Mawar Ilusi.
Tidak salah lagi.
Pergerakan mereka menjauhi kemah di balik pepohonan pinus begitu cepat dan nyaris tanpa suara. Sang Kesatria Bayaran tidak mau gegabah melepaskan tembakan. Suara letusan tentunya akan membuka posisinya dengan cepat dan membuat pergerakannya di balik pepohonan demi mengaburkan keberadaannya menjadi sia-sia. Lagipula ada masalah lain.
Tyl sudah berpatroli penuh selama tiga hari, menghalau serta mengusir sosok-sosok mencurigakan dan bandit dari mendekati rombongan. Dengan istirahat yang kurang sekalipun, itu bukanlah masalah yang seharusnya sulit. Seharusnya.
Napasnya terengah-engah dan otot-ototnya mulai terasa sakit. Langkah kakinya tidak segesit biasanya. Kecepatan itu hanya cukup untuk mengimbangi target-targetnya, tetapi tidak untuk menutup jarak. Mustahil jika dalam keadaan ini dia mampu melepaskan tembakan yang bisa mematikan lawan.
Entah jika dia memang demam, atau semua ini ada hubungannya dengan kondisi rekan paktanya.
Terdengar serigala melolong di kejauhan. Tyl tidak tahu apakah mereka hanya akan menyanyikan lolongan mereka menemani pertempuran ini atau malah berniat menganggu. Dia akan lihat nanti.
"Heh, trik murahan," Tyl menggumam sembari terus mengejar para pengintai. Mereka sengaja menjauhkan Tyl dari rombongan, itu artinya mereka menyiapkan orang-orang lain untuk menyelinap masuk. Oemmar dan Lina seharusnya sudah siap menghadapi itu. Lagipula ada Marna di sana.
Tyl tidak yakin bagaimana atau apa yang terjadi padanya. Namun melihat gadis itu dan Lina masih bisa berbicara cukup santai dengan satu sama lain, Marna pasti masih bisa mengerahkan kekuatannya untuk membantu.
Selain itu, memang ada kemungkinan para Mawar Ilusi sengaja mau menyergapnya di suatu tempat yang memang mereka kehendaki. Seharusnya itu tidak menjadi masalah. Siapa tahu di tempat jebakan itu penyewa mereka menunjukkan batang hidungnya. Aneh memang, tetapi kemungkinan itu tetap ada.
Lolongan serigala terdengar makin keras. Tyl tidak mampu menerka dari mana arah suara itu berasal. Suaranya begitu menggema di telinga Tyl mengaburkan kenyataan antara memang sangat keras atau terlalu dekat. Benak kesatria bayaran itu tergelitik, seharusnya tidak ada serigala di daerah ini. Mungkin keadaan faunanya sudah berubah.
Lolongan ketiga menggema di dalam dirinya. Ah sudahlah, persetan dengan keadaan fauna atau hal-hal tidak penting lainnya. Ada hal lain yang lebih menarik. Tyl mengendus udara dan merasakan para mawar pergerakan mawar ilusi mengacau. Menyadari pergerakan tanpa gesekan itu tidak akan berlangsung lebih lama lagi, dia pun menyeringai.
Mereka mulai melemparkan pisau-pisau kecil pada posisi-posisi yang dipercaya mereka sebagai posisi Tyl. Meleset, karena itu mereka tidak bergerak. Mungkin untuk kembali memantau kemungkinan posisi kesatria bayaran itu.
Lolongan keempat jauh lebih panjang. Para Mawar Ilusi tersentak. Tyl membidik ke arah kanan depan dan menarik pelatuk. Satu orang ambruk. Kekacauan merebak di antara para Mawar Ilusi, Tyl pun segera bergerak ke balik pohon lainnya dan melepaskan satu lagi tembakan yang melukai salah satu targetnya.
Ketika lolongan berakhir, para pembunuh bayaran itu tampaknya memutuskan untuk berhenti menunggu dan bergerak ke selatan.
Satu lagi berhasil dijatuhkan ketika pergerakannya yang ceroboh melewati posisi Tyl bersembunyi. Tidak ada lolongan lolongan lagi kali ini, bunyi letusan senjata pun dengan segera menarik perhatian kelima anggota sisanya pada lokasi Tyl.
Kesatria bayaran itu berguling menghindari lemparan pisau para Mawar Ilusi. Sayangnya, di hadapannya muncul satu anggota Mawar Ilusi yang dikenalnya. Perempuan yang sudah dua kali dihadapinya, kali ini yang ketiga kalinya mereka beratung. Dia pasti pemimpin mereka. Pedang besar Tyl dan pedang golok perempuan itu bertemu.
Perempuan melompat ke belakang mengambil jarak dari Tyl akibat momentum hantaman mereka. Tyl sendiri memanfaatkannya untuk memutar tubuh dan pedangnya ke belakang, menebas penyerang yang datang dari belakang. Sisa empat.
Mata pedang bertemu mata pedang, mengisi kesunyian malam dengan dentang logam yang menusuk telinga. Letusan-letusan tembakan yang tidak pernah mengenai targetnya ikut meramaikan malam sunyi di tengah hutan pinus.
Tyl terus menekan terduga pimpinan mereka sembari menjaga jarak menggunakan tembakannya untuk memaksa tiga lainnya menjadi gegabah. Itu kalau dugaannya benar. Ah, walaupun salah, Tyl tidak peduli selama dia masih bisa menghabisi mereka dan mencabik-cabik tubuh lawan-lawannya itu. Kecepatan tebasan dan kekuatannya hantamannya semakin bertambah seiring berlanjutnya pertarungan, begitu juga hasrat membunuh.
Seorang anggota Mawar Ilusi muncul mencoba menghalangi pergerakan brutal Tyl. Satu tebasan pun langsung menghabisi orang itu. Sisa tiga. Tanpa membuang waktu, kesatria bayaran itu menerjang lagi dengan tebasan-tebasan lebar. Targetnya terus bergerak mundur menghindari terjangan Tyl.
Mendadak, dengan jeda yang sangat singkat, targetnya seolah menghilang dari pandangan. Tyl beralih pada dua pembunuh bayaran yang seharusnya menerjangnya, tanpa ragu menebaskan pedang besarnya. Akan tetapi, dia hanya menebas udara kosong.
Tyl memperhatikan keadaan sekitar dan secepat kilat menebas apapun yang tampak mencurigakan. Pisau-pisau lempar melayang ke arahnya tanpa menunjukkan kepastian asalnya. Dia berhasil menangkis hanya beberapa dengan menggunakan pedang taring yang menggantikan pistolnya.
Darah mengucur dari bagian tubuh yang tidak mampu dia lindungi. Setiap serangan yang diarahkan padanya menambah amarah dan hasrat akan darah. Dia menerjang, menyerang tanpa memedulikan apapun. Logikanya mengabur dengan semakin ganasnya Tyl menebas-nebas pohon, rumput dan udara kosong. Mirip seperti binatang buas yang terpojok dan terluka.
"Selamat tidur...."
Sesuatu yang kehitaman dan besar menghantam dada Tyl dengan telak. Dia tersungkur, dadanya terasa sesak dan sulit digerakkan. Rasa sakit mulai menjalar dari dadanya ke seluruh tubuhnya, seperti penyakit. Di saat itu, dia pun merasakan tiga hasrat membunuh menguat.
Mawar ilusi yang yang tersisa tadi keluar dari tabir persembunyian mereka. Tyl menggeram. Mana boleh dia mati sendiri. Persetan dengan misi ini, persetan dengan rasa sakitnya. Kesatria bayaran itu bangkit, menebaskan pedangnya dalam putaran besar. Raungan kesakitan pun terdengar bersamaan dengan cipratan darah hangat membasahi Tyl. Sisa satu!
Namun, saat Tyl berhenti berputar, dia muncul. Orang yang dia curigai sebagai pimpinan para pembunuh bayaran ini. Dia menghunuskan pedang pada Tyl yang mengetahui bahwa sudah terlambat untuk menghindar. Di saat bersamaan, kesatria bayaran itu merasakan ada kekuatan lain meluncur dengan cepat di belakang perempuan tersebut. Mengetahui dia akan mati, atau terluka berat bagaimanapun juga. Tyl menghunuskan pedang taringnya. Dia tidak akan mati sendirian.
Sesuatu menghantam Tyl dan perempuan itu ke samping dengan sangat keras. Cukup keras untuk menggulingkan mereka berdua. Dia segera bangkit dengan berang hanya untuk melihat siluet serigala, yang berdiri di tempat mereka tadi, tengah dihantam sebuah proyektil keunguan besar.
"Hei! Hei! Hei!" entah dari mana, terdengar suara yang terkesan seperti orang kurang kasih sayang yang berusaha menggoda perempuan, "Jangan main curang, Nona."
"Memangnya ada peraturan?" sambut sinis suara lain, suara perempuan.
"Seharusnya," Ranga mendarat di dekat Tyl seolah dia baru saja turun dari pohon pinus. "Tapi saya rasa bahkan dalam catur sekalipun, Anda tidak menggunakan kekuatan dari tangan Anda demi menjatuhkan pion kesatria lawan termasuk pion Anda sendiri di saat bersamaan."
"Saya tidak tertarik dengan permainan Anda, Dukun," seorang perempuan keluar dari bayang-bayang malam, dia mengenakan jubah dan kerudung kehitaman. Sinar rembulan cukup terang bagi Tyl untuk melihat rambut keperakan yang ditutupi kerudung itu. Tidak ada aura apapun yang terpancar darinya. Jangan-jangan...
"Kau licik, Myssafir."
Tyl tersentak mendengar kata-kata orang Mawar Ilusi itu. Myssafir. Dia yang menyerang Marna. Keberangan pun mulai menumpuk di hati kesatria bayaran itu. "Sria Myssafir...," Tyl menggeram sembari menarik pedangnya, siap berlari dan menerjang.
"Hei, hei, cukup sudah, jangan terbawa suasana."
Tyl mendadak merasakan amarah dan kekuatannya menyusut. Begitu juga dengan logikanya yang mulai menemukan titik terang. Dia pun jatuh berlutut. Ketika itu lah baru Tyl menyadari kalau kekuatan dan kebengisannya tadi mungkin ada hubungannya dengan Ranga.
"Huh," Sria menghela napas dengan kesal, "Saya pikir Anda adalah seorang profesional, Rosa?"
"Kau...," Rosa, orang dari Mawar Ilusi itu menggeram dan berdiri menghadap Sria.
"Mereka berkelahi sendiri," bisik Ranga sembari membantu Tyl melepaskan beberapa belati yang menancap di tubuhnya dan membantunya berdiri. "Maaf, aku tidak bisa memberikan regenerasi tanpa menggunakan roh serigala itu. Berharap saja regenerasimu masih cukup."
"Terima kasih," Tyl mengangguk mengerti. "Ada yang harus kutanyakan nanti."
"Ada juga yang harus kukatakan."
"Saya tidak pernah menjanjikan apapun selain bayaran, Rosa," kata Sria memprovokasi.
"Kalau begitu," Rosa menggeram, "Kuminta bayaran nyawamu."
"Anda senang bermimpi," Sria merentangkan tangannya pada Rosa. Seketika itu terjangan Sang Mawar Ilusi terhenti dan dia tampak seperti tercekik.
"Maaf pinjam sebentar," Kata Ranga sambil mengambil pedang taring yang masih tersarung di pinggang Tyl. "Hei, hei, sudah Nona Manis," siluet serigala besar, mirip seperti pemilik asli taring tersebut, muncul di antara Sria dan Rosa ketika Ranga mengayunkan pedang Tyl. Seketika itu juga Rosa terjatuh dari cekikan tak kasat mata hasil sihir Sria.
"Oh?" Sria memiringkan kepalanya heran, "Saya kira Anda berdua juga ingin dia musnah."
"Ah, maaf, Nona Cantik," Ranga menyeringai lebar dengan gaya sok ganteng, "tapi saya alergi melihat para wanita cantik saling melukai satu sama lain."
"Hmmph," Sria mendadak merentangkan tangannya pada Tyl dan Ranga. Sebuah bola sihir besar keunguan meluncur cepat. Namun sekali lagi, Ranga menebaskan pedang taring untuk memunculkan siluet serigala besar yang menghempaskan serangan itu.
"Anda suka main kasar ya?" seringai Ranga makin lebar, jelas memancing Sria untuk menjadi berang.
"Apa mau Anda, penghubung roh?"
"Nama saya Ranga, Ranga Trunce," Ranga mengelak dari menjawab. "Sungguh kehormatan bagi saya jika Anda mau memanggil nama saya."
"Mimpi saja, tukang kerasukan," Sria tertawa sinis, bayangan-bayangan hitam mulai terbentuk di sekitarnya. Kemudian semuanya dilemparkan pada Tyl dan Ranga tanpa ampun. Tyl tidak berusaha menghindar ataupun bersiap. Dia percaya pada Ranga seperti dia percaya pada Arden. Mustahil Arden membuat pakta sihir dengan penyihir sembarangan.
"Kerasukan itu enak loh," balas Ranga jahil, mengendalikan siluet arwah serigala dengan lihai. Dengan pergerakan dari pedang di tangannya, serigala tersebut melompat menerjang ke kiri dan kanan demi menghalangi seluruh proyektil yang dilemparkan Sria. "Tanya saja pada orang di sebelah saya ini."
Kenyataan menghantam benak Tyl. Dia mengerti mengapa tadi logikanya nyaris hilang bersamaan dengan merasuknya kekuatan dan keganasan. Ranga mungkin menggunakan arwah serigala besar yang terikat dengan taring yang dibawa-bawa Tyl. Siapa yang menyangka jika ide tidak keruan macam menggunakan taring serigala sebagai pedang itu ternyata bisa menyelamatkan jiwanya?
Sesaat kemudian, pertarungan serigala arwah dengan proyektil-proyektil keunguan pun menemui akhirnya. Tidak ada satupun yang berhasil lewat, "Apa mau anda, penghubung arwah?"
"Sama seperti Anda," jawab Ranga, "sama persis."
"Hmph," Sria berbalik melangkah meninggalkan mereka, "teruslah bermimpi."
Tyl tidak mau membiarkannya pergi begitu saja, ada hal yang harus dia tanyakan, "Apa yang kau lakukan pada Marna?"
"Oooh, ahahahahaha," Penyihir hitam itu tertawa sinis. "Saya hanya memberikannya hadiah, untuk menyadari kesetiannya sia-sia. Itu saja," Lanjutnya dingin sebelum masuk ke dalam tabir malam.
"Huaaaaahhh," Ranga menghela napas lega yang panjang sambil memperhatikan pedang Tyl. "Terima kasih, kalau pedang ini tidak ada, kita pasti sudah mati," tangannya gemetaran dan Tyl bisa melihat keringat dingin kini mengucur deras dari pelipisnya.
"Kau tidak apa-apa?"
"Kita nyaris mati, menurutmu?"
"Haha, dan di sini kukira kau sekuat itu," Tyl menyeringai lebar. Rasa sakit di tubuhnya berkurang jauh. Sepertinya regenerasi yang dia dapatkan dari Marna cukup untuk menanggulangi luka dari pertarungan ini. Walaupun memang terasa lebih lambat daripada biasanya.
"Maaf, ya," Ranga menggeleng, "roh alam tempat ini kurang kuat untuk menghadang penyihir macam itu. Lagipula, dari mana kau dapat ide membuat pedang dari taring macam itu?"
"Keren kan?" pamer Tyl. Senjata itu ternyata punya banyak fungsi seperti dugaannya.
"Keren, iya. Tapi gila. Pantas saja kau berteman dengan Arden," dukun itu menggeleng lelah. Setelah itu dia merapikan jubahnya dan bertanya, "Lalu apa yang mau kau tanyakan?"
"Sepertinya sudah terjawab, tadi aku mau tanya apa kau yang membuatku jadi lebih brutal," jawab Tyl santai. Memang, dia baru saja bisa menerkanya sendiri tadi. "Tapi aku tidak tahu kalian bisa melakukan itu pada orang yang bukan terikat pakta dengan kalian, selain diri kalian sendiri."
Ranga mengangguk, "Memang tidak bisa. Tapi kami bisa menghubungkan roh jika orang itu memiliki ikatan dengan roh tersebut."
"Ha?" Tyl memiringkan kepalanya heran, "punya hubungan apa aku dengan serigala itu?"
Ranga menaikkan kedua bahunya dan mencibir, "Mana kutahu. Sepertinya roh serigala itu mengakui kekuatanmu dan pacarmu saat mengalahkannya."
"Marna bukan...."
"Kalian berdua sama saja," Ranga menggeleng kecewa, "makanya, jangan membuat pakta sihir dengan penyihir secantik itu. Dia pasti dari timur, pantas saja dia eksotis."
"Mana kutahu dia jadi cantik begitu tumbuh dewasa," Tyl hanya bisa menggaruk kepalanya sambil menggerutu. Dia baru saja menyadari kalau Marna memang tampak sedikit berbeda dengan rambut hitam legamnya dan kulit agak kekuningan itu. Mungkin itu salah satu alasan dia jatuh cinta.
"Ini sebabnya kami para penghubung roh dilarang membuat pakta dengan lawan jenis," gerutu Ranga ikut menggaruk-garuk kepalanya. "Setidaknya mengurangi resiko jatuh cinta atau semacamnya. Lagipula, buat apa kalian membuat pakta waktu kecil?"
"Kami terpaksa karena keadaannya genting."
"Tunggu, jadi kekuatan sihirnya matang saat dia masih bocah?"
"Sepertinya begitu."
"Astaga...," Ranga menghantamkan wajahnya pada telapak tangan. "Ah, sudahlah," dukun itu kemudian menghela napas setelah menggaruk-garuk kepalanya kesal, "intinya kalian harus berhati-hati dengan tingkat kepercayaan kalian masing-masing."
"Hubungannya apa?"
Ranga menyipitkan matanya dan menatap Tyl tajam, "Kau serius?"
"Eh?"
"Sudah berapa lama sih kalian membuat pakta?" Ranga bertanya tidak sabaran. Di balik tingkahnya yang sok flamboyan di depan gadis-gadis, ternyata begini kelakuannya.
"Tujuh belas tahun," jawab Tyl polos.
"Tujuh belas tahun?! Dan kalian tidak tahu apa-apa?!"
"Hei-hei. sabar, sabar."
Ranga menatap bengis, napasnya terengah-engah. Entah mengapa Tyl merasa Ranga bertingkah seperti hewan buas. Samar-samar dia melihat garis-garis seperti aura sihir mengalir dari pedang taringnya yang masih dipegang Ranga ke tubuh penyambung roh itu.
"Kau yakin tidak terpengaruh serigala itu?"
"Oh," Ranga tersentak seperti menyadari sesuatu. "Ooooohhhhhh... pantas saja," Dengan segera dia mengembalikan pedang Tyl, "haha, haha, tidak heran kau ganas sekali tadi. Serigala ini berbahaya, hahaha." Setelah beberapa saat, dia pun melanjutkan dengan nada kecewa, "Tapi, konyol juga kalian tidak tahu apa-apa soal pakta kalian."
"Ya sudah kau jelaskan sana."
"Bagaimana kalau kau jelaskan dulu apa yang kalian tahu?"
Sang Kesatria bayaran menggaruk pipinya sendiri, yang dia ketahui hanyalah sedikit, "Uhh... jadi pakta itu semacam tanda pematangan kekuatan sihir seseorang. Karena kekuatan itu harusnya besar dan tidak stabil, maka perlu semacam disambungkan dengan orang lain untuk menjadi stabil."
"Itu saja?"
Tyl terdiam sejenak, lalu mengangkat telunjuk, "Orang yang diajak pakta mendapat sambungan mental dengan penyihirnya. Mereka juga mendapatkan kekuatan tegantung dari tipe penyihirnya. Dan ya... ya sudah itu saja yang kami tahu."
Ranga menatap Tyl dengan sangat lelah, "Aku bahkan heran kalian tidak mati mengingat kau berurusan dengan entress. Hubungan kalian tidak hanya soal pinjam-pijaman kekuatan, tetapi kau berfungsi sebagai katup yang menstabilkan aliran sihir di rekanmu. Kau adalah bagian penting yang menyempurnakan keberadan Marna sebagai penyihir."
"Begini," Ranga menarik napas dalam, jadi kekuatan dan terutama kestabilan sihir antara kalian berdua itu terpengaruh dengan seberapa kuat kepercayaan kalian terhadap satu sama lain. Hal ini juga akan memengaruhi efek samping dan juga kekuatan Marna sendiri sebagai seorang penyihir. Kecuali kalau dia itu penyihir hitam, mereka memakan emosi negatif."
Tyl tidak bersuara dan mengangguk mengerti.
"Masalahnya," Ranga menggerutu, "tingkat kepercayaan juga terpengaruh emosi-emosi lain seperti cemburu, ragu, atau semacamnya." Raut wajahnya berubah serius, "Efeknya bukan hanya mengurangi kekuatan sihir. Tapi justru bisa melukai kalian berdua. Anggap saja seperti ketel uap atau api yang tidak terkendali."
Tyl kembali mengangguk mengerti. Kalau dari kata-kata Ranga, sepertinya memang kondisi Marna sangat membahayakan untuk mereka berdua. Akan tetapi, Tyl sendiri tidak tahu cara menanggulanginya ataupun jika menjaga jarak dengan Marna akan membuat situasi itu lebih baik. Dia bukannya sengaja menjaga jarak sepanjang perjalanan ini. Mungkin bawah sadarnya menyangka itu keputusan yang tepat.
"Lalu, kau ada solusi untuk menghilangkan apapun itu yang ditaruh Sria?"
Ranga menggeleng, "Aku cukup yakin yang diletakkan Sria adalah benih keraguan dan kecemburuan. Hanya Marna sendiri yang bisa melepaskan sihir macam itu. Atau... kalau kita beruntung bisa bertemu entress lain."
"Maksudmu?" Tyl menatap Rangan heran. Dukun kesurupan itu terdengar ngawur.
"Kau tahu mengapa entress paling tidak disukai?" Ranga bertanya, tetapi Tyl hanya menjawab dengan menggeleng polos. Dia memang tidak tahu dan tidak mengerti mengapa hal itu terjadi.
"Mereka bisa dengan mudah mengendalikan aliran energi di dunia ini, aku rasa kau pasti tahu itu. Mereka bisa membuat orang terluka atau kuat begitu saja tanpa jejak jelas, karena itu kaum awam cukup menakuti mereka. Tapi...," Ranga berhenti sejenak. ",... bahkan di antara penyihir mereka juga tidak disukai. Terutama oleh penyihir hitam."
Baru kali ini Tyl tahu bahwa entress juga tidak disukai penyihir lainnya. Selama ini dia dan Marna nyaris tidak pernah bertemu penyihir lain selain penyembuh, peramal, atau ahli nujum.
"Mereka bisa menghapus dan mengunci sebagian besar sihir akibat kemampuan mengendalikan energi itu," lanjut Ranga. "Terutama sihir-sihir yang dikeluarkan para penyihir hitam. Sihir jahat macam itu menggunakan energi negatif yang ada untuk memperkuat emosi negatif, energi itulah yang bisa dibuang atau dibersihkan oleh para entress. Oleh karena itu, dalam sejarah yang terhapus, mereka juga ambil andil untuk menjelek-jelekkan entress dan seberapa berbahayanya mereka."
Ranga menaikkan bahunya dan mencibir, "Dan entah mengapa beberapa peramal juga menganggap mereka berbahaya tanpa alasan jelas. Mungkin takut ramalannya diubah atau kemampuan mereka dihapus. Namun penyembuh dan penyambung roh tidak terlalu memikirkan hal itu, kami yang menggunakan kekuatan kehidupan memang tidak terlalu terpengaruh dengan kekuatan para entress. Kecuali jika ada entress yang terlalu kuat untuk membunuh kami seketika."
Tyl terdiam, pertanyaannya saat dia kecil menjadi jelas sekarang. Kini dia mengerti mengapa saat itu para penduduk desa begitu panik, dan mengapa peramal itu mengatakan bahwa Marna akan membawa bencana. Namun dia masih belum bisa memaafkan tindakan mereka, terutama peramal itu.
"Jadi itu alasan Sria menargetkan Marna?" tanya Tyl memastikan. Sebenarnya Tyl cukup penasaran dengan sejarah yang terhapus yang dikatakan Ranga, tetapi rasanya itu bisa dibahas nanti. Lagipula namanya saja 'terhapus', mungkin Ranga juga tidak terlalu banyak tahu.
"Mungkin," Ranga menggeleng, "aku tidak yakin dari mana dia tahu Marna itu entress. Aku saja baru tahu saat bertemu dengannya di toko kue. Dugaanku adalah karena Marna berhasil melepas kedok para Mawar Ilusi, dia menjadi curiga."
Tyl berpikir sejenak. Jika tukang jampi-jampi macam Marna adalah antitesis untuk para penyihir hitam, seharusnya Marna bisa menghadapi Sria.
"Aku tahu apa yang ada di pikiranmu, kau tahu jawabannya Tyl," Ranga menatap tajam pada Tyl. Di saat itu kesatria bayaran itu menyadarinya.
---------
*Dia mau melindungimu juga, bukan hanya dilindungi. Hargai itu, Tyl.*
---------
Dada Tyl terasa sedikit sesak mengingat kata-kata Arden. Namun memang begitu kenyataannya. Marna memang mengorbankan dirinya untuk menolongnya. Tidak ada yang bisa dia sangkal.
"Oi, jangan nangis, aku tidak suka drama," kata Ranga mendadak, membuyarkan lamunan Tyl.
"Tenang saja," Tyl menghembuskan napas dan tersenyum kecil. "Terkadang ada hal yang harus kita terima sesakit apapun."
"Haaah, kau mulai terdengar seperti Arden."
"Maaf deh, kami berteman terlalu lama," balas Tyl menyeringai. "Ngomong-ngomong, apa yang akan kita lakukan pada Rosa?"
"Kita interogasi saja."
Tyl melihat Rosa yang masih tidak sadar. Dia jadi teringat kalau Sria seharusnya bisa melancarkan serangan serupa pada dirinya, Lina atau Oemmar.
"Hei, Sria seharusnya bisa menyerang kami dengan sihir yang dia lakukan tadi pada Rosa kan?"
"Tidak," Ranga menggeleng. "Mengingat kekasihmu, pacarmu, atau apapun itu hubungan kalian, terserah... Dia sepertinya kurang bisa mengendalikan kekuatannya sendiri, jadi dia berfungsi sebagai perisai untuk orang-orang di sekitarnya."
"Selain itu dia pasti tidak sengaja menulari orang-orang di sekitarnya dengan perisai serupa dari makanan, minuman atau bahkan dengan menyentuhmu cukup lama. Memotong rambutmu juga berfungsi seperti itu, lebih kuat bahkan. Karena saat dia mengambil sesuatu darimu, secara tidak sengaja dia memberikan perlindungan sebagai timbal balik," lanjut dukun itu dengan panjang lebar separuh menggerutu. "Apalagi kalian rekan pakta, pasti timbal balik macam itu terjadi."
Benak Tyl tertegun walaupun tangannya memainkan rambutnya seolah tidak percaya. Dia tidak menyangka gerakan-gerakan kecil dari Marna justru sangat berarti dalam melindungi dirinya. Bahkan hal remeh seperti memotong rambut. Dia merasa sangat beruntung. Mungkin Marna benar, mungkin begini saja sudah cukup untuk mereka.
Baru saja Tyl dan Ranga mencapai lokasi Rosa pingsan, perempuan itu mendadak berdiri sembari menebaskan pedangnya. Mereka berhasil menghindar dengan melompat ke belakang.
"Nona, kami hanya ingin berbicara dengan Anda di bawah sinar indah rembulan," Kata Ranga dengan nada menggoda para perempuan yang wajahnya kini terlihat itu. Rambutnya merah pendek dan terdapat goresan luka di wajahnya.
"Kalian tidak akan dapat apa-apa," geram Rosa sambil melemparkan peledak yang langsung menutupi wilayah itu dengan tabir asap. Tidak lama kemudian dia pun menghilang.
"Sial," Gerutu Tyl. Untuk ketiga kalinya, Rosa lolos dengan cara yang sama. Dia harus mempelajari cara untuk menangkal trik macam ini.
"Tyl kau lihat itu?" Ranga memandang Tyl penuh keterkejutan seolah tidak percaya.
"Iya, aku lihat. Dia kabur lagi."
"Bukan itu," Ranga meraih bahu Tyl. "Dia! Dia benar-benar tipeku! Aku harus bergabung dengan Mawar Ilusi. Bukan, aku harus menyewa jasa mereka agar kami bisa bertemu lagi!" Lanjutnya penuh semangat sembari mengguncang bahu Tyl. Sang Kesatria Bayaran hanya bisa terdiam tidak bereaksi. Orang macam mana yang jatuh cinta pada pembunuh bayaran seperti itu?
"Terserah, aku mau kembali ke tenda," gerutu Tyl kesal sambil bergerak menjauhi Ranga menuju tenda pasukan.
"Hei, tunggu," Ranga mendadak menghentikan Tyl dan memberikannya sebuah sekop. Tyl baru sadar, sedari tadi dukun itu membawa dua sekop di punggungnya. Entah untuk apa.
"Apa lagi?" Tyl mengambil sekop yang diberikan oleh ahli roh dan takhayul itu.
"Bantu aku menguburkan mereka," kata Ranga penuh keyakinan.
"Untuk apa?" Tyl memprotes.
"Hei, hei, hei, jangan begitu," Ranga menggeleng-geleng kecewa. "Memang, mereka ini adalah kriminal, tapi bagaimana pun juga rohnya harus didoakan."
Tyl terdiam tidak menjawab. Dia tidak mengerti mengapa dia harus mengikuti ritual gila ini. Dia sudah lelah, dia ingin tidur.
"Memangnya kau mau mereka menghantuimu?" Ranga menatap kosong, senyumnya membentuk seringai mengerikan. "Atau lebih parah lagi, menghantui tanah ini selama ribuan tahun, mengganggu dan mengusik siapapun yang lewat di sini."
Tyl merinding, sesaat kemudian dia menghantamkan telapak tangannya pada wajahnya. Dia ingin menolak, tapi mau tidak mau suatu sudut di hatinya mengatakan bahwa dia harus setuju, "Ya ampun."