Tidak.
Seharusnya tidak begini keadaannya.
Marna seharusnya tidak membiarkan hal macam itu terjadi. Namun, semuanya begitu cepat. Tepat di dadanya, Tyl menerima tiga anak panah yang seharusnya mengenai Lina. Andai saja Marna cepat bereaksi atau memberikan tambahan kecepatan pada Tyl sejak awal, hasilnya tidak akan seperti ini.
Hampir pagi. Oemmar sudah memanggil dokter dan penyembuh. Hanya saja, mereka semua memberikan jawaban yang sama. Semuanya tergantung Tyl. Marna mencaci dirinya dalam hati. Anak-anak panah itu beracun, menghalangi regenerasi yang diberikan biasanya penyihir itu berikan untuk sahabat masa kecilnya.
Andaikan…
Andaikan saja Marna lebih kuat daripada ini.
Andai dia bisa memberikan regenerasi yang lebih ampuh.
Andai saja waktu itu dia menjadi seorang penyembuh.
Tyl masih tidak sadar. Bercak darah menghiasi perban yang membalut lukanya. Mungkin kain itu tidak diperlukan lagi karena luka di tubuh kesatria bayaran itu seharusnya sudah sepenuhnya menutup.
Marna menggenggam tangan Tyl erat dan meletakkan dahinya di pertemuan tangan mereka. Dia tidak tahu apa yang dipikirkan Tyl sampai mengorbankan dirinya seperti itu. Hal yang begitu menyebalkan, Marna hanya bisa menunggu dan menitikkan air mata.
"Dasar cengeng…."
Gadis itu tersadar akibat kata-kata yang menyapa telinganya. Dia menoleh pada wajah Tyl dan melihat sahabatnya dari kecil itu sudah membuka mata. Menyeringai lemah.
Marna tidak bisa berkata apa-apa, dia hanya mampu bernapas di saat Tyl menegakkan tubuhnya. Badan penyihir itu terasa lelah. Begitu lemah. Anehnya, air mata justru mengalir lebih deras kali ini, padahal dia seharusnya lega.
"Hei-hei, sudah, sudah."
Walaupun Tyl bilang begitu, tetap saja Marna tidak mampu mengendalikan diri dan luapan emosi dari jantungnya. Dia malah terisak lebih keras. Seiring dengan itu, kesadarannya pun semakin memudar. Tersenyum lemah di balik air mata yang mengalir, dia mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk menepuk-nepuk kepala Tyl lembut sebelum dia akhirnya benar-benar hilang kesadaran.
***
Marna berjalan tanpa arah.
Air matanya sudah lama kering.
Dia tidak bisa menerka kapan dan di mana ini.
Dia hanya tahu berjalan. Terus berjalan.
Ada sosok di sana. Anak laki-laki.
Di hutan ini… siapa dia?
"Hei, kau tidak apa-apa?"
Dia bertanya, tapi Marna tidak mampu menjawab.
Tubuhnya terlalu lemah. Matanya terlalu berat.
***
Marna terbangun di ranjang besar tempat Tyl diistirahatkan semalam. Bedanya, kini dia yang terkulai lemas dan Tyl duduk disampingnya sembari tersenyum lembut. Perban masih menghiasi tubuh laki-laki jangkung itu. Namun, dia tampak sehat dan bugar. Kini justru giliran Marna merasa lemah.
"Hai," sapa Marna, balas tersenyum.
Tyl juga tersenyum manis. Dia tampak lega sekali, "Selamat pagi, Cantik."
Marna memiringkan kepalanya bingung. "Kepalamu terbentur ya?" tanyanya heran sambil mendudukkan tubuhnya di tempat tidur. Gila, rasanya berat sekali.
"Memangnya tidak boleh?" Tyl menghentikan Marna dan mendekatkan wajahnya. Dekat, sangat dekat. Jantung Marna berdegup kencang tidak berirama. Kalau keadaannya seperti ini, dia bisa kehilangan kesadaran lagi.
"Memangnya, aku tidak boleh memuji calon istriku sendiri?"
***
Marna tersentak bangun. Napasnya terengah-engah. Jantungnya masih berdegup tidak keruan. Keringat bercucuran. Tidak ada siapa-siapa di sana. Bagus, dia perlu memastikan kenyataan dulu.
"Aduh!"
Sakit. Rasanya sakit.
"Aduduh!"
Kedua pipinya sakit sekali sekarang. Baguslah, itu tanda dia bukan di alam Mimpi. Marna menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Wajahnya terasa panas sekali. Mimpi macam apa itu? Dia bahkan tidak tahu kalau itu mimpi indah atau mimpi buruk.
Gadis itu bersyukur dia terbangun, kalau tidak dia mungkin akan melihat hal yang mengerikan. Mengingat pakta mereka. Sesuatu pasti akan terjadi kalau itu benar-benar dilakukan Tyl. Marna mungkin meledak di tempat, atau sahabatnya yang meledak di tempat. Mungkin mereka berdua terbakar hidup-hidup dan membumihanguskan seluruh Nadem sebagai efek samping.
Tidak salah lagi. Itu pasti mimpi buruk.
Marna menegakkan tubuh. Mentari sudah bersinar sangat terang. Bisa jadi ini sudah lewat tengah hari. Entah berapa lama dia tertidur seperti itu. Ini jelas bukan hal yang baik. Kalau dia bangun terlalu siang, bisa-bisa Tyl memarahinya.
Untungnya tubuh Marna sudah terasa jauh lebih segar kali ini. Jadi dia bisa bangun. Lagipula orang macam mana yang dapat tidur selama itu tetapi masih lemas? Selain orang jaga malam tentunya. Namun Marna juga masuk kategori berjaga semalaman. Setidaknya itu membuat tidurnya kali ini lebih beralasan. Lagipula, dia tidak sedang mencoba mencari pembenaran. Mungkin.
Marna menemukan sarapan tersedia meja di samping tempat tidurnya, tidak jelas siapa yang menaruhnya di sana. Akan tetapi, hal yang lebih mengejutkan adalah sebuah pakaian baru yang diletakkan di kursi tempat Marna duduk menemani Tyl tadi. Dia tidak sepenuhnya yakin itu untuk siapa. Mengingat bajunya yang compang-camping, serta model baju yang terlihat sederhana tapi menarik itu. Sepertinya itu memang untuk dirinya. Mungkin Tyl yang membelikannya?
Marna bergegas melahap makanannya sembari mengganti bajunya. Tyl tidak ada di sini, kemungkinan dia sedang berdiskusi dengan Oemmar atau Lina. Tidak menutup kemungkinan juga jika sahabatnya itu berkeliaran hanya untuk jalan-jalan. Walaupun berdasarkan tingkah Tyl, rasanya dugaan itu agak kurang tepat.
"Marna, kalau kau sudah selesai bersiap..."
"Ah, Tyl!" Marna menekuk tubuhnya, berpura-pura tentunya. "Kalau kau sudah tidak sabar seperti itu. Setidaknya beri aku kepastian."
Tyl membanting pintu saat keluar dari kamar secepat kilat. Marna dengan tenang tetap makan.
"Hei!" pintu kembali membuka dengan cepat. "Kau kan sudah pakai baju!"
"Memangnya aku ada bilang aku tidak pakai baju?" tanya Marna acuh tak acuh sambil terus makan. Tyl hanya membalas dengan gumaman-gumaman tidak jelas.
"Terima kasih untuk pakaiannya," kata Marna santai. Dia tidak yakin bagaimana caranya, tapi Tyl seperti punya indra keenam dalam membelikan pakaian. Semua Baju-baju yang pernah dibelikan sahabatnya sangat nyaman digunakan dan cukup pas. Selain juga bagus dan membuat Marna tampak lebih cantik.
"Aku sudah dapat bayaran dari Lina tadi, tidak ada salahnya membelikanmu baju," Tyl merebahkan tubuhnya di ranjang.
"Mana?" Marna menyodorkan tangannya.
"Apa?"
"Tentu saja emasnya."
"Kau yakin mau berkeliaran dengan emas sebanyak itu?" Tyl berguling menghadap Marna dan memandangi gadis itu entah dengan alasan apa.
"Hmm, tidak juga sih, terlalu berbahaya," Marna kembali terpusat pada makanannya.
Tyl menghela napasnya dan meletakkan sebuah kantong di meja tempat Marna makan, tetapi posisinya masih terbaring di tempat tidur. "Seribu tujuh ratus lima puluh kuletakkan di rekening bersama kita, seratus kuambil untuk tabunganku, sekitar lima puluh lima kuhabiskan untuk perlengkapan termasuk pakaian barumu, ini sisanya."
Marna mengangguk mengerti. Perlengkapan di kota macam Nadem memang mahal karena kualitasnya lebih bagus. Dia tidak terlalu mempermasalahkan hal itu kalau Tyl memang membutuhkannya. Lagipula mereka sudah punya cukup banyak keping emas sekarang.
Marna memandang Tyl sambil mengunyah makanannya dan menepuk-nepuk kepala laki-laki tersebut dengan lembut.
"Pasti Lina yang mengajarimu…," Tyl menggeram, tapi tidak terdengar mengancam.
"Kau tidak suka?"
"Rasanya nyaman sih. Aku tidur sebentar. Bangunkan kalau kau sudah selesai makan."
Marna hanya menepuk-nepuk kepala Tyl sampai dia tertidur. Dia tidak mau menjawab karena dia tahu dirinya tidak akan tega membangunkan Tyl. Terkadang ada kalanya walaupun sudah berbincang sampai larut malam sekalipun, gadis itu masih tidak bisa tidur.
Di saat-saat seperti itu dia memperhatikan wajah Tyl yang tertidur pulas. Dia tidak tahu kenapa, melihat sahabatnya yang tidur begitu damai membuatnya merasa damai juga. Oleh karena itu, dia tidak pernah tega membangunkan rekan paktanya itu.
*
"Sudah kukatakan, bangunkan aku kalau kau selesai makan," gerutu Tyl sembari bangkit dari ranjang, tampak cemberut di senja indah ini. Namun, tidak apalah.
"Habis, tidurmu nyenyak sekali, aku jadi tidak tega," balas Marna dalam senyuman.
Tyl menghela napasnya lelah, padahal dia baru saja tidur. Cepat sekali dia lelah. "Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu," katanya.
"Aku ikut."
"Memangnya kau tahu aku akan bilang apa?" Tyl duduk di samping ranjang.
Marna tidak peduli dengan pertanyaan Tyl. Tekadnya sangat bulat. Sedikit benaknya masih mengkhawatirkan masa-masa jika sahabatnya terluka parah lagi seperti tadi malam. Akan tetapi, justru itu membuatnya merasa dirinya harus dilibatkan, selain juga karena dia telah berjanji pada Lina. Mungkin, Marna perlu mempelajari trik-trik baru demi melindungi sahabatnya.
"Aku ikut."
Tyl menggeleng menghela napasnya lagi, "Marna kali ini.."
"Aku… ikut," lanjut Marna penuh acam.
"Iya-iya, kau ikut!"
"Horeee!"
"Jadi, kita akan menemai Lina ke ibukota?" Tanya Marna bersemangat.
"Dari mana kau tahu itu?!" Tyl tercengang menatap Marna penasaran.
Marna menyeringai sedikit sambil meletakkan telunjuknya di bibir, "Ra-ha-si-a."
Tyl diam sejenak, Marna bisa melihat dengan jelas beberapa urat di dahinya berkedut keras. Dia menggeleng, "Ya, sudah, kau tidak boleh ikut!"
"Jahaaaaat…." Marna merengek, meraung dalam pekikan nyaring.
"Bilang dulu kau tahu dari mana!"
"Aku tahu kemarin, dari Linaaaaaa...!"
"Ya sudah, jangan menangis!"
"Lalu sebenarnya rencananya apa?" Marna, secepat petir membelah angkasa menghantam bumi, telah berganti dari merengek menjadi tenang. "Aku tidak terlalu mengerti politik."
"Aku rasa kau sudah tahu alasan mengapa Lina pergi dari ibukota?" tanya Tyl yang langsung dibalas anggukan mengerti dari Marna. "Oemmar akan mengumumkan bahwa Penasihat Muda Lina Myssafir ada di bawah perlindungannya besok."
"Lalu?"
"Dia akan membawa pasukannya untuk mengantar Lina ke ibukota, dengan alasan bahwa nyawa Lina terancam. Yha, memang separuh benar, sih."
"Kenapa harus bawa pasukan?"
"Menurutmu apa?"
Marna berusaha berpikir sejenak. "Hmmm… Oh!" Marna menaikkan telunjuknya penuh ide. "Supaya aman!"
Tyl menghantamkan telapak tangannya ke wajah penuh sesal. "Itu mungkin satu alasan, tapi tidak sedangkal itu juga…."
"Lalu apa?"
Tyl menarik napasnya dalam dan berbicara dengan serius, "Demonstrasi."
"Eh?" Marna membingungkan maksud kata-kata itu. "Maksudmu demonstrasi ini, seperti demonstrasi yang dilakukan pedagang jalanan di pasar kaget?"
Jawabannya itu membuat Tyl menatap dirinya penuh kekecewaan.
"Kalau salah, bilang saja salah," gerutu gadis itu menggaruk-garuk pipinya.
Tyl hanya terkekeh kecil melihat reaksi Marna, "Tujuan Oemmar adalah menunjukkan pada siapapun yang berkonspirasi untuk memenangkan Raksi, bahwa ada yang menentang mereka. Mereka membawa Lina sebagai simbol pergerakan itu sekaligus untuk mendapatkan dukungan."
"Tapi bukannya ayah Lina sudah dicap sebagai pengkhianat dan dieksekusi?" tanya Marna heran. Entah mengapa Tyl terlihat cukup puas mendengar pertanyaan itu. Mungkin dia senang karena pertanyaan Marna terdengar pintar.
"Satu hal, apapun yang dilakukan ayahnya tidak ada hubungannya dengan Lina. Apalagi tanpa bukti jelas. Lagipula banyak yang tidak mempercayai kebenaran dari hukuman itu. Keadaan diperburuk dengan menghilangnya Lina dari kursi penasihat. Keluarga Myssafir sangat terpandang sebagai penasihat, karena itu banyak yang marah. Mereka menggantikan posisi Lina dengan Sria untuk membuat seolah insiden itu hanya melibatkan Soryu dan Lina, selain juga untuk mengambil pengaruh di Dewan Penasihat," jelas Tyl panjang lebar. Seperti biasa, tangannya bergerak-gerak jika sedang menjelaskan seolah ada peta besar di kepalanya yang harus digambarkan di udara kosong.
Marna hanya mengangguk-angguk. Dia tidak sepenuhnya mengerti, tapi garis besarnya cukup mudah dipahami.
Tyl berdeham lalu melanjutkan, "Jika Oemmar menyatakan bahwa Lina di bawah perlindungannya, itu akan membuat opini berbalik. Oemmar adalah salah satu Gubernur paling terpandang, tetapi menolak menjadi calon Raja. Perlindungan dari seseorang yang bahkan tidak ada niat untuk menjadi Raja menunjukkan sesuatu yang tidak beres. Opini publik akan sulit dimenangkan Raksi."
"Lalu kenapa harus ke ibukota?"
Tyl bersandar sedikit kepada kedua tangannya yang bertumpu pada ranjang, "Mengambil hak dan kewajiban Lina sebagai anggota Dewan Penasihat. Sebelum pemilihan Raja, pemilihan Penasihat Agung harus dilakukan terlebih dahulu. Dia tidak boleh membiarkan Sria memenangkan pengaruh di Dewan Penasihat. Raksi pun tidak akan bisa berbuat banyak setelah itu."
"Aaaah, aku mengerti," Marna mengangguk, tetapi masih ada yang mengganjal di kepalanya. "Lalu mengapa kita disewa lagi? Seharusnya dengan pasukan, kan sudah aman?"
"Karena Raksi tidak akan membiarkan Lina selamat sampai ibukota," Tyl mengangkat bahu acuh tak acuh. "Seperti yang sudah kita lihat, dia pasti berusaha menggunakan serangan-serangan licik, seperti pembunuh bayaran ataupun tentara bayaran."
"Jadi kalau pasukan Oemmar gagal, masih ada kita yang melindungi?"
"Tumben, kau pintar."
"Hehehehe."
"Aku memang sudah mengatakan pada Oemmar tadi malam bahwa aku setuju, tapi aku tidak langsung mengiyakan pada mereka tadi siang," Tyl membungkuk sedikit dan tersenyum pada Marna. "Kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi di sini, aku mau dengar pendapatmu."
Marna memandang Tyl dengan sangat heran. Selama ini, jarang sekali, atau nyaris tidak pernah, kesatria bayaran tersebut meminta pendapatnya tentang pengambilan misi. Sepertinya kepala berambut pendek acak-acakan itu terbentur, atau ini efek samping dari racun pada anak panah tadi malam.
Namun bagaimanapun dan apapun juga penyebabnya, Marna tidak bisa menghalangi jantungnya untuk berdegup kencang. Dia merasa cukup tersanjung, sangat tersanjung, dengan tingkah Tyl ini. Dia tidak tahu apakah itu maknanya juga besar bagi Tyl. Tapi bagi Marna, dilibatkan dalam keputusan seperti ini benar-benar berarti.
"Aku tidak terlalu yakin," sang penyihir memang tidak terlalu yakin tentang keputusan macam apa yang harus dia ambil. Pertama, dia tidak pernah terlibat sebelumya. Kedua, dia sendiri bimbang mengingat entah bahaya macam apa yang akan mereka hadapi di keadaan seperti ini, tapi dia juga bersimpati pada Lina.
Marna jarang memiliki teman dalam hidupnya, selain Tyl dan Lina. Dia merasa tidak tega jika harus meninggalkan temannya dalam keadaan membutuhkan seperti ini. Dia tidak terlalu suka Tyl menghadapi bahaya, tetapi di saat ini kata hatinya justru terdengar agak aneh, "Aku tidak suka membahayakanmu, tapi… aku ingin menolong Lina."
"Ya sudah kita kerjakan saja ya," Tyl menepuk-nepuk kepala Marna pelan. Rasanya agak berbeda jika dia yang melakukannya dibandingkan Lina. Hebatnya, walau tepukan agak kasar karena badannya yang besar, Marna merasa lebih senang.
"Iya."
"Lagipula upahnya besar."
"Berapa?"
"Lima ribu."
"HAH!" Pandangan Marna terhalang oleh kilau keemasan, "kenapa tidak bilang dari tadi?"
Tyl tergelak puas, "Kalau kubilang dari awal kau pasti menerimanya tanpa pikir panjang."
"Tapi, tapi..."
"Sudaaah, sudaah."
"Hei," Marna berkata dengan lembut pada Tyl. Mendengar jumlah sebesar itu, ada satu hal yang tergambar di benak Marna. "Setelah misi ini selesai, kita bisa mengirimkan separuh hasilnya ke orangtuamu, dan…," Marna terdiam sejenak dan menunduk. Dia agak ragu menyatakan pendapatnya ini, dia takut Tyl marah, "... Kalau kau tidak keberatan, mungkin kau bisa berhenti mengambil pekerjaan seperti ini. Aku bisa membuat roti dan kue, kita buka toko roti dan kue saja. Mungkin di Krisnam, kau bisa jadi instruktur di akademi. Mungkin dengan ikatan ini kita tidak bisa bersama, tapi kau bisa mengunjungiku sekali-sekali. Untukku, itu sudah cukup. Sudah jauh lebih dari cukup."
Tyl tidak menjawab, sementara Marna masih menunduk malu. Kalau dia sudah tidak bersuara seperti itu, bisa berarti dia marah besar. Akan tetapi, Marna lega karena setidaknya dia sudah mengeluarkan isi hatinya. Perlahan dia mengangkat kepalanya untuk menghadapi sahabatnya itu. Tyl justru tampak heran dan terkejut, seolah sesuatu menghantam pikirannya.
Tyl tersenyum tulus sambil menepuk-nepuk kepala Marna, "Mungkin bisa diatur sedikit. Kalau itu bisa membuatmu bahagia, kenapa tidak?"
"Tyl…" Marna merasakan air mata mengalir begitu saja di pipinya. Dia tidak tahu mengapa. Lagi-lagi karena merasa lega, dia malah menangis. Aneh. Mungkin Tyl benar, dia memang cengeng.
"Kau mau kumasakkan sesuatu?" tanya Marna setelah berhasil mengendalikan dirinya.
"Di sini kan sudah ada koki."
"Yah, anggap saja sebagai ucapan terima kasih," Marna berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah pintu. Sekali lagi dia menoleh pada orang yang telah sejak lama menjadi sahabatnya, "Aku senang sekali kau sudah mempertimbangkan pemikiranku dalam rencanamu."
Sekali lagi, Tyl memperlihatkan ekspresi yang tidak bisa dimengerti Marna. Saat itu dia masih belum tahu mengapa sahabatnya tersebut menunjukkan wajah seperti itu, ataupun implikasinya di masa depan nanti. Setelah itu, Tyl hanya tersenyum tulus. Seolah menemukan tujuan ke mana dia harus melangkah.