Chereads / CodexTrigger / Chapter 14 - Bab XIII - Uluran Tangan

Chapter 14 - Bab XIII - Uluran Tangan

Tyl membuka mata. Hari masih subuh. Lucu rasanya tidak mendengar dengkuran lembut Marna atau sapaannya di pagi hari untuk sekian lama. Biasanya walau gadis itu tidak sedang sulit tidur, Tyl pasti bertemu dengannya saat mengambil atau diambilkan sarapan. Ya, masa-masa yang mungkin dulu tidak terlalu disyukuri Tyl. Setidaknya dia dapat pelajaran kini, kalau hal-hal seperti itu sebenarnya sangat indah untuk dinikmati. Terutama senyum tulus Marna.

"Hei."

Terjadi hal yang tidak diduga Tyl. Ketika tabir tenda dibuka. Ada Marna membawakan roti dan sarapan. Matanya tidak menatap langsung pada Tyl saat dia berkata, "Aku tanya Lina, apa yang seharusnya atau biasa aku lakukan. Dia bilang, bawakan sarapan."

"Haha, tidak setiap saat sih, terkadang aku yang membawakanmu sarapan," jawab Tyl tersenyum. Dia tahu Marna mungkin melakukan itu karena saran Lina. Sakit rasanya melihat kondisi Marna dan kehilangan mereka. Namun, melihat ketulusannya berusaha walaupun telah ditanami bibit-bibit keraguan membuat Tyl mau tidak mau merasa senang.

"Ma-af aku," Marna terisak. Sedikit air mata mulai membasahi wajah cantik itu.

"Sudah-sudah," Tyl menaikkan tangannya untuk meraih Marna. Dia sempat terhenti, karena ingatan akan tindakan Marna kembali menyeruak ke dalam pikirannya. Pada akhirnya, Tyl memutuskan untuk menerima jika penolakan itu terjadi kembali.

Lebih baik begitu daripada dia harus tidak mengacuhkan Marna. Anehnya, di subuh yang masih dingin itu, Marna bergeming ketika tangan Tyl menghapus air mata di pipinya, "Dasar cengeng."

"Mau bagaimana lagi...?"

"Ya sudah, kau mau sarapan bersama?" tanya Tyl. Dia merasa lega. Baru saja dia merindukan saat-saat seperti ini bersama Marna, kesempatan itu muncul. Dia tidak mau dan tidak boleh melewatkannya lagi.

"Mau…," Marna terisak lebih kuat, "Tentu saja aku mau."

"Ya sudah sini," Tyl tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Aneh memang di hadapan perempuan yang terisak, dia justru tersenyum lega. Sudahlah, mungkin memang seharusnya begitu.

"Tyl," Marna bertanya di sela-sela sarapan mereka sambil menggigit sebongkah roti, "kau tahu apa yang terjadi padaku?"

"Uhuhm," Tyl mengangguk sambil terus mengunyah makanan.

"Lalu apa yang terjadi?"

"Kau ingat penyihir berambut perak yang menyerangmu di toko roti?" Tyl balas bertanya. Kalau dipikir-pikir lucu juga menjawab pertanyaan orang dengan pertanyaan juga.

"Mhmhhm," Marna mengangguk. Pipinya membesar karena mengunyah makanan. Gila, Tyl selama ini tidak menyadari kalau tingkah Marna yang seperti itu tampak sangat menggemaskan.

"Singkat cerita, dia menaruh guna-guna padamu." Terdengar miris memang, tukang jampi-jampi dikenai guna-guna. "Dia menaruh benih kecemburuan dan keraguan, atau semacam itu."

"Lalu bagaimana menyembuhkannya?" tanya Marna lagi setelah menelan makanannya.

"Entah," Tyl menggeleng. "Ranga bilang hanya tukang jampi-jampi macam dirimu saja yang bisa melakukannya. Jadi antara kita mencari seorang tukang jampi-jampi, atau," Tyl terdiam sejenak, dia agak kurang nyaman mengatakan hal tersebut. Nanti gadis itu malah menangis atau bingung.

"Atau apa?"

"Atau kau mengatasinya sendiri."

"Caranya?" Marna memiringkan kepala dan menatap Tyl penuh harap.

Tyl hanya bisa menggaruk kepalanya bingung, "Ya, mana kutahu."

"Sayang sekali," Marna menghela napasnya kecewa. Siapapun pasti merasa tidak nyaman ditanami kutukan. "Kalau kau sudah tahu, beritahu aku ya," lanjutnya tersenyum. Manis sekali.

"Tentu saja, mana mungkin kubiarkan kau begitu terus."

Marna tidak langsung membalas kata-kata Tyl. Gadis itu terdiam entah mengapa, dan hanya pada saat Tyl menoleh padanya dia mengerti. Mata yang masih sembab itu menatap pada Tyl penuh harap, "Kalau... kalau semuanya gagal, kita masih bisa buat kenangan-kenangan baru."

"Aduh!" gadis itu memprotes ketika Tyl tidak menjawab dalam kata-kata dan hanya menyentil dahi Marna dengan jari tengahnya. "Sakiiit…," Marna mengusap-usap dahinya yang sepertinya sedikit memerah akibat ulah si kesatria bayaran.

"Hei, boleh kutanya satu hal?" Marna kembali terpusat pada makanannya setelah sepertinya berhasil mengurangi rasa sakit di dahinya dengan jampi-jampi.

"Hm?"

"Katamu tadi tukang jampi-jampi sepertiku bisa menangkal sihir hitam," Marna menaruh telunjuknya di pipi sambil melihat ke atas. "Lalu kenapa aku dapat terkena sihir hitam?"

Tyl tidak mau menjawab langsung, masih banyak makanan di mulutnya yang harus dikunyah dan ditelan. "Kau lupa? Kau kelelahan saat kita melakukan penjagaan untuk deklarasi. Lagipula saat itu kau memutuskan untuk melindungiku," agak menyakitkan memang, tetapi Tyl harus mengakuinya.

"Tyl," tangan Marna menyentuh bahunya dengan lembut. Mata sahabatnya sejak kecil itu berkaca-kaca, dia menangis lagi. Dasar cengeng.

Namun. mungkin hal itu juga yang membuat kesatria bayaran itu tertarik pada tukang jampi-jampi satu ini. Dia lebih jujur pada perasaannya daripada Tyl. "Jangan salahkan dirimu, aku tidak tahu mengapa. Tapi dadaku rasanya sesak kalau kau begitu," lanjut Marna dengan nada bimbang.

Tyl menarik napasnya. Dia sadar di mana kesalahannya sering berakar. Di saat Marna menyelamatkannya, dia bukannya berterima kasih dengan tulus tapi malah menyalahkan dirinya sendiri. Padahal mungkin dari sudut pandang Marna, adalah hal yang wajar jika mereka melindungi satu sama lain.

"Terima kasih," Tyl tersenyum, beban di hatinya terasa berkurang jauh. Tidak hanya saat Marna menyelamatkannya, tapi juga saat mereka membuat pakta. Dia mungkin seharusnya berhenti menyalahkan kelemahannya pada saat itu dan menerima fakta bahwa mereka hanya bisa selamat dengan membuat pakta. "Aku memang seharusnya berterima kasih padamu, kalau tidak ada kau atau pakta yang sudah kita buat, mungkin aku tidak bisa melangkah sejauh ini. Mungkin aku sudah mati."

Marna tidak langsung menjawab, dia malah mengeluarkan bunyi seperti isakan yang tertahan. Mata birunya tidak mampu menampung air mata di sana dan melepaskannya membentuk sungai kecil yang membelah pipinya. "Menangis lagi," Tyl menyeringai jahil.

"Mau bagaimana lagi? Jangan sebut-sebut soal kau bisa mati," Marna menekuk wajahnya dengan cemberut.

"Iyaa, iyaa, maaf." Tyl terkekeh kecil. Dia ingat, padahal baru beberapa hari dia tidak melihat berbagai ekspresi di wajah Marna. Rasa lega di benaknya kini menunjukkan bahwa dia selama ini merindukan itu.

"Terima kasih," Tyl merangkul bahu Marna, "Terima kasih karena sudah menemaniku selama ini, kau memang, dan akan selalu menjadi, sahabat terbaikku."

Tyl tidak berbohong. Sejak dia jatuh hati pada penyihir itu, dia selalu berusaha mengingkari kenyataan bahwa Marna adalah sahabat terbaiknya. Kenyataan bahwa dia jatuh hati pada Marna tidak mengubah fakta itu. Jika suatu saat nanti, ada jalan untuk mereka benar-benar bersama, itu tidak akan mengubahnya.

Ibunya pernah bilang, bahwa pasangan kita adalah juga sahabat kita, tempat kita berbagi susah dan senang. Itu, kalau memang ada jalan. Tidak ada jalan pun, Tyl akan selalu menghormati persahabatan mereka yang sudah melangkah jauh bersama.

"Aku juga. Terima kasih."

"Hei, Tyl," setelah Tyl dan Marna terdiam bersama di dalam tenda, mendadak muncul wajah Oemmar dari luar. Dia berhenti sejenak, menatap sepasang rekan pakta tersebut, dan menggumam, "Oh, maaf."

"Hey! Oemmar!" seru Tyl yang pada Oemmar yang langsung menghilang begitu saja.

"Oh, iya," Oemmar kembali menunjukkan kepalanya di dalam tenda. "Ada kuil yang indah di kota berikut, tidak seindah di ibukota, tapi ya kalau kalian mau melakukan upacara perkawinan, kita bisa menunda perjalanannya sehari atau dua hari. Aku tidak masalah dengan itu."

"Kucukur jenggotmu nanti."

"Pfft, hahaha!"

Tyl tersentak, Oemmar juga. Marna justru tertawa melihat kejadian itu. Melihat wajah bahagia itu, Tyl mau tidak mau ikut tersenyum dan tertawa. Ah sudahlah, biarkan Oemmar dan kata-kata ngawurnya lolos kali ini. Akan tetapi, bukan berarti Tyl tidak akan menghabisi janggut Oemmar.

"Oke, kembali ke topik," sebut Oemmar sambil duduk bersila di dalam tenda. "Jadi kau bertemu Sria tadi malam?"

"Sria? Sria Myssafir? Sepupu jauh Lina?" tanya Marna terkejut. Tyl tidak yakin mengapa dia sampai begitu terkejut. "Apa yang dia lakukan di sini?"

"Dia yang menyewa Mawar Ilusi," jawab Tyl dengan enteng.

"Apaa?!!!" bersamaan, Oemmar dan Marna menjerit terkejut. Tyl menutup telinganya secara refleks.

"Kenapa dia harus sampai sejauh itu?" Marna menekuk wajahnya kesal.

"Tentu saja untuk menghentikan Lina," jawab Tyl masih santai.

"Jadi dugaan itu benar?" seketika pertanyaan dari Marna itu keluar, Tyl dan Oemmar saling lirik satu sama lain. Sepertinya tidak ada satupun yang mengungkapkan untaian benang yang mengikat kejadian-kejadian ini pada Marna, termasuk Lina. Namun itu masuk akal, mantan Penasihat Muda itu pasti malu dan merasa bersalah setengah mati mengingat sepupu jauhnya melukai temannya.

"Kau jelaskan," Oemmar dengan segera melepas tanggung jawab. Dia bersiul-siul sambil mengalihkan pandangan. Ini memaksa Tyl harus memandang mata Marna yang membesar penuh harapan akan penjelasan.

"Kau ingat penyihir hitam berambut perak yang menyerangmu di Nadem?"

"Uhum."

"Itu… dia."

Marna terdiam sebentar. Dari kedataran ekspresi wajahnya, otak gadis itu pasti bekerja keras berusaha memecah misteri dan menghubungkan garis-garis imajiner antar kejadian. "Eeeeeehhhh?" Marna tersentak sampai tubuhnya bergerak kebelakang dengan sukarela, "Jadi… Jadi... Jadi...."

"Iya, iya, iya," Tyl menggaruk-garuk kepalanya. Untung saja gadis itu tidak sebodoh dugaannya.

"Ehem," Oemmar berdeham, "apa ada hal lain yang terungkap?"

"Tidak," Tyl menggeleng. "Bahkan dari apapun itu yang dilakukan Ranga, dia juga mengatakan bahwa para Mawar Ilusi hanya tidak tahu banyak tentang Sria yang menyewa mereka."

Jujur saja Tyl tidak menyangka ritual menguburkan mayat dilanjutkan dengan ritual pembacaan doa yang akhirnya, menurut si tukang kesurupan, membuat Ranga juga mampu mendengar sedikit bisikan-bisikan dari arwah-arwah mereka yang tewas di sana. Sayangnya tidak banyak informasi yang didapatkan dari mereka. Lebih banyak kekesalan dan keluh kesah yang didengar Ranga. Alhasil, mereka harus menghabiskan waktu lagi demi menenangkan arwah-arwah itu.

"Jadi kita masih akan berhadapan dengan mereka?" Oemmar tampak berpikir sambil mengusap-usap janggut.

"Aku meragukan itu," jawab Tyl, "mereka bertengkar tadi malam saat Sria nyaris membunuhku dan Rosa bersamaan."

"Rosa?"

"Tyl, kau nyaris mati?"

Tyl terdiam sejenak, dia bergantian memandang Marna dan Oemmar. Tidak jelas yang mana harus dijawabnya dulan. "Jawab Marna dulu," Oemmar mengalah.

Sang kesatria bayaran menoleh pada entress rekannya, "dia memanfaatkan pertarunganku dengan Rosa untuk melepas proyektil, tapi Ranga menyelamatkan kami."

"Rosa itu siapa?" tanya Marna dengan mata membesar dan ekspresi seperti penuh curiga.

------*Dia semacam menaruh benih kecemburuan dan keraguan, atau semacam itu.*

------

Kata-kata Ranga terngiang di benak Tyl. Ekspresi Marna agak aneh. Tyl belum pernah melihat ekspresi itu sebelumnya. Mungkin sebelumnya juga pernah terjadi tapi Tyl tidak menyadarinya. Dia kurang yakin jika itu hanya sekedar cemburu dan penasaran biasa atau efek dari sihir Sria. "Dia sepertinya pemimpin Mawar Ilusi. Kau juga pernah melihatnya," Tyl menjelaskan.

"Oh!" ekspresi curiga di wajah Marna berubah menjadi ekspresi penuh ide dengan jari telunjuk dinaikkan. Tyl pun lega seketika. "Perempuan yang serba menutupi wajahnya dan mengejar kita sejak dekat Kulu?" tanya Marna memastikan.

"Jarang-jarang kau pintar," balas Tyl jahil seperti menepuk-nepuk tangan seperti bocah.

Melihat balasan macam itu, Marna pun menekuk wajahnya dan menggerutu, "Aku tahu aku bodoh, tidak usah terlalu dibegitukan juga…."

"Jadi, kapan undangannya?" Oemmar menatap Tyl santai, tapi tatap matanya jelas menunjukkan ekspresi jahil.

Kali ini Tyl cukup tenang untuk mengacungkan pedang taringnya ke janggut Oemmar dan mengancam, "Saat jenggot tipis najismu kucukur habis."

"Harga sepadan."

"Ya sudah."

"Ehehe, hei-hei, sudah, sudah, aku bercanda," Oemmar menarik dirinya dari pedang Tyl.

Kesatria bayaran tersebut yang sebenarnya masih terheran mengapa sahabatnya sejak di akademi takut itu sekali kalau ada apa-apa terjadi dengan janggut rapinya itu. Mungkin ada jampi-jampi turun temurun di keluarga mereka tentang janggut.

"Kembali ke masalah utama. Jadi, kau yakin mereka tidak akan mengganggu kita lagi?"

"Tidak juga," Tyl mengangkat bahunya, "tidak ada yang bisa menjamin itu."

"Hmm…," Oemmar kembali mengusap janggutnya, tampak berpikir.

"Ada masalah?"

"Tentu saja ada," Oemmar terkekeh. "Kalau mereka benar bertengkar berarti kita harus lebih siap. Sria pasti akan mengeluarkan taktik lain, terlepas dari mereka bertengkar atau tidak."

Tyl mengangguk membenarkan, "Benar, aku akan tetap berpatroli di sekitar rombongan, kalau Mawar Ilusi masih bekerja dengannya atau ada kelompok lain yang disewa."

"Terima kasih," Oemmar tersenyum tulus. "Tapi jangan paksakan dirimu, kita mungkin lebih membutuhkan kekuatanmu nanti."

"Maksudmu?" Tyl memiringkan kepalanya heran.

Oemmar menghela napasnya, "Sebenarnya beberapa daerah mulai mempertimbangkan kedatangan rombongan kita. Sepertinya mereka mendapat tekanan, atau takut untuk membiarkan kita lewat. Selain itu mereka tidak berani memberikan kita jaminan untuk keselamatan. Aku tidak akan heran jika kita mendapat serangan-serangan mendadak di saat-saat itu."

Dia berhenti sejenak sebelum menatap Tyl dan Marna sembari melanjutkan, "Dan kemungkinan besar ibukota akan dikunci total, akan sulit bagi kita untuk masuk ke sana. Bisa jadi kita harus menyusup pada akhirnya."

"Tenang saja," Tyl mengacungkan tinju kanannya pada Oemmar, "selama kau tetap membayarku dan Marna, kami ikut."

Oemmar tersenyum, kelegaan nampak tersirat di wajahnya. Dia pun menghantamkan tinjunya pada tinju Tyl, "Aku tahu aku bisa mengandalkan otak mata duitan di kepalamu."

Tyl dan Oemmar tertawa sejenak sebelum akhirnya Sang Gubernur permisi untuk menyiapkan perjalanan hari ini.

"Ya sudah, ayo bersiap-siap," kata Tyl sembari berdiri. Dia menoleh pada Marna yang mengangguk setuju. "Sini," ujarnya mengulurkan tangannya pada Marna yang berusaha bangkit.

Dengan senang hati, gadis itu menerima uluran tangan Tyl. Kesatria bayaran itu baru sadar akan hal ini. Betapa jarangnya Marna mencoba untuk meminta bantuan kecuali keadaan terlalu genting. Terkadang bahkan ia seperti menolak meminta bantuan Tyl. Arden memang benar, Marna memiliki hak untuk bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Entah bagaimana Tyl selalu melupakan hal itu.

"Hei, benar Oemmar akan membayar kita lima ribu?" tanya Marna yang berhasil berdiri dengan sempurna separuh berbisik.

"Tentu saja. Kalau tidak, kita cukur jenggotnya."

"Waaaah…," Mata Marna membesar menatap Tyl. Pendar keemasan tampak begitu indah mewarnai mata birunya. Lucu rasanya bagi Tyl melihat ini. Marna mungkin terpengaruh sihir Sria. Namun, sepertinya sihir itu tidak cukup kuat untuk melawan sifat mata duitan Marna.

Sihir hitam telah kalah melawan tumpukan koin emas.

Lucu.