Tyl jatuh tergeletak. Tubuhnya bersimbah darah. Langit mulai mengabur bertabirkan warna merah yang menghalangi pandangannya.
"Berhenti," terdengar Marna berbicara. Penyihir cilik itu berjalan terseok-seok. Suaranya bergetar. Tubuhnya berpendar kebiruan. "Berhenti."
Suara kesakitan terdengar dari penduduk desa. Entah apa yang sudah Marna lakukan.
"Jangan," Tyl memegang kaki Marna, berusaha menghentikan kawannya itu. "Jangan."
Marna tersentak, warna biru berpendar pada tubuhnya mendadak menghilang.
"Tyl… Tyl…," penyihir cilik itu berlutut di samping Tyl. Air mata jatuh membasahi pipinya.
"Jangan... menangis," kesadaran Tyl hampir habis, tapi dia memaksakan diri untuk tersenyum.
"Pakta," Marna mendadak mengeluarkan suara yang agak berbeda, seperti menggema. Matanya berpendar putih. "Maukah kau membuat pakta denganku?"
Tyl tidak mengerti. Selama bisa membuat Marna tersenyum, tidak ada salahnya, "Aku mau."
***
Tyl terbangun, kepalanya terasa agak sakit. Dia telah tertidur di perpustakaan ini. Memang, sedari tadi dia sibuk mempelajari buku-buku tentang sihir mencari-cari celah atau apapun itu yang bisa jadi jalan keluar.
Lucu rasanya bagaimana hal yang dia terima saat kecil tanpa pikir panjang itu menjadi hal yang cukup tidak nyaman setelah dewasa. Namun kalau dia melihat kembali, mungkin di saat itu dia tidak akan selamat tanpa pakta yang ditawarkan Marna. Atau apapun itu yang merasuki gadis tersebut saat itu.
Tapi Tyl enggan menyerah begitu saja. Dia harus tahu lebih banyak agar bisa meminimalisir efek samping dari larangan yang mereka hadapi. Hal yang menyebalkan, tidak ada penjelasan atau informasi lengkap mengenai akibat melanggar tabu. Tidak ada juga yang menyatakan hal-hal apa saja yang termasuk melanggar atau sejauh mana yang bisa dikatakan sebagai batas aman.
*Jangan terlalu keras pada dirimu, aku tidak keberatan begini terus.*
Kalau boleh jujur, Tyl benci saat Marna berbicara seperti itu. Si Penyihir cengeng itu jelas berbohong. Tyl tahu. Dia merasakannya. Mereka sudah kenal begitu lama sampai cukup mudah baginya untuk dapat menerka garis-garis besar haluan pola pikir Marna.
Ini mirip dengat saat di mana gadis itu luka setelah berlari-larian, menolak membersihkan lukanya dengan benar karena menurutnya tidak apa-apa, dan berakhir dengan dirinya menderita demam tinggi akibat infeksi. Dia tidak pernah berpikir panjang. Apa yang ada di kepalanya hanya saat ini. Kalau saat ini dia tidak apa-apa maka itu cukup. Dasar bodoh.
Bodohnya, Tyl juga tertipu. Seharusnya, pertumbuhan para penyihir memang lebih lambat. Menurut kalkulasinya sendiri, sekarang Marna seharusnya tampak seperti gadis sekitar usia lima belas tahun, bukan antara delapan belas dan sembilan belas tahun. Ada saat di mana Tyl tumbuh menjadi dewasa, Marna pun mengalami pertumbuhan yang sama tanpa dia sadari.
Laki-laki jangkung ingat saat dia lulus akademi pada usia dua puluh tahun, Marna sudah tampak nyaris seperti sekarang. Itu terlalu cepat untuk specimen macam mereka, terlebih lagi mengingat kekuatan sihir Marna sudah matang pada usia yang bisa dibilang terlalu muda bagi para penyihir. Sesuatu yang aneh memang terjadi di sini.
Tidak ada jawabnya pada teks tentang sihir manapun. Oleh karena itu, dia beralih pada ilmu pengetahuan yang ada sekarang dan menemukan kemungkinan jawabannya pada ilmu tentang hewan. Menurut penelitian, sebagian jenis unggas dan mamalia cenderung dewasa lebih cepat jika mereka tumbuh pada sangkar atau kandang yang sama dengan lawan jenisnya.
Tyl tidak mengatakan kalau Marna itu seperti hewan, walaupun sejujurnya pada hal-hal tertentu itu mungkin benar. Namun, dia tidak menemukan penjelasan masuk akal lainnya tentang pertumbuhan Marna yang tidak masuk di akal bahkan untuk kategori sihir sekalipun. Kamar mereka di toko roti untuk tinggal bisa diandaikan sebagai sangkar.
Tyl pun menyadari kesalahannya. Dia seharusnya lebih sering tinggal di asrama akademi saja, mungkin sesekali mengunjungi Marna. Sayangnya, hal itu mungkin berakibat dengan Marna tidak bisa tidur karena dihantui mimpi buruk.
Kesatria bayaran itu terhenti. Memangnya kalau dia tahu itu semua, apa artinya? Hal itu sudah lewat. Kalau boleh jujur, dia cukup… senang melihat Marna tumbuh lebih cepat. Selain juga untuk menghindari potensi dia dianggap menculik anak orang.
Ada kejanggalan lain juga yang dibaca dan diperhatikan Tyl. Walaupun cenderung lebih kenakan-kanakan dari kebanyakan orang karena awet muda, penyihir memiliki pertumbuhan mental yang cukup wajar sesuai usia mereka, bukan tampak fisik. Mungkin sedikit lebih lambat, tetapi seharusnya tidak terlalu parah.
Marna jelas merupakan sebuah kejanggalan yang cukup mengherankan. Dari tingkahnya, Tyl bisa menyimpulkan gadis itu mengalami pertumbuhan mental yang cukup lambat. Apa itu efek samping dari percepatan mendadak dari pertumbuhan fisiknya, trauma masa lampau, atau karena pergaulannya yang sangat terbatas? Mungkin Tyl punya andil dalam permasalahan pergaulan Marna.
Tyl merasakan rasa sakit lagi di kepalanya. Kali ini dia menyadari rasa sakit itu datang dari luar, bukan dari dalam. Tyl menoleh dan melihat Oemmar berada di sana dengan buku tebal. Lebih tebal daripada bantal. Entah sudah berapa lama si jenggot tipis teratur berada di sana.
"Tidak pernah berubah," Oemmar mengeluh. "Kau begitu berharap ya?"
"Memangnya itu urusanmu?" Tyl mencibir.
"Mungkin," Oemmar mengayun-ayunkan buku di tangannya, "kalau kau mau..."
"Tidak mau," kata Tyl ketus.
"Ini arsip lama yang baru ditemukan dan disadur," sahut Oemmar dengan nada yang sangat mencurigakan. Dia duduk di depan Tyl sembari meletakkan buku arsip itu di antara mereka, "Kau gila Tyl."
Tyl masih heran melihat kenyataan bahwa seorang Gubernur memiliki begitu banyak waktu senggang hingga dia bisa sempat berkeliaran di perpustakaan malam-malam begini. Jujur saja, kalau Tyl jadi dia, Tyl pasti sudah tidur.
"Dan sekarang aku makin yakin kalau kau memang benar-benar gila," lanjut Oemmar terkekeh.
Tyl tidak menjawab dan hanya menatap Oemmar dengan menyipit, berusaha mengeluarkan hawa curiga.
Oemmar tidak peduli, dia hanya menyeringai jahat, "Orang gila yang menolak kesempatan mendapat istri cantik dan menjadi bangsawan." Seringainya mendadak semakin lebar tapi berubah jahil, "Tapi hari ini aku tahu kau ternyata jauh lebih gila. Meninggalkan semua tawaran demi perempuan secantik itu, walau kau tahu kau tidak akan bisa memilikinya."
"Haah," Tyl menghela napas lelah, "aku bukan dirimu."
"Di situlah perbedaan kita Tyl," Oemmar bersandar pada kursi, masih enggan menghapus seringai menjijikkan dari wajahnya. Janggut tipisnya yang ditata rapi sepanjang rahang membuat seringai itu terlihat lebih menyebalkan. "Aku tidak akan memedulikan tabu dan akan meminangnya begitu saja." Dia kemudian melipat tangan dan melanjutkan, "Terkadang kau harus jujur pada lubuk hatimu, bocah kampung."
"Kau mau cari ribut, brewok?"
"Aku sudah lama tidak berkelahi."
Tyl menyipitkan mata, "Gubernur kurang kerjaan."
"Hahahahaha!" Oemmar tertawa puas. "Kau harus tahu bagaimana mendesain dan menjalankan sistem, Tyl. Dengan begitu kita hanya perlu memastikan segalanya berjalan dengan sesuai sistem. Inspeksi, mendengarkan masyarakat, memeriksa dokumen, itu saja."
Oemmar terdiam sejenak. "Sebenarnya aku hanya mengambil waktu istirahat. Semua hal itu tidak bisa dibilang memakan waktu sedikit…," lanjutnya sambil mengeluh mengaku.
"Mampus."
"Jadi benar kau tidak mau?" tawar Oemmar sekali lagi menyodorkan buku arsip kuno itu.
"Aku tidak tertarik dengan politik," jawab Tyl datar sembari mengambil arsip tersebut.
"Ini demi semua orang Tyl," Oemmar menatapnya serius. "Kau tahu Raksi tidak akan membawa apapun yang positif untuk negeri ini."
"Cih," Tyl berdecak sinis. "Rakyat bawah tidak akan merasakannya."
"Oh, ya?" Oemmar menyandarkan dirinya pada kursi. Dia memandang Tyl penuh kesombongan. "Naiknya pajak tanpa timbal balik pembangunan fasilitas masyarakat, perlindungan hukum, sistem irigasi, dan penjagaan pada jalur-jalur perdagangan serta jalan penghubung kota dan desa. Terlebih lagi kericuhan yang pasti akan menyengsarakan masyarakat."
Oemmar menyipitkan mata. Tubuhnya menunduk bertumpu pada meja, nada bicaranya terdengar lebih serius. "Katakan padaku Tyl. Kalau salah satu dari semua itu tidak berjalan dengan benar, apa masyarakat tidak merasakannya? Atau kalian hanya ingin kenyamanan saja?"
"Itu hak kami Oemmar…," Tyl menggeram. "Sudah sepantasnya kami mendapatkan hal itu."
"Mengambil hak tanpa memenuhi kewajiban? Kita semua tahu dan dididik bahwa hak datang sejalan dengan kewajiban," Oemmar balas menggeram. "Dan menurutmu hak akan datang begitu saja setelah kau mengerjakan kewajibanmu? Ada yang perlu menjaga agar siklus kewajiban dan hak berjalan sebagaimana mestinya, Tyl. Ada yang harus menjaga agar hak-hak itu tidak diinjak-injak."
"Tentu, tapi itu semua hanya demi kekuasaan egois," Tyl menatap Oemmar tajam.
"Kekuasaan itu beban. Kekuasaan itu adalah amanat bagi pelayan rakyat..."
"Semua politikus sama saja."
Kata-kata Tyl membuat Oemmar tersentak terdiam. Wajahnya terkejut bagai disambar petir. Gubernur Taba itu menghela napasnya. Dia menegakkan tubuhnya sesaat, hanya untuk kembali bersandar. Tyl menyadari, raut kelelahan di wajah dan tubuh Oemmar. Gubernur itu pun bertanya dengan lirih, "Tyl, apa di matamu kami juga sama saja?"
Kini Tyl yang merasa bagai tersambar petir. Dia baru menyadari kesalahan pada kata-katanya tadi. Tyl menatap sahabat lamanya itu. Tidak. Dia tidak pernah menganggap Oemmar atau Arden seperti itu.
Semenjak di akademi dulu, mereka tidak pernah berubah. Selalu saja melaju dengan idealismenya, walau harus berdiri sendiri atau menjilat ludah sendiri. Mungkin saat ini, mereka juga berdiri menghadapi semua yang menantang ideologi di kepala mereka. Kata-kata Tyl tadi bisa saja seperti tamparan keras pada Oemmar, bahwa mungkin Tyl pun tidak sejalan dengannya.
"Aku mengenalmu dan Arden terlalu lama," jawab Tyl pelan. "Aku tidak berhak menilaimu atau menjawab pertanyaan macam itu. Opiniku akan selalu terkabut bagaimanapun kerasnya aku mencoba untuk adil dalam pendapat. Hanya masyarakatmu yang mampu menjawabnya."
Oemmar tersenyum kecil namun raut wajahnya masih tampak lelah, "Terima kasih."
"Berapa?" Tyl segera menyambung percakapan mereka.
Kelelahan di wajah Oemmar berangsur sirna mendengar jawaban Tyl. Gubernur itu seolah menemukan keyakinan baru dalam dirinya, "Kau yakin?"
"Kau tahu arti pertanyaanku."
Ekspresi itu kecil, tetapi Tyl melihat Oemmar menghembuskan sedikit napas lega. Matanya memandang tulus dan penuh keyakinan membara, "Lima ribu keping emas, cukup bagi kau dan penyihir manismu untuk memulai hidup baru jauh dari siapapun."
"Hidup barunya."
"Kau yakin itu yang dia inginkan?"
Tyl menggeleng, "Marna tidak tahu apa yang dia inginkan. Dia tidak pernah tahu."
"Kalau dia sendiri tidak tahu," Oemmar masih menatap Tyl tajam, tetapi kali ini dengan penuh pertanyaan. "Lalu apa yang membuatmu lebih tahu, Tyl? Apa hakmu untuk menentukan?"
Tyl terdiam tidak langsung menjawab. Dia memang tidak tahu, "Aku hanya melakukan apa yang aku tahu, apa yang mungkin tidak menyiksanya berdasarkan apa yang kami alami."
Oemmar menghela napasnya lelah. Gubernur itu bangkit dari tempat duduknya, "Mereka mungkin tidak tahu apa yang mereka sesungguhnya inginkan. Terkadang, menjalani yang mereka percayai dalam sebuah tekad, bersama yang mereka sayangi itu sudah cukup. Lebih dari cukup."
"Entah, aku bukan perempuan."
"Walau melelahkan, terkadang memang tugas kita untuk mengerti dan membantu mereka mencari apa yang sebenarnya mereka inginkan. Terkadang, begitu juga sebaliknya."
Tyl hanya bisa terdiam mendengar kata-kata Oemmar yang kemudian berjalan pergi. Kesatria bayaran itu tidak menjawab dan merapikan buku-buku yang dipinjamnya. Tidak ada tanda perpustakaan pada buku arsip yang diberikan Oemmar, tetapi terdapat lambang wilayah Taba di sana. Berarti itu properti provinsi atau Gubernur.
Kesatria bayaran itu memutuskan untuk menyudahi penelitian atau apapun itu istilahnya dari hal yang dia lakukan dan beranjak pergi. Lucunya, dia melihat Gubernur berjanggut tipis rapi itu berada di pintu masuk perpustakaan Nadem. Dia tampak berbincang serius dengan beberapa sarjana.
"Heeeiii, tega nian kau meninggalkanku seperti itu," komentar Oemmar sembari mengejar Tyl yang sudah lebih dulu keluar meninggalkan perpustakaan.
"Diam, jenggot, kau yang meninggalkanku duluan," gerutu Tyl acuh tak acuh.
"Aku tidak meninggalkanmu," si jenggot rapi menggeleng dalam seringai jahil sembari mengangkat tangan dan bahunya sedikit. "Aku memberikanmu waktu berpikir."
"Terserah."
Mereka berdua berjalan menuju kediaman Oemmar. Melewati jalan-jalan yang relatif besar dengan penerangan yang cukup nyaman untuk malam hari menggunakan kombinasi obor di beberapa tempat dan lampu minyak di dalam gelas-gelas kaca yang diusung tiang-tiang besar. Tyl tidak tahu sihir macam apa yang digunakan Oemmar untuk membuat benda seperti itu.
"Hebat, kan?" Kata Oemmar menyeringai membanggakan penerangan jalan itu.
"Sihir macam apa itu?" Tanya Tyl heran. Jujur saja, bukan hanya penerangan jalan yang membuat Tyl terkagum dengan Nadem. Daerah Taba relatif makmur dibandingkan daerah lain di Baradim, kecuali Sirasongi. Selain itu tata kota dan tata daerahnya cukup hebat.
"Bukan sihir, aku meminta tolong para sarjana untuk memikirkannya," Oemmar tersenyum bangga. "Dengan permainan pada kaca dan cermin, nyala api kecil sekalipun menjadi sangat terang. Sisanya kami hanya meletakkan minyak yang cukup di kompartemen pada tiang. Bukan hanya kami, Arden pun terlibat pengembangan penemuan ini dengan sangat antusias."
"Buang-buang minyak," gumam Tyl seolah memprotes. Dia harus mengakui ide itu bagus. Tapi kalau tidak memprotes Oemmar, rasanya tidak enak.
"Hei, hei," Oemmar menepuk pundak Tyl. "Sudah kukatakan, apinya kecil, jadi tidak perlu banyak minyak. Lagipula…," Oemmar mengangguk sendiri seolah menyetujui idenya sendiri. Dasar sinting. "… apalah arti sedikit minyak dibandingkan keamanan."
"Yah, aku rasa itu….."
*Tyl!*
Tyl tersentak. Dia merasakan sebuah panggilan. Selain itu telinganya mendengar keributan datang dari kediaman Oemmar.
"Ada apa?" Oemmar menatap serius, sejak dulu dia tahu Tyl memiliki ketajaman indra lebih.
"Mereka berdua dalam keadaan bahaya."
Tyl dan Oemmar berlari secepat yang mereka bisa ke arah keributan. Namun ada yang aneh, keributan itu terjadi tidak tepat di dalam kediaman Oemmar. Lokasinya sedikit melenceng dan terus bergerak. Apa yang terjadi?
"Tyl!"
"Oemmar!"
Marna dan Lina mendarat entah dari mana tepat di samping Tyl dan Oemmar yang tengah berlari. Lina tampak memegang tombak yang sepertinya dia ambil dari salah seorang penjaga. Beberapa orang berpakaian serba gelap menyusul mengejar mereka. Sepertinya dua dari enam orang itu adalah yang sempat menyerangnya beberapa malam lalu.
Letusan tembakan menggema memenuhi malam gelap nan sunyi itu. Tyl tidak terlalu suka menggunakan pistolnya di tempat yang terlalu menarik perhatian macam di dalam kota. Namun, kini hanya itu senjata yang yang dia bawa dan ada keuntungan tersendiri yang bisa dia dapatkan kali ini. Suara ini akan menarik perhatian penjaga yang sedang ronda.
Satu orang tertembak tepat di pahanya dan tersungkur jatuh.
"Bagus!" Oemmar menarik pedangnya, menangkis tebasan salah satu pembunuh bayaran itu. Dengan lihai dia memutar pedang dan posisinya untuk kemudian menebas bahu lawannya, menjatuhkannya seketika. Sama seperti Tyl, mereka berdua tidak memfokuskan untuk membunuh lawannya tetapi lebih ke melumpuhkan mereka untuk diinterogasi nanti. Mereka sampai nekat masuk ke Nadem, itu artinya penyewanya adalah orang yang sangat berpengaruh.
Sementara itu, satu orang lagi berhasil dijatuhkan Lina dan Marna.
Tyl melepaskan tembakan acak kepada ketiga pembunuh bayaran sisanya, tetapi mereka berhasil berkelit sembari bergerak ke atap bangunan. Bunyi baju besi mulai terdengar, para prajurit yang berpatroli telah datang. Tyl segera mengarahkan pistolnya kepada ketiga pembunuh bayaran sisanya sebelum mereka kabur.
Namun, lagi-lagi, tabir asap dilepaskan para pembunuh bayaran itu. Tyl tetap menarik pelatuk walau dia tahu itu sia-sia. Masalahnya, kali ini berbeda, dia tidak mendengar bunyi langkah kaki yang menandakan mereka bergerak menjauh. Dia justru mendengar bunyi seperti pegas dan derak kayu. Tidak salah lagi, itu bunyi bunyi busur silang. Target mereka adalah...
*Cukup untuk kalian memulai hidup baru.*
Tyl melompat mendorong Lina ke samping, tetapi momentumnya tidak cukup untuk menjauhkan mereka berdua dari bahaya. Tyl bersiap.