Tyl terdiam.
Dia nyaris saja menjadi korban. Anggota Mawar Ilusi itu ternyata membawa peledak. Untung saja mereka meledakan peledak itu di sini, bukan di alun-alun kota. Kesatria bayaran itu juga merasakan perisai yang dikerahkan Marna di saat-saat terakhir.
Lagi-lagi penyihir manis itu menyelamatkannya.
Memang dia tidak akan bisa jauh melangkah tanpa bantuan Marna selama ini. Dia telah salah karena menyangka membawa Marna dalam misi seperti ini akan membahayakan penyihir cantik itu. Sepertinya keadaan justru lebih aman dengan karena gadis tersebut.
"Nanti kubelikan kau kue," Tyl meraih pipinya untuk menghubungi Marna. Dia lega segalanya sepertinya berjalan lancar. Sedikit merayakannya dengan Marna tidak ada salahnya.
Jampi-jampi yang diberikan Mana membuat mereka terhubung secara mental. Meskipun sedang tidak berbicara, Tyl seperti selalu merasakan keberadaan Marna walau tempat mereka terpisah jauh sekalipun. Perasaan itu aneh, tapi jujur saja, Tyl tidak keberatan selama dia bisa memeriksa keadaan dan keselamatan rekan paktanya.
Sepi.
"Hei, Marna, aku minta maaf soal biskuit mentega tadi, nanti kubelikan kau yang banyak."
Hening.
"Sudah ah, jangan mengambek terlalu lama."
Tidak ada jawaban.
Tyl merinding. Dia baru sadar, setelah diberikan perisai tadi dia tidak merasakan apapun.
"Cih!" Tyl mendesis. Beberapa prajurit datang ke tempatnya, mungkin tertarik akibat bunyi ledakan tadi, "Di sini! Mereka sudah kulumpuhkan!"
"Siap!"
Setelah itu dia langsung berlari ke arah alun-alun secepat yang dia bisa. Efek penguat dari Marna sudah menghilang. Mudah-mudahan saja tidak terjadi apa-apa dan rekan paktanya hanya kelelahan. Semoga saja.
Namun, Tyl tidak bisa mengesampingkan perasaan tidak enak ini.
Apa yang sudah dia pikirkan? Dia tahu benar misi macam ini sangat berbahaya, lalu mengapa dia membiarkan Marna ikut? Mengapa dia bergerak terlalu jauh dari Marna? Menghalau mereka tadi saja seharusnya sudah cukup untuk mengamankan Oemmar dan Lina. Berbagai cacian dan makian pun terus Tyl lancarkan pada dirinya sendiri sembari terus berlari.
Publik bersorak sorai, Oemmar dan Lina mendapatkan dukungan yang mereka inginkan sekaligus keamanan yang mereka butuhkan. Misi ini berhasil, tetapi Tyl merasa tidak lengkap. Marna masih tidak membalas.
Tyl datang dari arah barat alun-alun dan toko kue itu ada di bagian tenggara. Susah payah dia menerobos kerumunan orang-orang, menembus barisan yang tengah berbahagia dan bersemangat itu. Sedikit lagi, sedikit lagi dia akan sampai.
Sekilas, tetapi dia melihatnya. Seorang perempuan menggunakan jubah dan kerudung abu-abu indah berjalan keluar dari toko roti. Tyl tidak merasakan hawa apapun darinya, seperti anggota Mawar Ilusi yang diselimuti sihir. Ada yang tidak beres di sini.
Tyl berusaha mengejar perempuan itu, tetapi kerumunan manusia yang terlalu banyak membuatnya sulit untuk bergerak leluasa. Ketika dia mencapai jalan di samping toko kue, perempuan itu menghilang.
"Cih!" Tyl mengumpat dan berlari ke dalam toko kue. Keadaannya sudah berantakan. Semua orang di dalam sana tidak menyadarkan diri, termasuk pemilik dan penjaganya.
"Marna!" Tyl berlari ke sudut tempat Marna terkulai lemas di lantai.
"Marna, bangun!" Dia mencoba mengguncangkan tubuh sahabatnya, tetapi gadis tidak bergerak. Rasa sesal mulai merayapi Tyl. Mustahil. Ini tidak mungkin terjadi. Semuanya salah Tyl. Kalau saja dia tidak seceroboh ini. Marna mungkin... Mungkin…
*
Tyl terduduk diam di samping ranjang. Langit telah gelap, tetapi Marna masih terkulai lemas tak bergerak. Menurut para penyembuh, Marna terkena serangan sihir hitam. Saat ini, Tyl hanya bisa menghantamkan kepalanya ke telapak tangannya dalam penyesalan.
Di kala Marna menyebutkan soal sihir hitam, harusnya dia sadar ada bahaya lain mengancam. Siapapun yang menggunakan sihir itu pasti ada di sekitar mereka. Ketika Marna menghapus sihirnya, maka dia pasti menyadari keberadaan entress itu. Salah. Tyl telah memberikan perintah yang salah.
"Tyl."
Terdengar suara ketukan pintu. Tyl sebenarnya enggan menjawab, tetapi dia tidak bisa mengesampingkan kemungkinan ada hal penting yang harus dibicarakan.
"Masuk."
"Bagaimana keadaan Marna?" sapa Oemmar yang masuk bersama Lina dan Arden, seorang laki-laki tampan, berambut hitam rapi, dan memiliki ekspresi dingin. Dia adalah Gubernur di Wilayah Sirasongi dengan Kota Atraka sebagai pusatnya. Seperti Oemmar, dia juga sahabat Tyl di akademi.
Tyl hanya menggeleng. Dia memang tidak tahu apa yang harus dia lakukan dalam keadaan seperti ini. Dia bukan penyihir atau apapun itu yang bisa membantu Marna. Hal yang bisa dia lakukan hanya menunggu atau meminta bantuan.
"Maaf, ini salah kami," Lina tertunduk, "seharusnya kami lebih berhati-hati.."
"Ini resiko pekerjaan kami," jawab Tyl lugas. Tidak ada yang harus dibahas lagi di sana. Deklarasi sudah berhasil sesuai rencana. Mereka tidak perlu meminta maaf. Itu semua risiko. Risiko yang seharunsya hanya ditanggung Tyl, bukan Marna.
"Aku seharusnya menyadarinya lebih awal," Arden angkat bicara. "Aku melihat Marna di toko kue. Namun saat itu aku lupa...."
"Cukup Arden," Tyl menyela. "Aku yang gagal, bukan kau."
"... seorang penyihir di tempat terbuka macam itu. Dia rentan terkena serangan. Aku… "
"Sudah kukatakan, aku yang bertanggung jawab!" Tyl menghardik.
"... Aku seharusnya memperingatkan Marna," Arden terus melanjutkan kata-katanya. "Aku sekilas melihat orang itu ketika tiba di gerbang Nadem. Namun aku dan Ranga justru tak mengacuhkannya karena kami merasa salah lihat."
"Orang itu… maksudmu?" Lina menoleh pada Arden dengan heran.
"Orang yang mirip Sria, Sria Myssafir."
"Mustahil," Lina tersentak tidak percaya. Begitu juga dengan Oemmar dan Tyl. Seorang Penasihat Kerajaan menyelinap begitu saja ke Nadem. Bagaimana bisa mereka begitu ceroboh?
"Hei," Tyl menatap Arden, "baju apa yang dia kenakan?"
Arden mengerutkan dahinya dan menutup mata, "Tidak terlalu jelas, tapi dia menggunakan jubah dan kerudung berwarna abu-abu."
Tyl membelalak. Itu pakaian yang sama dengan wanita yang meninggalkan toko kue. "Kau tidak pernah bilang keluargamu memiliki darah penyihir," Tyl menatap Lina dengan penuh pertanyaan dan protes.
"Penyihir?"
Lina tampak bingung dengan tuduhan itu. Tyl tidak sembarang menuduh, ada hipotesa kuat di belakang itu. Gadis itu bertanya dengan heran, "Apa maksudmu Tyl?"
Tyl menunduk sedikit sebelum menjelaskan, "Ada penyihir hitam yang membantu menyusupkan anggota Mawar Ilusi dan kemungkinan menyerang Marna. Aku melihat perempuan dengan pakaian seperti yang dikatakan Arden keluar dari toko kue sebelum aku menemukan Marna terkapar."
Lina terdiam. Dia tidak mampu menelaah itu semua untuk sesaat. Sampai pada akhirnya dia seolah tersadar walau sepertinya masih berusaha menolak dugaan Tyl, "Sria… penyihir hitam?"
Ketiga laki-laki yang ada di sana menatapnya heran, memang tidak terasa baik atau sopan. Namun, memalingkan pandangan mereka dari Lina justru akan membuatnya seolah seperti pembohong yang tidak bisa dipercaya, menandakan mereka telah meninggalkannya. Masih berani melihatnya mata ke mata, itu artinya mereka menginginkan keterangan.
"Tidak pernah ada sejarah penyihir di keluarga Myssafir, kecuali…," Lina menatap Tyl, "… kecuali jika itu datang dari perkawinan."
Lina menunduk seolah kehabisan akal dan kata-kata, "Maaf, Tyl… Aku…"
"Cukup!" Oemmar menghantamkan kepalan tangannya ke dinding tempatnya bersandar. "Apapun yang terjadi pada kalian adalah salahku."
"Oemmar, sudah hentikan."
"Ini ideku, Tyl! Ini kotaku, wilayahku!" Oemmar menatap Tyl tajam. "Dan mereka telah melukai orang yang penting bagi sahabatku di kota ini. Keamanan kota ini adalah tanggung jawabku. Bukan kau."
"Tapi Marna adalah tanggung jawabku!"
Tyl menghardik keras. Apapun yang dikatakan Oemmar, Lina, dan Arden tidak ada artinya. Yang paling salah tetaplah dirinya.
"Tyl," Arden berjalan cepat mendekati Tyl, nyaris tanpa suara. "memangnya..."
"Kau pikir siapa dirimu?!" Tinju Arden menghantam pipi Tyl tanpa ampun. Arden menarik kerah baju Tyl dan memukulnya sekali lagi.
"Dengarkan aku Tyl," Arden menatap Tyl tajam. Suaranya terdengar bergetar, tetapi penuh ancam. "Jika seorang wanita memutuskan untuk mengikutimu, itu berarti mereka menyadari semua resiko yang ada. Sakit atau senang, jatuh, bangun. Mereka bukan makhluk lemah yang harus kau sangkarkan demi egomu. Jika Marna mau mengikutimu seberapa berbahayanya rintangan di hadapanmu, itu karena dia menyayangimu. Dia mau bersamamu. Dia mau melindungimu juga, bukan hanya dilindungi. Hargai itu."
"Dia bukan hanya tanggung jawabmu, dia juga berhak bertanggung jawab atas pilihannya sendiri," lanjut Arden melembut sembari melepaskan Tyl.
Tyl hanya bisa terdiam. Dia tidak bisa berbicara, ataupun berpikir. Segalanya terasa kosong. Dia tidak tahu harus berkata atau bertindak bagaimana. Kata-kata Arden menghantamnya begitu kuat, jauh lebih kuat daripada pukulan yang dia lancarkan.
*Aku bisa membuat roti dan kue, kita buka toko roti dan kue saja.*
*Mungkin di Krisnam, kau bisa jadi instruktur di akademi.*
Kata-kata Marna kemarin kembali terngiang. Setiap kata-kata yang dikatakan dengan penuh ketulusan itu justru terasa menyakitkan di dada Tyl.
*...tapi kau bisa mengunjungiku sekali-sekali.*
*Untukku, itu sudah cukup. Sudah jauh lebih dari cukup.*
Tyl menutup wajah dengan kedua tangannya. Seluruh kata-kata yang diucapkan dengan manis itu justru seperti mengoyak-ngoyak hatinya. Kata-kata itu, seharusnya... Seharusnya…
"Tidak apa-apa," tinju Arden menghantam pelan kepala Tyl dari atas. "Kau sering melihatku dan Oemmar menangis frustrasi karena kalah. Sekali-sekali tidak masalah posisi itu berganti."
Memang sedikit, tetapi rasa sakit yang sedikit itulah yang dibutuhkan Tyl untuk meluapkan perasaannya. Tyl terisak, matanya terasa panas dan air mata membasahi pipinya.
"Tyl…," kata Oemmar beberapa saat kemudian setelah Tyl berhenti meluapkan emosinya, "... Kau tidak harus melanjutkan misi ini."
Tyl terdiam tidak menjawab untuk sesaat. Dia menarik napas dalam, menenangkan dirinya.
"Aku ingin menolong Lina," jawab Tyl. "Itu yang dikatakan Marna padaku. Persetan jika dia terluka atau aku harus tewas. Akan kuhormati keputusannya itu."
Dia menatap Oemmar tajam, "dan kau akan membayar upahnya."
"Hoo…," Arden berkomentar dengan suara sinis, "sifat mata duitanmu tidak pernah hilang."
"Marna mau membuka toko kue dan roti," balas Tyl acuh tak acuh. "Aku hanya ingin memenuhi mimpinya itu."
Arden menatap Tyl dengan serius. Dahinya berkerut saat bibirnya bertanya, "Sejak kapan kau jadi romantis?"
"Diam kau, rubah licik!"
"Hei, aku dapat diskon ya?" Oemmar ikut menggoda.
"Mau kudiskon jenggotmu?!"
"Aku jadi ingin belajar membuat kue dari Marna," sambung Lina mengakhiri.
Mereka berdiskusi sedikit setelah itu dan Oemmar menyatakan mereka akan berangkat lima hari dari sekarang menuju ibukota Kerajaan Baradin, Rigran. Malam itu Tyl masih menunggui Marna yang tidak kunjung bangun. Mungkin ada kutukan tertentu yang menghantui tukang jampi-jampi itu, tetapi Tyl tidak tahu apa. Dia hanya bisa berharap dan menunggu.
"Nngh..."
Menjelang subuh kedua setelah dia pingsan, Marna mengeluarkan suara.
"Marna?" Tyl memanggil, berusaha menyadarkan gadis itu.
"Hnngh… di mana aku?!" Marna mendadak tersentak bangun dan terduduk begitu saja. "Deklarasinya, deklarasinya?"
"Di kediaman Oemmar, deklarasinya juga lancar," jawab Tyl lega. Dia senang sekali akhirnya sahabat masa kecilnya itu membuka mata. Lucunya gadis itu masih saja teringat tugas mereka dua hari lalu. "Sudah, sudah, sana istirahat lagi, " Tyl tersenyum sembari berusaha meraih kepala Marna untuk ditepuk-tepuk pelan.
"Eh?"
Tyl tidak mengerti mengapa. Marna justru menarik dirinya dari gerakan Tyl. Dia menatap Tyl dengan sangat aneh, seperti ketakutan atau semacamnya. Gerakan menghindar itu memang kecil. Namun melihat itu dan ekspresi Marna, hati Tyl terasa seperti ditusuk belati tajam.