Chereads / CodexTrigger / Chapter 20 - Bab XIX - Menyelinap...

Chapter 20 - Bab XIX - Menyelinap...

Matahari terbenam, hari mulai malam. Terdengar burung hantu, suaranya... merdu.

"Aduh!"

Tyl lagi-lagi menjentikkan jarinya ke dahi marna dengan keras. Gadis itu terpaksa menggunakan jampi-jampi untuk menghilangkan rasa sakit dan untuk menghindari luka atau bekas luka. Tidak lucu kalau nanti wajah cantiknya tergores akibat aksi ugal-ugalan Tyl.

"Hati-hati berpikir kalau kau sedang menggunakan jampi-jampi komunikasi," Tyl mengeluh menghela napasnya. "Aku dengar isi kepalamu. Di saat begini kau malah berpikir soal burung hantu."

"Ya, maaf," Marna menggembungkan pipinya kesal, "aku terbawa suasana."

"Suasana apa?"

"Burung hantu."

"Aku menyesal bertanya."

Tyl memberikan dua pilihan untuk menyelinap, jalur tebing atau jalur pantai. Jalur pantai mengharuskan mereka harus menyelinap melalui mercusuar, harus berenang di antara karang-karang di tengah deburan ombak, dan mungkin melawan penjaga yang kebetulan memergoki. Yha, mengingat mereka akan datang ke pertemuan besok, tampaknya kurang nyaman jika baju mereka basah. Pilihan yang tersisa adalah jalur tebing.

Mereka menghabiskan beberapa waktu untuk mendaki tebing yang berada di bagian utara jalur utama. Biasanya mereka harus berputar jauh ke timur untuk mendakinya melalui sisi yang landai, sayangnya hal itu akan memakan waktu. Itulah alasan mengapa mereka mendaki pada bagian yang paling terjal ini.

Itu bukan masalah, karena Marna berada bersama mereka.

"Kau yakin kita bisa melompat sejauh itu?" Oemmar tampak ragu ketika mereka sudah mencapai puncak tebing.

Kalau dipikir-pikir memang jarak antara tebing ini dan dinding tebal bagian dari Gerbang Frondin memang cukup jauh. Terdapat hutan lebat di celah antara bangunan tinggi dan kontur alam ini. Walaupun ada yang jatuh, setidaknya pepohonan pasti bisa cukup membantu meredam kecepatan jatuh mereka.

"Maksudku kita bisa memutar dengan menyusuri tebing ini di sebelah utara kan?" Oemmar kembali bertanya dengan nada setengah memprotes.

"Sekali-sekali pakai jenggotmu untuk berpikir," jawab Tyl acuh tak acuh. "Bagian sana pasti dijaga lebih ketat karena otak kebanyakan orang sedangkal dirimu."

"Iya deh, kau pintar," gerutu Oemmar.

"Memang."

"Cih!"

"Lalu menurutmu lebih aman jika kita melompat ke puncak dinding?" kini giliran Lina bertanya. "Maksudku, bukankah akan ada banyak penjaga juga di atas dinding?"

"Di sini terhalang oleh tebing dan pepohonan," dengan santai Tyl menunjuk pada bagian-bagian dinding yang lebih tinggi dari lainnya mirip seperti menara-menara pengawas. Seperti kata Tyl, lokasi mereka berada sekarang juga ditutupi pepohonan, sehingga para penjaga di tembok tidak mampu melihat kelima orang yang tengah bersembunyi ini.

"Mereka cenderung berkumpul di menara-menara itu. Karena bisa lebih mudah melihat sekitar," lanjut Tyl menerangkan.

"Kita melompat dengan bantuan Marna?" Ranga memastikan, Arden yang merasukinya sepertinya sudah kembali ke tubuh asal. Kata Tyl, Arden kini sudah berada di ibukota untuk sidang.

"Dan kau yang pertama," jawab Tyl santai tanpa sepenuhnya menjawab pertanyaan Ranga.

"Kenapa harus aku?"

"Karena harus ada yang melindungi Lina sebelum dia mendarat, dan Oemmar terlalu bodoh untuk tidak membuat keonaran, bukan bersembunyi," terang Tyl, masih santai. Dia sepenuhnya sadar reaksi kekesalan dari Oemmar saat kata-kata itu diucapkan.

"Harus, ya?" gerutu Oemmar. Namun sang kesatria bayaran hanya menanggapinya dengan tawa sinis.

"Baiklah, demi Anda, Tuan Putri Manis. Saya akan..."

"Heh, siapa yang menyuruhmu melompat sekarang?" Tyl segera menahan kaki Ranga sebelum dia sempat berlari, membuat dukun kerasukan itu jatuh terjerembab. "Tunggu aba-abaku."

Ranga memprotes sambil bersembunyi dibalik pohon bersama yang lain, tetapi Tyl tidak mengacuhkannya dan naik ke atas pohon untuk mengawasi tembok. Marna tidak yakin apa yang rekan paktanya awasi atau apa yang ditunggu. Dia tidak terlalu mengerti hal-hal macam itu dan menyerahkannya saja pada Tyl. Hal lain seperti membantu mereka melompat, biar Marna yang urus.

Tyl memberikan aba-abanya beberapa lama kemudian. Marna memberi penguat pada Ranga yang langsung berlari dan melompat. Sahabatnya itu pernah memberitahu Marna, menurut teori, ada energi yang terbentuk saat orang turun dari ketinggian. Jadi jika energi itu disedot, maka pendaratannya akan lebih nyaman dan lebih sedikit suara dikeluarkan.

Marna tidak yakin seberapa benar hal itu, tetapi sepertinya selama ini hal itu cukup benar adanya. Setelah Rangga, Lina dan Oemmar pun segera menyusul. Itu semua diakhiri dengan Tyl yang melompat sambil membawa Marna. Setelah mendarat, mereka mengikuti arahan Tyl menuju menara pengawas di sebelah selatan mereka dengan mengendap-endap di balik bayangan yang dihasilkan pembatas di puncak tembok.

"Dari sini ke mana?" Oemmar berbisik pada sahabatnya di akademi sementara Marna memindai energi di ruangan yang akan mereka lewati. Ruangan itu aman, tidak ada tanda-tanda orang.

"Mau lewat puncak dinding atau melewati yang sedikit sulit?" Tyl balas bertanya sembari memasuki ruangan. Di saat bersamaan, Marna berhasil meminimalisir efek derak suara pintu agar tidak ada yang curiga.

Ruangan yang mereka masuki masih bagian dari menara pengawas, karena itu bentuknya bundar. Terdapat anak tangga berbentuk separuh melingkar menuju puncak menara di sebelah kanan tempat mereka masuk. Di sebelah kiri, terdapat tangga turun. Ada delapan lubang pengawas atau semacam jendela tanpa kaca yang agak besar di ruangan ini, empat menghadap ke bagian timur, empat ke bagian barat atau wilayah dalam provinsi ibukota. Hanya ada dua obor menerangi ruangan, sehingga pencahayaannya agak gelap.

"Sedikit sulit?" Lina mengernyit.

"Dengan memanjat di samping dinding," jawab sang penyihir dengan polos. "Karena terkadang di bagian puncak dinding dijaga oleh pasukan yang berpatroli."

"Kita harap saja kita tidak perlu melakukannya…."

Harapan Lina menjadi kenyataan. Mereka berhasil menyelinap ke menyeberang melewati puncak dinding ke arah selatan sampai ke menara pengawas berikutnya. Sayangnya, hanya sampai di sana saja harapan itu dikabulkan. "Baiklah bersiap memanjat dinding," keluh Tyl saat mereka berada di menara pengawas yang sudah dekat dengan gerbang utama.

"Kau yakin?" tanya Ranga ragu, "kita bisa tunggu mereka lewat dan bersembunyi di sini."

"Tidak," Oemmar menggeleng. "Biasanya mereka yang berjaga di sini tidak akan berpindah. Kalaupun mereka berpindah, pasti sudah ada yang menggantikan atau mengawasi."

"Aku harap ini tidak terlalu gila."

Marna tidak bisa menjamin seberapa parah kategori gila yang dimaksud Ranga. Buat dia dan Tyl, ini hal yang biasa saja. Namun, mungkin untuk orang lain ini termasuk berbahaya.

"Boleh aku tarik kata-kataku?" tanya Oemmar ketika mereka mencapai lubang pengawas yang menghadap ke arah barat daya. Dari sana mereka bisa mengakses bagian sisi dinding. "Maksudku, bagaimana kita menyeberang ke sana?!"

"Tentu saja begini," jawab Tyl enteng sembari melompat ke luar jendela dan berpegangan pada pembatas bagian atas dinding. Kakinya berpijak pada sedikit bagian yang tidak rata di dinding. Sebenarnya pijakan itu sangat tipis, tetapi Tyl bisa melakukannya dengan mudah. Entah karena dia memang sudah handal atau akibat pengaruh Marna.

"Kau membuatnya seolah itu sangat mudah," keluh Lina menggeleng.

"Mudah, kok. Kan, ada Marna."

Kata-kata sahabatnya membuat sang entress tersadar kalau urutannya terbalik. Seharusnya Marna yang di depan karena di harus menguatkan batu-batu pijakan. "Hei, tukar posisinya." Kata Marna sembari mengulurkan tangan ke luar lubang.

"Oh iya, sini," Tyl mengulurkan tangan kanannya sambil memiringkan tubuhnya ke belakang untuk kemudian membantu Marna berayun meraih puncak dinding setelahnya.

"Kau tahu," Ranga mencoba menawarkan. "Kenapa kita tidak melompat ke bawah saja?"

Sementara Marna dengan hati-hati melangkah menyusuri dinding untuk memperkuat tempat-tempat mereka akan berpijak, Tyl meladeni tawaran Ranga, "Coba sana. Kalau kau masih hidup, beri kami kabar." Kesatria bayaran itu benar, Marna sendiri ragu bisa membantu Ranga mendarat dengan nyaman. Selain juga enggan melakukan hal itu.

"Tidak ada pilihan lain," Kata Oemmar sembari mengikuti Tyl. Marna sudah memberikan mantra penguat pada mereka dan juga pada tempat-tempat berpijak. Seharusnya mereka tidak perlu khawatir.

"Ada apa?" bisik Tyl pada Marna yang berhenti separuh jalan.

Gadis itu hanya menyeringai jahil lalu kemudian memusatkan konsentrasinya pada dua penjaga yang berpatroli di puncak dinding. Dengan cepat dan senyap dia pun menyedot kekuatan dari kedua orang itu. Pada saat terdengar bunyi keluhan dan menguap, Tyl pun terkekeh pelan, "Dasar jahil."

"Aku juga perlu tenaga."

Mereka terus bergerak dengan perlahan mendekati menara pengawas yang mengapit gerbang utama. Sesekali mereka harus menghentikan langkah demi menghindari menghasilkan bunyi pada saat ada prajurit yang lewat.

Pada saat mencapai menara yang mereka tuju, yang jauh lebih besar dibandingkan menara lain. Mereka tidak segera masuk ke lubang pengawas yang ada pada ketinggian yang sama, melainkan sedikit turun menuju jendela tak berkaca yang ada di bawah lubang pengawas tersebut. Ada sedikit bebatuan tak rata dan lubang-lubang dangkal pada dinding luar menara yang membantu mereka berpijak dan berpegangan.

"Kenapa bisa ada cacat di dinding seperti ini di sini? Dan begitu tepat untuk dipakai menyusuri dinding," Oemmar berbisik heran saat mereka terpaksa berhenti di dekat jendela tujuan mereka karena Marna harus memeriksa ruangan itu.

Lina menghela napas pelan, "Tentu saja, pasti ada yang membuatnya dengan sengaja."

Oemmar tersentak akibat kata-kata lina dan mendesis pada Tyl, "Ulahmu?"

Tyl pun tidak menjawab dan hanya mengangkat bahu dengan acuh tak acuh.

"Aman," kata Marna pada mereka. Dia tidak merasakan tanda-tanda kehidupan di dalam ruangan itu. Memang seharusnya tidak ada siapa-siapa karena ruangan yang mereka tuju adalah gudang peralatan. Kecuali jika ada penjaga malas yang mau mencuri-curi waktu tidur.

Mereka menuruni tangga melingkar di menara dan terpaksa masuk ke dalam salah satu ruangan senjata sebelum mencapai dasar karena Marna dan Tyl merasakan ada yang bergerak naik. Marna memanfaatkan momen ketika orang-orang itu lewat untuk menghisap tenaga mereka. Aksi itu malah membuat Tyl mengomeli Marna karena, menurut dia, itu akan membuat orang-orang itu naik lebih lambat karena lelah.

Pada akhirnya mereka berhenti tidak pada dasar. Mereka berhenti sekitar dua lantai dari dasar dan melompat keluar dengan bantuan Marna untuk mendarat dengan nyaman karena tidak ada jalan keluar yang tidak dijaga. Pintu samping jelas dijaga sementara pintu utama justru terhubung dengan bangunan gerbang utama yang pastinya dijaga lebih ketat lagi.

"Jadi, apa rencanamu sekarang? Mencuri kuda?" Oemmar terdengar entah sinis atau sudah hilang akal, wajahnya agak pucat. "Kita perlu kuda untuk mencapai ibukota dalam semalam."

"Mencuri kuda akan merepotkan Garsa," Lina menjawab. "Itu artinya kita berlari."

"Sampai Rigran?!" Oemmar memprotes dalam bisikan. Sementara mereka berdiskusi, Marna menyentuh tembok dan mendeteksi siapa saja yang ada di balik sana untuk kemudian menyerap energi mereka. Sebenarnya dia merasa hampir kelebihan tenaga, tapi dia perlu semua itu untuk sekarang.

"Dasar jenggot najis, pakai otakmu sedikit. Sampai Valris juga sudah cukup," Tyl mengomel berbisik sambil berusaha melihat posisi bulan. Mustahil dia bisa melihat bulan karena posisi bulan di timur masih terhalang oleh dinding tinggi. Namun itu juga artinya malam masih muda. "Berharap saja masih ada yang mau menjual atau menyewakan kuda saat kita sampai. Kau bawa uang, kan? Seperti permintaanku tadi?"

"Lalu bagaimana kalau mereka sudah tutup?" Oemmar menyipitkan matanya penuh curiga.

Tyl mengangkat bahunya tidak peduli, "Ya sudah, tinggalkan saja uang lebih, kau kan kaya."

"Sudah kuduga…."

Kondisi alam di sebelah timur dan sebelah barat gerbang cukup bertolak belakang. Di timur banyak pepohonan, di sebelah barat justru merupakan padang rumput. Untung saja padang rumput ini gelap karena bulan masih dihalangi tembok.

Jubah gelap mereka jadi cukup mudah untuk membaur ke dalam bayang-bayang. Mereka tetap tidak bisa bergerak gegabah dan hanya mampu mengendap-endap. Saat posisi mereka kira-kira cukup jauh untuk dilihat dari gerbang, mereka pun mulai berlari.

Kecepatan berlari mereka ditingkatkan Marna. Berbeda dengan Lina beberapa minggu lalu, Oemmar dan Ranga tidak terkejut dengan penambahan kecepatan ini dan mereka bisa berlari dengan mudah tanpa terpeleset atau tersandung.

Mungkin juga itu disebabkan oleh medan yang berbeda. Beberapa minggu lalu, Lina berlari di hutan-hutan yang lebat dengan akar-akar pohon menyembul dari tanah. Tidak heran kalau dia tersandung.

Lari mereka memang cepat, tapi Marna merasa memang Oemmar ada benarnya. Mereka masih perlu kuda untuk mencapai Rigran saat mentari menunjukkan wajahnya. Selain itu, pasti melelahkan sekali kalau harus berlari sampai Rigran. Mau dari mana Marna meminjam energi untuk melakukan hal itu?

"Jasa penyewaan kendaraan harusnya di sebelah sana," Tyl menunjuk pada bagian selatan desa Valris begitu mereka mencapai desa tersebut.

Mungkin karena berada di wilayah provinsi ibukota yang dijaga dengan begitu baik, Valris tidak memiliki tembok tinggi atau gerbang. Hanya tembok kayu seadanya yang melingkari desa kecil itu. Ada beberapa orang yang melakukan ronda malam, tetapi Tyl dan yang lainnya bisa dengan mudah menyelinap di antara rumah-rumah kecil di desa ini.

Melihat kondisi bulan yang nyaris mencapai puncaknya, Marna cukup ragu tempat penyewaan kuda masih buka. Namun, bagaimanapun juga mereka harus ke sana, siapa tahu mereka beruntung. Kalau tidak beruntung ya terpaksa mereka meletakkan satu kantong koin emas saja.

Sialnya, mereka memang tidak beruntung.

"Ya sudah…," Tyl mencibir tidak peduli dan menyelinap ke kandang kuda.

"Astaga!" Oemmar menghantam wajahnya dengan telapak tangannya. "Gubernur Shiban melakukan hal semacam ini, mencuri."

"Tidak mencuri, hanya menyewa tanpa izin," jawab Marna dan Ranga nyaris bersamaan. Akibat hal itu mereka berdua berpandangan satu sama lain penuh keheranan. Sungguh aneh mereka bisa melakukan hal itu. Apa mungkin dia adalah kakak Marna yang telah lama hilang?

"Kakak!"

"Adik!"

Mereka menepukkan tangan kanan mereka satu sama lain. Mungkin ini insting penyihir.

"Tobat, ya Tuhan," melihat tingkah kedua penyihir, Oemmar tambah meringis. "Apa dosa hamba-Mu ini?" Dia bersimpuh dan menutup wajahnya dengan kedua tangan bagai berdoa sampai menangis. Lina menepuk-nepuk bahunya seolah memahami walaupun dia juga tampak lelah akibat tingkah Oemmar.

"Oi, jenggot," Tyl mendadak muncul sambil menuntun kuda yang sama sekali tidak melawan. Entah mengapa sahabat masa kecil Marna itu seperti punya kelebihan tertentu dalam bersahabat dan mengendalikan hewan. Kecuali serigala raksasa di pantai Varschisch. "Kalau kau punya waktu bertobat, berdoa, dan menangis, kau pasti punya waktu untuk meninggalkan bayarannya," lanjut Tyl sembari menyeringai jahil.

"Iya! Iya!"

Oemmar meninggalkan bayaran jauh lebih banyak dari yang seharusnya di kandang kuda sambil menggumam tidak jelas soal gubernur jadi kriminal atau semacamnya. Tyl hanya mengambil empat kuda, menyebabkannya dan Marna menunggang bersama.

Marna duduk lebih depan sementara Tyl tetap memegang kendali kuda. Hal ini membuat posisi Marna seperti dipeluk dari belakang. Entah jika ini melanggar tabu pakta atau tidak, yang jelas penyihir itu merasa nyaman dan hanya ingin seperti ini untuk beberapa saat. Sampai mereka tiba di Rigran nanti.

"Kau bisa tidur sekarang," kata Tyl sambil mengendalikan kudanya. Rembulan sudah melewati puncaknya dan mulai bergerak ke barat. "Tenang saja, aku tidak akan membiarkanmu jatuh."

"Tidak apa, aku sudah cukup tidur," jawab Marna santai. "Aku juga harus mengatur penguat pada kuda-kuda ini." Kecepatan lari kuda-kuda 'pinjaman' ini sudah sangat di luar normal akibat sihir Marna. Sebenarnya, hal itu cukup melelahkan bagi gadis itu walau sudah menyedot cukup banyak energi.

"Ya asal kau jangan sampai pingsan saja."

"Iyaa."

Mereka terdiam untuk beberapa saat. Sampai pada akhirnya Marna merasakan pertanyaan yang begitu lama dia simpan berusaha menyeruak dari dalam benaknya dan memaksanya untuk memanggil Tyl. "Hei…."

Dia tidak tahu mengapa ada dorongan kuat macam ini, mungkin akibat keadaan mereka sekarang. Sudah lama sekali mereka tidak seperti ini. Berkuda bersama, berbicara dengan lebih ringan. Dengan seluruh pemicu itu, sebuah pertanyaan pun terucap, "Maaf, mungkin aku terdengar egois atau terlalu percaya diri, tapi…."

Penyihir itu berhenti sejenak, dia tidak terlalu yakin. Akan tetapi, mau tidak mau dia harus mengeluarkan pertanyaan itu daripada tidak enak hati berlama-lama, "... apa kau menemukan jalan atau semacamnya, untuk pakta kita?"

"Arsip kuno yang diberikan Oemmar ada mengatakan tentang pakta suci atau pakta tulus," biasanya Tyl seperti enggan membagikan informasi macam ini dengan Marna, tetapi kali ini si jangkung justru memberi penjelasan. "Aku tidak yakin itu apa, tapi tampaknya sebelum hukum sihir baru diberlakukan, ada istilah semacam itu. Mungkin ada sesuatu yang berbeda antara pakta yang kita buat dengan pakta suci atau tulus itu."

"Aku mendengar dari Ranga," Marna mengangguk mengerti, "tampaknya memang tabu itu dibuat setelah Kekacauan Sihir Besar. Mungkin ada hubungannya?"

"Mungkin," Tyl membenarkan, "yang jelas, kita harus selalu bisa menjaga kepercayaan satu sama lain. Aku tidak mau kau…."

"Terima kasih," Marna memotong kata-kata tersebut dan tersenyum walau tidak tampak di mata sahabatnya. Untunya, pernyataan seperti itu dari Tyl sudah sangat cukup. "Kau tahu? Bila suatu saat nanti kau pergi karena tidak ada jalan lagi untuk kita, aku akan menerimanya," lanjutnya mengikuti kata hati.

Tyl tidak menjawab untuk beberapa saat. Entah dia berpikir keras atau Marna tanpa sengaja menyinggungnya. Akhirnya kemudian dia pun menjawab, "Aku tidak bisa jawab sekarang atau menjanjikan apapun. Tapi, untuk saat ini, untuk detik ini, aku tidak melihat saat di masa nanti di mana aku akan melangkah pergi. Aku... aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpamu. Mungkin, aku juga tidak pernah keberatan jika kita begini terus."

"Tyl…."

*

"Tunggu dulu!" suara Oemmar tanpa sengaja telah membangunkan Marna.

Rembulan sudah hampir mencapai ufuk barat dan langit menandakan akan subuh. Ternyata gadis penyihir itu pada akhirnya tertidur juga. Kini, di hadapan mereka mulai terhampar sawah dan ladang beserta rumah-rumah sederhana. Nun jauh di ujung pandangan Marna, dinding kokoh ibukota mulai nampak.

"Apa lagi, jenggot? Kau kurang banyak membayar tadi?" Tyl menyindir jahil.

"Bukan!" Oemmar menggeram ketus, "Jika mereka membatasi akses masuk seluruh provinsi, ibukota pasti dijaga ketat. Mereka akan memeriksa siapa kita."

"Tenang saja," mendadak terdengar suara Arden berbicara. Si dukun pasti kerasukan lagi.

"Tidak bisa ya Ranga saja yang berbicara?" keluh Oemmar pada Ranga Arden.

"Ranga mungkin membuat kalian tersesat, memangnya kalian bisa percaya dia?" suara Arden terkekeh. "Aku tahu lokasinya, ikuti aku," lanjut Arden sembari memacu kudanya memimpin mereka ke arah tenggara. Tidak lama kemudian, mereka berhenti di depan sebuah kedai yang tampak agak tua.

"Ternyata kalian," sapa seorang perempuan yang membukakan pintu pada mereka. Tingginya hampir sepantaran dengan Marna, mungkin lebih pendek. Rambutnya merah dan dipotong pendek. Ada goresan luka di wajahnya, tapi dengan bekas luka seperti itu saja dia masih tampak cantik. Luar biasa. Suaranya terdengar sangat tenang dan dewasa, "Tenang saja, aku tidak akan meminta maaf."

"Aku juga tidak ada niat minta maaf, Rosa," jawab Tyl ringan sambil membantu Marna turun.

"Rosa?!" Marna, Lina, dan Oemmar berseru terkejut. Jadi inilah pimpinan Mawar Ilusi. Pantas saja nama mereka begitu. Rosa memang tampak indah dan berduri bagai mawar.

"Terangkan ini, Arden!" Oemmar menghardik pada Ranga, atau masih Arden, mungkin.

"Tidak ada yang lebih mampu menyelundupkan kalian sampai ke Ruang Dewan selain Mawar Ilusi," suara Arden menjawab. Ternyata, dia masih merasuki Ranga.

"Jadi kau tuan dari si dukun kerasukan itu?" Rosa menatap Ranga tajam. Tampak tidak terkejut. Marna mulai meragukan jika gadis itu bisa menampakkan tanda-tanda emosi.

Ranga Arden tersenyum kecil pada Rosa, "Aku harap kau penuhi perjanjian kita."

"Aku tidak yakin bisa memercayaimu," Oemmar menatap bengis pada Rosa, tapi perempuan cantik itu tampak tidak peduli.

"Kami profesional, Oemmar," Tyl menjawab. "Lagipula dia ada dendam dengan Sria."

"Hmmph," Rosa menyeringai. "Oh, sudah kuduga, kau seorang kesatria bayaran."

"Kau ada masalah dengan itu?" Tyl menaikkan dagunya sedikit seolah menantang.

"Tidak," Rosa menggeleng, "mungkin saja kami bisa menyewa jasamu suatu saat nanti."

Marna bergeser menempatkan dirinya di antara Rosa dan Tyl, "Kami pensiun setelah ini."

"Hooo, jadi ini penyihir manis yang merepotkan kami di Nadem," Rosa menggunakan jarinya untuk membelai pipi Marna. Hal itu membuat Marna bergidik geli dan melangkah mundur sedikit.

"Lama tidak berjumpa, nona anggun," mendadak Ranga menggenggam tangan Rosa. Seperti seorang kakak penyihir melindungi adik penyihirnya, walaupun Marna yakin sepenuhnya motifnya sangat jauh berbeda. "Setiap malam semenjak waktu itu, saya selalu memimpikan kecantikan Anda yang bagaikan mawar."

"Lepaskan!" Rosa menghunuskan pedang pada Ranga. Akhirnya, sebuah emosi pun tampak di wajah si merah cantik. Dia menggeram penuh ancam pada sang dukun, "Aku tidak ingat Gubernur Wijja mengatakan bahwa aku harus membiarkanmu hidup, berbeda dengan empat lainnya."

"Syukurlah."

"Bagus."

"Mampus."

"Terima kasih, Tuhan."