Gadis itu tampak anggun.
Rambutnya panjang sampai punggung, berwarna kecoklatan, dan sedikit bergelombang. Parasnya juga cantik, tipe cantik bagai bangsawan. Bisa saja dia memang bangsawan yang terpaksa lari menyelamatkan diri dengan sebuah sekoci, atau sampan.
Terbayang bagaimana gadis itu lari dari gelombang laut ganas tak kenal ampun yang telah menelan habis keluarganya yang terpaksa ditinggalkannya di kapal. Mungkin hanya ada satu sekoci saat itu. Pasti dia begitu disayangi, sampai keluarganya harus mengorbankan diri mereka. Menyedihkan.
"Apa, sih, yang kau lakukan?" tanya Tyl heran. Dia mendadak masuk ke dalam bangsal klinik tanpa mengetuk pintu.
Marna tersentak dan menegakkan tubuhnya yang tengah memperhatikan perempuan di ranjang bangsal tersebut. Mereka menemukannya di dalam sampan yang mendarat di pantai tadi. Karena dia tidak sadar, mereka membawanya ke klinik di kota kecil ini.
"Yha, penasaran saja," jawab Marna dengan santai pada Tyl, yang sudah jauh berubah dibandingkan tujuh belas tahun yang lalu.
Marna ingat bagaimana Tyl lebih pendek darinya saat mereka pertama bertemu, tapi kini tubuhnya justru menjulang tinggi dengan bahu lebar. Rambut coklat gelapnya dipotong pendek acak-acakan seperti permintaannya.
Marna tidak mengerti atau pernah menanyakan apa maksud sahabat masa kecilnya meminta agar rambutnya dipotong seperti itu. Dia hanya membantu teman masa kecilnya itu memotong rambut sesuai pesanan. Mungkin rambut acak-acakan macam itu bisa digunakan untuk mengalirkan energi statis atau alat pertahanan diri ala landak celeng.
Marna nyaris terkekeh sendiri membayangkan hal itu, tetapi setidaknya dia masih bisa menahan diri. Kalau dia tertawa sendiri pasti Tyl menyangka dia sudah gila. Walaupun Tyl mungkin sudah menganggapnya gila akibat kesalahpahaman hari ini.
"Kau ini tukang jampi-jampi, bukan peramal atau ahli nujum," gerutu Tyl sembari menyerahkan sekantong koin emas pada Marna. "Ini, penempa pedang mau membuatkan senjata dari dua taring serigala itu dengan bayaran satu taring, tadi aku membelanjakan tiga keping emas untuk memperbaiki baju kulit dan membeli pelindung tangan. Aku ambil sepuluh koin untuk tabunganku."
"Terima kasih," balas Marna santai sambil memasukkan emas itu ke kantung mantel panjang milik Tyl yang dia kenakan.
Si menjulang pernah bilang, di rumahnya dulu ibunya yang sering mengurus pengeluaran uang. Mungkin karena kebiasaan itu dia sering menyerahkan pemasukannya sebagai kesatria bayaran pada Marna untuk diatur. Marna tidak terlalu memusingkan hal itu, lagipula kilau dan nilai kepingan koin emas terlalu indah untuk diabaikan.
"Lalu, kau berhasil mempelajari sesuatu?" Tyl duduk di sebuah ranjang kosong, meletakkan tasnya di lantai begitu saja. Raut wajahnya tampak datar dan tidak ada tanda-tanda lelah. Bekas-bekas luka terpampang di pelipis dan pipinya, serta beberapa bagian tubuhnya.
Jantung Marna seolah berhenti berdetak sesaat melihat itu. Berapa kalipun sahabat masa kecilnya mengatakan tidak ada masalah tentang hal tersebut, Marna selalu merasa bersalah dan bertanggung jawab atas luka-lukanya. Juga tentang seluruh perjalanan bersama mereka dan bagaimana Tyl akhirnya menjadi kesatria bayaran. Semua itu, karena salah Marna.
"Aku ini tukang jampi-jampi, bukah peramal," Marna menyeringai jahil membalas.
Tyl mengangkat kedua tangannya tinggi sebelum akhirnya ambruk ke tempat tidur bangsal tempatnya duduk. "Aku menyerah!"
Gadis berambut hitam berkilau itu pun tertawa kecil melihat keputusasaan rekannya,"dokter bilang dia kelelahan dan dehidrasi, nanti juga siuman."
"Ya sudah kita tunggu saja besok," gumam Tyl lelah.
"Kau sepertinya penasaran sekali."
"Maaf ya, yang memelototi perempuan pingsan tak berdaya bukan aku."
Marna terkekeh kecil sembari berdiri dari tempat duduknya. Dari posisinya berdiri, dia bisa melihat wajah Tyl yang kini menatapnya datar. "Kau mau ke mana?" tanya Tyl dengan nada tidak kalah malas dibandingkan raut wajahnya.
"Membeli bahan-bahan dan perlengkapan, kau mau kumasakkan sesuatu?"
"Hah? Ada dapur di kamar penginapan?"
Marna menggeleng, "Tidak, tapi aku bisa meminjam dapur penginapan."
"Masakkan sesuatu yang enak saja," balas Tyl sambil mendudukkan tubuhnya sendiri.
"Ya sudah, aku berangkat dulu...."
"Tunggu!"
Tyl mencegah Marna keluar sebelum gadis itu sempat melangkah. "Jangan berkeliaran seperti itu. Kembalikan juga mantelku," katanya lagi sembari mengeluarkan baju baru untuk perempuan dari tasnya.
"Kenapa?" Marna tersenyum menggoda. Sebenarnya hal yang dilakukan Tyl itu agak aneh. Mengingat Marna tidak bilang kalau dia tidak akan ganti baju. Mana ada orang waras menggunakan baju pantai di pasar? Lagipula, tempat ini dingin. "Kau cemburu kalau ada yang melihatku begini?"
Tyl menggumam tidak jelas ketika Marna mengambil pakaian yang dibelikan Tyl. Marna hanya tertawa kecil. Dia tidak tahu apa yang digumamkan, tapi sahabat masa kecilnya itu tampak menggerutu. Hal yang cukup menggemaskan.
Marna mengganti pakaiannya dan mengembalikan mantel Tyl sebelum meninggalkan klinik yang terbuat dari kayu-kayu besar berwarna gelap itu. Dia tentunya tidak lupa mengambil kembali kantung sisa bayaran mereka.
Sahabat masa kecilnya mendadak kehilangan rasa malas dan malah menemani Marna berbelanja. Mungkin kepala si jangkung itu terbentur pada pertempuran tadi sehingga tingkahnya jadi 'aneh'. Akan tetapi, Marna tidak mau berpikir terlalu jauh, dia cukup senang ditemani Tyl.
Tidak banyak yang dibeli Marna selain bahan makanan dan persiapan perjalanan. Setelah pedang pesanan Tyl selesai, mereka berencana untuk meninggalkan kota kecil bernama Varch itu dan pergi ke timur laut menuju kota Ryun untuk mencari tugas yang bisa mereka ambil atau orang yang mau menyewa jasa mereka.
Hal lain yang cukup menyenangkan bagi Marna kali ini adalah kenyataan bahwa pakaian yang dibelikan Tyl sangat nyaman digunakan dan juga membuatnya tampak cantik. Harganya pasti beberapa keping emas. Dia mencuri-curi kesempatan untuk memperhatikan gerak-gerik Tyl. Memastikan tidak ada yang rusak di kepala sahabatya tersebut. Walau hati kecilnya bertanya-tanya, apa Tyl melihatnya cantik menggunakan baju yang baru dibelikan itu?
Namun, mungkin… pertanyaan macam itu terlalu berharap berlebihan dan tentu saja melanggar aturan kuno. Masalahnya, apa mengharapkan mereka begini terus selamanya juga berlebihan?
***
Marna terbangun keesokan harinya ketika mentari sudah bersinar terang. Dia mendudukkan tubuhnya dan menoleh ke sekitar, Tyl sudah menghilang dari kamar.
"Payah…," keluh Marna sembari menghantamkan wajah pada kedua telapak tangannya.
Terkadang, saat tidak memiliki uang, Marna dan Tyl mau tidak mau harus berbagi kamar. Tentu saja yang laki-laki tidur di lantai jika hanya ada satu ranjang di sana. Namun, di masa-masa lain ada hal lain yang memaksa Marna melakukannya. Seperti tadi malam, dia kembali dihantui mimpi buruk yang menghalanginya untuk tertidur.
"Lain kali kita sewa satu kamar saja," kata Tyl yang kembali ke kamar membawa sarapan untuk mereka berdua. "Apalagi kalau tempatnya mahal begini."
"Maaf…," Marna menunduk lesu sembari menerima mangkuk sup dari Tyl. Dia tidak bermaksud seperti itu. Penyihir itu mengira tadi malam akan baik-baik saja. Akan tetapi, bayangan-bayangan buruk kembali datang. Dia pun akhirnya terpaksa meminta Tyl menemaninya berbincang sampai dia tertidur.
Ya.
Keegoisannya sangat merepotkan. Mungkin sebenarnya lebih baik jika dia biarkan saja dirinya terbangun, kalau dia kelelahan juga nantinya dia akan tertidur.
Marna menoleh pada Tyl yang duduk di lantai bersandar pada ranjang sembari melahap supnya. Dia masih bertanya-tanya dalam benaknya akan alasan mengapa dia begitu lemah. Begitu mudah untuk tergerak begitu saja ke tempat dia merasa nyaman. Walaupun pada akhirnya dia sadar kalau hal itu jelas merepotkan. Mungkin dalam pakta ini, dia lebih banyak merepotkan daripada membantu. Bukan Tyl yang memerlukan pakta ini, tetapi dirinya.
"Terkadang kita harus menghadapi diri kita sendiri," kata Tyl membuyarkan lamunan Marna. "Tapi aku tidak bisa menyalahkanmu jika itu terlalu berat sekarang." Dia berbalik menoleh pada Marna sembari menawarkan roti sebagai peneman sup. "Tidak ada yang bilang aku tidak suka menemanimu berbincang," lanjutnya seolah mampu membaca pikiran Marna.
"Kau berusaha menyogokku supaya aku masak terus ya?" Marna tersenyum kecil. Jemari lentiknya menerima roti dari Tyl yang langsung dillahapnya.
"Mungkin," Tyl mengangkat bahu dengan acuh tak acuh sambil kembali terpusat pada supnya.
Marna memandangnya lemah. Jantung gadis itu terasa cukup sakit saat teringat kembali penyesalan akan pakta yang telah mereka bentuk. Namun, jika pakta itu tidak dibentuk, mereka belum tentu ada di sini.
Mereka berangkat ke klinik setelah selesai sarapan dan bersiap-siap. Dokter Floes yang menjaga di sana memberi tahu mereka bahwa 'pasien' yang mereka bawa kemarin sudah siuman. Dia juga menyatakan bahwa gadis itu ingin bertemu mereka di ruang rawat pribadi.
Baru saja sadar, gadis itu sudah bisa menyewa ruang macam itu. Marna semakin yakin dengan teorinya. Gadis itu pasti bangsawan kaya raya.
Selain itu, memang benar adanya dia memiliki uang sebanyak itu. Marna dan Tyl menemukan sekantung koin emas dan beberapa surat uang, entah asli atau palsu. Lucunya, Tyl justru menolak menjarahnya dengan alasan dia takut semua harta itu dijampi-jampi kutukan mengerikan. Payah. Padahal Marna sudah berusaha meyakinkannya bahwa tidak ada apa-apa di sana. Dasar penakut.
"Permisi," Marna membuka pintu ruangan rawat pribadi yang berada pada di sudut klinik. Tentu saja dia melakukan itu setelah mengetuk pintu terlebih dahulu. Dia masih ingin sopan.
Ruangan itu tidak terlalu besar ataupun terlalu kecil. Ada sebuah ranjang diletakkan melintang di dekat dinding di seberang pintu masuk. Perempuan yang mereka selamatkan kemarin sedang duduk di tempat tidur. Dia memandang ke luar jendela.
"Maaf?" Marna bertanya sekali lagi.
Si perempuan berambut coklat tampak tersentak sedikit, mengusap matanya dan beralih menghadap Marna dan Tyl. "Oh, maaf saya melamun," jawab perempuan itu dengan suara yang terdengar manis anggun.
Dia menggunakan kata 'saya', pasti bangsawan.
"Oh, tidak apa-apa," Marna tersenyum kecil. "Apa kami mengganggu?"
"Tentu saja tidak," perempuan bagai bangsawan itu menggeleng. Dia menyempatkan diri untuk memandang Tyl dan Marna bergantian sebelum bertanya, "Apa kalian Marna dan Tyl?"
"Betul sekali, Lyn Marna dan Tyl Halvus. Lalu kamu sendiri?" hanya Marna yang balas berbicara.
Tyl, seperti biasa, menutup mulutnya rapat. Lidahnya selalu kelu saat berbasa-basi seperti ini. Tapi kalau sudah topik pembicaraan bergeser ke potensi penyewaan jasa, senjata, takhayul, sejarah, atau ilmu pengetahuan maka dia akan mengambil alih pembicaraan.
"Namaku Lina"
"Lina…."
"Maaf, saya rasa Lina saja sudah cukup," jawab Lina sopan tetapi terdengar tegas tegas, "untuk sekarang. Silahkan duduk"
"Oh, maaf, aku terlalu lancang," Marna duduk di kursi yang berada di samping tempat tidur, sementara Tyl duduk di kursi yang bersandar di dinding sebelah kiri pintu masuk. Ada raut yang janggal di wajah Tyl. Matanya menatap tajam pada Lina dan dahinya berkerut.
"Tidak apa," Lina tersenyum sopan.
"Jadi," Marna menatap Lina santai, "dokter mengatakan kau mencari kami."
"Benar, saya ingin berterima kasih pada kalian karena sudah menolong."
"Aah, tidak apa-apa," Marna menggoyang-goyangkan tangan sebagai tanda agar Lina tidak terlalu memikirkannya. Membantu orang lain adalah hal yang sudah sewajarnya dilakukan tiap insan.
"Dan kalian baik sekali karena tidak mencuri apa-apa."
"Uhuk!"
Tyl terbatuk, jelas menyindir. Marna meliriknya sebentar, berusaha mengeluarkan hawa mencekam. Namun, nampaknya hal itu tidak berhasil karena Tyl nyaris tidak bereaksi.
"Saya pikir orang baik macam kalian di dunia ini sudah punah," lanjut Lina tidak menyadari kode yang diberikan Tyl. Marna cukup bersyukur akan itu, tapi sekarang saatnya membalas.
"Aaah, kau terlalu memuji," Marna mengibas-ngibaskan tangan kanannya di depan wajahnya, pura-pura merendah. "Kami tidak berani mencuri karena Tyl menyangka emas dan kertas tanda bankmu dijampi-jampi kutukan mengerikan."
"Hmmph... Ahahahahha."
Marna mengharapkan protes dari Tyl, tapi yang terjadi justru Lina tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Marna. Ternyata ada juga orang aneh di dunia ini selain mereka berdua.
"Kalian lucu, serasi sekali," Lina tersenyum lebar, masih tertawa kecil.
"Kami bukan pasangan," jawab Tyl dan Marna bersamaan. Dia tidak tahu dengan Tyl, tapi jantungnya serasa berhenti berdetak saat mengatakan kata-kata itu. Hal ini sering terjadi, seharusnya dia sudah terbiasa. Namun, dia tidak pernah bisa terbiasa.
"Oh, maaf," Lina tampak terkejut, "saya kira kalian pasangan."
Marna menggeleng, "Tidak apa-apa."
"Berapa?" Tyl memiringkan kepalanya menatap Lina.
"Eh?" Lina dan Marna serentak menatap heran pada Tyl.
"Kau mau menagih uang penyelamatan?" tanya Marna heran. "Tega nian kau."
"Bukan!"
Setelah mendesis, Tyl menggumam menggerutu. Tampak menggemaskan sekali. "Dokter Floes yang menyewa kami kemarin, dia pasti sudah memberitahumu. Kau bukan hanya ingin berterima kasih," lanjutnya lagi setelah selesai menggerutu.
Lina terdiam sejenak dan membalas tatapan malas Tyl sebelum akhirnya menjawab serius, tetapi nada suaranya masih terdengar manis, "Benar. Aku akan menyewa kalian."
"Kami menolak misi pembunuhan," Tyl menyandarkan tubuhnya, masih menatap Lina. "Kecuali monster yang menganggu."
"Bukan," Lina menggeleng.
"Pengawalan?" Marna ikut menatap Lina yang raut wajahnya berubah.
Perempuan itu menutup matanya sejenak dan menarik napas dalam, "Benar, menuju Nadem."
"Siapa yang mengejarmu?"
Lina tersenyum simpul, jelas menyembunyikan sesuatu. Yha, namanya juga bangsawan.
"Hanya halangan di sepanjang jalan."
"Siapa… yang mengejarmu?" Tyl menekankan nada bicaranya.
Marna menatap Tyl, dia tampak serius dan Marna mengerti mengapa. Nadem berada di arah timur sedikit ke utara. Terdapat jalan besar menuju ke sana. Siapapun bisa menyewa atau menumpang pada kereta dan rombongan pedagang yang sering bolak balik ke sana. Nadem adalah kota besar dan pusat perdagangan. Seharusnya tidak ada halangan menuju kota tersebut, apalagi dengan adanya pasukan patroli dari kerajaan.
Hanya saja, benak Marna berandai jika Lina sampai terdampar akibat dikejar-kejar seseorang. Mungkin juga patroli pasukan kerajaan belaka tidak bisa membantunya.
"Saya tidak bisa mengatakannya," Lina menunduk lemah.
"Maaf," Tyl menghela napas, "kalau begi…"
"Dua ribu keping emas."
Tyl sudah berdiri untuk melangkah pergi, akan tetapi dia tersentak mendengar penawaran Lina. Jangankan sahabat masa kecilnya, jantung Marna pun nyaris copot mendengar jumlah sebesar itu.
"Seperempat saya bayar di muka, saya siapkan separuh saat mencapai Balem, sisanya di Nadem," lanjut Lina menjelaskan penawarannya.
Tawaran yang sangat menggiurkan. Namun Marna tidak bisa mengesampingkan perasaan tidak enak akan tawaran ini. Orang-orang macam apa yang mengejarnya sampai Lina tidak berani bilang tapi berani memberikan tawaran sebesar itu?
Marna menoleh pada Tyl mencoba mencari pendapat. Namun kesatria bayaran tersebut justru balas memandangnya dengan tatapan yang saat itu tidak dimengerti Marna. Dia tidak tahu, apakah itu kegelisahaan, kebimbangan, rasa sakit, atau kelegaan?
Setelah sesaat yang terasa begitu lama itu, Tyl tersenyum lemah sebelum menoleh pada Lina, "Gunakan biro penyimpanan sebagai orang tengah, ada kantor mereka di kota ini. Orang-orang mereka akan memeriksa kalau kau sampai dengan aman di Nadem, di sana mereka akan memberikan uangnya."
"Setuju."
Marna menatap Tyl dengan sangat heran. Dia tidak mengerti apa yang merasuki Tyl sampai mau menerima misi seperti itu. Apa kepalanya benar-benar terbentur saat melawan serigala besar?
"Kita berangkat besok subuh?" baru saja Marna mencoba mempertanyakan keputusan sahabat masa kecilnya itu, Tyl sudah memastikan waktu keberangkatan besok.
"Baiklah, saya akan menunggu kalian di sini," jawab Lina tenang.
"Hanya aku."
Marna membelalak, dia nyaris tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Apa maksudmu?"
Tyl tersenyum lemah, "kita akan bertemu di Ryun setelah ini selesai."
"Aku ikut," balas Marna ketus.
Memang, di antara mereka Tyl adalah yang mendapat lisensi kesatria bayaran. Namun, Marna tidak suka meninggalkannya sendirian dalam keadaan kurang aman. Apalagi dalam tugas yang sangat mencurigakan tingkat keberbahayaannya macam ini.
Tyl menghela napas lelah, "Ya sudah kita bertemu di Nadem."
"Aku…," menggeram, Marna bisa merasakan aliran energi di sekitarnya mulai beriak dengan ganas. Pandangannya pun mulai terselaput warna samar kebiruan, "…ikut."
"Maaf."
Suara Lina memecah fokus Marna. Dia baru ingat ada orang lain selain Tyl di ruangan ini.
Penyihir berambut hitam panjang itu berbalik pada Lina, berusaha mengalihkan topik, "Oh, maaf, aku.."
"Tidak apa-apa," Lina mengibas-ngibaskan tangannya santai.
"K-kalau begitu aku kami permisi dulu," Marna segera bergerak ke arah pintu. Dia masih tidak mengerti apa yang ada di otak sahabat masa kecilnya itu. Besok, bagaimanapun juga dia harus ikut. Tujuh belas tahun terakhir ini adalah salahnya, dia tidak akan bisa memaafkan dirinya jika terjadi apa-apa pada Tyl sementara dia berpangku tangan.
"Maaf," Lina kembali bersuara, menghentikan langkah Marna.
Sang penyihir menoleh sekali lagi para Lina yang tampak ragu-ragu mengeluarkan kata-katanya. Seolah ada sesuatu yang tabu dan tidak enak dia sampaikan begitu saja.
"Apa kalian berdua terikat Pakta Sihir?"