Marna tidak bermaksud begitu, tetapi tubuhnya mundur secara refleks. Dia tidak yakin apa Tyl tersinggung atau terluka, laki-laki tersebut hanya tersenyum lemah lalu mengambilkan roti untuk Marna. Hanya itu. Tidak banyak yang dia katakan lagi setelahnya selain permisi untuk istirahat.
Setelah kejadian tersebut, mereka berdua tidak banyak berbicara. Tyl lebih banyak berdiskusi dengan Oemmar dan Lina. Dari cerita mereka, pemimpin-pemimpin lain terdengar seperti memberikan dukungan.
--------
*Aku ingin menolong Lina*
*Persetan jika dia terluka atau aku harus tewas*
-------
Kata-kata itu terngiang di benak Marna setiap kali dia menemukan Tyl terdiam sendiri dan ingin menyapanya. Hal itu cukup untuk menghentikan Marna. Terbesit dalam benaknya kalau mungkin temannya sejak kecil itu beralih hati.
Namun, menurut Marna itu bukan hal aneh. Dia dan Tyl memang tidak boleh bersama bagaimanapun juga. Seharusnya itu bagus bagi Tyl. Kalau dia bahagia, Marna cukup bisa senang. Seharusnya. Tapi jantung sang entress terasa sakit.
Mimpi buruknya bertambah belakangan ini. Bedanya, dia tetap tertidur seberat apapun beban yang dia hadapi dalam mimpi. Sebagian hatinya seolah menginginkan dirinya untuk tetap tertidur di dalam mimpi itu dibandingkan bangun menghadapi dunia. Padahal, biasanya dia lebih memilih terbangun, karena di saat itu dia sadar ada Tyl di sisinya. Namun kini…
"Marna, kau sudah siap?" Tyl bertanya. Dia mengetuk pintu kali ini, walau Marna tidak yakin jika dia biasanya mengetuk pintu.
Marna menarik napas dan menyiapkan sebuah senyum sebelum membuka pintu, "Iya, aku siap."
"Ya sudah," Tyl tersenyum simpul.
Marna tidak mengerti arti senyum itu. Dia merasa jantungnya seperti tertusuk melihat senyum tersebut. Ada yang aneh, entah pada Tyl atau pada dirinya.
"Halo Marna," sapa suara yang dikenal Marna saat dia keluar dari kediaman Oemmar. "Aku ingin bilang lama tidak berjumpa, tapi kita baru berjumpa seminggu yang lalu."
"Eh?" Marna menatap heran Gubernur Wijja yang menyapanya, didampingi si genit Trunce.
"Kau tidak ingat denganku?" tanya Gubernur Wijja sembari tersenyum lebar memamerkan gigi-giginya yang putih rapi. Melihat itu, Marna pun tersadar.
"Arden?"
"Haha, kau tidak tambah tua ya?" Arden tertawa kecil melihat kebingungan di wajah Marna.
"Yha, kau tau sendiri," jawab Marna sambil tersenyum kecil.
"Kau tetap cantik seperti minggu lalu," sapa Trunce sembari mendekati Marna.
"Hentikan Ranga…" Geram Arden pada Trunce, atau Ranga, "... sebelum kau luka berat dihabisi orang yang selalu mengalahkanku dalam pertarungan dulu."
"Haha…," Marna tertawa kecil. Tidak ikhlas dan ragu tentunya. Dia ragu Tyl akan melakukan itu. Tidak ada artinya juga jika dilakukan oleh rekan paktanya.
"Hmmm, tapi sepertinya wanita cantik ini sedang ragu," sangkal Ranga pada Arden.
Di kepala dan telinga Marna, menyebutnya sebagai Ranga terdengar lebih enak dibandingkan Trunce. Nama Ranga sepertinya cocok dengan tingkah makhluk ini. Lucunya, dia justru menatap Marna sembari mengatakan apapun itu yang dikatakannya barusan.
"Intinya jangan menganggu perempuan sembarangan," keluh Arden pada si genit.
"Tapi," Ranga berbalik menghadap Arden memprotes, "tidak seperti kau yang menemukan pasanganmu, aku… bagaimana aku bisa mendapat jodoh tanpa mendekati wanita?"
"Perbaiki sikapmu!"
Marna tersenyum melihat kedekatan mereka, "Kalian sudah berteman lama ya?"
Arden menepuk-nepuk pundak Ranga, "Kami terikat pakta, seperti kau dan Tyl."
"Eh?"
"Aku seorang penyambung roh," kata Ranga pelan tetapi cukup keras untuk didengar Marna.
"Ah, pantas saja."
Sekarang masuk akal di kepala Marna mengapa dia tidak menyangka Ranga adalah penyihir. Para penyambung roh memang sulit dideteksi karena kekuatan mereka datang dari pinjaman-pinjaman kekuatan oleh para roh-roh alam dan elemen. Hanya pada saat dipinjamkan itu lah mereka baru mengeluarkan aura layaknya penyihir lain.
"Jadi kau akan ikut ke Rigran?" tanya Marna pada Arden yang selalu tampak tenang. Ekspresinya memang hampir selalu kelihatan dingin, tetapi dari cerita Tyl dulu dia langsung menikah begitu lulus akademi. Mungkin dia memang tipe yang romantis walaupun gaya dan ekspresinya seperti itu.
"Tidak," Arden menggeleng, "tidak baik bagiku untuk terlibat langsung, tetapi aku menyatakan dukunganku untuk membawa Lina kembali ke Dewan Penasihat. Aku akan tetap mengirimkan sebagian pasukanku dan juga Ranga."
"Yha, kau memiliki tanggung jawab pada masyarakatmu," Marna mengangguk ringan.
"Sebenarnya lebih dari itu," Arden tersenyum. "Ah, tapi itu untuk nanti."
Mereka mengucapkan perpisahan setelah itu. Di saat Marna berbalik, dia melihat Tyl tersenyum kecil padanya. Senyum kecil yang menemani raut kesedihan di wajah itu membuat Marna merasa tidak nyaman. Seperti ada yang ditutupi Tyl. Seperti ada sesuatu yang ingin dia sampaikan tapi enggan dikatakan. Mungkin itu yang dimaksud orang-orang sebagai senyum pahit.
Marna heran. Entah hal apa pada dirinya yang membuat teman masa kecilnya sampai seperti itu. Sedikit benak Marna merujuk pada tingkah dirinya belakangan ini. Namun sama sekali tidak masuk akal jika itu melukai Tyl. Karena dia sendiri yang bilang dia ingin membantu Lina dan tidak peduli jika Marna atau dirinya terluka. Dasar aneh.
Lucunya, jantung Marna ikut sakit setiap pikiran itu muncul.
Mereka berangkat tidak lama kemudian, bersama dengan pasukan yang dikirimkan Oemmar serta yang dititipkan Gubernur-Gubernur lain. Kerajaan Baradim memiliki otonomi daerah pada provinsi-provinsi tertentu.
Kalau tidak salah, menurut penjelasan Tyl dulu, bentuk Kerajaan Baradim mirip seperti serikat atau persekutuan dari kerajaan-kerajaan kecil. Tiap-tiap kerajaan itu menjadi daerah-daerah pemerintahan yang dipimpin Gubernur dan memiliki pasukan sendiri. Jika keadaan menjadi genting, misal dalam perang, seluruh Gubernur harus menggerakkan pasukannya sesuai permintaan Raja.
Marna merebahkan tubuhnya di atas tumpukan kotak di kereta yang mengangkut barang-barang perlengkapan. Dia masih merasa bingung. Bergerak membawa pasukan seperti ini malah terlihat macam mencari ribut. Entah. Mungkin memang itu yang dicari Oemmar dan Lina. Politik memang mengherankan. Sangat, sangat mengherankan.
Perlu beberapa hari bagi mereka untuk bisa mencapai ibukota. Kira-kira separuh siklus bulan. Sepertinya salah satu alasan mengapa mereka tidak berangkat buru-buru adalah menunggu lewatnya bulan mati. Lebih mudah melindungi diri saat malam jika keadaan langit relatif lebih terang.
Malam itu Marna berbagi tenda dengan Lina. Mimpi buruk Marna semakin parah sampai membuat Lina sampai membangunkannya. Menurut mantan Penasihat Muda itu, Marna sampai mengerang seperti disiksa, bukan mengigau. Marna juga tidak yakin mengapa. Mimpi buruknya benar-benar aneh. Seperti kejadian-kejadian acak tidak jelas. Namun dia tahu itu mengerikan dan membuatnya tertekan.
Siang harinya Marna menghabiskan waktunya bermalas-malasan di atas kereta barang. Tyl tidak tampak sejak mereka berangkat, entah di mana dia. Mungkin sibuk dengan Oemmar, atau mungkin Lina. Walaupun dugaan itu aneh, karena Lina terkadang mengunjungi Marna.
Lucunya, gadis itu tidak mengalami mimpi buruk kalau tidur di siang hari. Mungkin itu ada hubungannya dengan sinar mentari yang menghalangi kegelapan di sudut-sudut hatinya, atau mungkin saja itu hanya khayalan Marna. Saat dia tidur di siang hari, tidurnya lebih pendek. Mungkin karena itu dia tidak mengalami mimpi buruk.
Pada malam kedua, mereka menginap di sebuah desa bernama Dyon. Sampai hari ketiga pun mereka belum menemukan masalah besar. Mungkin saja ada masalah-masalah kecil yang dihadapi Oemmar, Lina, atau Tyl. Akan tetapi, tidak cukup untuk menghentikan perjalanan mereka.
Marna sendiri tidak tahu harus merasa bagaimana dengan menghilangnya Tyl. Dia kesal teman masa kecilnya tidak muncul-muncul. Masalahnya, di saat bersamaan dia juga ragu mereka bisa berbincang lancar. Selain itu Marna juga sama sekali tidak mampu merasakan keberadaan Tyl.
Sepanjang masa yang telah mereka lalui setelah membuat pakta, Marna tidak pernah merasa begini. Biasanya dia bisa merasakan keberadaan Tyl pada radius tertentu, walaupun dia tidak bisa menentukan lokasi tepat kesatria bayaran tersebut berada. Kali ini berbeda. Dia tidak mengerti mengapa, segalanya terasa hampa.
Marna menemukan Tyl duduk sendirian di depan sebuah perapian pada malam ketiga. Untuk pertama kalinya dalam tiga hari, dia melihat rekan paktanya. Lucunya, dia masih tidak bisa merasakan keberadaan Tyl walaupun orang itu jelas-jelas ada di depannya.
Tentu saja Marna tidak membicarakan soal keberadaan fisik, tapi seperti keberadaan mental. Seberapa dekat pun mereka berada secara fisik, dia seperti kehilangan kontak mental dengan Tyl. Mungkin sumber semua ini adalah tingkah dan keragu-raguan sang penyihir.
Marna terdiam sejenak, sebagian hatinya seolah menginginkan untuk berbicara dengan Tyl, tetapi ada sesuatu yang menghalanginya untuk melakukan itu. Marna hanya mampu memandang dari jauh, melihat Tyl yang duduk sendiri membaca buku. Entah buku apa.
Rekan paktanya selalu begitu, sibuk membaca seolah mencari-cari informasi yang tidak kunjung bisa memuaskan dirinya. Seolah dia mengharapkan sesuatu yang besar dari semua bacaannya itu. Membaca kan seharusnya santai.
------
*Persetan jika dia terluka*
------
Kata-kata itu kembali terngiang di benak Marna. Padahal dia nyaris saja melangkah mendekati Tyl. Kini, kakinya kembali terhenti. Dia merasa bodoh. Sangat bodoh. Kalau memang Tyl tidak peduli padanya, atau beralih hati, memang apa masalahnya? Mereka sudah bersahabat sejak kecil. Hal yang wajar jika mereka berbincang walau hanya sebentar.
"Tyl..,." Marna melangkah dengan ragu. Rasanya aneh, aneh sekali. Aneh dan canggung seolah mereka tidak terlalu kenal satu sama lain selama tujuh belas tahun.
"Hai," Tyl tersenyum kecil pada gadis yang kini duduk di sebelahnya itu, "Ada apa?"
"Tidak ada," Marna menggeleng. Kemudian sepi. Hening. Hanya bunyi retakan-retakan kayu terbakar api dan halaman yang dibalik terdengar di antara mereka. Marna tidak begitu ingat siapa di antara mereka yang sering memulai percakapan, atau bagaimana mereka biasanya bercakap. Semuanya terasa samar-samar dan asing.
"Kau bisa tidur nyenyak belakangan ini?" Tyl memecah kesunyian di antara mereka berdua.
"Eh, iya, sepertinya. Mungkin," Marna menjawab dengan canggung. Dia tidak yakin kenapa Tyl menanyakan pertanyaan macam itu. Sepertinya penyihir itu seharusnya tahu alasannya, tapi semua terasa begitu samar-samar.
"Ah, iya."
Hening. Lagi. Marna mencoba menerka-nerka kata-kata apa yang seharusnya diucapkannya. Namun, dia selalu gagal. Dia tidak terlalu yakin hal apa yang biasa mereka bincangkan. Di saat yang sama dia juga tidak begitu yakin kalau mereka sering berbincang-bincang.
"Aku rindu masakanmu," Tyl berbicara lagi. Kali ini sesuatu seperti menghantam isi kepala Marna, tapi dia tidak tahu apa.
"Eh, iya, aku...."
"Sudah jangan paksakan dirimu," sela Tyl sambil membaca buku tebal di tangannya. "Sekarang mana bisa. Nanti saja setelah ini semua selesai," si jangkung kembali tersenyum pada Marna. "Walau hanya sekali saja, untuk terakhir kali, tidak apa-apa."
"Iya, mungkin."
Bukan. Bukan hal itu yang seharusnya dikatakan Marna. Ekspresi wajah Tyl membuktikan hal itu. Terkejut. Tyl tampak sedikit terkejut, Marna bisa menangkapnya. Dia sepatutnya mengatakan hal lain. Namun, sekali lagi gadis itu tidak bisa menggali lebih dalam ke hatinya.
"Hei," Tyl menunduk melemparkan sebuah batang kayu ke perapian di hadapan mereka. "Kau ingat?" Dia menoleh ke langit berbintang, "saat kita mengerjakan misi untuk membantu para arkeolog ke situs kuno? Waktu itu kita bersemangat sekali karena kemungkinan bisa mendapat informasi tambahan tentang sihir dan paktanya. Aku ingat, posisi bintangnya mirip seperti ini."
"Eh?" Marna tersentak. Dia mencoba menggali ke dalam ingatannya. Dia kembali tidak bisa menemukan apapun. Dia sama sekali tidak tahu apa yang dibicarakan Tyl. Kalau kesatria bayaran itu ingat, dia juga harusnya ingat.
"Oh, kau tidak ingat?" Tyl melihat Marna dengan agak terkejut dan kecewa. Dengan cepat dia menyembunyikan itu dengan sebuah senyuman yang tidak disukai Marna. Tyl tersenyum pahit, "Sudah-sudah, tidak apa-apa."
Kejadian itu kembali terulang. Tyl mengulurkan tangannya untuk menepuk-nepuk kepala Marna. Sekali lagi, Marna menarik dirinya secara refleks. Dia tidak tahu mengapa. Mungkin dia takut tanpa tahu apa yang harus ditakuti. Hanya saja, wajah Tyl di saat itu membuat hati Marna serasa begitu hampa. Dia tidak bermaksud seperti itu. Dia tidak pernah bermaksud membuat Tyl terluka. Dia…
Secepat ekspresi itu muncul, secepat itu pula menghilang. Tyl mendadak teralih dan memandang jauh ke dalam hutan dengan serius. "Beri peringatan pada Lina dan Oemmar, ada yang mengawasi kita dari hutan, mungkin Mawar Ilusi," sang kesatria bayaran langsung berdiri dan berlari ke dalam hutan. Marna hanya bisa menatapnya pergi. Apa yang harus dia lakukan? Apa yang biasanya dia lakukan? Bukankah dia seharusnya pergi bersama Tyl?
"Tyl! Tunggu...."
"Maaf nona cantik, tapi kau harus berhenti," mendadak muncul Ranga di hadapan Marna. Dia berdiri menghadap hutan, tangan kirinya terentang menghalangi pergerakan Marna.
"Minggir," Marna berkelit ke samping dan bersiap berlari ke arah Tyl.
"Kau begitu ingin membunuhnya? Apa dia menyakiti hatimu?" Ranga menyeringai sinis.
"Mana mungkin aku melakukan itu," Marna menggeram, warna kemerahan mulai melapisi pandangannya. "Aku akan menolong Tyl. Melindunginya."
"Dalam kondisimu," jawab Ranga tenang walau masih sinis. " kau akan membunuhnya."
Marna terdiam. Dia tidak bisa menelaah apa yang dimaksud oleh penyambung roh satu itu. "Untuk sekarang, kau peringatkan Nona Myssafir dan Gubernur Shiban. Urusan kekasihmu itu, serahkan padaku," lanjut Ranga mengedipkan sebelah mata.
Kemudian dia hilang begitu saja.