"Dia ada menyebutkan sesuatu tentang Raksi?" Oemmar bertanya pada Tyl dari atas kudanya.
Tyl cenderung berjalan kaki. Mengingat dia dapat tambahan kemampuan fisik dari Marna, naik kuda tidak membantu banyak. Kecuali jika dia sedang ingin bermalas-malasan seperti Marna di kereta barang.
"Tidak," Tyl menggeleng. "Tapi dari pembicaraannya dengan Ranga, sepertinya sudah cukup ditentukan kalau pasangannya adalah Raksi atau siapapun itu yang ingin Raksi jadi Raja."
"Masuk akal."
Perjalanan hari kelima, sejauh ini tidak ada halangan berarti. Hanya beberapa pengawas yang berkeliaran di dalam hutan yang harus diusir Tyl. Dia sendiri tidak yakin niatan mereka. Tidak ada tanda-tanda Mawar Ilusi. Berarti benar, kontrak mereka dengan Sria sepertinya batal begitu saja.
Karena Ranga memberi bantuan, Tyl merasakan misi pengusiran seperti itu cukup mudah sekarang. Tukang kesurupan itu berhasil menenangkan roh serigala yang terikat pada pedang taring. Sebagai efek samping, dia mengikat sedikit sisa-sisa kemampuan roh itu pada siapapun yang dianggap pantas memegang pedang tersebut.
Mungkin sekilas efeknya tidak terlalu banyak, tapi Tyl menyadari pedang itu cukup membantunya dalam mencari jejak. Penciumannya juga menjadi jauh lebih tajam jika dia memegang pedang itu.
Berkurangnya gangguan juga cukup bagus bagi Tyl. Dia jadi lebih sempat mengunjungi Marna yang bermalas-malasan sepanjang siang ataupun membaca arsip kuno yang diberikan Oemmar.
Beberapa bagian dari arsip itu belum sepenuhnya diterjemahkan, untungnya Tyl memiliki cukup banyak pengetahuan dari beberapa misinya menemani para arkeolog. Dia juga mendapat catatan khusus dari mereka tentang bahasa-bahasa kuno yang bisa membantunya menerjemahkan arsip.
Sejauh yang dibaca Tyl, masih belum ada informasi jelas mengenai apa dan mengapa hubungan asmara antara penyihir dan rekan paktanya sangat terlarang. Hal yang jelas adalah informasi tentang kejadian masa lampau.
Dulu, terjadi eksploitasi terhadap para penyihir yang menyebabkan sering terjadinya pertempuran berdarah dan berakhir dengan jumlah penyihir berkurang jauh. Pada akhirnya, dibentuklah hukum baru. Hukum kuno dianggap tidak memiliki aturan yang cukup untuk menghentikan eksploitasi tersebut. Oleh karena itu, dibuatlah hukum sihir baru yang menghentikan eksploitasi.
Ada beberapa hukum sihir kuno yang diaplikasikan juga pada hukum sihir baru. Tyl tidak tahu apakah salah satu tabu paling tinggi, hubungan asmara antar pasangan pakta, diadaptasi dari hukum kuno. Sejauh mana hukum itu mengekang juga tidak dijelaskan. Tyl berandai, jika ini semua ada hubungannya dengan kepercayaan di dalam pakta sihir itu sendiri seperti yang dikatakan Ranga.
Selain itu ada satu kata yang gagal diterjemahkan Tyl. 'Samayjna'. Dia tidak yakin apa arti kata tersebut, tetapi kata itu disebutkan berkali-kali jika ada pembahasan mengenai pakta sihir. Dia merasa tidak enak jika harus mengesampingkan kata itu begitu saja. Mungkin saja ada arti khusus yang bisa membantu kasusnya.
Sudahlah, dia tanyakan saja pada pada Ranga nanti.
Perjalanan mereka yang relatif lancar mulai menemui masalah mereka saat mencapai perbatasan antara provinsi yang dipimpin Oemmar dan provinsi yang dipimpin Gubernur bernama Kloen.
Ada beberapa kota besar di provinsi itu. Dua di antaranya, Nakarat dan Adniram, akan dilalui rombongan Oemmar. Tentu saja mereka tidak akan benar-benar melewati kota itu. Mereka akan memutar melalui pesisir kota demi menghindari konflik. Kloen agak enggan membiarkan mereka lewat, walaupun Oemmar sudah mengirimkan utusan berkali-kali untuk meminta izin.
Untungnya, kantor pusat pemerintahan povinsi ini berada di Nakarat yang lokasinya berbatasan dengan wilayah Taba. Sepertinya saat untuk menguji kemampuan diplomasi Oemmar dan Lina sudah tiba.
"Kau ikut?" tanya Marna yang bermalas-malasan di atas kereta barang. Rombongan pasukan ini kini beristirahat di pos perkemahan yang terletak di jalur utama penghubung Nakarat dan Dyon.
"Tentu saja," jawab Tyl santai. "Kau mau ikut?"
"Hmm… tapi aku malas," sembari menjawab, gadis penyihir itu berguling-guling tidak jelas.
"Ya sudah."
"Ada toko kue tidak?" mendadak Marna bangkit dari posisi berbaring.
Tyl menggaruk-garuk kepalanya. Sepertinya benar, yang ada di otak Marna hanya uang dan kue. "Menurutmu?" dia balas bertanya.
Marna tidak menjawab, tapi senyumnya membuka lebar ditemani mata berbinar. Ya, tidak perlu kata-kata lagi untuk menjelaskan keinginan itu.
"Ya ampun…."
*
"Nanti kalau sudah selesai kami jemput," kata Tyl pada Marna yang sudah duduk manis di sebuah toko kue. Menurut Oemmar, toko kue ini sangat terkenal. Pantas saja besar dan ramai.
"Iyaaa," Marna mengangguk senang. Tyl tidak terlalu masalah jika pengeluaran mereka menjadi agak boros karena kue-kuean begini. Siapa tahu ini akan membantu Marna menghapus kutukan Sria.
"Marna, aku titip beberapa ya," Lina mengajukan sebuah daftar kecil pada Marna. Ternyata dia juga suka kue. Sepertinya kue memang mampu menyatukan bangsawan dan rakyat jelata.
"Serahkan padaku."
"Kalau begitu kami permisi dulu."
"Ah, kalau begitu bolehkah saya menemani Anda saja di toko kue indah ini?" Ranga mulai bertingkah, dengan cepat dia menyeruak di antara Tyl dan Lina sembari menarik kursi.
"Kalau kau sudah bosan hidup...," Marna tersenyum mengancam, Tyl segera menyambung respon Marna sembari menodongkan pistolnya ke pinggang Ranga dengan sedemikan rupa agar tidak tampak dari mata publik. Si tukang jampi-jampi pun melanjutkan, "... silahkan saja."
Wajah Ranga memucat akibat ancaman dari dua arah, "Yah, lain kali saja, haha... hahaha."
"Kalau kau sudah bosan hidup juga lain kali," kata Marna semakin mengancam.
Lina dan Tyl segera menyeret Ranga keluar dari toko kue. Dia tidak banyak melawan tentunya mengingat pistol Tyl masih mengancam pinggangnya. Sungguh bukan tindakan sopan menganggu perempuan yang sedang menikmati kue. Terlebih lagi jika yang diganggu bernama Marna dan yang mengganggu bukan bernama Tyl.
"Sudah selesai?" Oemmar berjalan ke arah mereka, dia baru kembali dari gedung pemerintahan.
"Kau dapat waktu bertemu?" Tyl justru balik bertanya.
"Kebiasaan, ditanya malah berbalik bertanya," keluh Oemmar cepat. "Kloen mau menemui kita. Selama aku membawa Lina."
"Nampaknya dia tidak percaya," sahut Lina tenang.
"Kau berharap orang yang dianggap sudah hilang tiba-tiba muncul begitu saja mudah dipercaya?" Tyl memandang agak sinis pada Lina, seperti mempertanyakan logika di kepalanya.
"Mungkin saja. Beberapa orang begitu, sangat... percaya takhayul," balas Lina dengan manis nan sinis. Pasti Marna sudah bercerita yang aneh-aneh padanya. Pertemanan dua perempuan ini sepertinya sudah memasuki ranah yang cukup mengkhawatirkan.
"Tapi tetap saja," Oemmar menggeleng, "rasanya cukup aneh. Seperti ada yang tidak beres."
"Tenang saja, aku akan ikut," jawab Tyl enteng.
"Masalahnya bukan di sana," Ranga ikut masuk ke dalam perdiskusian, entah mengapa dia mengeluarkan nada sinis. Mungkin mau membalas perbuatan Tyl tadi. "Mereka tidak akan membiarkan senjata masuk ke ruang pertemuan. Bukan begitu, Gubernur Shiban?"
"Benar," Oemmar mengangguk setuju, "itu artinya Tyl menjadi tidak berguna."
Kata-kata Oemmar terasa bagai sebuah palu besar yang menghantam pundak Tyl. Sejujurnya, Oemmar memang jauh lebih handal darinya dalam pertarungan dengan tangan kosong. Tyl terlalu mengandalkan senjata sebagai perpanjangan tangan. Walaupun sebenarnya diberikan pisau dapur atau tongkat besi saja sudah lebih dari cukup, tetapi dia ragu ada dua benda itu di dalam ruang pertemuan.
Untungnya, ada orang yang sangat berguna walaupun tidak membawa apa-apa. "Kalau begitu setidaknya Ranga bisa melindungi kalian kan? Dia juga bisa berpura-pura menjadi duta dari Arden."
"Sebenarnya," Ranga mencoba menjelaskan pada Tyl, "aku memang duta untuk Arden."
"Itu bukan lelucon?" balas Tyl dengan sinis.
"Ahaha," Lina tertawa kecil. "Kau harus memperbaiki tingkahmu Ranga, supaya orang-orang lebih yakin dengan posisimu."
Ranga berbalik pada Lina. Matanya berbinar, "Demi wanita secantik Anda, tentu saya..."
"Bagus! Kita lakukan sekarang!" tanpa sempat membiarkan Ranga bergerak lebih jauh mendekati Lina, Oemmar dengan segera menarik kerah belakang baju indah Ranga dan menyeretnya ke arah gedung pemerintahan. Dia menoleh pada Tyl, "Kau temani saja Marna."
"Ya, mungkin," Tyl mengangguk dan tersenyum. Namun di saat itu dia mendadak merasakannya. Aura dan bau yang dikenalnya. Di kota ini. Dia pun berkata dengan serius, "Mungkin tidak…."
"Eh?"
"Dia di sini," Ranga membuka mulutnya sebelum Tyl menjawab.
"Sria…," Lina tampak terkejut dan menundukkan wajahnya seolah malu.
"Kalian berhati-hati di sana, aku akan coba untuk mengalihkannya," kata Tyl kepada mereka.
Oemmar mengangguk setuju, "Jangan mati, aku belum bayar. Kalau kau menghantuiku, dari mana aku mendapat emas untuk arwah nanti?"
"Heh. Tenang saja. Kau bisa berikan ke Marna atau orang tuaku, jangan lupa sambil membakar jenggotmu untuk menenangkan arwahku."
"Hei aku serius, bocah kampung."
"Aku juga."
Tyl tidak memberikan Oemmar kesempatan memprotes lagi dan segera berpisah dengan mereka bertiga. Dia bergerak ke barat, tempat dia merasakan keberadaan Sria tadi. Kota itu memiliki perpaduan jalan-jalan besar dan kecil yang tidak serapi Nadem, tetapi masih mudah untuk dinavigasi dan dilalui. Tyl menyempatkan diri memerhatikan beberapa detail lokasi untuk menghindari dirinya tersesat.
Tyl tidak yakin jika Sria menyadari keberadannya atau tidak. Hanya saja, jejak-jejak yang ditinggalkan Sria seolah menunjukkan dia bergerak menjauh. Lucu memang, dia seperti sadar Tyl mengejarnya. Namun, mengingat dia dengan mudah menemukan lokasi Marna di toko kue di Nadem, Tyl rasa mendeteksi seorang kesatria bayaran itu bukan hal yang sulit penyihir hitam itu.
Jujur saja, jalur ini terlalu aneh jika Tyl terus ikuti. Posisinya semakin jauh dengan gedung pemerintahan. Seharusnya Sria pergi ke gedung itu jika mau mengusik Oemmar dan Lina. Kecuali jika dia sengaja mengalihkan Tyl menggunakan sihir hitamnya. Tyl menghentikan langkah. Dia memegang pedang taringnya di balik jubah pengelana yang dia gunakan. Menutup mata, dia pun menarik napas dalam.
*
"Memanfaatkan orang lain dengan memberikan mereka hawa seolah mereka adalah penyihir hitam," Tyl berdiri bersandar pada sebuah tembok bangunan di sisi jalan kecil. "Pintar, sangat pintar. Tapi tidak cukup untuk mengelabui hidung seekor serigala."
"Oh," Sria menghentikan langkahnya. Dia kembali menggunakan jubah pengelana tetapi berjalan tanpa menggunakan kerudung dari jubahnya. Rambut panjang keperakan memahkotai kepalanya. Matanya yang berwarna abu-abu gelapnya menatap Tyl dengan dingin. "Anda pikir, Anda bisa menghentikan saya? Lagipula, saya percaya tidak ada ada hubungan antara tujuan saya dan Anda."
"Mungkin iya, mungkin tidak," Tyl menaikan bahunya tidak peduli.
"Hoo…," Sria bergumam mengancam. Tyl merasakan hawa tidak enak mulai menebal. Tempat ini cukup sepi, nyaris tidak ada orang di sini. Sria pasti berani melepaskan proyektil sihir seperti mata tombak yang terbuat dari asap hitam keunguan.
Tyl berdecak sembari menangkis serangan Sria dengan pedang taringnya bahkan tanpa menoleh. "Kau yakin mau membuka kedokmu sebagai penyihir hitam? Di sini?."
Sria terdiam. Tyl masih merasakan hawa kegelapan itu, tapi tidak sekuat tadi. Tampaknya dia bukan hanya menahan diri, tapi memersiapkan kekuatannya kalau Tyl mendadak menyerang. Memang benar, serangan tadi tidak akan menarik perhatian orang, tapi mengingat Tyl bisa menangkisnya, itu berarti Sria harus mengeluarkan proyektil yang lebih kuat dan banyak. Hal itu tentunya akan mengeluarkan lebih banyak tenaga dan menarik perhatian banyak orang.
Hal itu terjadi hanya untuk sesaat, Tyl kembali merasakan hawa kegelapan itu menguat. Dia bersiap untuk menepis serangan Sria lagi. Akan tetapi, kali ini terasa berbeda. Ini bukan serangan proyektil seperti tadi. Tyl menoleh pada Sria dan melihat perempuan itu mengulurkan tangannya penuh ancam. Serangan kutukan.
Tyl menguatkan mentalnya. Sedikit suara berdengung terdengar, tapi tidak terjadi apa-apa di sana. Dia tidak merasa tercekik ataupun merasakan emosi buruk merasuki hatinya. Sepertinya yang dikatakan Ranga benar, Marna telah menularinya dengan semacam perisai sihir.
Hanya saja sekarang dia tidak yakin seberapa kuat Sria ataupun seberapa besar daya tahan perisai yang ditularkan itu. Penyihir hitam itu mengeluarkan aura mencekam yang semakin pekat. Tyl harus mencegah Sria melakukan lebih jauh lagi.
"Kau yakin?" Tyl menguap seolah tidak peduli. "Melancarkan kutukan pada seseorang yang sering 'menghabiskan malam' dengan seorang entress?"
Sria tersentak, "Mustahil... Kalian..."
Jujur saja, Tyl merasa tidak enak dengan Marna. Memang, kalau di kepala Marna menghabiskan malam bersama mungkin terdengar seperti berbincang-bincang sampai mereka tertidur. Seperti yang selalu mereka lakukan.
Masalahnya, itu mungkin terdengar sangat berbeda di telinga orang lain. Secara tidak langsung Tyl sudah memfitnah Marna, tapi bukan salahnya jika persepsi orang lain berbeda. Memang pikiran mereka saja yang kotor.
"Bagaimana bisa dia masih...."
"Heh?" Tyl menangkap raut aneh dari ekspresi terkejut Sria tadi. Dia lebih kaget akan hal lain dibandingkan kenyataan bahwa Tyl masih bisa berdiri dengan sehat di sini. Melanggar tabu seharusnya berakibat sangat buruk entah apa itu. Namun, Sria seolah menunjukkan kalau keterkejutannya bukan karena Tyl selamat dari kutukan tabu, melainkan lebih pada fakta bahwa mereka berani melanggar tabu.
Sria menarik napasnya dalam, dan seketika itu juga raut wajahnya berubah dingin lagi. Hawa dingin dan mencekam yang dipancarkan Sria berkurang, tetapi sepertinya dia kali ini benar-benar mempersiapkan dirinya untuk bertahan, "Minggir."
"Kau tahu," Tyl berbicara asal-asalan seolah tidak mendengar Sria. "Ibuku bilang, kalau ada wanita yang cantik sekali, wajahnya begitu halus dan tingkahnya begitu teratur. Dia menyembunyikan hati yang keras dan dingin." Dia menyeringai pada Sria, "Sepertinya dia benar."
"Oh, ya?" Sria menaikkan sebelah alisnya. "Siapa yang peduli dengan kata-kata ibu Anda?"
"Aku."
"Heh," Sria terkekeh. "Apa maksud Anda mengulur waktu seperti ini?"
"Hm? Maksudmu?" Tyl memiringkan kepalanya berpura-pura tidak tahu.
"Anda bisa saja menyerang dan menangkap saya sekarang," kata Sria tenang.
"Mau bagaimana lagi," Tyl menaikkan bahunya tidak peduli. "Aku dibayar untuk melindungi, bukan menangkap." Sebagian itu benar, tetapi sebagian lagi tidak seperti itu. Dia memang tidak yakin dirinya bisa mengejar dan menangkap Sria kalau penyihir hitam itu mengeluarkan seluruh kekuatannya.
Hal yang lain yang dia pertimbangkan adalah keributan di tempat ini akan mengusik pekerjaan Oemmar dan Lina. Yang paling ditakutkan Tyl adalah walaupun dia berhasil menangkap Sria, dia tidak yakin dia akan bisa menginterogasi sepupu jauh Lina itu. Penyihir hitam itu justru bisa mengusik kejernihan pikiran orang-orang di rombongan pasukan yang dibawa Oemmar. Belum lagi mengganggu benak Marna.
"Hoo, seorang profesional," Sria tersenyum licik. "Bagaimana jika kami memberi bayaran lebih? Lagipula, Anda dan dia, kita… sama. Mungkin dia dan saya akan sama nanti."
Kami. Tyl menunggu kata itu dari Sria. Menandakan memang tujuan dari dia dan siapapun rekan paktanya untuk menghentikan Lina. Jika Tyl menghubungkan hal ini dengan dengan kata-kata Ranga, sepertinya dugaan yang ada semakin jelas.
Sama. Kata itu tidak diharapkan Tyl dan cukup misterius baginya. Jika yang dimaksud adalah sama-sama pengguna pakta maka nada bicara Sria tidak seharusnya seperti itu. Entah yang dia maksud adalah sama-sama pelanggar tabu pakta atau ada yang lain. Satu hal lagi yang aneh, dia dan Marna akan jadi sama. Apa maksudnya?
Semua itu cukup membuka kemungkinan yang diperkiraan Tyl. Kalau Sria terikat hubungan asmara dengan rekan paktanya dan melihat usianya, rasanya tepat kalau ini saatnya Tyl melepaskan lidah berbisanya. "Kami? Maksudmu, kau dan Raksi. Maksudmu aku dan entress-ku sama seperti kau dan Raksi? Dan kalian mau menyewa kami?"
Sria menekuk wajahnya, "Yang Mulia Raksi."
"Kau tidak menyangkalnya?" Tyl menyeringai lebar.
"Anda tidak akan menolak tawaran kami kalau Anda tidak ingin entress itu menjadi sesuatu yang lebih buruk lagi," jawab Sria tanpa memedulikan terbukanya fakta bahwa rekan sihirnya adalah Raksi. Dia tersenyum dingin seolah sudah memenangkan adu tawar ini.
"Maaf ya," Tyl menggaruk-garuk kepalanya santai. "Ada kode etik yang harus aku jalankan sebagai kesatria bayaran, tawaranmu menggiurkan, sih," sudah tentu, Tyl kembali separuh berbohong.
Memang, beda kesatria bayaran dengan pasukan bayaran atau pembunuh bayaran adalah lisensi yang harus mereka miliki dan kode etik yang harus mereka penuhi agar lisensi mereka tidak dicabut.
Alasan lain tentu saja Oemmar dan Arden. Tyl memang tidak suka jangut najis Oemmar dan cukup iri dengan segala keunggulan Arden, tapi itu bukan alasan untuk mengkhianati mereka.
"Kau…," mata Sria menampakkan bara yang seolah terbuat dari api keunguan, "... kau bahkan tidak peduli dengan nasib pasanganmu…"
Kau. Sria akhirnya berhenti menggunakan panggilan formal nan sopan. Sepertinya, Tyl berhasil memancing amarah penyihir hitam itu.
Jujur saja, sejujur-jujurnya, Tyl tidak tahu apa maksud Sria. Kalau dibilang tidak peduli, dia sangat peduli pada Marna. Kalau dia tidak peduli dengan Marna, mana mungkin dia mengambil misi seperti ini? Selain juga karena dia cukup bersimpati pada Arden, Oemmar, dan Lina.
Ah sudahlah, Tyl memang tidak terlalu bisa membaca isi tempurung kepala perempuan ataupun hubungan antara Marna menjadi seperti Sria. Kalau Marna yang sedikit mengalami kelainan logika itu menjadi cerdas seperti Sria sepertinya terdengar bagus. Mungkin untuk entress, kekurangan logika itu disebabkan sirkuit sihir yang memakan tempat cukup besar di tempurung kepalanya.
Biarlah, dia pikirkan itu nanti saja. Sekarang dia harus tetap bertingkah seolah dia mengerti apa maksud Sria. "Maaf ya, aku ini laki-laki yang egois," Tyl nyaris tidak berbohong. Kalau dia ingat-ingat, memang dia sering keterlaluan terhadap Marna.
Dia mengalami sedikit dilema sekarang, kalau dia mau Marna jadi cerdas mungkin ada baiknya dia egois. Tapi kalau dia tidak mau Marna jadi dingin seperti Sria, dia rasa dia harus mengurangi keegoisannya.
"Kau…," Sria tampak berang, raut dingin wajahnya berubah jadi penuh ancam. Tyl bersiap menghadapi hawa kegelapan yang semakin pekat itu. Sang penyihir hitam mendesis penuh ancam, "Kau tidak pantas!"
"Bukan kau yang menentukan pantas atau tidak," jawab Tyl secara refleks. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dia mengatakan hal seperti itu. Menghadapi kemungkinan terburuk, dia menggenggam erat pedang taring kembarnya.
Orang-orang mulai curiga melihat tingkah mereka berdua. Memang Tyl sebaiknya lari. Masalahnya adalah dia masih harus mengulur waktu atau mengusir Sria dari tempat ini. Pilihan kedua sepertinya cukup sulit tanpa membuat keributan yang pasti akan merepotkan Oemmar dan Lina. Satu-satunya cara adalah bertahan demi mengulur waktu.
"Kalian akan menyesal…," Sria tertawa kecil, raut berang di wajahnya hilang berganti dengan ekspresi kelicikan. "Dia akan menyesal, kau… akan menyesal. Ahahahaha…," penyihir hitam itu berbalik dan tertawa.
Di saat itu, entah mengapa Tyl mengakui bahwa Sria dan Lina ada hubungan. Cara tertawa mereka mirip, bedanya Lina terdengar tulus sedangnya Sria terdengar sinis.
Selain itu Tyl cukup lega Sria memilih untuk tidak membuat keributan di sana. Hanya saja dia merasa tidak enak melihat tingkah penyihir hitam itu. Entah apa yang direncanakan penyihir itu. Firasatnya memaksa Tyl untuk segera memeriksa keselamatan Marna.