"Elang satu, elang satu, pada elang dua, ganti."
[Iya, iyaa aku dengar.]
"Elang satu, elang satu, pada elang dua, ganti."
[Iya, iya elang dua dengar, ganti!]
"Elang dua, tolong belikan elang satu kue terang bulan, ganti."
[Mana ada dagang terang bulan di siang bolong begini!]
Marna terkekeh puas mendengar gerutuan Tyl yang masih mengomel di kepalanya. Dia memang menggemaskan kalau menggerutu dan mengomel tidak jelas seperti itu. Sebenarnya, memang ini salah Marna karena iseng menggunakan kemampuan komunikasi yang baru disadari mereka berdua tadi malam.
Kejadiannya juga lucu, terjadi saat gadis itu kebingungan ingin memasak apa dan mendadak terdengar jawaban dari Tyl. Setelah itu mereka tidak bisa melakukannya lagi sampai pada akhirnya mereka berdua mengetesnya berkali-kali setelah makan malam. Mereka sadar kalau kejadian tadi malam bukan hal yang pertama terjadi. Sayangnya, hal seperti itu memerlukan saat-saat di mana mereka berdua siap menerima dan membuka pikiran satu sama lain.
Oleh karena itu, Marna sedikit mengganti mekanismenya dengan memasangkan jampi-jampi pada diri mereka berdua. Untuk menghindari pikiran-pikiran yang tidak penting sampai terdengar, pengiriman pesan hanya bisa dilakukan bila si pengirim menyentuh tulang pipi mereka dengan dua jari. Marna cukup senang melihat kekuatannya entah bagaimana bertambah. Jangan-jangan ini ada hubungannya dengan kepercayaan Tyl dalam melibatkan dirinya.
Atau mungkin, ini kekuatan cinta!
[Marna, aku dengar isi kepalamu…]
"Dasar tukang menguping!" balas Marna cepat. Dia baru sadar sedari tadi dia masih meletakkan telunjuk dan jari tengah tangan kanannya di tulang pipi.
[Salahmu sendiri. Sudah, fokus pada misi ini.]
"Iyaa, iyaaa."
Marna berhenti menganggu Tyl yang berpatroli. Hari ini Oemmar akan mendeklarasikan perlindungannya pada Lina, sementara Sang Mantan Penasihat Muda akan melakukan deklarasi bahwa dia akan kembali ke Dewan Penasihat atau semacamnya.
Marna tidak terlalu mengerti, biarlah yang mengerti politik dan apapun itu melakukan tugas mereka. Tugasnya ya membantu Tyl untuk melindungi kedua orang itu. Dari tiga orang pembunuh bayaran yang mereka tangkap, tidak ada yang mau membuka mulut.
Akan tetapi, Oemmar menemukan tato Mawar Ilusi. Kelompok bayaran yang sangat berbahaya menurut ketiga lulusan Akademi Krisnam. Kelompok itu mampu melakukan berbagai misi termasuk pembunuhan, pencurian, dan spionase. Mereka juga sangat handal.
Massa mulai berkumpul di alun-alun kota Nadem, para Mawar Ilusi mungkin menyelinap di antara mereka. Menurut Tyl, tidak mengherankan kalau mereka beralih dari berniat melakukan pembunuhan ke melakukan tidak terorisme. Apa saja mungkin terjadi. Oleh karena itulah mereka bedua diperlukan, apalagi dengan kemampuan berkomunikasi yang baru mereka sadari.
Marna duduk di toko kue yang menghadap alun-alun. Dia senang mereka memiliki uang yang cukup baginya untuk membeli kue-kue manis. Namun, bukan itu yang penting. Lokasi ini sangat strategis bagi Marna. Karena hampir seluruh alun-alun tampak dan juga dia bisa menjangkau sebagian besar prajurit yang berjaga-jaga dari lokasi ini.
Akan tetapi, Marna tidak bisa mengingkari hatinya. Tentu saja yang lebih penting adalah kenyataan bahwa toko kue ini memiliki tempat duduk yang nyaman dan kue yang enak. Tehnya juga luar biasa wangi. Kalau tidak salah pemilik toko bilang daun tehnya dari dataran tinggi Masrah, selain itu cara diseduhnya juga spesial.
[Elang dua pada elang satu, jangan terlalu asik makan kue.]
"Tapi teh ini membantu konsentrasiku," jawab Marna cemberut.
"Konsentrasi nenek moyangmu?" gerutu Tyl ternyata ada di depan Marna untuk merampas tiga keping biskuit mentega lembut, menelannya dan menghabiskan secangkir teh yang baru saja akan dinikmati Marna.
"Hiks."
"Sana konsentrasi," sang kesatria bayaran menggeram menyatakan titahnya sambil menuangkan teh untuk Sang Penyihir. Setelah itu dia pun keluar dari toko roti dan menghilang. Seperti hantu saja.
Marna menarik napas dalam. Sebentar lagi deklarasi akan dimulai. Dia segera memusatkan pikirannya dan menyalurkan kekuatannya ke beberapa tiang lampu, patung, dan pilar pagar beton di sekitar area itu yang sudah diberinya jampi-jampi.
Dari sana dia menyebarkan efek penajam indera pada pasukan yang berjaga-jaga di sekitar benda-benda itu. Ada sekitar seratus lima puluh prajurit yang mampu dicapainya. Jumlah yang cukup banyak, tetapi masih bisa dia tangani. Kalau hanya menaikkan ketajaman indera, lima ratus pun dia rasa masih sanggup. Oemmar tidak berani mengatakan pada prajurit yang terlibat bahwa mereka akan diperkuat seorang entress. Bukan hal yang aneh sebenarnya, Marna cukup maklum.
Kini dia hanya bisa berharap para prajurit itu dapat memanfaatkan tambahan ketajaman indera ini untuk memantau situasi dengan lebih seksama. Tidak semua orang menyadari penajaman indera itu, terlebih lagi bisa memanfaatkannya seketika. Bagaimanapun juga, ini taruhan yang harus mereka ambil.
Penyihir itu juga memanfaatkan benda-benda yang sudah dipasangi jampi-jampi itu untuk mengecek keadaan. Mereka berfungsi sebagai semacam perpanjangan indera Marna. Jika ada yang mencurigakan lewat, maka dia akan sadar.
Dia tidak perlu mendengarkan semuanya, hanya perlu merasakan niat membunuh itu. Memang, orang-orang yang terlatih sebagai pembunuh bayaran bisa menyembunyikan niat membunuh mereka. Untungnya, hanya dari manusia biasa. Tukang jampi-jampi macam Marna memang jauh lebih sensitif mengenai niatan-niatan terselubung macam ini.
"Maaf," seorang laki-laki mendadak menyapa Marna. Dia berambut cokelat panjang klimis, cukup tampan, dan juga mengenakan baju mewah dengan sedikit bagian-bagian lempeng besi di beberapa tempat. Jelas sekali seorang bangsawan.
"Melihat wanita cantik seperti Anda duduk di sini sendirian," katanya lagi dengan nada suara mencoba menggoda. Mencoba, karena Marna tidak tertarik sama sekali. "Boleh saya menemani anda?"
"Terima kasih," Marna tersenyum simpul. "Tapi saya sudah menikah, dan…," senyuman Marna berubah mengancam, "... dia cukup pencemburu. Sangat pencemburu."
"Oh, ya?" Bangsawan itu menatap Marna menantang. "Apa kau ya…."
"Tuan Trunce," Seorang bangsawan lain muncul dari pintu toko kue. Dia tampan, jauh lebih tampan daripada Trunce tetapi wajahnya terkesan datar dan dingin. Rambutnya hitam, pendek, dan rapi. Dia juga berpakaian bangsawan. Hanya saja, bajunya terkesan seperti baju yang dikenakan Oemmar, "Saya yakin tujuan kita ke sini adalah bertemu Gubernur Shiban."
"Ah, maafkan saya, Gubernur Wijja," bangsawan bernama Trunce itu berbalik pada Wijja. Berbeda dengan Trunce yang memancarkan kesan tidak menyenangkan, Wijja memancarkan kesan menenangkan. Seperti seorang pemimpin. Tentu saja, dia itu Gubernur. "Tapi melihat wanita secantik ini, saya…."
"Tuan Trunce," Wijja tidak mengubah nada suaranya, tapi jelas terdengar mengancam.
"Baiklah," Trunce menghela napas, lalu berbalik menghadap Marna. "Sayang sekali."
"Untung sekali," Marna menyeringai menyindir pada Trunce yang berbalik keluar dari toko itu.
Sementara Trunce sudah menghilang, Wijja melihat sebentar pada Marna. Entah mengapa dia seperti menyadari sesuatu dan tersenyum kecil, "Mohon maafkan kelakuan Tuan Trunce." Setelah itu dia menunduk sedikit dan bergerak keluar dari toko kue menuju gedung kantor gubernur.
Marna tidak terlalu yakin mengapa dia tersenyum seperti itu, selain itu wajah dan namanya sepertinya familiar. Marna sepertinya mengenalnya. Namun mengingat dia itu Gubernur, mungkin hal yang lumrah jika dia merasa familiar. Bisa saja Marna dan Tyl pernah lewat di wilayahnya.
Ah biarlah orang-orang aneh ini, ada misi yang masih harus dikerjakannya. Nanti Tyl mengomelinya lagi kalau dia tidak fokus.
Marna menyeruput tehnya dan menyentuh kitab di meja tempatnya menikmati teh dan kue. Dia sengaja menyampul kitab itu dengan sampul yang manis supaya lebih tampak seperti buku catatan curahan hati dibanding buku sihir. Kitab yang mereka temukan tiga tahun lalu itu tidak hanya berisi catatan-catatan tentang penggunaan jampi-jampi. Namun juga sebagai penguat sihir Marna.
Di luar, orang-orang sudah sangat ramai. Sebentar lagi Oemmar dan Lina akan muncul ke publik. Oleh karena itu, Marna memulai aksinya. Dia memusatkan konsentrasinya pada area di sekitar dirinya, di sekitar Tyl yang terus bergerak, dan di sekitar titik-titik benda yang sudah diberinya guna-guna. Sejauh ini belum ada apa-apa. Padahal seharusnya kesempatan mereka menyerang itu paling besar pada saat Oemmar baru muncul.
Baru saja Marna berpikir begitu, sebuah niatan buruk dirasakannya datang dari area tidak terlalu jauh di timur laut. Para penjaga sepertinya tidak menyadari orang ini. Marna tidak membuang waktu dan segera menyedot energinya sekaligus memberinya jampi-jampi agar keberadaannya selalu disadari. Seketika itu juga, para penjaga pun meringkus orang itu.
Marna tetap melanjutkan pemeriksaannya akan area tersebut. Dia mendeteksi tiga orang lainnya, tapi untungnya hanya satu yang harus dia jampi-jampi. Dua sisanya diringkus aparat dengan cepat.
Di luar riuh sekali, tampaknya Oemmar dan Lina sudah menunjukkan diri mereka. Marna mengerahkan pikirannya. Ini saat-saat paling krusial. Anehnya, dia gagal merasakan siapapun di sana. Ada yang tidak beres di sini. Apa mungkin memang semuanya berjalan lancar-lancar saja?
[Berapa yang kau temukan?]
"Empat, tapi mereka tidak terlalu dekat dengan alun-alun."
[Hei… apa mungkin ada sihir yang bisa membuatmu menyembunyikan diri?]
"Penyihir hitam bisa melakukannya," Marna menegak teh.
[Marna… coba deteksi jika ada yang menggunakan sihir di sini.]
"Maksudmu apa?" Marna tidak mengerti. Kalaupun ada yang menggunakan sihir di sini itu pasti penyembuh atau peramal. Tyl seharusnya tahu itu.
[Hanya perkiraanku saja, mungkin ada penyihir hitam yang membantu mereka? Mungkin kau lumpuhkan saja semua aliran energi sihir di sini.]
Marna nyaris menyemburkan tehnya. Tyl benar, kalau ada penyihir hitam yang membantu mereka, akan sangat sulit mendeteksi hawa membunuh itu, bahkan bagi Marna. "Kalau aku melakukan itu nanti semua penyembuh dan peramal bisa kena imbasnya kan?" tanya Marna memastikan.
[Jumlah mereka kan sedikit.]
"Kau mau tanggung jawab kalau kulumpuhkan mereka semua sebelum kalian periksa?"
[Hmmm… kau ada ide?]
"Tidak tahu," Marna menghela napas, waktu deklarasi semakin dekat. Keadaan sudah gawat.
[Hei… jangan cari yang tampak, coba cari sesuatu yang sepertinya tidak bisa kau rasakan….]
"Maksudmu?"
[Sesuatu yang tampak secara fisik, tapi benar-benar mustahil dirasakan melalui cara lain.]
"Ah, aku mengerti!"
Marna kembali menyebarkan kesadarannya. Ada satu cara melakukan itu. Mungkin agak melelahkan tapi dia bisa mengecek perbedaan yang dirasakan benda-benda berjampi-jampi dan yang terlihat atau terasa oleh para penjaga. Menyebalkan memang, tapi mau tidak mau dia harus bisa melakukannya. Kalau tidak, nanti Lina bisa terkena bahaya.
Perlu sedikit waktu bagi Marna untuk menyesuaikan keadaan, tapi perlahan dia mulai bisa menemukan target-target yang dimaksudkan Tyl. Yang jadi masalah adalah dia tidak bisa mengungkap mereka kepada para penjaga seperti tadi. Dia akan kehilangan jejak mereka begitu dia memfokuskan kekuatannya untuk mengusik salah satu dari orang-orang bayaran itu.
Orang keenam, ketujuh, kedelapan terdeteksi. Keringat dingin mengucur di pelipis Marna. Oemmar memulai deklarasinya, masyarakat mendengar dengan antusias. Akan sangat sulit bagi para prajurit untuk menyadari orang-orang ini. Masalahnya sekarang, sebagian dari mereka sudah dekat dengan lokasi Oemmar. Tiga dari mereka bahkan bersiap menaiki bebangunan, mereka mau menembak!
[Marna! Hilangkan sihir yang melingkupi mereka..]
"Eh?"
[Lakukan dengan sedikit 'percikan'.]
"Baik!" Marna mengerti sepenuhnya maksud Tyl. Rasa lega menyelimuti Marna. Dia ingat, dia tidak pernah sendiri. Tyl... Tyl selalu ada. Dia tidak boleh mengacaukannya. Dia tidak mau mengecewakan sahabatnya itu. Lebih penting lagi, dia tidak boleh membiarkan Lina terluka.
Tanpa ragu Marna memusatkan pikirannya pada kedelapan orang itu dan menghapus sihir apapun itu yang menyelimuti mereka. Dengan sedikit 'percikan' seperti pesanan sahabat masa kecilnya.
Masyarakat bersorak-sorai. Di saat yang sama Marna merasakannya, para prajurit menyadari keberadaan para penyusup. Namun di tengah keadaan seperti ini, akan agak sulit bagi mereka untuk menangkap target-target itu.
Marna menarik napas dalam dan menutup matanya, memfokuskan konsentrasinya pada orang-orang berniat buruk itu. Ketika matanya membuka, Marna menyerap tenaga mereka dan memberikannya pada Tyl.
Keringat dingin mengucur lebih banyak di pelipis Marna, tapi sepertinya mereka sepertinya berhasil diringkus. Tyl pasti senang dengan keberhasilan Marna. Dia akan...
Tyl berlari seperti mengejar sesuatu. Marna berusaha mendeteksinya tetapi gagal menemukan hal yang dicari Tyl. Pergerakan apapun itu yang dikejar mungkin terlalu cepat dan lihai untuk Marna deteksi.
Satu-satunya yang gadis itu bisa lakukan adalah memperkuat dan mempercepat sahabatnya. Berharap sahabatnya bisa menyelesaikan masalah itu. Masalahnya, targetnya lari menjauhi alun-alun. Sangat mengherankan bagaimana Tyl begitu bersikeras mengejar.
Lina memulai pidatonya, masyarakat terdengar sangat bersemangat. Di saat bersamaan, Tyl sampai di salah satu sudut kota, tetapi di saat itu Marna merasakan beberapa hawa membunuh lain muncul di sekitar sahabat masa kecilnya itu.
Dia dalam keadaan bahaya. Marna segera mengerahkan seluruh penguat yang dia bisa pada Tyl sembari berusaha menyedot tenaga lawan-lawannya. Sayangnya, sangat sulit bagi Marna untuk mengunci posisi mereka dari jarak sejauh ini apalagi dalam keadaan mereka tidak bisa diam seperti itu. Namun syukurlah, sejauh ini Tyl mampu mengatasi mereka. Dia memang hebat. Dia pasti bisa jadi instruktur yang baik di akademi nanti.
"Permisi."
Di tengah-tengah masyarakat yang antusias mendengar pidato Lina, seorang perempuan masuk ke toko kue tempat Marna berada. Dia menggunakan jubah abu-abu yang indah, kepalanya ditutup kerudung dari jubahnya sehingga Marna tidak bisa melihatnya dengan jelas.
Konsentrasi Marna pada seluruh kejadian di kota ini teralih akibat perempuan itu. Bukan karena perempuan itu memiliki hawa aneh atau semacamnya. Namun, justru karena Marna tidak merasakan apapun sampai dia tadi masuk bersuara. Ada sesuatu yang mengganjal di sini.
Perempuan itu duduk di sebuah meja dan kursi yang berada di sisi lain ruangan tetapi masih menghadap Marna. Dia membuka kerudungnya dan terlihatlah rambut keperakan panjang yang berkilau indah. Perempuan itu juga cantik, tetapi tampak dingin, sedingin tatapan matanya. Dia tersenyum kecil pada Marna.
[Tidak akan, kubiarkan kalian mengacaukan harapan dan masa depannya….]
Eh, harapan? Harapan siapa?
Sepertinya tadi suara Tyl terdengar di kepala Marna. Dari nada bicaranya dia bukan berbicara pada Marna. Dia tidak sengaja. Di saat itu Marna menyadari dia harus kembali fokus pada rekan paktanya. Semua lawan Tyl berhasil ditundukkan, hanya satu yang tersisa, itupun berhasil ditekannya.
Marna merasakan niat buruk di sana, ada hawa panas akan terlepas. Tanpa sedikitpun keraguan, dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk membuat pelindung pada Tyl.
Publik bersorak-sorai di alun-alun. Namun, rasa takut menyebar menyelimuti Marna. Napasnya terengah-engah, keringat mengucur deras membasahi dahi dan pelipisnya. Penyihir itu nyaris terlambat melindungi Tyl. Apa perlindungan yang dia berikan sudah cukup? Apa dia cukup kuat?
Rasa ragu dan penyesalan merasuk ke dalam hati Marna, belum ada tanda-tanda kehidupan atau apapun dari sana. Hubungannya dengan Tyl seolah terputus begitu saja.
Di saat itu, di masa di mana mungkin dia terlambat menyadari. Marna tersentak. Rasa sakit, keraguan, kesedihan terasa begitu menguat. Panik, takut, seolah mulai menghantamkan efek mereka secara fisik pada Marna.
Bayangan-bayangan kelam di balik tabir ingatannya menyeruak dan menerjangnya bagaikan air bah yang berhasil menembus bendungan yang menahan mereka. Ibunya, rumah yang terbakar itu, orang desa yang marah, dan luka serta nasib Tyl kembali tergambar begitu jelas bagaikan dia benar-benar berada di sana lagi,
Rasa takut dan sakit ini bukan rasa takut biasa. Dia datang dari luar, menguatkan semua emosi negatif di lubuk hati Marna. Arah datangnya dari depan.
Marna pun melihatnya. Perempuan berambut perak itu, matanya bersinar keunguan.
Penyihir hitam....