Marna tidak suka kerusuhan seperti ini. Dia tidak pernah menyukainya. Orang saling membunuh dan melukai satu sama lain dalam skala besar. Jeritan kesakitan dan hawa membunuh yang pekat membuatnya mual.
Dia belum pernah berada sedekat ini dengan pertempuran. Perasaannya benar-benar tidak enak, dan itu membuatnya semakin sulit melancarkan mantra. Dia hanya bisa menghisap kekuatan untuk dirinya sendiri saja entah mengapa. Sudahlah, jika memang itu yang bisa dilakukannya, maka itu sudah cukup. Mungkin.
Entress tersebut melihatnya, Tyl di sana bersama Ranga, menembus lawan demi lawan bersama. Marna ingin membantu tetapi dia tidak mampu menguatkan Tyl seperti biasanya.
Seorang pasukan bayaran menerjang buas mendekati Marna. Tanpa ragu Marna menyedot habis tenaganya, mengambil kerikil di tanah dengan cepat dan melemparkannya pada siapapun yang berusaha menghalau Tyl.
Jika ada yang terlalu sulit dilempari batu, maka Marna akan menghisap kekuatannya. Dia tidak terlalu peduli apa yang terjadi pada korban-korbannya. Satu-satunya hal yang ada di benaknya hanya melindungi sang rekan pakta, apapun konsekuensinya. Samar-samar, ada suatu pemandangan di benaknya yang tidak bisa dihapusnya. Entah apa itu, yang jelas itu mendorongnya untuk menjauhkan Tyl dari terluka. Dia harus menjauhkan hal itu terjadi bagaimanapun juga sekuat yang dia bisa.
Tapi untuk apa?
Apa semua ini akan ada ganjarannya?
Hati Marna mendadak terasa hampa dan dingin. Terdengar jeritan Lina di telinganya. Nampak kawannya itu jatuh ke tanah tidak sadar diri. Seorang pasukan bayaran di atas kuda menerjang ke arah Lina.
-----
[Ya sudah, kau lindungi Lina.]
-----
Dadanya terasa sesak. Marna telah lupa. Dia terlalu terikat pada ambisi pribadi dan melupakan janjinya pada Tyl dan Lina. Kawannya itu dalam keadaan yang Marna bahkan tidak tahu jika Penasihat Muda itu masih hidup.
Dia tidak tahu. Yang ada hanya keinginan untuk menghentikan dan membalas. Peduli setan apa yang terjadi pada pasukan bayaran itu, dia akan membayarnya. Kudanya sekaligus. Kalau Marna bisa membunuhnya dengan menghisap kekuatannya. Maka jadilah begitu.
Dua orang berusaha mengganggu Marna, penyihir itu terpaksa menghentikan aksinya dan menghisap habis energi kedua orang itu. Namun, di saat itu dada Marna terasa sakit dan sesak. Dia pun menyadari sesuatu terjadi pada Tyl. Sahabat masa kecilnya itu ada di sana, di tengah hiruk-pikuk pertempuran, berdiri menerima tusukan pedang untuk melindungi Lina.
Aku ingin menolong Lina.
Keinginan Tyl untuk membantu Lina sangat besar. Pasti sangat besar. Mungkin lebih kuat daripada sekedar keinginan untuk melindungi. Bisa saja dugaan Marna benar. Mereka sepertinya memang benar membicarakan perkawinan saat itu. Rasanya sakit. Akan tetapi kalau memang itu yang terbaik, tidak masalah. Lina adalah teman baiknya, dia tahu Tyl pasti bahagia bersama Lina.
Warna merah mulai membasahi tubuh Tyl ketika punggungnya tertebas dari belakang. Ingatan itu seolah berusaha mendobrak tabir tebal di kepala Marna. Dia pernah melihatnya, tapi dia tidak tahu apa itu. Pandangan Marna mengabur bersamaan dengan riak-riak air yang mengisi bola matanya.
"Tyl!" Marna menjerit memanggil, berlari ke arah sahabatnya. Apa pedulinya dia jika Tyl bersama orang lain? Dia hanya mau melindungi Tyl. Dia tidak mau Tyl terluka.
Tyl tersenyum. Sakit. Sesak. Selalu saja begitu. Dia selalu tersenyum berbohong.
Marna mengulurkan tangan pada Tyl yang masih jauh. Air mata penyihir itu mengalir bersama dengan kekuatan orang-orang di sekitar yang dihisapnya. Dia tidak mau tahu siapa mereka. Marna membutuhkan kekuatan. Marna hanya perlu mengalirkan semua itu pada Tyl. Dia harus bisa, walau hanya kali ini
-----
[Peduli setan jika dia harus terluka]
----
[Tawaran untuk bergabung dengannya]
----
Sedetik. Hanya sedetik saja keraguan itu menyeruak masuk ke dalam hatinya dan membuat jantung Marna serasa ditusuk sembilu. Di saat itu pula gadis itu menyadari kesalahannya. Dia menyadari mengapa dia tidak bisa memperkuat Tyl belakangan ini. Karena jauh di dalam lubuk hatinya, di balik tabir-tabir seluruh ingatan yang mengabur itu. Dia tahu itu justru akan melukai Tyl.
Darah mengucur deras dari tubuh Tyl. Ingatan itu mendobrak masuk. Pemandangan ini sama seperti belasan tahun lalu. Dia ingat itu semua. Dia tidak pernah menginginkan hal itu terjadi lagi. Itu salahnya.
Kali ini Tyl kembali bersimbah darah karena dirinya. Karena tangannya sendiri. Tyl memuntahkan darah hitam, tubuhnya oleng. Namun di saat itu, sahabat yang dicintainya itu justru tersenyum pada Marna. Seolah ini semua bukan salah Marna. Seolah semuanya akan baik-baik saja.
Marna benci.
Marna benci sekali senyum itu.
*
Tubuh Lina terasa sakit, terutama tangannya yang harus menahan hantaman tadi. Kepalanya juga terasa agak pening, sepertinya dia sempat pingsan untuk sesaat. Namun dia berusaha bangkit, dia harus bangkit. Tidak boleh dia membiarkan dirinya gugur begitu saja di sini.
"Tyl!"
Marna berlari pada Tyl yang bertumpu pada pedangnya. Tubuh laki-laki jangkung itu mulai bermandikan darah. Sang Penyihir mengulurkan tangannya, menangis. Orang-orang yang bertempur di sekitarnya mulai berjatuhan lemas. Lina melihat kengerian itu. Kengerian di saat Tyl tampak mulai mendapatkan kekuatan untuk sejenak, tetapi di detik berikutnya tubuhnya bersimbah darah seketika.
Di tengah hiruk-pikuk ini. Lina justru terhentak terdiam tanpa mengerti sepenuhnya apa yang terjadi. Mungkinkah ini efek samping dari benih-benih keraguan yang ditanamkan oleh Sria?
"Tyl… Tyl...."
Marna terisak parau. Melangkah perlahan, terombang-ambing, di antara barisan manusia yang satu per satu terjatuh berlutut. Lina menghantamkan tombaknya pada seorang prajurit bayaran yang menerjang, prajurit-prajurit yang ada di pihaknya dengan segera menyambung gerakan itu dan memberikan perlindungan bagi Lina yang bergerak mendekati temannya. "Marna!"
"Tyl, Tyl buka matamu... Tyl...," air mata mengalir membasahi pipi Marna yang meraih tubuh tidak bergerak laki-laki yang dicintainya. "Tyl, jawab... Tyl?"
Efek sihir Marna menyebar cepat, menjatuhkan lebih banyak orang. Tubuh Lina pun mulai terbebani. Bagi mantan Penasihat Muda itu, beban pada tubuhnya tidak berarti banyak dibandingkan hati yang hancur melihat kondisi temannya.
"Tyl…," Marna berlutut dan mengangkat tubuh Tyl. Aura keemasan menyelimuti tubuh mereka. "... Tyl bangun, ini bukan waktunya tidur."
"Mar… na," Lina jatuh berlutut, tekanan pada dirinya terasa semakin berat. Dadanya begitu sesak entah akibat tekanan sihir ini atau akibat pemandangan di hadapannya.
"Tyl, Tyl," Marna terisak memeluk sahabatnya sejak kecil itu, "jangan tinggalkan aku…."
Lina mengulurkan tangannya berusaha meraih Marna. Dia ingin menolong. Dia harus menolong. Dia mengerti sakit yang dirasakan Marna. Sakit saat orang yang begitu berharga dalam hidupnya direnggut begitu saja. Terlebih, jika itu terjadi karena kesalahannya sendiri. "Marna…," Lina berusaha memanggil sekuatnya, tetapi hanya suara kecil yang mampu ia keluarkan.
"Aku tidak punya siapa-siapa lagi… Tyl, jangan pergi…"
Marna mendekap erat Tyl yang tidak bergerak dan menjerit memanggil nama orang yang disayanginya. Seketika itu raungan kesakitan dari semua yang tadi bertempur di sana membahana mengisi angkasa senja seolah dipaksa mengakui rasa sakit yang dirasakan temannya itu. Lina pun merasakannya. Tubuhnya jatuh menghantam tanah lemas ditemani rasa sakit pada sekujur tubuhnya.
Sang Penasihat Muda merangkak sekuat tenaga mendekati Marna yang masih meraung dalam siksaan. Selama ini, Lina sering lupa, sering mengabaikan kenyataan. Di balik paras manis dan senyuman itu. Marna tetap seorang penyihir yang kesepian. Gadis itu berusaha menguatkan dirinya walau sebenarnya jauh di dalam lubuk hatinya dia sangat rapuh. Kini, dia kehilangan segala alasan untuk menguatkan dirinya.
"Mar...na…," Lina berusaha memanggil sekali lagi. Walaupun dia berada tepat di samping pasangan yang terluka itu, Marna tidak mendengarnya. Gadis itu masih terisak memeluk Tyl. Lina mengerahkan seluruh kekuatannya untuk bangkit.
"… Jangan pergi... jangan tinggalkan aku… Tyl… Tyl...."
"Marna! Tatap aku, Marna," Lina menggenggam bahu Marna dan mencoba mengguncang-guncangkan tubuh kawannya itu. Namun, gadis itu masih bergumam tidak menghiraukannya.
" ... bangun Tyl… jangan pergi… jangan... Tyl..."
Lina nyaris kehilangan kesadarannya ketika Marna sekali lagi menjerit histeris. Tekanan pada tubuhnya terasa begitu berat. Namun, dia terus mencoba dan mencoba untuk menyadarkan Marna.
"Jangan."
Marna terdiam tersentak. Begitu pula dengan Lina. Seluruh beban di tubuhnya menghilang. Marna telah menghentikan tekanan sihirnya.
"T-yl?" Marna membuka matanya lebar seolah tersadar dari mimpi buruk.
"... Jangan… menangis…," Tyl tersenyum. Tangannya yang basah oleh darah mengusap wajah cantik Marna, "Dasar… cengeng." Aklan tetapi hanya untuk sesaat, sebelum akhirnya tangan itu terjatuh lemas.
Hening. Senyap. Mata Marna memandang tidak percaya pada tubuh Tyl.
"T-Tidak. Tidak...."
"Marna!" Lina memanggil dengan cukup keras dan mengguncang bahu gadis itu.
Dia memandang Lina. Memandang dengan tidak percaya. Penuh penyesalan.
"Tidak!" Marna menggeleng, melepaskan Tyl dari dekapannya, melepaskan dirinya dari Lina dan berdiri. "... Aaa…." Marna melihat ke sekitarnya dengan bingung ke seluruh tubuh yang tidak bergerak dan yang mengerang kesakitan. Dia kemudian memandang tangannya yang berlumuran darah. "Maaf. Maaf!" Gadis itu mencengkram kepalanya dan menggeleng sambil terus bergumam. "Ini salahku, Ini salahku!"
Lina berusaha bangkit untuk meraihnya. Namun Marna meraung bersamaan dengan pendar keemasan yang berpendar menyelimuti tubuhnya. Lina jatuh terjerembab menghadapi tekanan sihir yang muncul dengan mendadak tetapi menghilang secepat dia muncul.
"Hei! Tenangkan dirimu!" Ranga berseru memperingatkan Marna. Dia berjalan terseok-seok berusaha mendekati mereka. "Kendalikan emosimu, kekuatanmu tidak stabil kalau begitu terus."
"... jangan… menjauh, menjauh!" Marna menjerit sekali lagi, menghempaskan apapun itu dihadapannya. "Aku melukai kalian… aku melukai Tyl," Marna mencengkeram kepalanya sendiri, matanya membelalak bagai terpukul. "Pergi… aku harus menjauh… kalau tidak, Tyl, kalian semua...," gadis itu menggumam dan berlari ke selatan, ke dalam hutan, dengan panik.
"Sial!" Ranga jatuh berlutut di samping Lina yang bangun berlutut.
"Tyl masih hidup," Lina segera mengecek nadi Tyl. Nadi itu begitu lemah, tetapi dia masih bisa merasakan denyutnya. "Tolong Tyl, serahkan Marna padaku," lanjut Lina sambil berdiri.
"Tyl bisa diselamatkan, tapi apa kau masih ada tenaga untuk mengejar?" Tanya Ranga ragu.
Lina menggeleng, dia sendiri sesungguhnya sangat meragukan hal itu. Tubuhnya terasa lemas sekali, "Tapi sebagai kawannya aku tetap harus menolong."
"Angin bersamamu, Tuan Putri."
Lina mulai melangkah, tetapi langkahnya terasa jauh lebih ringan daripada yang dia duga. Mungkin ini sihir yang dilancarkan oleh Ranga. Penasihat Muda itu menoleh dan mengangguk pada sang penyambung roh, untuk kemudian berlari sekencang yang dia bisa mengejar Marna.
"Lina!" Oemmar melemparkan pedang lengkungnya ke depan Lina, dia juga tampak lemas.
"Cepat tolong Tyl!" Lina memberitahu Oemmar sambil mengambil pedang yang sudah disarungkan itu. Oemmar mengangguk mengerti. Hati Lina merasa sedikit tersanjung, karena mereka mau memercayainya. Maka, Lina tidak boleh gagal. Dia akan membawa Marna kembali.
Lina tidak terlalu yakin ke arah mana Marna berlari menembus hutan. Namun, melihat bagaimana dia begitu panik tadi, seharusnya dia tidak akan sempat berpikir ke kiri atau ke kanan dan hanya menerobos lurus ke depan. Kalau perkiraan Lina benar, berarti Marna hanya bisa berlari paling jauh sampai dia menemukan garis pantai. Itu artinya tidak terlalu jauh.
"Tyl selamat," mentari hampir tenggelam saat Lina menemukan Marna bergeming memandang lautan lepas. Entah apa yang dia pikirkan. Namun Lina mengingatnya, pemandangan yang serupa di saat itu. Pemandangan yang mendorongnya untuk memulai semua ini.
Walau dari belakang, Lina melihat bagaimana beban seolah berkurang jauh dari pundak Marna saat dia menghela napas. "Syukurlah."
"Ayo kita kembali."
Marna menggeleng, "Aku tidak bisa kembali. Sihirku hanya akan melukai kalian. Kalau aku kembali, Tyl bisa terluka lagi akibat kecerobohanku."
"Tidak sepenuhnya, kau sangat membantu tadi," balas Lina berusaha meyakinkan. "Lagipula sekarang kau sudah tenang, kau tidak akan melukai Tyl."
"Peramal itu benar," suara Marna mulai bergetar. "Aku hanya akan membawa petaka."
"Marna...."
"Aku tidak mau menyakiti kalian lagi!" Marna menghardik. Bukan pada Lina, melainkan pada dirinya sendiri. "Aku tidak mau… membuat Tyl terluka lagi…."
Lina melangkah ke depan dan meraih bahu Marna, "Itu hanya kecelakaan. Kita semua tahu itu akibat ulah Sria. Kita pasti akan menemukan cara menghapus kutukan dalam dirimu. Lagipula, jiwa kalian terikat pakta."
"Pakta itu omong kosong," Marna terisak. "Kami terikat hanya agar aku bisa menjadi parasit yang pelan-pelan membunuhnya. Tidak ada yang bisa menjamin kalau aku tidak akan menyakitinya, Lina. Tidak ada jaminan, kalau hal itu tidak akan terulang lagi."
"Aku rasa itu semua bukan omong kosong. Aku melihat bagaimana keberadaanmu sangat menolong Tyl. Bukan hanya sebagai rekan pakta, tetapi juga sebagai seseorang yang begitu penting," kata Lina lembut setelah sempat terdiam sebentar mendengar keluhan Marna. Mungkin memang ada baiknya membiarkannya pergi. Tapi mengingat kepercayaan yang diberikan padanya, Lina tidak boleh kembali sendiri.
Terlebih lagi, dan yang paling utama, mengingat bagaimana Marna begitu kesepian selama ini. Lina tidak boleh membiarkan dia jauh dari orang yang membuatnya merasa diterima. Penasihat Muda itu memutar tubuh Marna dan mencengkeram kedua bahunya. Ketika melihat mata sembab Marna yang menatap penuh rasa sakit, dia tak mampu mengucapkan apapun.
"Kalian lebih baik tanpaku. Tyl lebih baik tanpaku," Marna terisak. "Jangan paksa aku Lina. Aku… Aku…."
"Kau harus memaafkan dirimu sendiri," Lina tersenyum berusaha menenangkan.
"Tapi Tyl? Seluruh pasukan? Aku hampir membunuh kalian," Marna terus terisak.
Lina menarik napasnya dalam, benih keraguan dan kecemburuan mungkin mengambil andil dalam kegelisahan Marna. Lina tidak yakin jika dia dalam kondisi Marna, apakah lebih baik dia dihadapkan pada kenyataan atau pada kenyamanan?
Lina menghela napasnya, kenyamanan belaka tidak akan membawa mereka ke manapun. Marna terlalu lama berkecimpung dalam perasaan bersalahnya dan selalu berusaha lari dengan menyalahkan dirinya sendiri, bukan menghadapinya.
"Kalau begitu jangan lari," Lina menatap Marna tajam. "Kalau kau takut melukai yang lainnya, maka perkuat hatimu. Pastikan dirimu tidak akan melukai yang lainnya."
"Tapi," Marna tersentak, dia berhenti terisak, "aku tidak tahu kalau aku bisa."
"Pastikan," Lina mencengkeram bahu Marna lebih kuat, "kau harus bisa. Kuatkan hatimu demi... demi Tyl."
Ekspresi Marna berubah. Dia sempat tampak seperti mempercayai Lina tadi, tetapi tatap mata itu mendadak berubah saat nama Tyl disebutkan. "Aku…," gadis itu mencengkeram kepalanya dan bergerak mundur, "aku tidak pernah bisa mengingatnya, aku ingin mengingat semua kenangan kami. Tapi aku…"
"Lalu apa masalahnya?" Lina berusaha meraih Marna yang bergerak semakin jauh.
"Tidak! Dia selalu begitu. Tersenyum seolah tidak ada masalah. Tapi aku tahu," Marna menggumam tidak jelas dan bergerak semakin jauh. "Aku tahu tiap aku melupakannya, dia terluka. Aku… D-dia, dia lebih baik bersamamu," Marna berhenti dan menatap Lina dengan penuh kecemburuan. "Dia pasti lebih bahagia bersamamu."
Lina tidak mengerti mengapa Marna berkata begitu, dia hanya bisa menatap balik dengan penuh keheranan. Dia memang pernah bilang dia mengagumi Tyl, tapi itu sebatas pada perjuangannya. Mustahil dia begitu tega melangkah masuk di antara hubungan yang penuh pengorbanan itu. "Apa maksudmu?"
"Aku mendengarnya," Marna berkata dengan panik, "di malam itu, Tyl, Dia.. Dia bilang, dia ingin melindungimu, persetan kalau aku sampai terluka atau dia terbunuh. Dia, dia mencin.."
"Cukup!" Lina tidak yakin apa yang menggerakkan tangannya menampar pipi Marna sebelum temannya itu menyelesaikan kata-katanya. Terbesit dalam benaknya bahwa kata-kata itu terlahir dari benih kecemburuan dan keraguan yang telah ditanam Sria.
Namun tangannya bergerak begitu saja, entah untuk alasan apa. Apakah itu karena dia tersinggung? Atau karena dia menyadari kesalahan pada kata-kata Marna? Atau mungkin, karena dia begitu ingin menghapus kerusakan yang dihasilkan Sria. Lina berandai juga, jika dia melakukan itu karena Marna adalah temannya.
"'Aku akan melindungi Lina,'" Lina berkata menirukan kata-kata Tyl, dia ingat benar keputusan Tyl di malam itu. Di malam saat seniornya di akademi itu begitu kecewa karena gagal melindungi Marna. "'Itu yang dikatakan Marna padaku. Persetan jika dia terluka atau aku harus tewas. Akan kuhormati keputusannya itu. dan kau akan membayar upahnya.' Itu yang dikatakan Tyl pada Oemmar."
Marna tersentak, ekspresi wajahnya berubah seolah baru menyadari sebuah kesalahan.
Lina mendekati Marna perlahan dan menepuk-nepuk kedua bahunya pelan, "Kau tahu, Tyl menangis di saat itu. Dia merasa bersalah sekali tidak mampu melindungimu." Dia tersenyum lembut, "Kau masih berani menentukan sepihak dengan siapa dia, orang yang selalu memikirkan kebahagiaanmu di setiap keputusannya, bisa bahagia?"
Marna memandang Lina seolah tidak percaya, "Tyl..."
"Marna!"
Marna mendadak menunduk dan mengerang kesakitan, Lina segera meraih dan mendekapnya. Gadis penyihir itu terus meronta-ronta untuk beberapa saat seolah sesuatu menyiksanya dari dalam dirinya, tubuhnya berpendar kebiruan. Lina bertahan dan terus menahan Marna sekuat yang dia bisa.
"Aku ingat," setelah beberapa saat meronta, Marna jatuh berlutut suaranya masih bergetar. "Aku ingat saat Tyl bilang tentang ekspedisi bersama para arkeolog. Sekarang aku ingat."
Lina memandang Marna seolah tidak percaya. Ini mungkin hanya harapannya belaka. Namun, mungkin saja, Marna berhasil menghapus kutukan Sria.
"Aku ingat semuanya sekarang. Semua kenangan yang mengabur belakangan ini…," Marna tersenyum bahagia pada Lina, air mata mengalir membelah pipinya. Dia tampak begitu lega. Begitu juga dengan Lina yang menjatuhkan tubuhnya bersimpuh, rasa lelah di tubuhnya kembali terasa. Hanya saja, segalanya lebih ringan sekarang.
"Terima kasih…," Marna berusaha menghapus air matanya, tetapi aliran yang membelah pipinya itu terus saja bersikeras muncul, "kalau tidak ada kau... Aku... Aku mungkin tidak akan ingat."
"Sudah, sudah," Lina menepuk-nepuk ubun-ubun kepala Marna dengan lembut. Mungkin Marna tidak menyadarinya, tapi Lina sendiri pun sebenarnya berhutang pada Marna. Berkat Marna, Lina sadar setiap insan juga merasakan penderitaannya masing-masing.
Justru karena Marna dan kegigihannya berusaha menjadi kuat di balik kerapuhan membuat Lina ingin terus melangkah maju. "Terima kasih," bisik Lina sambil terus menepuk-nepuk pelan kepala Marna. Rasanya seperti memiliki seorang adik saja.