"Maaf."
Marna memiringkan kepalanya heran, Tyl tampak lelah. Namun, jelas bukan lelah secara fisik. Tubuhnya tampak baik-baik saja. "Untuk apa?"
"Entah aku juga bingung," jawab Tyl sembari melompati akar besar dari sebuah pohon.
"Kau sakit?" tanya Marna lagi. Belakangan ini tingkah Tyl aneh, mungkin dia memang sakit.
"Tidak."
"Heee…."
Mentari bersinar cukup benderang menerangi hutan, memudahkan pergerakan mereka yang berlari dalam kecepatan yang bisa dikatakan tidak normal ini. Marna terpaksa meminjam sedikit energi dari pohon-pohon dan udara sekitar. Mudah-mudahan mereka tidak keberatan akan hal itu.
Ada hal lucu tentang Lina. Dia kurang terbiasa bergerak dalam kecepatan seperti ini hingga terpeleset atau tersandung berkali-kali. Mengingat kondisi mereka, Marna tidak tahu harus tertawa atau prihatin. Namun, pada akhirnya dia tertawa karena Lina juga tertawa.
"Hei," Tyl mendadak bersuara lagi, "maaf tadi aku meninggalkanmu. Aku...."
"Sudah, tidak apa-apa," Marna berlari mendekat dan menepuk bahu sahabatnya.
"Aku tidak bermaksud menganggapmu beban, aku hanya...," si jangkung berhenti mendadak, sesuatu seperti menahan benaknya untuk dikeluarkan, "... Heh, mungkin aku masih tidak cukup kuat."
"Tyl," Marna berbisik lirih. Suaranya cukup jelas untuk didengar lawan bicaranya, tetapi Lina tidak akan mampu mendengar itu. "Jangan terlalu keras pada dirimu. Aku tidak keberatan begini terus."
Setelah beberapa saat tampak larut dalam pikirannya, Tyl pun hanya membalas dengan satu kata, "Maaf."
Mereka tidak banyak berbicara setelah itu dan fokus untuk terus bergerak ke arah yang ditunjukkan Tyl. Hari sudah agak siang ketika mereka memutuskan untuk berhenti dan mengambil waktu untuk beristirahat.
Marna memang bisa meningkatkan regenerasi dan kemampuan fisik, tapi sayangnya dia tidak bisa mengisi ulang nutrisi begitu saja. Mungkin kemampuannya belum cukup, atau itu memang bukan bidang tukang jampi-jampi seperti dirinya.
Gadis cantik itu pun menyempatkan diri untuk menyesali bagaimana dirinya telah mengadopsi istilah tidak keruan dari Tyl itu untuk menyebut dirinya sendiri.
Saat beristirahat, Marna lebih banyak berbincang dengan Lina, memastikan dia baik-baik saja secara mental. Sepertinya kekhawatiran itu pun tidak terlalu perlu. Lina tampak cukup tenang menghadapi situasi ini. Hanya saja, pada masa-masa di mana Marna tidak berbicara dengannya, Lina tampak terdiam merenung atau mengusap matanya. Apa dia menangis?
Ada satu lain hal yang kurang dimengerti Marna, kalau Lina memang dikejar-kejar pihak kerajaan. Maka seharusnya ada poster-poster tentang bayaran untuk menangkapnya, tetapi Marna tidak menemukan poster-poster itu.
Ini menandakan dia bukan buronan akibat kejahatan. Ada alasan lain di sini. Mengingat dia kemungkinan besar, sebenarnya hampir pasti, adalah bangsawan, pasti ada isu politik di sini. Isu yang enggan Mana pikirkan.
Mereka tiba di Kulu saat hari menjelang sore. Marna menyarankan agar dirinya masuk ke kota terlebih dahulu untuk memeriksa. Mengingat Lina dikejar pihak kerajaan dan Tyl sempat bertarung melawan bagian dari pengejar, maka hanya wajahnya saja yang tidak dikenali terlibat.
Kota itu lebih kecil dibandingkan Varch. Penduduknya cukup sepi. Marna dan Tyl dulu pernah bekerja untuk seseorang di kota ini. Tampaknya, tidak banyak yang berubah sejak terakhir dia berkunjung.
Hari sudah gelap ketika Marna menemui Tyl dan Lina di dalam hutan. Seharusnya dia bisa kembali lebih cepat. Andai saja dia tidak tersesat tadi. Namun, setidaknya mereka berdua seperti tidak menyadari hal itu. Mungkin Lina tidak menyadari, tapi Tyl pasti mencurigainya. Untung saja kesatria bayaran itu tidak mengungkapkannya. Bisa hancur harga diri Marna di hadapan Lina kalau itu terjadi.
"Kau marah?" Marna bertanya pada Tyl setelah laki-laki jangkung itu membukakan pintu kamarnya. Mereka menyewa dua kamar di penginapan, Marna berbagi kamar dengan Lina dan itu bukan masalah. Masalahnya sekarang hanya pada tingkah Tyl.
"Ha?" Tyl memiringkan kepalanya heran.
Marna tidak terlalu memedulikan hal itu dan merebahkan dirinya di ranjang kamar Tyl. "Karena tadi?" Marna memandang kosong pada langit-langit temaram.
Tyl tidak duduk di lantai seperti dua malam yang lalu. Entah mengapa dia kali ini duduk di sisi ranjang. Terlihat berbagai ekspresi berkecamuk di raut wajahnya yang diterangi sebagian sinar lembut rembulan dari jendela. "Mungkin aku yang salah," dia tersenyum lemah. "Kau menyelamatkanku hari ini, untuk apa aku marah padamu?"
Marna menatap laki-laki itu dengan lelah. Tidak habis pikir di otaknya bagaimana Tyl selalu begitu cepat mengalihkan isu, "Kau marah pada dirimu sendiri."
"Aku gagal," Tyl mengalihkan pandangan. "Sejak saat itu, aku selalu gagal."
Marna memandang lemah pada Tyl. Terbesit dalam benaknya keinginan yang begitu kuat untuk memeluk orang yang selalu menemaninya selama belasan tahun itu. Namun dia tidak tahu seberapa jauh pakta akan dilanggar jika itu dia lakukan. Walau di saat yang sama, gadis itu sadar sepenuhnya bahwa hatinya sendiri mungkin sudah lama melanggar pakta itu.
Marna bangkit dan meraih pipi sahabat masa kecilnya dengan lembut. "Aku tidak tahu apakah kau gagal atau berhasil," bibir penyihir tersebut tersenyum lembut sembari mengarahkan pandangan Tyl pada dirinya. "Tapi aku ada di sini. Sudah kukatakan, aku tidak masalah jika kita harus begini selamanya."
Sang penyihir sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan. Dia tidak tahu jika sebenarnya dia membohongi dirinya sendiri. Mungkin sebenarnya Marna tidak akan kuat jika mereka harus begini selamanya.
Rasanya terlalu egois baginya untuk meminta hal seperti itu pada Tyl. Bagaimanapun juga, Tyl berhak bahagia dan Marna menginginkan hal itu. Akan tetapi di saat ini, di detik ini, bersama Tyl dalam mengerjakan misi dan bertualang, itu sudah lebih dari cukup untuknya. Untuk sekarang.
"Tyl?" sebuah ketukan terdengar di pintu kamar. Sepertinya itu suara Lina.
Marna segera melepas tangannya. Sementara itu Tyl beranjak membukakan pintu, "Ada apa?"
"Oh, maaf, apakah kau melihat di mana Mar…," Lina bertanya dengan cepat, tetapi terhenti.
Tangannya tampak memegang dua gelas besar minuman. Marna baru ingat Lina tadi sedang mencari minuman mentega manis. Hal yang Marna tidak mengerti sekarang, Lina justru berhenti bericara saat melihat Marna di ranjang Tyl.
"... Maaf telah menganggu. Aha.. Ahahaha…," perlahan tapi pasti Lina pun bergerak menghilang dari balik pintu.
Marna pun menyadari kesalahpahaman itu. "Tunggu, Lina!" sang Penyihir bangkit dan bergerak keluar mengejar Lina. Terduga bangsawan itu pun sudah menghilang dari koridor. Mungkin sudah masuk kamar mereka.
"Aku senang kau dapat teman," Tyl tersenyum. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari ini, Marna melihatnya benar-benar lega. Sepertinya kali ini dia benar-benar jujur dan tulus.
"Yha," Marna tersenyum menggoda, entah mengapa walaupun dia menyadari keadaan mereka berdua. Ada masa-masa Marna tidak bisa menahan perasaan yang terkurung di jantungnya. Walaupun itu mungkin menyiksa mereka berdua. Terkadang dia merasa bersalah, tapi di saat yang sama dia tidak berdaya, "Kau tidak perlu cemburu pada perempuan."
"Dasar."
***
Marna terbangun dari tidurnya. Ada hiruk pikuk di luar sana.
"Penyihir!" "Penyihir!"
Ibunya, perempuan berambut hitam panjang berantakan itu, menatap pintu.
"Ibu...."
"Pergi!"
Ibunya menghardik. Namun, Marna tidak mengerti mengapa.
Di luar sana mereka berteriak. Mencaci-maki.
"Pergi!"
Sekali lagi perempuan dewasa itu menghardik.
"Tapi..."
Sang ibu mencengkeram baju Marna dan membisikkan sesuatu.
Apa itu?
Dia tidak jelas mendengarnya?
Di luar terlalu ramai. Api mulai berkobar. Semuanya panas.
Sang ibu melempar anaknya.
"Ibu!"
Marna melayang bebas di udara, tetapi bukan tembok kayu yang dia temui.
Sesuatu yang hampa dan gelap menyelimutinya.
Dingin, bertolak belakang dibanding api di rumahnya.
Sesaat kemudian dia sadar. Dia ada di tempat lain
Memandang rumahnya yang terbakar api.
Anak kecil itu menangis memanggil satu-satunya orang yang dikenalinya di dunia ini.
***
"Ibu!" Marna terbangun terduduk. Napasnya berat dan keringat dingin mengucur deras. Mentari sudah bersinar menerangi seluruh kamar. Dia beruntung, ini sudah pagi.
"Selamat pagi," suara manis Lina menyapanya. Terduga bangsawan itu menyodorkan segelas teh. "Silahkan."
"Oh, terima kasih…," Marna menerima teh hangat itu dan menenggaknya, berusaha menghilangkan bayang-bayang mimpinya yang masih terasa begitu nyata. Memang, tidak sepenuhnya bisa dikatakan tidak nyata.
"Apa aku terlalu berisik lagi?" dia menggumam menundukkan kepalanya sembari menempelkan bibirnya pada gelas.
"Aku hanya sedikit terkejut," Lina tersenyum ramah, "Itu pun saat kau terbangun."
Marna menghela napasnya, "Kubelikan penutup telinga nanti."
"Jangan, nanti kalau ada bahaya aku tidak dengar."
".... Benar juga."
Mereka segera bersiap setelah sarapan. Marna menyempatkan diri membeli bekal lagi sebelum berangkat menuju Nadem. Sesuai arahan Tyl, mereka berjalan mengikuti jalan utama menuju Nadem, sekaligus berharap ada kereta atau pedagang lewat yang bisa mereka tumpangi.
Ketiganya juga tidak harus memaksakan bergerak cepat kali ini. Karena Kulu hanya terhubung dengan satu jalan utama ke arah timur. Kalau ada pasukan kerajaan yang mengejar mereka, itu artinya mereka harus datang dari arah depan.
Kalaupun itu terjadi, mereka hanya perlu menyelinap masuk lebih dalam ke hutan. Lagipula bergerak terlalu cepat di jalan terbuka macam ini akan membuat mereka bertiga tampak sangat, sangat mencurigakan.
Ada satu hal yang mencurigakan dari Tyl tentang Lina. Dia seolah tidak berandai-andai siapa Lina sebenarnya. Seolah pengejarannya itu sangat wajar. Mungkin dia tahu sesuatu. Marna tergoda untuk bertanya, hanya saja dia sudah membuat janji dengan Lina. Curang namanya jika dia tahu duluan.
Namun, gadis terduga bangsawan itu tidak harus tahu jika Marna berbuat curang.
"Aku tidak tahu kau bisa memasak," Lina berbisik sambil memperhatikan Marna yang menumis daging unggas yang ditangkap Tyl. Mereka memutuskan untuk beristirahat jauh ke dalam hutan ketika matahari sudah senja, demi menghindari kemungkinan pasukan kerajaan yang lewat di tengah malam seperti kejadian dua malam yang lalu. "Hebat," puji Lina.
"Ah, biasa saja, makhluk di sana yang sedang membaca itu juga bisa," terang Marna sok merendah disambut gumaman kagum dari Lina.
Sesungguhnya, Marna tidak yakin jika apa yang Tyl lakukan dengan pengolahan makanan itu masuk kategori memasak. Karena dia cenderung membakar atau memanggang apapun benda yang bisa dimasak. Termasuk sayur!
"Kau tidak bisa?" tanya Marna yang langsung dijawab Lina dengan menggeleng polos. Untuk sesaat, di detik itu, Marna melupakan kecurigaannya akan kebangsawanan Lina. Dia menawarkan penggorengan pada Lina, "kau coba saja, ini mudah."
"Lalu? Aku harus bagaimana?" Lina memandang Marna kebingungan setelah menerima penggorengan kecil dari penyihir itu.
"Kau aduk saja dengan menggoyangkan penggorengannya. Semua orang pasti bisa."
Marna mengalihkan perhatiannya dari Lina untuk mengambil roti dari ransel. Sayang, hanya sesaat itulah yang dibutuhkan untuk menghancurkan rencana makan malam mereka. Lina mendadak memekik kecil disertai bunyi kobaran api dan berakhir dengan bunyi berkelontangan.
"Hmmmph.."
Tyl menahan tawanya, Marna berbalik dan melihat seluruh masakannya tercebur ke dalam kobaran api unggun. Semuanya, tanpa sisa. Sampai penggorengannya pun bermandikan api panas.
"Maaf…."
Marna menghela napas dan menepuk-nepuk bahu Lina, "ya sudah kita makan roti saja."
"Gyahahahaha!"
"Tyl, kau jahat!"
"Matikan api unggunnya!" Tyl menghentikan tawanya sendiri dan dengan mendadak memberikan perintah. Seolah menyadari sesuatu.
"Pasukan kerajaan?" Marna segera menyerap energi dari api unggun untuk mematikannya. Tubuhnya jadi terasa sedikit hangat. Tanpa membuang waktu dia pun mengalirkan energi itu ke bumi.
Tyl mengangguk. "Dari arah timur jalan, mungkin dari Nadem."
"Bukan, bukan dari Nadem."
Marna dan Tyl memberikan pandangan heran pada Lina. Dengan mudah gadis kaya raya itu mengesampingkan fakta bahwa pasukan yang didengar Tyl berasal dari Nadem. "Kita bahas nanti, sekarang tiarap," Tyl pun memecah kesunyian canggung itu dengan perintah cepat.
Marna tidak melihat atau mendengar rombongan yang dikatakan Tyl karena posisi mereka yang sebenarnya agak jauh dari jalan utama. Mereka mungkin tidak perlu tiarap seperti itu, walaupun Marna setuju mereka harus mematikan api.
Walau terhalang pepohonan nyala kemerahan api bisa dilihat dari jarak sangat jauh dalam kegelapan macam ini. Bisa saja beberapa dari mereka berkeliaran di sekitar hutan seperti para pembunuh bayaran dua malam yang lalu. Setelah cukup lama bertiarap, Tyl memberi isyarat menandakan dia akan mengecek area demi memastikan. Setelah cukup lama, dia kembali dengan muka agak cemberut.
"Aman?" sapa Marna.
"Iya," Tyl mengangguk sembari menyodorkan tangan hampanya.
"Apa?"
"Minta roti."
"Oh."
Mereka bergerak menjelang subuh keesokan harinya. Kali ini mereka hanya bergerak di dalam hutan dengan bantuan tambahan kecepatan dari Marna. Gadis itu juga mencoba menambahkan ketajaman pengelihatan Lina untuk memastikan klien mereka tidak menabrak apa-apa. Jarak Nadem kira-kira satu-dua hari perjalanan. Dengan bergerak pada kecepatan macam ini, mereka berharap bisa sampai setidaknya pada sore hari.
Harapan itu pun akhirnya menjadi kenyataan.
Sama seperti Kulu, Nadem sepertinya tidak banyak berubah sejak terakhir kali Marna kunjungi. Dia dan Tyl cukup familiar dengan kota besar di balik dinding kokoh tersebut. Kota besar macam ini sering mendatangkan pesanan dalam berbagai bentuk dan rupa.
Satu-satunya hal yang berbeda sekarang, terdapat penjagaan sangat ketat di gerbang Nadem. Apa mungkin mereka sedang mencari Lina juga? Kalau begitu mengapa Lina begitu yakin untuk pergi ke Nadem?
"Berhenti!"
Suara seorang laki-laki memberi perintah pada mereka bertiga. Laki-laki itu memanggil dari belakang, suaranya terdengar familiar. Di sekitar mereka kini berdiri prajurit berbaju besi lengkap dengan tombak terhunus. "Angkat tangan kalian, katakan siapa dan apa tujuan kalian ke kota ini!"
"Kami hanya pengelana, ingin beristi…," jawab Tyl sembari mengangkat tangan dan berputar ke arah laki-laki tesebut, "... Oemmar?"
Terdengar kekehan dari Oemmar. Marna melirik ke arah laki-laki yang bertubuh tegap, menggunakan baju besi, berambut coklat pucat dengan sedikit jenggot tipis yang tertata di rahangnya itu. "Apa yang kau lakukan di sini, Anak Kampung?" tanyanya santai.
"Hal yang biasa, Jenggot," Tyl menyeringai menurunkan tangannya.
Oemmar menatap kesatria bayaran itu dengan tajam, kemudian beralih pada Marna dan akhirnya pada Lina. Seketika itu dia segera menyerukan perintah, "bawa mereka!"