"Tidak bisa tidur?"
Marna diam saja, kepalanya tertunduk memandang lantai di lorong yang hanya diterangi cahaya temaram lampu minyak. Kamar yang didiami Tyl selalu gelap ketika malam sudah larut. Sungguh bertolak belakang dengan Marna yang selalu menyalakan lampu minyak.
"Sudah kukatakan, kau tunggu saja kami di Nadem," Tyl menghela napas lelah.
Marna enggan menjawab. Pikirannya kacau. Dia hanya menggeleng kecil sembari masuk kamar Tyl tanpa permisi. Dia tidak perlu permisi itu, karena pintu sudah dibukakan. Dengan cepat, gadis itu merebahkan tubuh tengkurap di ranjang. Tidak bergerak, ataupun bersuara. Dari derak kayu, Marna bisa menebak sahabat masa kecilnya duduk di lantai dan bersandar pada ranjang.
Penyihir itu tidak yakin berapa lama mereka terkunci dalam kesunyian. Hanya bunyi jangkrik di luar sana yang terdengar. Dia juga tidak tahu apa yang dipikirkan Tyl saat ini. Tidak mengerti jika keinginannya itu adalah tanda keegoisan atau bukan. Hanya satu yang dia tahu. Firasatnya mengatakan bahwa pekerjaan ini bisa berakibat buruk.
"Tyl, ini berbahaya," Marna membalik badannya, memandang langit-langit sekelam benaknya. "Kita tidak tahu siapa Lina dan kita melindungi dia dari siapa."
Tyl membisu.
Mereka terbangun jauh lebih awal di hari itu. Marna tidak sadar kapan dia tertidur, yang dia ingat hanya dia tidak mendapat jawaban apa-apa. Ada yang berbeda kini, Tyl tidak mengulang pendapatnya agar Marna tidak ikut. Sayangnya, dia jadi lebih pendiam sejak kemarin. Mungkin kepalanya terbentur lagi, atau Marna tidak sengaja menyinggungnya. Entah yang mana.
"Selamat pagi," walau hari saat itu masih agak gelap, ternyata Lina sudah siap menyambut mereka di depan klinik Dokter Floes. Dia menggunakan jubah pengelana berwarna abu-abu cerah. Marna tidak ingat ada jubah seperti itu di barang-barang milik Lina. Mungkin dia baru membelinya.
Biro penyimpanan uang selalu buka pagi-pagi buta. Bangunan biro itu sangat besar serta terbuat dari batu-batuan kokoh dan kayu-kayu besar. Penjaga keamanan berpatroli di sekitar bangunan itu. Di dalamnya juga ada penjaga yang tidak kalah banyaknya.
Tyl dan Lina menandatangi perjanjian di mana surat uang Lina sudah disimpan sebagai pembayaran saat mereka mencapai Nadem nanti. Setelah itu mereka segera berangkat dengan menumpang pada rombongan pedagang yang berniat pergi ke Nadem. Lina pada awalnya menolak, tetapi setelah mengetahui bahwa para pedagang itu akan mengambil rute melewati kota Bijam, dia setuju. Akan tetapi, perempuan itu sebenarnya masih tampak agak ragu.
"Sudah berapa lama kalian bersama?" Lina mendadak menanyakan hal itu pada Marna setelah terdiam cukup lama sepanjang perjalanan. Marna menyangka gadis itu memang pendiam atau tidak nyaman dengan dirinya. Namun, mungkin saja dia hanya tidak yakin harus bertanya apa.
"Hmmm," Marna merebahkan tubuhnya pada tumpukan peti yang ditutupi kain di atas gerobak besar yang dibawa para pedagang. Dia dan Lina memang duduk di gerobak yang berada di tengah-tengah iring-iringan ini sejak berangkat tadi, sementara Tyl berada di gerobak paling terakhir. "Sekitar tujuh belas tahun," jawab Marna sembari memandangi langit cerah berawan dari balik rimbunnya pepohonan yang menghisasi sisi-sisi jalan besar ini.
"Lama sekali," Lina, dengan canggung, ikut merebahkan diri di samping Marna.
Mereka berdua kembali terdiam. Marna tidak bisa menyalahkan Lina karena mereka belum saling kenal dan mungkin bangasawan itu takut pada penyihir. Kehadiran penyihir sudah mulai memudar, dan kadang bahkan ditakuti.
Para penyembuh, ahli nujum, dan peramal mendapat tempat khusus di mata masyarakat karena kegunaan mereka. Di daerah tenggara jauh, para penyambung roh sangat dikagumi dan bahkan menjadi bagian penting kebudayaan. Penyihir tipe lainnya, cukup dibenci dan ditakuti. Apalagi para entress -atau tukang jampi-jampi dalam bahasa Tyl- seperti Marna.
Mereka tidak sepenuhnya menggunakan jampi-jampi. Sesungguhnya, mereka mampu memanipulasi energi di sekitar. Menyedot tenaga dari suatu makhluk atau benda dan mengarahkannya ke benda atau makhluk lain.
Melemahkan yang satu demi memperkuat yang lain. Hukum kesetimbangan yang tidak akan bisa mereka langgar. Mungkin, karena kemampuan manipulasi itu mereka menjadi sangat ditakuti. Marna memandang tangan kanannya. Sesungguhnya dia ingin menjadi penyembuh. Setidaknya dengan begitu, dia bisa diterima.
Anak-anak yang terpilih untuk mendapatkan kekuatan sihir sebenarnya tidak memiliki tipe seperti penyihir yang sudah dewasa. Saat kecil, kekuatan mereka masih murni dan tidak stabil. Pada saat kekuatan itu menjadi matang, maka mereka akan berubah sesuai dengan keadaan.
Marna tidak tahu pasti apa faktor yang mendorong perubahan tipe. Namun yang dia tahu pasti, pelatihan sejak kecil sangat berpengaruh kepada tipe yang mereka miliki saat kekuatan itu matang. Karena itu dia berlatih keras untuk bisa jadi penyembuh.
Sayang, segalanya berubah di saat itu. Dia sudah berlatih keras untuk menjadi penyembuh, tapi energi dalam tubuh dan jiwanya seolah memilih jalur lain. Dia justru menjadi entress. Tipe paling langka dan dibenci. Terbesit di benaknya mungkin itu semua terjadi karena kejadian saat itu. Karena dia begitu ingin melindungi Tyl.
"Ini," Lina menyodorkan sebuah roti pada Marna, membuyarkan lamunannya. "Salah seorang pedagang memberikannya pada saya tadi."
Marna menegakkan tubuhnya sembari menerima bongkahan roti yang terlihat enak itu. Dengan cepat dan tanpa sepengetahuan Lina, Marna mengecek unsur racun di dalam roti itu dan tidak merasakan sengatan energi sedikitpun. Tidak ada racun di roti itu.
"Terima kasih, aku memang sudah lapar," Marna tersenyum kecil, "dan aku rasa kau tidak perlu berbicara dengan gaya resmi seperti itu denganku."
"Eh?" Lina tersentak, wajahnya memerah entah mengapa.
"Kalau kau terus menggunakan saya, bukan aku, nanti semua orang sadar kau ini bangsawan," lanjut Marna menyeringai jahil. "Kau tidak mau semua orang tahu kan?"
"Eh maaf saya… Eh aku… eh.."
Lina tergagap sebentar dan kemudian terdiam memandang Marna dengan malu. Sesaat kemudian mereka berdua tertawa terbahak-bahak. Kalau Tyl mendengarnya, pasti dia sudah geleng-geleng kepala membayangkan Marna bertingkah aneh lagi.
Setelah tertawa lepas seperti itu, entah mengapa mereka berdua mulai bisa berbincang lebih santai. Memang tidak banyak hal pribadi yang mereka bicarakan, lebih banyak tentang Lina menanyakan misi-misi apa saja yang sudah Marna dan Tyl kerjakan selama ini.
Sepertinya gadis bangsawan ini tertarik dengan petualangan di dunia luar. Marna membayangkan seberapa terkurungnya Lina di dunianya dulu.
"Kenapa kau menyewa kami begitu saja?" tanya Marna kemudian setelah mereka selesai tertawa lagi akibat kisah perburuan celeng badak yang membuat Tyl nyaris menyerah. "Maaf. kalau kau tidak merasa nyaman menjawabnya, tidak apa-apa."
"Instingku saja. Membawaku ke dokter dan tidak mengambil apa-apa itu saja sudah cukup bukti."
"Sudah kubilang, itu karena Tyl takut dijampi-jampi."
Mereka kembali tertawa. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Marna bertemu seseorang yang dia bisa ajak berbincang seperti ini dengan nyaman. Selain Tyl tentunya.
Rombongan itu berhenti untuk beristirahat di kawasan perkemahan dekat jalan utama yang memang ditujukan sebagai tempat beristirahat. Tempat itu bahkan memiliki pos penjagaan yang diisi tentara kerajaan.
Mungkin hanya perasaan Marna saja, tetapi dia sempat melihat raut tidak nyaman di wajah Lina saat bangsawan yang sepertinya lari dari rumah itu menyadari ada prajurit kerajaan di sana.
***
Marna berjalan di antara pepohonan besar. Segalanya tampak kabur.
Di ujung pandangannya, seorang perempuan berbaju putih berlutut, menunduk.
Wajahnya tertutupi rambut hitam panjang yang acak acakan.
"Ibu...."
Marna memanggil. Perempuan dewasa itu mengangkat kepalanya.
Memandang Marna dengan kosong.
"Anak Haram."
Perempuan itu berdiri mengacungkan cakarnya pada Marna.
"Ibu, aku...."
"Mati kau!"
Bagai kerasukan, perempuan itu menerjang.
Marna berusaha lari, tetapi langkah kakinya begitu pendek. Tubuhnya masih kecil.
Ibunya berteriak histeris, menangkap Marna dan mencekiknya.
***
Marna terbangun, jantungnya berdebar kencang bersama napasnya yang tidak beraturan. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Mimpi. Semua itu hanya mimpi.
"Kau tidak apa-apa?" suara Lina mengagetkan Marna. Gadis bangsawan itu memandangnya dengan raut prihatin.
"Maaf aku," Marna menggeleng, berusaha mencari kantung air.
"Ini," Lina menyodorkan kantung air dengan sigap.
"Terima kasih."
Marna segera mengambil kantung air itu dan meminumnya. Tidak ada sengatan di kantong air itu saat dia menggenggamnya. Hal itu membuat Marna terdiam membisu. Bahkan di saat seperti ini, dirinya masih memeriksa racun dalam setiap makanan yang diberikan orang lain selain Tyl.
Apa yang salah dengan dirinya? Tidak ada alasan sedikitpun untuk Lina meracuninya.
"Maaf, kau tidak apa-apa, Marna?" Lina bertanya lagi. "Aku mendengarmu seperti tercekik dan berteriak."
"Eh… aku membangunkanmu? Teriakanku terlalu keras?" Marna memandang Lina dengan panik.
Bangsawan itu hanya tersenyum lembut dan menepuk-nepuk kedua bahu Marna, "Tidak, tidak terlalu keras. Hanya aku saja yang mendengar."
"Maaf…," Marna tertunduk lesu.
Selama ini hanya Tyl yang terkena efek samping dari mimpi-mimpi buruknya. Kini, orang asing yang baru dia kenal terkena dampaknya. Gadis berambut hitam panjang itu membenamkan wajah ke telapak tangannya, menanyakan hati yang terus bimbang akan kelemahan dirinya. Sisi yang selalu menyusahkan orang lain itu.
"Kau mau cerita?"
Marna mengangkat kepalanya memandang Lina. Ada sebagian dari dirinya mencoba untuk bercerita pada Lina. Namun, sebagian lain justru menolak. Dia ingin bercerita, tapi dia perlu waktu. Tidak sekarang. Marna menggeleng pelan.
"Tidak apa-apa kalau begitu," Lina kembali melakukan gerakan anehnya tadi, menepuk-nepuk kedua pundak Marna dengan kedua tangannya. Di saat itu Marna menyadari kalau perempuan di depannya itu pun sebenarnya juga menyimpan rahasia. Sama seperti dirinya.
Apa mungkin karena itu Mana tidak bisa sepenuhnya percaya begitu saja walaupun sebenarnya dia mulai merasa nyaman?
"Sampai kau juga cerita," Marna tersenyum lemah pada Lina.
"Tentu saja."
Marna terkejut. Lina justru tersenyum tanpa beban sembari mengangkat kepalan tangan kanannya yang hanya mengacungkan jari kelingkingnya. Entah apa maksudnya. "Akan kuceritakan saat kita mencapai Nadem," lanjutnya sembari mengedip jenaka.
Marna terdiam. Matanya menatap heran pada Lina. Heran karena hal yang dia mengerti dan tidak mengerti. Dia mengerti apa yang dimaksud Lina, justru karena itu dia heran. Marna tidak ingat melakukan sesuatu yang bisa membuat Lina mau jujur seperti itu.
Hal yang tidak dimengertinya adalah maksud dari gerakan Lina tersebut. Kejanggalan itu pun membuat mereka berdua terdiam menatap satu sama lain. Lina menatap Marna penuh pengertian, sementara Marna menatapnya penuh kebingungan.
"Ini tanda membuat janji," Lina terkekeh saat menyadari kebingungan Marna.
"Eh, maaf aku...," Marna dengan cepat membentuk posisi yang sama menggunakan tangan kanannya. Lalu setelah ini apa?
"Aku berjanji akan menceritakan segalanya setelah kita mencapai Nadem," kata Lina sembari mengaitkan kelingkingnya pada Marna. Sekarang Marna mengerti, pose ini seperti mengikat janji.
"Aku berjanji akan menceritakan kisahku setelah kau bercerita."
"Kau tidak pernah membuat janji dengan teman sebelumnya?" Lina tertawa kecil melepaskan ikatan kelingking mereka.
Marna menunduk malu, "Sejak kecil… temanku hanya Tyl."
"Sayang sekali, ya," raut wajah Lina berubah ketika mendengar jawaban Marna. Tatapannya berubah sendu, "dan kalian harus terikat pakta seperti itu."
"Yha, mau bagaimana lagi," Marna sepertinya mengerti ke mana arah pembicaraan Lina. "Kalau tidak ada pakta itu, mungkin kami tidak ada di sini sekarang."
"Ah. Aku mengerti. Namun, tetap saja, sayang sekali."
"Kau mau jadi temanku?" Lina berbicara lagi setelah keheningan menghampiri mereka beberapa saat. Tidak ada tanda kelicikan atau rahasia dari dirinya. Marna hanya melihat ketulusan. Entah karena alasan apa.
"Tentu saja."