Chereads / CodexTrigger / Chapter 21 - Bab XX - Sidang

Chapter 21 - Bab XX - Sidang

Bukan cara yang baru, tetapi tetap efektif. Mereka menyamar sebagai penyedia persediaan anggur dan minuman mentega manis untuk masuk melewati gerbang. Oemmar dan Lina disembunyikan di dalam tong sementara Tyl, Marna, dan Ranga - yang secara ajaib lolos dari kemarahan Rosa - menyamar sebagai bagian dari rombongan.

Menurut kabar, kondisi ibukota memang kurang mengenakkan sejak Raja Eldra meninggal. Selain itu, Tyl merasakan hawa mencekam di beberapa tempat di kota ini. Mungkin ini ulah Sria. Marna dan Ranga juga seperti merasakannya, mereka tampak lebih awas. Terutama si entress yang sibuk celingukan tidak jelas. Tyl ragu jika gadis itu sesungguhnya sedang mencari sumber aura tidak enak itu atau mencari lokasi toko kue.

Tantangan berikutnya adalah masuk ke dalam Ruang Dewan yang terletak di sekitar istana pusat kota. Berdasarkan informasi dari Lina, sama seperti gedung pemerintahan lainnya, Ruang Dewan yang berada di Gedung Penasihat Kerajaan terhubung dengan istana melalui jaringan bawah tanah yang awalnya disiapkan untuk persiapan keadaan darurat. Menurutnya mereka bisa menggunakan jaringan itu.

"Dan menurutmu itu adalah ide bagus, Tuan Putri?" Rosa bertanya dengan sinis. Mereka kini tengah berdiskusi di sebuah kedai minuman yang Tyl duga pasti milik komplotan Mawar Ilusi.

Oemmar dengan cepat menjawab, "Karena kita bisa masuk tanpa disadari oleh mereka?"

Rosa tersenyum, masih sinis, "Hooo, jadi hanya hanya sedangkal itu Gubernur Shiban yang tersohor?"

"Apa…?"

"Tunggu dulu, Oemmar, Rosa benar," Lina membenarkan kata-kata Rosa. "Mengingat Sria, dia pasti sudah menyiapkan perangkap di sana."

"Sesuai harapan, untuk seorang penasihat muda," Rosa tersenyum simpul.

"Aku anggap itu sebagai pujian."

"Memang pujian."

"Tapi jalur rahasia bukan satu-satunya yang dipasangi perangkap," Tyl memandang Gedung Penasihat Kerajaan yang besar dan tampak tua.

Sekarang dia mengerti mengapa beberapa lokasi di kota ini memancarkan aura negatif yang pekat. Gedung Penasihat pun memancarkan aura serupa, bahkan lebih kuat. Karena itu Tyl merasa sangat tidak enak.

"Gedung ini, memancarkan hawa negatif yang mencekam," Ranga menyambung pernyataan Tyl. "Pasti Sria sudah menanamkan kutukan di sana, entah di bagian mana."

"Ruang Dewan," Lina meyakinkan, "kutukannya akan membantunya memanipulasi sidang."

"Ya sudah, kalau begitu kubersihkan saja dari luar," Marna mengusulkan seolah itu ide cemerlang. "Selama aku bisa memegang tembok luar Gedung Penasihat. Itu cukup."

"Jangan," Tyl dan Rosa bersamaan menghalangi ide Marna.

"Sria berhasil mendeteksi keberadaanmu di Nadem karena kau menghapus sihirnya," Rosa menjelaskan. "Kita tidak mau ketahuan sekarang, kau lakukan setelah kita mencapai Ruang Dewan."

"Heee, baiklah," Marna mengangguk.

Tyl menghela napas lega. Bagaimanapun juga dia ingin menghormati keputusan Marna, dia masih menyimpan di suatu sudut hatinya rasa takut itu. Rasa takut jika gadis itu terluka. Rasa takut jika dia tidak cukup kuat untuk melindungi Marna. Mungkin itu juga alasan dia tidak mampu memberi kepastian.

-----

*...aku akan menerimanya.*

----

Menjijikkan.

Tyl mengumpat pada dirinya sendiri.

Di saat Marna bisa dengan tulus mengatakan hal seperti itu, Tyl justru ragu untuk menjanjikan apapun pada gadis itu. Bisa saja sebenarnya itu terjadi akibat Tyl yang tidak memercayai dirinya senndiri. Ketika memandangi paras cantik Marna, Tyl menyadari kemungkinan bahwa dia masih ada hasrat untuk memiliki Marna atau karena dia tidak pernah bisa mengungkapkan perasaannya secara terbuka.

Dia tidak ingin sesuatu terjadi pada Marna jika dia melanggar tabu. Kemungkinan membuatnya menjadi penyihir hitam pun terasa menyakitkan. Kalau benar pakta suci memang ada, mungkin itu akan jadi jalan keluar untuk mereka.

Tidak.

Itu jalan keluar untuk dirinya.

Berbeda dengan Marna yang tulus, Tyl sadar suatu saat nanti dia bukannya melangkah pergi. Namun, cepat atau lambat dia akan melanggar tabu itu. Tyl, hanya ingin jujur. Setidaknya pada dirinya sendiri.

"Senang melihat kalian akhirnya sampai dengan selamat," Arden muncul menyapa mereka.

"Apanya? Kau kan sudah berbicara tadi dengan kami," gerutu Oemmar kesal pada sahabatnya itu. Akan tetapi, wajah tampan Arden hanya tersenyum jahil.

"Sidang akan dimulai tidak lama lagi, sebelum tengah hari. Para bangsawan, utusan, dan tokoh mulai berkumpul untuk menyaksikan pemilihan Penasihat Agung," jelas Arden panjang lebar.

"Biar kutebak," Lina memandang Arden. "Aku akan masuk di saat sidang telah dimulai, mungkin bersama Oemmar. Tapi kau akan masuk ke sana terlebih dahulu."

"Tepat," Arden mengangguk. "Tyl, Marna, dan Ranga akan menyamar sebagai kaki tanganku. Rosa akan mengantar kalian."

"Kau meninggalkan kami dengan para pembunuh ini?" Oemmar memprotes, jelas tidak setuju.

"Kami profesional, bukan pembunuh," Rosa menggeram menantang .

Oemmar balas menantang, menaikkan sebelah alisnya sombong. "Oh, ya? Apa bedanya?"

"Bedanya?" Rosa menyeringai sinis. "Anda yang pernah membunuh orang di tanah pertempuran pasti tahu akan hal itu."

"Kalau memang begitu…," Lina menyela perdebatan Oemmar dan Rosa. "Bisa kuharapkan kau mengurangi jumlah nyawa yang mungkin dikorbankan dalam misi ini?"

"Jika memang itu permintaan Anda sebagai penyewa."

"Terima kasih."

"Tetap saja aku tidak mempercayaimu."

"Kau boleh tidak mempercayaiku gubernur Shiban, itu hak mu," Rosa menganggkat bahu walau matanya menatap serius pada Oemmar. "Lagipula, memang ini tidak terdengar professional," Rosa menggeleng. "Tapi aku punya alasan tersendiri untuk menghentikan sepasang kekasih gelap itu."

"Kekasih gelap?!" Oemmar, Lina, dan Marna tersentak akibat kata-kata Rosa. Tiga sisanya tidak begitu karena mereka sepertinya cukup berburuk sangka pada Sria untuk menduga hal macam itu.

"Oh, sepertinya aku kelepasan," Rosa menghela napas, masih tampak sinis. Dia tidak kelepasan, Tyl tahu benar itu disengaja. Ekspresinya entah mengapa meningkatkanTyl pada dirinya sendiri.

"Jelaskan!" Oemmar menggeram.

Sembari mengangkat dagu, Rosa menatap Oemmar, "Bukankah kalian seharusnya sudah bisa menduganya? Mana ada bangsawan, apalagi keponakan raja, yang berani memiliki hubungan terbuka, dengan seorang penyihir?"

"Dan aku rasa hubungan mereka tidak berjalan lancar?"

"Yah, itu yang kami dengar," Rosa mengangguk membenarkan Tyl.

"Karena Raja Eldra menjodohkan Raksi dengan orang lain," sambung Lina, mengernyit prihatin. Penasihat muda itu pun memandang pada Tyl, "Jadi, motifnya benar-benar balas dendam seperti yang kau duga."

"Dan dia menjadi penyihir hitam karena kecewa dan termakan emosinya," Marna menunduk ketika kata-kata itu keluar dari bibirnya. Dia tampak sedikit prihatin akan hal itu, atau mungkin dia menyadari betapa keadaan dirinya nyaris membuatnya menjadi penyihir hitam seperti Sria. Tyl bersyukur, karena pada akhirnya gadis itu membuktikan dirinya jauh lebih kuat dari penampakannya yang mungil.

"Aku dengar dari Ranga, Sria mengatakan bahwa Raksi adalah boneka," Arden angkat bicara. "Jadi bisa kita simpulkan bahwa Raksi sudah di bawah kendali mantra Sria sebagai bagian dari balas dendamnya?"

Tidak ada yang bersuara untuk menjawab. Namun, mereka semua mengangguk membenarkan hal itu. Semuanya terdengar lucu di kepala Tyl. Sakit hati dan balas dendam bisa membawa potensi masalah untuk seluruh negeri. Dia harus berhati-hati tentang Marna, salah langkah dan bisa saja gadis itu membumihanguskan satu kerajaan.

"Baiklah, kalau tidak ada protes lagi aku rasa...."

"Aku!" Tyl menaikkan tangannya memprotes dan memotong kata-kata Arden.

Arden, hanya bisa menampakkan wajah curiga pada sahabatnya itu, "Biar kutebak, bayaran?"

"Tentu saja," Tyl menggaruk-garuk kepalanya acuh tak acuh. "Perjanjianku pada Oemmar tidak ada kata-kata yang menyuruhku dan Marna berpura-pura jadi kaki tanganmu."

Arden tampak berpikir sejenak, dia bergantian memandang Tyl dan Marna entah untuk tujuan apa. Tak lama kemudian, senyum licik pun terkembang di wajahnya, "Aku akan berikan kalian hadiah yang cukup permanen, mungkin lebih berharga daripada sekedar koin emas."

"Kue?!" tanya Marna semangat.

"Sejak kapan kue itu permanen?!" keluh semua orang, kecuali Arden. Tyl meyakini kalau mereka semua sudah sadar sepenuhnya bahwa bagi Marna kue lebih penting daripada koin emas.

"Lalu apa?" Marna memprotes menekuk wajahnya.

"Rahasia, kawan, rahasia," Arden tersenyum manis pada Marna. Sementara Tyl hanya bisa mencoba menerka apa isi otak Arden. Untung saja biasanya dia tidak pernah mengingkari kata-katanya. Jadi, tidak ada artinya dipikirkan terlalu banyak.

"Baik, aku terima."

Marna, Tyl dan Ranga berganti pakaian seperti yang sudah disiapkan Arden. Baju indah dan necis seperti baju bangsawan. Tyl harus mengakuinya, Marna tampak sangat cocok menggunakan baju-baju seperti ini.

Yha, sebenarnya, sejauh pengamatan Tyl, memakai baju seperti apapun juga tampak cocok dengan gadis itu. Mungkin itu efek samping dari sihirnya, yang berpengaruh ke penampakannya jika mengenakan pakaian atau semacamnya. Akhirnya, Tyl pun segera membuyarkan lamunannya sebelum pikirannya mengarah lebih jauh ke hal yang tidak-tidak.

Banyak tokoh berdatangan ke Gedung Penasihat Kerajaan. Satu per satu mereka diperiksa di gerbang utama yang besar tetapi sederhana. Desain megah tetapi sederhana pada gedung itu mungkin untuk menonjolkan kesederhanaan pada pemikir atau apapun itu.

Mereka nyaris dihentikan di gerbang oleh penjaga akibat senjata Tyl. Namun, dia bisa lolos dengan bantuan Arden yang mengatakan bahwa kedua taring itu adalah trofi, selain mereka juga gagal menemukan pistol Tyl yang disembunyikan Marna. Arden sendiri membawa semacam belati dari taring harimau. Pedang besar Tyl terpaksa dititipkan pada Oemmar dan Rosa, itupun kalau mereka mampu membawanya saat menyelinap nanti. Kalau tidak, ya sudah. Pedang taring ini juga kuat.

"Hei?" Marna mencondongkan tubuhnya dan berbisik saat mereka berjalan menuju balkon ruang utama melalui koridor di lantai tiga, "Mengapa Arden tidak pernah terang-terangan menunjukkan dukungannya untuk Lina."

"Karena tidak ada baiknya seseorang yang jelas memiliki ambisi untuk menjadi Raja memberinya dukungan terbuka, hal itu akan membuat kepercayaan pada Lina akan menurun. Oemmar yang tidak pernah sedikitpun memiliki ambisi itu adalah orang yang cocok. Memang terkesan remeh, akan tetapi pilihan Lina untuk mencari Oemmar adalah keputusan yang sangat tepat," jawab Arden. Bangsawan itu menoleh dan tersenyum pada Marna, "Kau pasti lupa Ranga membuat inderaku juga tajam seperti Tyl."

"Eeeh," Marna tersipu malu, "maaf aku hanya tidak enak menanyakannya langsung."

"Tidak apa Marna."

"Jadi, kau benar-benar ingin jadi raja? Seperti yang kau katakan padaku di toko kue saat kalian masih di akademi?"

Arden tidak langsung menjawab. Dia seolah menyempatkan diri untuk mengumpulkan pikiran dan hatinya. Dia pun memandang langit-langit sambil menjawab, "Yah, tampaknya aku masih seorang bocah egois dengan idealismenya. Mungkin aku tidak pernah menjadi lebih dewasa. Namun, entah mengapa aku merasa aku bisa membawa perbaikan yang lebih. Walau di saat yang sama aku takut bagaimana diri ini bisa saja melangkah ke jalur yang salah."

"Kuhajar kau sampai babak belur jika kau sampai begitu," keluh Tyl datar sambil memukul punggung Arden. "Walau, aku mungkin lebih bersyukur jika kau gagal dalam pemilihan. Kau sama seperti Oemmar, kau senang melangkah di antara rakyat. Menjadi raja mungkin akan menjauhkanmu dari itu. Akan tetapi, selama kau masih boleh melangkah di antara mereka, mendengarkan dengan kepala jernih, mungkin kau tidak akan salah langkah."

"Mungkin bisa aku sewa kalian sebagai pengawal pribadiku sekaligus penasehat?" kata Arden tersenyum kecil sebelum membukakan pintu menuju balkon Ruang Dewan.

"Bayar mahal," jawab Tyl acuh tak acuh.

"Seberapa banyak pun kalian minta."

"Bisa kupertimbangan."

"Tapi, Tyl. Toko kuenya," Marna memprotes. "Kau sudah janji."

"Berisik. Buat saja di Rigran. Kalau perlu, kau bekerja sama sana dengan Rosa."

"Tapi nanti dia meracuni kue-kueku."

"Ssshh."

Marna pun akhirnya terdiam saat mereka melangkah memasuki balkon di Ruang Dewan. Lina benar. Kutukan telah dipasang pada Ruang Dewan. Tyl dan Marna merasakannya dengan sangat jelas, begitu juga Ranga. Marna bahkan tampak sesak ketika memasuki ruangan yang begitu besar itu. Terdapat kursi-kursi dan meja-meja yang membentuk separuh lingkaran yang menghadap pada satu mimbar utama disisi utara ruangan.

Mimbar itu pasti untuk Raja, atau Penasihat Agung. Terdapat jalan masuk di sana, tetapi tertutup tabir kain. Sementara itu, terdapat jalan masuk utama dengan pintu megah di bagian selatan. Selain itu terdapat pintu-pintu kecil di sisi-sisi ruangan.

Tyl dan yang lainnya masuk melalui pintu-pintu sisi barat yang berada pada lantai tiga dari ruangan itu. Meja dan kursi di dasar ruangan hanya untuk para penasihat dan raja. Hadirin lainnya menonton dari balkon pada lantai dua, tiga, dan empat yang menghadap ke dalam ruangan dan tersebar di sekeliling Ruang Dewan.

Arden berhasil mendapatkan satu balkon hanya untuk mereka berempat. Hal yang bagus, karena mereka bisa berbincang dan merencanakan dengan lebih leluasa. Ada satu hal yang membuat Tyl tidak nyaman. Di bawah sana terdapat beberapa baju zirah hiasan yang pedangnya tampak seperti pedang asli, bukan replika. Mereka juga memancarkan hawa tidak enak.

Ruangan itu perlahan menjadi semakin ramai dengan semakin banyak tokoh dan anggota dewan penasihat yang datang. Akhirnya, dengan penuh kepercayaan diri tersirat di wajahnya, dia pun datang dari pintu utama, Sria Myssafir.

Marna, Ranga, dan Tyl segera bergerak mundur menyembunyikan diri mereka dari sudut pandang Sria. Dia tidak akan bisa mendeteksi mereka dengan ilmunya kali ini, Marna dan Ranga telah memastikan hal itu menggunakan sihir mereka. Menurut Ranga, keberadaan para roh di sini seharusnya cukup pekat, tetapi terhalang oleh kutukan Sria.

Kemudian, dia muncul. Laki-laki dengan tubuh jangkung, berbahu lebar, dan cukup kekar. Rambutnya hitam panjang dan dikuncir. Dia memiliki kemiripan dengan Raja Eldra. Dia adalah Raksi Hasshin, keponakan mendiang Raja Eldra sekaligus Raja Sementara. Tyl merasakan ada hal yang janggal darinya.

Ada hawa dingin dan terkesan bagai kehampaan yang seolah mengelilingi raja itu. Sekilas Raksi terkesan seperti terkena guna-guna atau cuci otak dari Sria. Namun, Tyl merasakan hal yang lain. Dia tidak merasakan hal seperti itu. Mungkin memang ada aura negatif, tapi gerak-geriknya dilakukan seolah penuh kesadaran dan… beban. Entah beban apa.

Raksi memulai sidang dengan pidato sambutannya. Sesungguhnya kalau melihat dari cara bicara dan pembawaan pidato, dia sepertinya cukup cocok untuk menjadi raja. Tyl melirik pada Arden yang memerhatikan dengan seksama pidato Raksi, terkadang menjadi raja bukan hanya urusan berbicara dan pidato. Namun, lebih diutamakan dalam bagaimana dia mengambil keputusan dan memilah-milah masukan yang ada untuk masalah yang dihadapi kerajaannya.

Para tokoh dan utusan mulai menyatakan kesaksian mereka satu per satu setelah Raksi menyelesaikan pidato sambutannya. Tyl mengambil posisi di mana dia bisa cukup jelas melihat Sria dan Raksi.

Dari gerak-gerik mereka, Tyl masih belum bisa menentukan seberapa banyak Raksi terlibat. Hal sebaliknya tampak dari Sria. Memang, dia tidak terlihat celingukan macam Marna. Namun, kesatria bayaran itu merasakan betul penyihir hitam tersebut seolah berusaha memindai satu per satu dari mereka yang menyatakan kesaksiannya. Dia pasti berusaha mencari tahu siapa pasangan pakta dari Ranga.

"Saya Arden Wijja, Gubernur wilayah Sirasongi, menyatakan kehadiran dan kesaksiannya atas Sidang Pemilihan Penasihat Agung. Atas nama rakyat Sirasongi, kami akan menerima keputusan sidang…," Arden mulai menyatakan kesaksiannya.

Tyl menahan napasnya. Dia bersiap jikalau Sria mendadak menyadari siapa Arden dan memutuskan untuk menyerang dengan kutukan.

Arden berhenti sejenak dan memandang pada Raksi dengan tajam sebelum melanjutkan, "... selama sidang ini dilaksanakan dengan jujur dan adil sebagaimana kebenaran harus ditegakkan."

Semua terdiam. Tyl sekali lagi harus diingatkan akan betapa gila dan idealis sahabatnya itu. Di saat seperti ini, dia justru seolah sengaja membuka kedoknya sendiri. Seketika itu, Tyl merasakan hantaman kuat pada mentalnya. Marna dan Ranga pasti juga merasakannya. Hanya Arden yang bergeming seolah tidak terjadi apa-apa. Namun, Tyl tahu benar Gubernur itu juga didera serbuan serupa.

Tyl meraih pundak Marna dan tersenyum, memberi tanda bahwa gadis itu boleh mengambil tenaganya kapan saja demi melindungi mereka berempat. Marna mengangguk mengerti dan terus mempertahankan perisai mental bagi merek.

"Maaf, aku harus melakukannya," Arden berbisik saat tokoh lain menyatakan kesaksian mereka. "Ambil tenagaku juga, bagaimanapun juga ini tanggung jawabku."

"Kau tidak perlu mengingatkanku lagi betapa sintingnya kau," Tyl terkekeh dan memandang sahabatnya itu untuk beberapa saat.

Dia mencoba mencoba mencari alasan mengapa Arden melakukan hal itu. Sang kesatria bayaran pun menyadarinya, lebih tepatnya merasakan mereka. Indranya telah dikabutkan oleh tekanan mental di ruangan ini sejak awal, tapi kini dia bisa mendeteksi mereka. Lina, Oemmar, dan Rosa sudah memasuki gedung ini. Ketiga orang itu tidak dilindungi oleh sihir Marna. "Kau sengaja, untuk melindungi mereka," Tyl menyimpulkan.

Arden mengangguk membenarkan, "Maaf."

"Tenang saja, aku tidak selemah penampilanku," jawab Marna tersenyum.

"Syukurlah. Sejak saat kami masih di akademi, aku tahu kau memang seseorang yang tangguh."

Absensi para penasihat dimulai. Tyl tidak tahu pasti lokasi Oemmar, tetapi dia bisa merasakan mereka bertiga mendekat. Sementara itu, serbuan tekanan mental terus menerus mendera Tyl dan yang lainnya di balkon Ruang Dewan.

Tyl mulai khawatir jika Marna tidak kuat menahannya dan hanya bisa menatap sahabat masa kecilnya itu. Namun, Marna tersenyum tulus. Di saat itu pun dia tersentak. Kembali dia meragukan Marna di saat di mana dia seharusnya memercayai gadis itu. Bagaimanapun juga Marna adalah seorang perempuan tangguh yang selama ini menemani Tyl ke mana pun dia melangkah. Mungkin, sebenarnya dia jauh lebih tangguh daripada Tyl.

"Dengan semua penasihat berada di sini," kata seorang penasihat yang tampak tua dengan janggut putih pendek. Entah siapa namanya, yang jelas dia lah yang memimpin sidang pemilihan ini.

Tyl harus mengakui Sria cukup pintar untuk tidak memimpin sidang itu sendiri. Dia mungkin lebih suka memainkan bidak-bidak caturnya sesuka hati. Cukup berbeda dengan pemain catur satu lagi yang tengah berdiri tegak menantang penyihir gelap itu dan pasangan paktanya.

"Maka sidang bisa kita mulai…"