Ada yang janggal, juga mengganjal. Bukan, kali ini bukan karena Marna tidak bisa tidur akibat mimpi buruk. Hal itu belum terjadi. Masalah sekarang adalah besarnya ruangan ini.
Kamar kosong, kata mereka.
Tentu saja kosong. Besarnya cukup untuk menampung tujuh sampai sepuluh orang tapi kini penghuninya hanya satu orang. Benar-benar penghabisan ruang yang tidak perlu. Mengherankan bagaimana orang bisa tidur dengan nyaman di tempat seperti ini sendirian. Pasti mereka tidak pernah bertemu penyambung roh atau hantu.
Marna keluar dari kamar megah itu. Tidak pernah terlintas dalam benaknya kalau teman Tyl itu adalah Gubernur dari daerah Taba yang beribukotakan Nadem. Mungkin Marna sedikit meremehkan kelas pertemanan Tyl saat di akademi dulu.
Hanya saja mengingat lingkungan pertemanannya, seharusnya lebih mudah baginya mencari pekerjaan. Seharusnya, karena orang itu malah memilih menjadi kesatria bayaran.
Hal lain yang cukup mengecewakan terkait dengan kenyataan bahwa mereka sudah berkali-kali ke Nadem, tetapi Tyl menolak menggunakan koneksinya dengan Oemmar agar mereka bisa mendapat makanan enak atau penginapan gratis. Namun mengingat besar ruangan tadi, Marna sedikit bersyukur Tyl tidak melakukan itu.
Hal lain yang menarik adalah bagaimana Oemmar juga mengenal Lina. Ada kemungkinan Tyl menyadari siapa Lina saat mereka bertemu, karena itu dia menerima begitu saja misi ini. Pantas saja raut wajahnya aneh saat berbincang dengan Lina di klinik.
Kenal mungkin bukan pendorong utama. Marna merasa tujuan Tyl lebih berat ke alasan karena uang yang ditawarkan. Selain itu, mungkin sekarang saatnya menanyakan kebenarannya pada Lina. Walaupun Marna masih mempertanyakan kesiapan dirinya sendiri untuk bercerita jujur.
"Hai," Marna memunculkan kepalanya dari balik pintu kamar Lina. Dia baru ingat kamar mereka bersebelahan dan terpaksa menyesali keputusannya berkeliaran tanpa arah di koridor-koridor rumah ini.
Untuk target sepenting gadis bangsawan itu, cukup lucu melihat pintu kamar ini tidak dikunci dan tidak dijaga pasukan. Mungkin karena Oemmar sengaja membuatnya seolah seperti kamar biasa sehingga akan menyulitkan penyusup menerka lokasi target. Apalagi kalau tiap koridor dijaga sama ketatnya.
"Marna?"
Marna hanya menyeringai lebar sembari mempersilahkan dirinya sendiri masuk ke kamar mewah dan besar yang ditempati Lina. Sepertinya kebiasaan buruknya dengan Tyl sudah mulai berdampak pada orang lain, "Permisi."
"Haha, silakan. Kau tidak bisa tidur?"
"Tapi bukan karena mimpi buruk," Marna merebahkan dirinya di ranjang Lina, tepat di samping tempat gadis terduga bangsawan itu duduk. "Aku tidak terlalu nyaman di kamar sebesar ini sendirian."
"Tidak nyaman atau kau rindu berduaan dengan Tyl?"
"Menurutmu?"
Mereka berdua tertawa lepas sembari merebahkan tubuh ke ranjang. Cukup aneh, mengingat mereka hanya kenal beberapa hari tapi sudah bisa seperti ini. Entah pertanda baik atau buruk.
"Aku berhutang sesuatu padamu," Lina berkata setelah beberapa saat kemudian.
"Aku juga. Walaupun aku tidak yakin bisa membayar hutangku."
"Kau tidak perlu melakukannya Marna," Lina membangkitkan tubuhnya untuk duduk di pinggir ranjang. "Sebenarnya aku juga meragukan diriku, tapi tampaknya dengan kemunculan Oemmar tepat di hadapan kalian, aku tidak punya pilihan," lanjutnya tersenyum.
"Hei, aku sudah berjanji."
Lina tersenyum lembut melihat tangan Marna yang membentuk simbol janji. Senyum lembut itu mengingatkan Marna pada satu hal. Mungkin Lina bukanlah bangsawan biasa. Dia pasti ada hubungan tertentu dengan seseorang penting. "Mungkin bisa kita mulai dengan perkenalan ulang," Lina menaruh tangannya di dadanya dan mulai memperkenalkan diri. "Namaku, Lina Myssafir."
"Namaku Lyn Marna."
Lina memandang heran pada Marna dan berkata lagi, "Namaku Myssafir, Lina Mysaffir."
"Dan aku Lyn, Lyn Marna," jawab Marna polos. Dia tidak terlalu mengerti maksud Lina. Setahunya, dia harus menjawab kalau orang memperkenalkan diri dengan tulus seperti itu.
Lina menatap Marna dengan sangat heran sementara Marna masih menatap polos, sebelum akhirnya anak bangsawan itu bertanya, "Kau tidak tahu Myssafir?"
Marna menegakkan tubuhnya sambil menggeleng, "Tidak tahu, banyak sekali nama di dunia ini. Aku bahkan heran saat beberapa orang kaget dengan Lyn. Katanya itu nama orang timur jauh."
Lina terdiam membisu. Sesuatu seperti menghantam seluruh jiwanya.
"Kau tidak apa-apa, Lina?"
"Ahahahaha…," Lina mendadak tergelak. Marna tersentak heran berusaha menerka kesalahan macam apa yang sudah dia perbuat.
"Terima kasih…," Lina mendadak memeluk Marna erat. Erat sekali.
"Eeeh?" Marna tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak ingat kapan terakhir dia pernah dipeluk seseorang. Dia juga tidak ingat jika dia sebenarnya pernah dipeluk sebelumnya. Bahkan Tyl pun tidak pernah memeluknya. Perasaan ini aneh. Aneh sekali. Dia merasa bingung seolah ingin meronta. Namun di saat yang sama, dia merasa nyaman dan hangat.
"Jadi, ini yang namanya dipeluk?" Marna mengguman sendiri. Dia beberapa kali merasa ingin memeluk atau dipeluk Tyl. Sayangnya, hal itu tidak pernah benar-benar terjadi.
"Eh?" Lina melepaskan pelukannya. "Memangnya…," raut wajahnya berubah bersama merekahnya sebuah senyum jenaka, "... dia tidak pernah memelukmu?"
"Yaa…," Marna menunduk malu, "... kami tidak tahu seberapa jauh hukum itu berlaku."
"Sampai separah itu?"
"Begitulah, kami...."
"Jadi terbalik," Lina memotong pembicaraan Marna. "Harusnya aku yang memulai duluan."
"Eh, iya, benar," Marna tersentak sedikit, dia baru menyadari entah mengapa dirinya merasa lebih nyaman berbicara setelah dipeluk. Kekuatan pelukan ternyata lebih besar daripada jampi-jampi, mungkin dia harus mencobanya pada Tyl sekali-sekali. "Maaf aku terbawa suasana."
"Tidak apa-apa," Lina menepuk-nepuk bahu Marna, "tapi aku senang bertemu seseorang sepertimu. Yang bahkan tidak tahu apa-apa tentangku dan masih mau menerimaku begitu saja."
"Ini ada hubungannya dengan Myssafir?" tanya Marna bodoh. Dia memang tidak terlalu tahu nama bangsawan ataupun peran mereka.
"Betul," Lina berjalan ke arah balkon yang masih ditutup pintu dan memandang ke luar. "Myssafir adalah salah satu keluarga bangsawan utama di Kerajaan ini. Kami secara turun memiliki posisi petinggi di Kerajaan. Tidak jarang juga menjadi penasihat utama kerajaan, termasuk ayahku."
"T-tunggu dulu," Marna mencoba memproses semuanya di kepalanya. Segalanya yang tidak masuk akal ini terasa begitu kacau. "Penasihat, ayahmu, Maksudmu Penasihat Agung Soryu?!"
"Benar, Penasihat Agung Soryu Myssafir. Kakekku adalah Penasihat Agung Honoo Myssafir. "
"T… T... T…," Kenyataan itu menghantam Marna bagai petir yang membelah angkasa luas nan cerah. Seluruh darah dan kehangatan terasa menghilang dari tubuhnya yang lemas pucat pasi. Marna memang menduga kalau Lina adalah bangsawan. Bangsawan, bukan putri Penasihat Agung.
Otaknya langsung memutar seluruh kejadian dan tingkah yang dia lakukan di hadapan Lina. Berbicara tidak sopan, berpakaian tidak senonoh saat tidur, mengigau pula, ketahuan menyelinap ke kamar dan berduaan dengan Tyl, membuat Lina terpeleset akibat tidak terbiasa dengan jampi-jampi pergerakan, menyuruhnya beajar memasak, dan membiarkannya membelikan minuman mentega manis.
Dia pasti dipancung. Bukan, dia akan digantung. Tidak, tidak, dia akan dipenjara sampai mati. Tunggu. Lina tahu bahwa Marna adalah penyihir, seorang entress. Dia pasti akan diikat pada tiang, dipamerkan ke publik, lalu dibakar hidup-hidup. Berarti Tyl juga akan dibakar hidup-hidup karena berhubungan dengan seorang tukang guna-guna. "... Tyl... tolong, aku akan dieksekusi…."
"Ahahahahahaha…," Lina tertawa lepas.
Marna yakin, itu pasti tawa mengerikan dan puas ala bangsawan setelah mereka berhasil menjebak kriminal. Ini pasti hukuman surgawi akibat Marna menaruh hatinya pada pasangan pakta.
Takdir memberikan hukuman karena kecerobohannya. Mereka berdua akan diarak keliling kota Nadem. Dilempari minyak dan caci maki. Lalu setelah itu semua berakhir, mereka akan dibakar bersama di pusat kota.
Di saat itu Marna mungkin akan menyesal telah membawa Tyl ke masalah ini. Namun setidaknya, dia bahagia telah mengenal Tyl. Tujuh belas tahun ini sangat berharga untuknya. Dia harap sahabat masa kecilnya pun merasakan hal yang sama.
"Kau ini lucu sekali," Lina berusaha mengendalikan tawanya, tetapi dia masih membungkuk. Perutnya pasti sakit karena tertawa puas bisa menangkap seorang penyihir. Tentu saja Marna lucu, karena dengan begitu bodohnya bisa masuk perangkap seperti ini.
"Hu... hukum aku saja," Marna berusaha memberi penawaran. "Jangan bawa-bawa Tyl. D-dia tidak bersalah. Aku yang…. Aku yang memintanya membuat pakta."
Lina malah tertawa makin lepas sembari berjalan ke arah Marna. Perutnya pasti semakin sakit sampai dia berjalan tidak keruan macam itu. Mungkin ini kesempatan bagi Marna untuk menyerang balik. Namun kalau dia membuat kekacauan, maka Tyl pasti dipancung oleh Oemmar.
Marna terdiam terpaku, tubuhnya lemas saat Lina menepuk-nepuk kedua bahunya. Mungkin itu cara Penasihat Agung menandai target mereka. Target eksekusi. Dia salah telah mengira itu tanda persahabatan.
"Siapa yang akan mengeksekusimuuu, haah?" Lina, yang memang secara fisik wajahnya terlihat lebih dewasa daripada Marna, bertingkah seperti seorang kakak dengan mencubit dan menarik pipi Marna. "Kau tidak melakukan tindak kriminal."
"Tapi… aku, eh saya..."
"Sudah, sudah."
Marna baru bisa menenangkan dirinya beberapa saat kemudian setelah diberi segelas susu hangat oleh Lina. Walaupun dia sendiri tidak begitu yakin seberapa tenang dirinya setelah fakta mengerikan tadi, "Jadi benar, aku tidak akan dieksekusi?"
"Tidak."
"Tyl."
"Mungkin."
"Eeeeeeh??" sang penyihir nyaris tersedak susu mendengar jawaban Lina.
"Bercanda, bercanda," Lina menepuk-nepuk bahu Marna dengan santai. "Kau ini menggemaskan sekali, aku yakin kau bisa memikat bahkan Raja dari negeri seberang dengan mudah."
"Maaf," Marna menenggak susunya lagi. Rasanya enak sekali. "Temanku hanya kau dan Tyl."
"Iya-iya, aku mengerti."
Marna menghabiskan susunya. Di masa otaknya mulai menjadi jernih, Dia menyadari sesuatu tentang Lina, "Tunggu, Penasihat Agung Soryu Myssafir kan...."
"Benar," Lina berjalan ke arah balkon dan memandang langit gelap berhias rembulan dan bintang, "ayahku dieksekusi dua bulan lalu karena dituduh telah membunuh Raja Eldra Hasshin."
"Maaf," Marna meletakkan gelasnya di meja dan berjalan mengikuti Lina, "apa itu benar?"
"Entah," putri mantan Penasihat Agung itu menunduk sedih, "Seingatku Ayah dan Raja Eldra sangat dekat bagaikan sahabat. Aku tidak tahu kebenarannya, tapi mungkin ada banyak aktor yang menarik benang di balik layar."
"Karena itu kau lari?"
Lina menggeleng, "Tidak sepenuhnya. Aku sudah menjadi bagian dari Dewan Penasihat semenjak lulus dari akademi. Namun setelah eksekusi Ayah, aku menjadi tahanan rumah. Tentu saja aku merasa tertekan sekali. Mengingat ayahku. Aku tidak percaya Beliau melakukan semua ini."
Marna menepuk-nepuk bahu Lina yang tersenyum lemah walau matanya berkaca-kaca. Lina melanjutkan, "Entah seberapa benar hal ini, tapi ada isu bahwa semua ini berkaitan dengan pemilihan Raja berikutnya."
Marna mengangguk mengerti. Walaupun dia tidak terlalu suka atau mengikuti hal-hal berbau politik. Setidaknya dia tahu sistem yang digunakan di kerajaan ini. Pemimpin kerajaan tidak diambil berdasarkan keturunan. Melainkan berdasarkan pemilihan dari para petinggi kerajaan dan Dewan Penasihat.
Raja bisa diangkat dari Gubernur, Jendral, para bangsawan, dan bahkan Menteri. Hanya anggota Dewan Penasihat yang tidak mendapat kesempatan itu. Akan tetapi, Dewan Penasihat, termasuk Penasihat Agung memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam pemilihan.
"Mereka memfitnahnya," Lina melanjutkan, "karena dia, dan juga aku, mungkin menghalangi terpilihnya Raja Sementara Raksi, keponakan Raja Eldra."
"Dari mana kau tahu itu?"
"Menguping."
"Eh?"
Lina hanya tersenyum simpul, "Aku mendengarnya dari pasukan yang ditugaskan menjaga tempatku. Aku tidak mendengar sepenuhnya, tapi kudengar mereka membicarakan tentang ambisi Raksi serta kenyataan bahwa aku dianggap hilang. Sebagai anak dari Soryu Myssafir, aku dianggap memiliki pengaruh di Dewan Penasihat walaupun masih termasuk Penasihat Muda. Namun. entah mengapa aku dibuat seperti menghilang sementara fitnah akan keluargaku semakin keras."
"Lalu kau kabur?"
"Belum," Lina terkekeh. "Kau ini tidak sabaran sekali."
"Maaf."
"Sejak saat itu aku sering menyelinap keluar dari kediamanku. Mencari tahu kebenaran tentang apa yang terjadi. Sedikit demi sedikit semua mulai terbentuk. Tentang tensi politik yang terjadi menjelang pemilihan, ambisi Raksi, dan keadaan keluargaku. Bagaimana juga para Gubernur seolah enggan mengikuti perintah Raksi, terutama Oemmar," Lina menjelaskan panjang lebar, sampai dia mendadak berhenti dan menghela napas.
"Dan yang membantu memfitnah ayahku datang dari keluargaku sendiri. Sria Myssafir, sepupu jauhku, telah mengambil posisi di Dewan Penasihat secara mendadak. Aku tahu, cepat atau lambat aku pasti akan dihabisi. Setelah itu aku bertemu kalian," lanjutnya lirih.
"Lalu mengapa Nadem?" Marna memiringkan kepalanya heran. "Karena Oemmar yang paling menentang Raksi?"
"Tidak sepenuhnya," Lina menggeleng, "aku secara pribadi juga mengenalnya. Jadi aku meletakkan taruhanku, itu saja."
"Kau kenal dari mana?"
"Tentu saja Akademi Kepemimpinan dan Militer Krisnam. Dia seniorku di sana dan kami cukup akrab selama di akademi."
"Jadi kau juga kenal Tyl?" di dalam hati, Marna dia semakin menghargai akademi yang dimasuki Tyl. Berarti banyak orang penting di sana. Itupun membuatnya semakin mengherankan pilihan profesi Tyl.
"Tidak sepenuhnya." Lina menggeleng lalu menengadah. Matanya memandang ke langit berbintang. "Aku tahu dia karena pernah melihatnya beberapa kali, juga dari cerita bagaimana Oemmar membangga-banggakannya. Tapi sepertinya dia tidak mengenalku."
Marna mengangguk. Dia pernah dengan tentang kedekatan Oemmar dan Tyl. Sepulangnya dari kegiatan akademi, Tyl kadang menceritakan pengalaman-pengalaman anehnya di akademi pada Marna. Begitu juga dengan Marna menceritakan pengalamannya di toko roti dan kue pada Tyl.
Kalau tidak salah dia dan Oemmar adalah bagian dari tiga serangkai atau semacamnya. Seingat penyihir itu, anggota ketika bernama Arden dan dulu Marna pernah bertemu dengannya.
"Maaf, kalau ini mungkin mengusikmu, tapi aku cukup kagum pada perjuangan Tyl di akademi. Seseorang yang datang dari desa, bisa memenangkan beasiswa serta menjadi murid terpandang dengan pencapaian yang bahkan mengalahkan para bangsawan. Turnamen latih tanding sering berakhir dengan final antara dia dan Oemmar atau Arden. Tidak heran banyak yang jatuh hati padanya saat di akademi."
"Ha?" Marna tidak keberatan dengan Lina yang kagum pada Tyl. Masalahnya, kisah tentang ada yang jatuh hati pada Tyl membuat bagian jantung Marna mulai terasa aneh. Sepertinya dia cemburu.
Lina mengangguk dan menjelaskan. "Tyl memang tidak tampan seperti pangeran, tapi banyak gadis yang diam-diam bimbang karena Tyl sangat berprestasi meski bukan bangsawan. Mereka jatuh hati, tapi ragu. Tidak sedikit juga yang terang-terangan menyukainya. Memberinya coklat pada festival coklat, bahkan sampai ada yang ayahnya datang untuk meminang Tyl masuk keluarga bangsawan."
"Apaaa?!" Marna tersentak, Tyl tidak pernah menceritakan hal itu. Detak jantungnya semakin tidak keruan.
"Dia tidak pernah bilang?" Lina memiringkan kepalanya heran, Marna hanya menggeleng cepat. "Hmm, memang, dia seolah acuh tidak acuh dengan semua itu dan sibuk dengan teman-temannya, juga seperti tenggelam dalam dunianya sendiri. Awalnya kukira senior yang satu itu pasti sudah gila. Tapi sekarang aku tahu."
Lina menyeringai iseng dan menusuk-nusuk pipi Marna dengan telunjuknya, "Ada penyihir cantik nan manis menunggunya. Pantas saja dia seperti itu. Sepertinya dia tidak bilang dan tidak memedulikan mereka karena tidak mau membuatmu cemburu."
Marna terdiam, wajahnya terasa panas sekali mendengar cerita Lina. Ini menjelaskan semua coklat-coklat yang terkadang dibawakan Tyl. Saat itu dia menyangka sahabatnya baru saja mencuri atau menang taruhan.
Masalahnya adalah bagian selanjutnya dari itu. Sebagian hatinya setuju dengan Lina di saat itu, Tyl pasti sudah gila. Namun, sebagian dari dirinya entah mengapa bersyukur dan itu kembali membuatnya merasa bersalah.
"Karena itu kau menyewa kami begitu saja?" tanya Marna setelah bisa mengendalikan emosi berkecamuk di jantungnya. Dia harus mengalihkan isu untuk sementara.
"Ya," Lina mengangguk, "aku langsung mengenalinya saat itu. Aku tahu, aku akan aman di tangan kalian."
"Pantas saja."
"Giliranmu," Lina tersenyum kecil sembari bersandar pada pagar balkon lantai tiga ini.
"Eh iya," Marna mengusap pipinya bingung. Mendengar cerita Lina, dia merasa menjadi jauh lebih dekat dan nyaman dengan tuan putri itu. Masalahnya, sekarang ada hal lain yang menahannya. "Tapi aku mulai dari mana?"
"Hmmm," Lina meletakkan tangannya menyangga dagu dan sedikit bibirnya, tampak berpikir. "Kalau kau tidak keberatan, boleh aku tahu usiamu? Kau dan Tyl kenal sudah tujuh belas tahun, kan? Tapi, maaf, wajahmu kelihatan seperti baru delapan belas tahun. Kalau tidak salah, aku dengar masa pertumbuhan dan penuaan penyihir lebih lambat daripada manusia biasa, apa itu benar?"
"Tepat sekali." Marna mengangguk. "Usiaku mungkin di atas tiga puluh tahun."
"Mungkin? Maksudmu?" Lina mengerenyitkan dahinya.
"Aku tidak tahu usia bahkan ulang tahunku," jawab Marna santai. "Saat pertama kali bertemu Tyl, mungkin usiaku belasan, aku tidak yakin. Yang jelas waktu itu rupaku seperti anak sembilan tahun. Itupun menurut Tyl. Dulu di rumah tidak ada kalender atau semacamnya."
"Hmmm, jadi kalian pun tumbuh dari bayi dengan lambat? Maksudku kalian jadi bayi memakan waktu sepuluh tahun atau semacamnya?"
"Bukan, bukan. Pertumbuhan kami saat bayi dan balita cukup normal. Tapi setelah kemampuan sihir kami bangkit, saat itu terjadi perubahan dalam proses pertumbuhan dan penuaan kami. Semakin kuat kekuatan sihir kami, maka penuaan kami semakin lambat, apalagi kalau kekuatan sihir kami sudah matang. Karena itu kami tumbuh cukup normal pada awalnya, lalu semakin lama semakin lambat. Masalahnya…."
Marna mengambil napas sejenak. "... Kekuatanku matang terlalu cepat entah mengapa, apalagi aku membuat pakta sihir. Jadi selama tujuh belas tahun ini sepertinya pertumbuhan badanku terhambat."
Lina mendengarkan dengan seksama penjelasan panjang Marna. Namun itu berakhir dengan dia memangku dagunya sembari memerhatikan Marna dari atas ke bawah. Bangsawan itu menghela napasnya lelah, berbalik menghadap luar balkon dan memangku tangannya pada pagar balkon.
"Itu sih bukan pertumbuhan terhambat. Hanya penuaan lebih lambat saja," kata Lina dengan nada yang tidak dimengerti Marna.
"Eh? Aku tidak mengerti." Marna menggaruk-garuk kepalanya pelan.
Lina tidak langsung menjawab dan tersenyum jahil, "Tanya saja pada pasangan paktamu itu."
"Eeeeh, ya sudah nanti kutanya Tyl."
"Jangan. Sebaiknya jangan."
"Tapi katamu tadi…."
"Sudah-sudah," Lina mengibas-ngibaskan tangannya menghentikan kelanjutan dari topik barusan. "Ngomong-ngomong tadi kau bilang tidak tahu tanggal lahirmu juga?"
Marna mengangguk, "Karena hal itu Tyl dengan seenaknya menyatakan tahun baru sebagai hari ulang tahunku."
"Ahaha, sudah kuduga."
"Lalu bagaimana dengan orangtuamu? Mereka tidak pernah bilang?"
Marna terdiam sejenak. "Sebenarnya aku tidak yakin." Penyihir itu menyandarkan tangannya pada pembatas balkon dan memandang bulan dan bintang penghias langit. "Tidak banyak yang kuingat tentang masa kecilku. Ibuku tidak banyak bicara atau mengurusku. Terkadang dia mau berbicara, terkadang dia diam, dan kadang ketika melihatku, dia berteriak dan berusaha mencekikku. Seolah di saat itu dia seperti sangat membenciku."
"Maaf, aku...."
"Tidak apa-apa, aku sudah janji padamu," Marna tersenyum lemah. Lina sudah dengan tegar membuka kenangan pahitnya, Marna seharusnya bisa melakukan hal yang sama. "Dia sering meneriakiku dengan kata-kata 'anak haram' atau 'anak pemerkosa'. Saat itu aku tidak mengerti, sampai beberapa tahun kemudian aku menanyakannya pada Tyl."
"Hei," Lina mengusap bahu Marna, "kau tidak perlu melanjutkannya kalau itu terlalu berat."
Marna mengangguk pelan, "Tyl pernah bilang padaku, kadang kita harus tegar menghadapi diri kita sendiri. Aku rasa ini salah satu saat itu."
"Baiklah," Lina tersenyum menenangkan, "lalu bagaimana dengan ibumu sekarang?"
"Mungkin dia sudah tiada," Marna menghela napasnya. Sedari tadi dadanya terasa sesak.
"Eh?"
"Saat itu," Marna melanjutkan. "aku terbangun dan mendengar banyak orang ribut di luar rumah. Berteriak 'penyihir', 'penyihir'. Ibuku berteriak tidak keruan. Rumah kami pun mulai terbakar. Saat dia melihatku, dia mencengkeramku dan menyuruhku pergi. Dia...."
Marna berhenti sejenak, dadanya terasa sesak. Suaranya berubah parau dan matanya mulai mengabur terhalang air, "... Dia melemparku dengan sihirnya. Saat… aku sadar, aku melihat rumah kami terbakar dari atas tebing. Aku…."
Lina menarik Marna lembut dan mendekap penyihir itu tanpa berbicara.
"Aku tidak tahu," isak Marna parau. "Aku tidak tahu apa dia membenciku atau menyayangiku. Aku membencinya… tapi dia ibuku… dia menyelamatkanku… Dia…."
Lina mendekap Marna yang menangis lebih erat, "Jauh di lubuk hati mereka, seorang ibu akan selalu mencintai anak-anak mereka."
"Maaf," setelah beberapa saat menangis dalam pelukan Lina, Marna melepas dirinya dari pelukan hangat temannya itu, "aku terbawa emosi. Harusnya aku yang lebih tua."
"Tidak apa-apa, kau terlihat lebih muda bagaimanapun juga," Lina menepuk-nepuk kepala Marna lembut. Marna tidak mengerti gerakan macam apa itu, tapi dia merasa nyaman diperlakukan seperti itu. Mungkin harus dia coba pada Tyl nanti.
"Terima kasih."
"Sama-sama," balas Lina berhenti menepuk-nepuk kepala Marna. "Kau tidak pernah bercerita akan hal ini sebelumnya ya? Bahkan pada Tyl?"
"Tidak," Marna menggeleng. "Aku tidak enak menambah beban padanya."
"Sebaiknya kau menceritakannya sekali-sekali, dia pasti ingin mendengarnya," kata Lina lagi yang dijawab anggukan singkat dari Marna. "Lalu sebenarnya ada apa antara kau dan Tyl?"
Marna menarik napasnya dalam untuk mengendalikan sisa-sisa emosinya tadi sebelum kemudian menjawab, "Dia yang menemukanku setelah rumahku terbakar. Entah mengapa kami berteman dan aku sempat dirawat sebentar di rumahnya. Keluarga mereka tidak terlalu punya, tapi mereka baik sekali."
"Itu belum semua, kan?"
Marna mengangguk membenarkan, "Suatu hari kami bermain di hutan. Lalu ada seorang peramal yang melihatku dan berteriak bahwa aku akan membawa petaka sebagai seorang entress. Dia berlarian melaporkannya pada desa sebelah dan orang-orang desa sebelah menyeretku. Saat itu Tyl yang membelaku. Tapi akhirnya dia terluka berat."
Ekspresi Lina berubah, seperti menyadari sesuatu, "jadi itu saat kekuatanmu matang?"
"Iya, aku ingin melindungi Tyl saat itu, ironisnya, aku benar-benar menjadi seorang entress," Marna menunduk mengenang kejadian itu.
Dia belum bisa sepenuhnya menghapus pemandangan saat itu. Saat Tyl tersungkur bermandikan darah, tetapi tetap berusaha bangun demi dirinya. "Saat itu juga, terpikir kata pakta di kepalaku," lanjut Marna. "Aku tidak terlalu ingat karena diriku seperti kerasukan saat itu, yang kuingat bahwa aku menawarkannya membentuk pakta entah karena alasan apa. Seolah kekuatan di dalam diriku menuntunku untuk mengikat Tyl."
"Karena kejadian itu kalian merantau ke Krisnam?"
"Benar. Keluarga Tyl tetap ingin menerimaku. Tapi kami berdua tahu cepat atau lambat itu akan membawa masalah. Karena itu Tyl ikut dengan pamannya yang seorang pedagang keliling untuk pergi ke Krisnam dengan tujuan mencari beasiswa di akademi," jawab Marna panjang lebar.
"Setelah dia mendapat beasiswa, aku bekerja dan belajar membuat kue di toko roti dan kue. Pemilik toko itu cukup baik untuk memberikan kami kamar untuk tinggal. Kami tidak punya banyak uang, tapi saat itu aku bahagia."
"Dia juga pasti bahagia," kata Lina sembari tersenyum tulus.
"Aku harap juga begitu," Marna balas tersenyum. Dia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Di sana juga kami mempelajari tentang pakta sihir dari buku-buku di perpustakaan dan para penyembuh atau peramal di kota. Awalnya kami mengira hal itu tidak masalah karena saat itu kami masih kecil. Yaaa, di saat itu aku masih belum tahu apa itu jatuh hati."
"Semoga saja ada jalan untuk kalian."
"Semoga saja, tetap beginipun aku tidak apa-apa. Mungkin."
Mereka berdua terkekeh kecil, lalu terdiam. Masing-masing memandangi bintang dan bulan di langit. Lucu rasanya mendengar dan menceritakan kisah satu sama lain. Lucu, sekaligus melegakan. Marna merasakan ada rasa percaya tumbuh di antara mereka. Rasanya menyenangkan.
"Jadi bagaimana rencanamu sekarang?" tanya Marna pada Lina.
Lina mengerenyitkan dahinya, berpikir sambil menjawab, "Aku sudah berbicara dengan Oemmar tadi, mungkin akan ada rencana membawaku kembali ke ibukota."
"Bukannya itu berbahaya?"
"Mungkin. Tapi sepertinya itu jalur yang harus aku lakukan demi melanjutkan warisan pengabdian keluarga kami pada Kerajaan Baradim."
Dia melirik Marna dengan jahil, "Kalian mau kusewa lagi? Mungkin dengan bantuan Oemmar bayarannya akan lebih tinggi."
"Mau!" Pikiran Marna langsung mengabur, pandangan matanya mulai diselaputi warna keemasan. "Tapi," Warna yang menyelaputi indra pengelihatannya mulai mengabur, "mungkin aku mau membantumu sebagai seorang teman. Walau aku tidak bisa jamin kalau Tyl tidak meminta bayaran."
"Ahaha. Terima kasih."
"Sama-sam…."
Marna tersentak. Entress itu merasakannya. Hawa membunuh yang pekat datang menghampiri.