Chereads / CodexTrigger / Chapter 2 - Bab I - Kami

Chapter 2 - Bab I - Kami

*Maukah kau membuat pakta denganku?*

-----------------------------------------------

Mentari bersinar terang di langit, tetapi hawa dingin menusuk tetap menghantui. Seekor serigala besar berbulu abu-abu berdiri di puncak karang yang menghadap pantai. Dia menyeringai penuh ancam memamerkan taring-taring tajam. Berbagai bekas luka di tubuhnya justru membuatnya tampak lebih berbahaya. Terlebih lagi dengan munculnya serigala-serigala besar lain.

"Tyl, i-itu?"

Tyl mengangguk membenarkan pertanyaan gadis yang tampak berusia delapan belas tahun dengan rambut hitam panjang. Para serigala kini menggeram penuh ancam di hadapannya. Hewan itu berada pada lokasi yang lebih tinggi, bukan sesuatu yang menguntungkan bagi Tyl.

"Marna, kau siap?" tanya Tyl pada Marna yang masih menggigil. Hal itu menjadi pertanyaan besar bagi Tyl mengingat pakaian Marna yang bertolak belakang dengan kondisi dingin tempat ini. Sesuatu pasti menghantam kepala gadis itu sebelum mereka berangkat tadi.

Marna mengangguk, memegang erat kitab di tangan kanannya. Tubuhnya sedikit berpendar. Cukup untuk membuat perhatian Tyl teralih, jika dia boleh jujur. Namun, sekarang bukan saatnya untuk memalingkan pikiran dari para serigala. Target mereka kini ada di depan mata. Para serigala yang berhenti menggeram, membawa keheningan, telah mengepung mereka baik di bagian pasir pantai maupun puncak tebing.

Lima serigala menerjang ke arah dua manusia itu. Tyl langsung melepaskan tembakan dari pistol di tangan kanannya pada dua serigala tepat di mata mereka. Di sisi lain, dua serigala lumpuh seketika saat energi mereka disedot Marna yang mengalihkan tenaga mereka pada Tyl. Serigala kelima nyaris mencapai Tyl dari arah belakang. Dengan energi yang diberikan Marna, Tyl berputar ke kanan sembari menebaskan pedangnya dengan vertikal dari atas, dalam sekejap menyembelih serigala itu.

Tyl dengan lihai menggunakan kedua senjata di tangannya untuk bertahan maupun menyerang, sementara Marna mempermainkan para serigala dengan memanipulasi energi mereka. Di tengah pertarungan, Tyl merasakan hawa membunuh yang begitu pekat mengintainya. Seketika itu, dia mengayunkan pedangnya ke samping hanya untuk bertemu cakar besar serigala abu-abu pimpinan kawanan ini.

"Tyl!" Marna memanggil. Tyl segera memutar tubuhnya ke belakang demi melepaskan diri dari adu kekuatan itu. Percuma beradu tenaga dengan makhluk yang besarnya setidaknya empat kali lipat dirinya.

"Aku bisa menanganinya, kau lindungi dirimu dulu!" seru Tyl sembari berputar dan melepaskan tembakan pada mata dua serigala yang berusaha mengepung Marna.

Sejujurnya Tyl lebih ingin membantu Marna. Dia juga sesungguhnya enggan membawa Marna dalam misi seperti ini karena dia tidak ingin Marna terluka lagi. Laki-laki jangkung itu mengkhawatirkan saat-saat di mana dia akan lengah dan membahayakan Marna.

Tyl menghentikan putarannya ketika menyadari seekor serigala yang bersiap menerkam Marna dari belakang. Dia kembali mengacungkan senjata apinya dan menarik pelatuk. Kali ini dia berhasil melukai kaki belakang hewan itu.

Tyl berguling ketika terdengar geraman penuh ancam dari belakang. Tebasan cepat cakar sang serigala besar nyaris memutuskan bahunya. Mantel dan baju pelindungnya yang terbuat dari kulit telah terkoyak, menampilkan bekas luka besar yang didapatkannya tujuh belas tahun lalu.

Sang serigala berkelit ketika Tyl melepaskan tembakan balasan. Namun, tepat saat serigala itu mendarat, sebuah benda kecil menghantam mata kanannya dengan telak dan kuat. Pelakunya adalah Marna.

Gadis itu tersenyum kecil pada Tyl sembari melempari sang serigala dengan kerikil menggunakan kekuatan yang jauh lebih besar dari yang seharusnya bisa dilepaskan tubuh mungilnya. Beberapa serigala yang masih hidup tampak terkulai lemas di sekitarnya. Tier tidak lagi heran, mengingat bagaimana pistolnya bekerja tanpa timbal atau mesiu pun sedikit banyak akibat pengaruh Marna.

Tyl bergerak kedepan sembari melepaskan tembakan-tembakan cepat pada serigala besar yang kesakitan akibat ulah Marna. Sayangnya, kulit serigala yang menggeram dan bersiap menerjang ke arah Marna itu terlalu tebal untuk ditembus senjata apinya.

"Hei, ke sini!" Tyl melepaskan rentetan tembakan ke area di sekitar mata serigala yang terluka itu.

Serigala besar itu mendengus berang dan mengalihkan perhatiannya pada Tyl. Tanpa pikir panjang, kalau dia bisa berpikir, hewan itu menerjang Tyl dengan ganas. Mulutnya membuka lebar, entah bersiap melahap Tyl atau mencabik-cabiknya. Sudah pasti dua-duanya bukan hal yang ingin dialami Tyl. Di saat itu, kerikil kembali menghantam mata serigala itu, membutakan mata kirinya.

"Ya ampun," Tyl menghela napas serta mundur sedikit. Menargetkan mata hewan macam itu memang biasanya ide bagus, akan tetapi melumpuhkan kedua mata hewan besar macam itu justru membuatnya bergerak membabi buta dan lebih berbahaya untuk sesaat.

Sesaat.

Serigala itu menyeruduk dan menerkam tanpa arah di tengah kebutaannya. Tyl bergerak mundur lebih jauh menghindari serangan acak-acakan itu. "Marna aku perlu melompat," Tyl menyeringai pada Marna sambil melepaskan tembakan pada serigala besar buta itu.

"Baiklah," Marna membuka kedua tangannya ke samping, yang cukup mengalihkan perhatian Tyl, bersama dengan kitab yang melayang terbuka di antaranya.

"Makasih," Tyl tersenyum sekilas sebelum kembali terfokus pada sang serigala besar, pistolnya disarungkan kali ini. Tepat ketika serigala itu nyaris mencapai dirinya, Tyl melompat tinggi menggunakan tenaga yang disalurkan Marna. Tanpa ampun, dia pun mendarat menggunakan pedangnya dan menancapkannya tepat ke dahi serigala itu.

Serigala itu meraung keras meronta-ronta sementara Tyl berpegangan erat pada pedangnya. Untungnya itu bukan hal yang terlalu berat dilakukan akibat bantuan Marna. Beberapa saat kemudian, serigala itu pun ambruk tak bernyawa.

Tyl kemudian menghabisi sisa serigala-serigala, yang tampak sudah sangat lemas, dengan pistolnya. Setidaknya dia memberikan mereka kematian yang cepat dan tidak menyakitkan. Dia memang dibayar untuk menghabisi kawanan serigala besar yang dikatakan sangat menganggu ini, tapi tidak ada gunanya menyiksa mereka lama-lama.

"Berarti sekarang tinggal taringnya saja sebagai bukti," gumam Tyl pada dirinya sendiri sembari membuka rahang serigala besar itu dan berusaha mencongkel taringnya. Dia bisa menjualnya, atau bahkan membuat pedang dari taring itu. Menyadari ide cemerlangnya, dia mencongkel tiga taring lagi dengan susah payah.

"De-dengan bukti taring itu kita bisa dapat tujuh puluh keping emas," gumam Marna masih dengan suara seperti kedinginan. "Ta-pi taring lainnya bi-sa dijual seharga… hchih!"

"Mau kubuat pedang," kata Tyl acuh tak acuh sembari memasukkan taring-taring itu ke dalam karung besar, dan juga menjaga pandangannya dari Marna. Sebenarnya sejak sebelum bertarung melawan serigala-serigala ini, jantungnya sudah berdebar kencang.

"Di-ngin…."

Tyl menghela napas lelah mendengar keluhan kecil Marna, "Siapa yang menyuruhmu memakai baju seperti itu?"

"Hstchih!" Marna bersin sambil memeluk tubuhnya sendiri. "K-kau bilang kita ke pan-tai."

"Iya... Pantai Var... schisch," jawab Tyl.

Awalnya dia membalas ringan, tetapi sempat terbata akibat jantungnya yang berdebar sangat kencang ketika dia mengarahkan pandangannya pada Marna yang baru Tyl sadari terpaksa melepas jubahnya dalam pertarungan. Gadis itu tampak sangat menggoda, jika Tyl boleh jujur. Walau di saat yang sama hati Tyl terasa jatuh ke bawah dan meninggalkan ruang hampa.

Marna yang terus menggigil menghela napas sembari berjalan melewati Tyl, mendekati laut, dan menggerutu, "Ma-mana aku tahu pantai ini d-dingin. B-bayanganku tentang pantai berbeda. Se-seharusnya pantai, kan, hangat…."

"Semua pantai di selatan memang dingin pada musim ini, kalau kau mau pantai yang hangat nanti kita harus ke utara atau menunggu separuh tahun," keluh Tyl menghela napas sembari melepas mantelnya yang sobek di bagian bahu. "Ini," Tyl dengan ringan menyodorkan mantelnya pada Marna yang berhenti memeluki tubuhnya sendiri dan tengah memandang laut lepas.

Dia tidak akan tega membiarkan Marna kedinginan seperti itu. Memang itu salah gadis itu, tapi mungkin juga salah Tyl karena tidak menjelaskan lebih detail. Dia seharusnya menyadari pikiran macam apa yang ada di balik tempurung kepala Marna atau pakaian macam apa yang dia gunakan di balik jubahnya sebelum mereka berangkat dari penginapan tadi.

Mereka sudah kenal selama tujuh belas tahun, seharusnya dia memang bisa lebih tahu. Namun, mungkin sebenarnya dia masih tidak begitu banyak mengenal gadis yang nampak delapan tahun lebih muda darinya itu.

"Terima kasih," senyum manis menghiasi wajah Marna saat dia mengenakan mantel Tyl.

Marna tampak lebih nyaman dan tidak menggigil lagi. Tyl hanya bisa terkekeh kecil melihat tingkah rekannya itu. Syukurlah jika dia sudah merasa lebih enak sekarang. Tyl mengalihkan pandangannya dari Marna yang tetap tidak kalah menarik dengan hamparan laut indah di hadapannya kini.

Dia cukup yakin Marna merasakan kedamaian yang sama akibat memandang laut luas nan cantik. Hembusan angin sepoi-sepoi nan dingin menusuk tulang pun membelai mereka. Sayang saja, bagi Tyl itu tidak terasa seperti belaian, lebih tepatnya seperti hantaman dingin bertubi-tubi. Dia menyesal telah memberikan mantelnya.

Hal itu tidak terjadi lama. Tyl kemudian merasakan tangan Marna menyentuh punggungnya, kehangatan pun mulai menyebar melingkupi tubuhnya. "Tenang saja," kata Marna dengan manis, "aku bisa mengalirkan tenaga untuk membuatmu tetap hangat."

Tyl terkekeh, "Yha... Aku rasa itu be...." Tyl mendadak terdiam sembari memandang Marna dengan heran. Dia baru ingat kenyataan akan sihir Marna,"...nar."

"Jadi kau juga bisa membuat dirimu hangat kan?" tanya Tyl curiga.

"Tentu saja!"

Tanpa ragu Tyl mencengkeram mantelnya yang tengah dipakai Marna dan menariknya sedikit. "Kembalikan mantelku!"

"Tapi... tapi," Marna memprotes lemah sementara Tyl menatapnya tidak peduli. Gadis itu bisa menghangatkan dirinya sendiri dengan sihir, untuk apa repot-repot meminjamkan mantel?

"Jubahku rusak," Marna menekuk wajahnya masih memprotes lemah.

"Haaaaaah," Tyl menghela napas panjang dan berjalan melewati Marna. Dia menyerah mencoba mendapatkan mantelnya kembali setelah mengingat kesalahpahaman Marna akan tempat ini. "Salahmu sendiri menggunakan pakaian untuk pantai hangat."

"Iyaa, maaf."

"Lagipula," Tyl memiringkan kepalanya, dadanya terasa berdebar sedikit cepat. "Tempat ini kan sepi, ada serigala besar pula, mana orang tersasar yang bisa kau pikat?" Tyl mengharapkan jawaban meracau dari Marna, seperti biasanya. Namun, kali ini rekannya itu justru terdiam untuk beberapa saat.

"Mungkin…."

Tyl berbalik menghadap Marna ketika rekannya itu mulai bersuara, jantungnya berdebar kuat. Wajah Marna nampak sedikit memerah, "... mungkin ada… satu..."

Tyl terpaku. Segalanya terasa membingungkan di tengah detakan jantungnya yang kuat. Jujur saja, dia ingin merasa sombong di sini atau melompat kegirangan karena jawaban Marna itu.

------------------------------------

*Mulai saat ini, kita terikat pakta.*

------------------------------------

Hati Tyl mendadak terasa kosong mengingat kata-kata marna di masa lampau. Semua debaran jantungnya jatuh berubah menjadi kehampaan yang dingin. Lebih dingin dari angin yang berhembus menusuk tulangnya. Laki-laki itu mengalihkan pandangannya dari Marna sebelum gadis itu sempat balas menatapnya tadi.

"Berhenti mempermainkan perasaanku," gumamnya pelan.

"Eh? Kau ada bicara?" Marna memiringkan kepalanya bingung.

Tyl mengangkat kepalanya menghadap lautan, tidak tahu apakah dia harus bersyukur atau kesal karena Marna tidak mendengar gumamannya. Separuh hatinya ingin melepaskan emosi itu, tetapi sebagian menolak agar Marna mendengarnya. Tentu saja hasilnya hanyalah gumaman tidak jelas.

Untung saja matanya mendadak memberikannya target pengalihan isu. Di kejauhan nampak sebuah sampan terombang-ambing di tengah lautan. "Sampan," kata Tyl pada Marna menunjuk sampan yang perlahan terseret ke pantai itu.

"Eh?" Marna dengan cepat menyadari objek yang ditunjuk Tyl. "Tapi, apa yang dia lakukan di tengah laut seperti itu?"

"Kita periksa?" tanya Tyl sembari memiringkan kepala. "Mungkin ada koin emas," lanjutnya menyeringai lebar pada Marna.

"Emas," bibir Marna membuka sedikit menemani senyuman tamak di wajahnya.

Di saat itu, Tyl berani bersumpah mata biru gadis itu berpendar keemasan.