Chereads / CodexTrigger / Chapter 18 - Bab XVII - Penyihir Hitam

Chapter 18 - Bab XVII - Penyihir Hitam

"Sungguh mengharukan…"

Suara dingin yang tidak dikenalnya terdengar di kuping Marna. Di sana, di sebelah timur, di atas sebuah karang kecil, berdiri perempuan dengan jubah dan kerudung indah.

"Lama tidak berjumpa, Lina, Marna," lanjut perempuan itu membuka kerudungnya. Di balik gelapnya langit yang mulai berhias bintang, Marna mengenal wajah cantik dingin berambut perak itu.

"Lama tidak berjumpa, sepupu jauh... bukan…," Lina berdiri menghadap Sria, "... Bibi Sria."

"E-eeeeh?" Marna terkejut. Jadi benar itu Sria, tapi bukan sepupu jauh Lina, melainkan bibinya. Kepala Marna sakit memikirkan kemungkinan kalau ada dua orang Sria di keluarga Myssafir.

"Hooo, dan dari mana kau menyadari hal itu, keponakan?" Sria tersenyum sinis menantang.

"Cukup mudah. Saya menyadarinya saat melihat Marna," jawab Lina tenang. "Tentu saja fakta mencengangkan bahwa Anda adalah seorang penyihir juga mengambil andil. Dari usia Anda, mustahil bahwa anda adalah putri dari paman Byaku. Kemungkinan besar Anda adalah adiknya. Itu semua hanya cara untuk menyembunyikan identitas Anda sebagai penyihir."

Kini Marna mengerti, bukannya ada dua orang Sria. Sepupunya ternyata adalah bibinya. Masuk akal juga, mengingat Marna saja sebenarnya lebih tua dari Lina tapi tampak lebih muda.

Sria menepukkan tangannya pelan, sangat pelan, "Pantas saja semuda itu kau menjadi bagian Dewan Penasihat."

"Saya ambil itu sebagai pujian," Lina menundukkan kepalanya sedikit, "tapi mengingat tidak ada penyihir lain di keluarga Kakek Sepupu Ryoku, itu artinya Anda adalah anak angkat, atau hasil hubungan gel..."

"Cukup sampai di sana, anak muda!" Sria menyela penuh ancam.

Marna merasakan hawa negatif menebal di sekitar Sria. Dengan cepat dia bangun dan memegang pundak Lina. Di saat itu, dia pun merasakan sedikit guncangan pada perisai mental di sekitarnya. Guncangan itu cukup kuat. Kata-kata Lina sepertinya membuat Sria tersinggung sekali. Mungkin karena itu benar.

"Aku puji kemampuanmu yang berhasil menangkal kutukan yang telah tertanam pada dirimu, walau mungkin hak itu tidak akan berhasil jika saja aku menemukanmu di sini lebih cepat," kata Sria pada Marna penuh nada kesinisan. "Tapi bagaimana mungkin kau masih seorang entress?" ekspresi Sria berubah kejam, "Terlebih, setelah menghabiskan malam dengan laki-laki itu."

Marna memiringkan kepalanya heran, "Memangnya ada yang salah dengan itu?" Sejak awal dia dan Tyl merantau, memang mereka seringkali berbagi ruangan karena tidak punya cukup koin emas untuk menyewa ruangan lebih. Mengobrol sampai tertidur seharusnya hal yang wajar.

"Kau…."

Marna heran dengan Sria yang tampak makin berang disinari cahaya rembulan. Dia baru mengerti ketika Lina memiringkan tubuhnya pada Marna dan berbisik, "'Menghabiskan malam' itu tidak seperti yang kau pikir, buat kebanyakan orang, artinya itu jauuuuuh berbeda."

Kuping dan wajah Marna memanas mendengar penjelasan Lina. Entah apa yang sudah dikatakan Tyl, tapi sepertinya Sria sudah salah paham akan hal itu. Dengan terburu-buru, dia berusaha meluruskan, "Tunggu, tunggu, bu-bukan begitu. Kami hanya berbagi ruangan karena kami miskin!"

Penjelasan itu terlambat, bola-bola api berwarna hitam keunguan sudah beterbangan ke arah mereka.

"Bantu aku, Marna!"

"Siap!"

Lina menarik pedang melengkung yang disarungkan di punggungnya. Marna segera melepaskan mantra penangkal ke pedang itu dan teman baiknya pun dengan lihai menggunakannya untuk menangkis serbuan proyektil Sria.

Pergerakan Lina yang lihai lebih tampak seperti tarian pedang yang indah. Sayangnya itu membuat beberapa proyektil masih mampu melewatinya, untungnya Marna mampu menepis proyektil-proyektil yang lepas dari haluan Lina itu.

"Kenapa? Kenapa kau membela laki-laki egois itu?!" Sria menggeram melepaskan lebih banyak lagi proyektil. "Dia hanya akan memanfaatkanmu, semua rekan pakta sama saja!"

"Tyl memang egois, tapi tidak seegois itu," Marna baru ingat beberapa hari lalu Tyl bercerita bagaimana dia mengatakan dirinya egois pada Sria. Dasar aneh, dia suka sekali membuat masalah yang tidak-tidak. "Kalau dia egois, mana mungkin dia ambil misi ini untuk membuatkanku toko roti," lanjutnya memprotes.

"Kalian sepasang, sama saja."

"Kami bukan pasangan, hanya sahabat sejak kecil," Marna menepis sebuah proyektil yang gagal ditahan Lina. Memang, kata-katanya mungkin separuh berbohong, tetapi itu berbohong pada keinginannya, bukan pada kenyataan. Jika Tyl memang pasangannya, Tyl pasti sudah melamarnya. Mungkin saja itu memang hanya harapan Marna, bukan kenyataan juga. Namun sudahlah, apapun itu.

"Gadis bodoh! Dia akan meninggalkanmu setelah selesai memanfaatkanmu!" Sria mengumpulkan hawa mencekam yang dilepaskan dalam sebuah mata tombak besar besar. Marna bergerak menggeser Lina, menebarkan perisai yang terpusat pada kitabnya yang kini melayang di depannya.

"Memangnya kenapa kalau begitu?" Marna berdiri tegak di sisa-sisa kehancuran yang telah dihasilkan Sria. "Memangnya apa salahnya kalau dia pergi? Kalau memang kami tidak bisa bersama maka biarlah dia pergi. Untukku lebih bagus begitu. Aku akan tetap menerima jika situasi itu datang nanti, walau mungkin sakit. Selama dia bisa bahagia, dan mungkin saja… dengan begitu aku juga bisa melangkah maju. Kalau memang itu satu-satunya cara agar kami bahagia, maka biarlah."

Marna mungkin berbohong, mungkin juga dia jujur. Dia tidak terlalu yakin. Hal yang ada di otak dan di jantung hatinya saat ini hanyalah keinginan untuk bersama Tyl. Akan tetapi, jika itu justru hanya menyiksa Tyl, maka tidak ada artinya dipertahankan. Mungkin saja, memang itu jalan yang harus ditempuh Marna suatu saat nanti. Jika saat itu tiba, mungkin dia sudah bisa mengikhlaskannya.

"Heh," Sria terkekeh sinis. "Dasar naif!" Sria kembali melepaskan proyektil-proyektil berbentuk bola api keunguan tanpa ampun, "Penyihir naif sepertimu yang membuat kita penyihir selalu dimanfaatkan!"

"Apa hubungannya?" Marna menghempaskan sebuah proyektil ke laut, menghasilkan ledakan besar di sana. Kasihan sekali para ikan tidak berdosa itu. "Aku dan Tyl tidak mengganggu penyihir lain!"

"Sikapmu itu!" riak-riak hitam muncul di sekitar Sria, "Sikap seperti itu yang dimiliki penyihir lain, sikap seperti itu yang membuat kita dimanfaatkan dan nyaris musnah!" Sria mengirimkan sulur-sulur bayangan dari sekitarnya untuk menerjang Marna.

"Aaah, aku tidak mengerti!" Marna mengambil pasir dan menebarnya ke depan membuat perisai dari butiran-butiran yang diperkuat itu demi menghentikan sulur-sulur Sria. Namun, mendadak terdengar lolongan serigala terdengar ditemani siluet serigala besar yang menerjang mencabik-cabik sulur-sulur itu. Marna sepertinya mengenal siluet serigala itu.

"Mungkin maksud penyihir hitam cantik ini, adalah Kekacauan Sihir Besar di akhir masa hukum kuno," Ranga menyeringai lebar setelah berhasil menghentikan serangan Sria, "atau juga yang sering disebut sebagai sejarah yang terhapus."

"Ranga! Bagaimana dengan Tyl?" tanya Marna dan Lina bersamaan, seolah melupakan Sria.

"Belum sadarkan diri tapi sudah stabil," Ranga menyeringai jenaka pada Marna, "tapi sepertinya dia perlu sentuhan dari seseorang untuk bisa benar-benar pulih." Dukun itu lalu melanjutkan sebelum Marna bertanya lagi, "Oh iya, kau tidak perlu memikirkan tentang pertarungannya, kita menang. Kalau dihitung-hitung, amukanmu lebih banyak melukai para pasukan bayaran dibandingkan pasukan Gubernur Shiban."

Marna menghela napasnya lega, "Syukurlah, kalau begitu kita selesaikan ini dulu."

"Lalu apa maksudmu dengan Kekacauan Sihir Besar?" tanya Lina pada Ranga yang seolah mengerti perkataan Sria.

"Aku sempat membahasnya dengan Tyl, berdasarkan arsip-arsip dari Gubernur Shiban," Ranga menjawab menjelaskan. "Sebelum hukum sihir yang sekarang diberlakukan, hukum kuno tidak jelas membatasi atau tidak hubungan antara penyihir dan rekan paktanya. Karena kekuatan sihir bergantung pada kepercayaan...."

"Eh!" Marna tersentak, dia menyadari jadi itu alasannya mengapa sejak diguna-guna oleh Sria dia merasa kekuatannya berkurang jauh dan bahkan dia merasa tidak bisa memperkuat Tyl dengan jampi-jampinya. "Jadi itu sebabnya belakangan ini aku...."

"Tepat sekali, Nona Manis," Ranga menjawab santai, entah mengapa gayanya membuat dahi Marna berkedut. Jangankan dengan kondisi Marna yang menaruh hati pada Tyl, tidak menaruh hati pada Tyl pun Marna pasti mual melihat tingkah Ranga.

Dukun kerasukan itu pun melanjutkan keterangannya, "Karena itu sebelum hukum baru dibuat, banyak penyihir, laki-laki ataupun perempuan, terkena daya pikat orang-orang yang ingin memanfaatkan mereka. Di saat mereka kecewa, saat itulah emosi negatif mulai menguasai hati mereka dan mengubah mereka menjadi penyihir hitam. Penyihir hitam yang bukan terbentuk saat sihir mereka matang, tapi karena telah jatuh dari tempat mereka yang seharusnya."

"Tunggu, jadi," Lina tersentak, terlebih lagi Marna.

Gadis penyihir itu merinding membayangkan dirinya begitu dekat dengan menjadi penyihir hitam akibat emosinya yang tidak keruan. Kalau itu terjadi, Tyl pasti terluka dan sedih. Dia dan Lina saling pandang dan tersenyum lega satu sama lain.

"Tepat sekali! Tanpa si kesatria bayaran dan putri penasihat, kau sudah berubah," Ranga menepuk tangannya santai nan jenaka. "Sayangnya tidak semuanya seberuntung dirimu." Dia berhenti sejenak dan menoleh pada Sria sambil berkata dengan serius, "Benar kan, Nona Penyihir Hitam? Maksud saya, mantan ahli sihir?"

"Ahli sihir, maksudmu magus?" tanya Lina heran, Marna sendiri tidak terlalu tahu apa itu magus. Kalau tidak salah jenis penyihir yang bisa mengeluarkan bola api atau semacamnya.

Ranga menaikkan bahunya, "Penyihir hitam murni hanya kuat pada kutukan-kutukan dan serangan mental. Serangan proyektil bukan sesuatu yang sewajarnya mereka gunakan. Apa saya benar, Nona Cantik?" Ranga menatap Sria dengan senyum penuh kemenangan. Sria hanya terdiam di sana, masih menatap mereka dingin.

"Kau lagi, kau lagi," Sria berdecak kesal.

"Kenapa?" Ranga merapikan rambutnya dengan najis, "Anda rindu ya?"

"Bermimpi kau dukun!" Sria menyerang Ranga kali ini, tetapi Marna dengan cepat memperkuat pedang taring milik Tyl yang dipegang dukun itu. Walaupun sesungguhnya Marna melakukan hal itu dengan separuh hati. Dukun kerasukan itu pantas mendapat serbuan dari Sria. "Kalian hanya budak dari pasangan sihir kalian," seru sang penyihir hitam.

"Hei, hei, hei," Ranga dengan cepat menangkis segala serangan yang dilancarkan Sria, "saya hanya menerka. Jangan marah, nona cantik. Lagipula saya bisa pastikan tidak akan mengecewakan Anda seperti pasangan Anda yang telah membuat Anda menjadi penyihir hitam."

"Lancang mulutmu!"

Sria makin mengamuk akibat provokasi Ranga. Untuk sesaat Marna bisa mengapresiasi bahwa Tyl tidak semenyebalkan dukun satu itu. Masalahnya sekarang yang ada di sini adalah dukun itu, bukan Tyl. Apapun tujuan provokasinya itu, dukun kerasukan itu sudah berhasil.

"Hei, hei, hei!"

Marna, Lina dan Ranga sibuk menangkis berbagai macam serangan yang dilepaskan Sria. Sebenarnya Marna mulai merasa lelah memberikan kekuatan kepada kedua rekannya. Karena itu, dia terpaksa menghisapnya dari udara sekitar yang memang sudah dingin.

"Lepaskan amarahmu, serigala tua!" Ranga berhasil melepaskan diri dari tekanan Sria dan memanggil siluet serigala besar yang menghantam Sria dengan telak.

Penyihir hitam itu terpental sedikit, tetapi kakinya berhasil bertahan berdiri. Dia kuat sekali.

"Kalian…."

Marna merasakan hawa negatif yang dipenuhi amarah dan rasa dengki mulai berkumpul lagi di sekitar Sria. Kali ini bukan serangan fisik, tapi serangan mental. Marna segera menarik segala macam energi yang bisa dia tarik dan menyebarkannya pada mereka bertiga. Mudah-mudahan pohon, pasir, dan karang tidak marah. Udara tampaknya sedikit kesal karena dia jadi menggigil.

Hantaman yang diharapkan Marna pun terasa. Kali ini jauh lebih kuat dibandingkan tadi. Bisikan-bisikan penuh hasut terdengar. Akan tetapi bukan di telinga Marna, mereka terdengar di kepalanya.

Di saat bersamaan napasnya mulai terasa berat, entah karena sihir Sria atau oleh kekuatannya yang mulai mencapai batasnya. Namun, Marna tidak mau menyerah sekarang walau udara di sekitarnya semakin dingin. Dia masih harus minta maaf pada Tyl. Mana boleh dia kalah di sini.

"Hentikan, Sria!" Lina berseru pada Sria yang tampak terengah-engah.

Entah mengapa Sria berhenti, mungkin dia juga kelelahan. Dia berlutut di atas karang dan memandang balik pada mereka bertiga. Tatap matanya masih tajam.

"Di-ngin…," Marna menggigil memeluk tubuhnya sendiri, dia juga ikut berlutut karena kelelahan. Dia baru ingat, bukan angin yang marah, melainkan udara malam itu memang dingin. Terlebih lagi kini dia hisap tenaga mereka, terang saja mereka jadi lebih dingin.

"Mengapa… mengapa kau lakukan ini semua?" Lina berseru bertanya. Suaranya terdengar sedikit bergetar. "Mengkhianati kami semua, keluargamu? Apa ini semua demi Raksi?"

"Raksi? Aha… Ahahahaha…," Sria terkekeh sambil berusaha bangkit. "Laki-laki itu? Untuk apa aku melakukan ini untuk laki-laki pengkhianat macam dia."

"Lalu mengapa?" Lina bertanya lagi. Seolah berusaha mengerti apa yang Sria pikirkan, "Mengapa kau ingin Raksi jadi Raja kalau bukan untuk dirinya?"

"Untuk boneka itu?!" Sria tertawa jahat. "Kau terlalu naif, Keponakanku. Masa bodoh dengan Raksi, bangsawan, atau kalian semua," Sria tersenyum sinis. "Ini semua untukku, hanya untukku."

Penyihir hitam itu menyeringai lebar memandang ketiga orang di hadapannya, "Dan kalian tidak akan mampu menghentikanku...."

Sria menebaskan tangan, melepaskan gelombang yang menghantam kuat Marna, Lina, dan Ranga. Mereka bertiga kembali terjatuh dan berusaha bangkit. Namun di saat itu Sria sudah bergerak menjauh.

"Kalian terlambat…," terdengar Sria berkata sebelum akhirnya hilang di balik tabir malam. Marna tidak tahu apakah dia harus bersyukur karena selamat atau khawatir karena Sria berhasil kabur dan dia mungkin mengatakan kebenaran. Bisa saja mereka memang terlambat.

Namun, terlambat untuk apa?

Ah sudahlah, dia tanyakan saja pada Tyl atau Lina nanti.