bersin. "Sial, aku alergi dengan semua cinta-cintaan ini. Ngomong-ngomong soal kue," lanjutnya menggerutu. "Pertempuran ini membuatku lapar, ayo kita cari makan yang enak-enak."

"Oi jenggot, sekali-sekali bertingkah seperti gubernur betulan."

"Kau tidak mau ditraktir, hah, bocah kampung?"

"Itu baru gubernur," Tyl terkekeh dan tersenyum kecil

Oemmar menyeringai lebar melangkah dan meneruskan menuju pintu utama, "Kutunggu kalian di luar. Ruangan ini terlalu sumpek dan membuatku pusing. Apalagi ada tiga pasangan di sini, walau salah satu pasnagannya pingsan." Gubernur wilayah Taba itu pun menghilang dibalik pintu koridor diikuti Ranga yang mengeluh perutnya sudah keroncongan sejak tadi.

Tyl tidak langsung melangkah mengikutinya, dia justru berbalik pada Lina dan Arden yang memandang tubuh Sria dan Raksi yang ditandu keluar ruangan. Tangan dan kaki mereka diikat, sepertinya instruksi dari Arden.

"Kau yakin akan menang pemilihan?" tanya Tyl pada Arden sembari melangkah bersama yang lainnya menuju pintu utama.

"Menurutmu?" Arden tersenyum simpul. "Aku tidak akan pernah tahu Tyl. Tapi jika negeri membutuhkanku maka aku akan siap. Jika tidak, aku akan tetap mendukung siapapun raja yang dipilih sah bersama segenap rakyat Sirasongi."

"Cih," Tyl berdecak. Sahabatnya itu memang sepertinya tidak pernah berubah dari dulu. Sama seperti Oemmar. "Dasar negarawan," keluhnya melanjutkan.

"Maklum, sudah bawaan lahir."

"Aku bisa menghabisi lawanmu di pemilihan," Rosa mendadak muncul di samping Arden. Tyl salah, si rambut merah itu tidak kabur. Ternyata dia menunggu kesempatan bisnis, atau mungkin menghindari Ranga.

Arden terkekeh licik, "Sayangnya itu tidak akan adil dan kurang menarik."

"Aku tidak akan bisa mengerti negarawan macam kalian."

"Sahabatku sudah mengatakan itu tadi."

"Kalau dia tidak mau menyewamu," Rysa menyela sembari mengangkat sedikit dagunya. "Biar aku yang melakukannya."

Sebelah alis Rosa menaik, dia tampak cukup tertarik, "Istri anda tampaknya lebih bijak, Gubernur Wijja."

Arden menghela napas, "bagaimana jika kau kusewa untuk melindungiku saja? Atau mencari informasi?"

"Selama bayarannya sepadan," jawab Rosa tenang bersamaan dengan kedua bahunya yang dinaikkan.

"Tentu saja."

"Senang bisa berbisnis dengan anda," dengan itu, Rosa pun bergerak cepat menjauhi mereka dan menghilang ke balik pintu yang terhubung dengan salah satu balkon.

Mentari terang berwarna jingga di kala menjelang senja menyapa wajah Tyl saat mereka keluar dari gedung dewan penasihat. Di luar gerbang tampak penduduk yang penasaran mulai berkumpul. Sementara itu para korban dibaringkan di taman gedung dewan, di bawah tenda-tenda seadanya.

Oemmar dan Ranga melambaikan tangan pada mereka dari salah satu sudut taman. Mungkin ada lorong rahasia di sana yang bisa mereka gunakan untuk menyelinap keluar.

"Oh iya," Rysa mendadak berbicara. "Di sela-sela pemilihan Penasihat Agung, atau setelahnya, sebelum pemilihan Raja dimulai. Aku rasa, penasihat muda, aku, dan Gubernur Wijja, memiliki waktu senggang."

"Tentu saja, kalian bisa beristirahat saja dulu," Marna mengangguk mengerti. "Politik memang membingungkan, aku saja yang tidak mengerti dan tidak terlibat sudah lelah. Apalagi kalian."

Tyl terkekeh geli mendengar jawaban Marna. Dia yakin betul bukan itu maksud Rysa, terbukti dari wajah terkejutnya.

"Maksud Rysa," Arden ikut terkekeh kecil. "Kami memiliki waktu untuk membantu kalian."

"Membantu apa?" Marna mengerenyitkan dahi.

Lina tertawa dan menepuk-nepuk kepala Marna dengan lembut. "Tentu saja membuat upacara resmi perkawinan kalian."

"Heeeee?!"