Chereads / CodexTrigger / Chapter 1 - Prolog

CodexTrigger

🇮🇩Mananko
  • 25
    Completed
  • --
    NOT RATINGS
  • 67.9k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Prolog

*Namaku Marna, Lyn Marna*

------------------------------

Dia tidak mengerti.

Anak laki-laki itu tidak mengerti bagaimana seluruh hal ini bisa terjadi. Seorang peramal muncul begitu saja saat mereka tengah bermain-main. Ketika penyihir yang diberkahi kemampuan melihat masa depan itu mencoba meramal nasib, dia justru mendadak berteriak dan berlari ke arah desa sebelah. Tidak lama kemudian, orang-orang dewasa dari desa itu pun muncul.

Gadis kecil teman anak laki-laki itu tidak menjerit saat penduduk desa sebelah datang. Dia hanya terdiam terpaku saat mereka menyeretnya. Caci maki dan raungan amarah memecah kesunyian damai hutan lebat.

Namun, gadis itu bergeming. Membisu. Hanya anak laki-laki itu yang bisa melihat rasa takut yang dalam bersembunyi di balik sorot sepasang mata birunya yang berkilau.

Kini kaki kecil bocah lelaki itu berlari cepat menerobos hutan diiringi dedaunan coklat berjatuhan. Angin yang berhembus pelan memaksa ujung-ujung pepohonan untuk bergesekan satu sama lainnya. Mereka semua seolah berbisik mengantarkan langkahnya menuju jalan yang benar. Tempat di mana temannya digelandang.

Tujuannya jelas, tetapi pikirannya kacau karena dia tidak mampu menelaah apa yang dipikirkan orang-orang desa. Para penyembuh ataupun peramal juga penyihir, dia tahu itu, mereka juga seharusnya tahu.

Lalu apa yang membuat temannya begitu berbeda? Apa yang membuatnya menjadi dibenci?

Bangunan-bangunan desa tampak begitu kakinya melangkah keluar dari pepohonan. Rumah-rumah dari kayu itu tampak sunyi senyap, menyembunyikan sesuatu di balik keheningan. Mereka seolah bersiap untuk menjadi saksi bisu atas penghakiman yang akan datang.

Senja hari adalah saat orang-orang dewasa kembali dari ladang dan sungai, seharusnya ada beberapa dari mereka yang lalu-lalang di area ini. Namun, kali ini jalanan dari tanah itu begitu kosong, mereka tidak ada. Di tengah napas beratnya, anak laki-laki itu kembali memaksa kedua kakinya untuk berlari sekali lagi.

Rumah-rumah di bagian pinggir desa itu nyaris kosong, hanya menyisakan anak-anak yang mengintip dengan heran dari jendela-jendelanya. Mereka tampak takut dan bingung, mungkin sama bingungnya dengan dirinya. Entah bagaimana jadinya mereka akan bertindak jika tahu apa yang sesungguhnya tengah terjadi.

Kemungkinan besar penduduk desa pergi ke alun-alun di pusat desa. Namun, di balik temaramnya langit senja yang memerah bagaikan bermandikan darah, anak laki-laki itu melihat jejak-jejak tertinggal yang mengarah ke sisi lain desa. Orang-orang dewasa dari desa ini sepertinya tengah berkumpul di lumbung di sebelah barat.

Dia terus berlari sekuat tenaga walau kakinya mulai terasa sakit dan napasnya menjadi semakin berat. Dia tidak tahu apakah dia akan sempat mencapai tempat itu. Dia juga tidak tahu hal apa yang bisa dia lakukan demi menolong temannya.

Tidak ada yang mau mendengar kata-kata anak kecil. Mana ada orang yang sudah tersulut rasa takut dan amarah mau menghentikan perbuatan mereka. Mungkin karena mereka lebih tahu dunia, mereka sudah lebih berpengalaman, mereka tahu rasa sakit yang belum pernah dialami anak kecil seperti dirinya.

Akan tetapi, apa itu semua membuat mereka berhak menghakimi? Apalagi pada anak kecil yang juga sama tidak tahunya dengan dirinya? Apa sebenarnya salah anak yang akan dihakimi itu?

Angin kembali mengantarkan kepada telinganya suara-suara di kejauhan. Keributan terdengar dari arah lumbung di pinggiran sebuah ladang. Seharusnya tidak lama lagi, maka kaki-kaki kecil itu akan berhasil mencapai lumbung.

Orangtua Tyl pernah mengatakan, jangan menyerah saat semuanya terasa berat. Mereka bilang, justru segalanya semakin berat saat kita akan mencapai puncak. Karena pendakian semakin terjal, angin semakin kencang, suhu semakin dingin, dan dada terasa sulit untuk menarik napas. Tetapi, semua itu bukanlah alasan untuk berhenti, mereka justru tanda bahwa puncak sudah menanti.

Oleh karena itu, dia tidak akan berhenti di sini. Tidak saat jarak mereka sudah begitu dekat.

"Marna!"

Anak kecil itu memanggil temannya, seorang gadis kecil yang meringkuk di dekat dinding lumbung. Tubuh Marna diselimuti rambut hitam legam sempurna yang berkilau memantulkan warna senja. Lecet, luka, dan debu mengotori tubuhnya. Penduduk desa pun terus melemparinya dengan batu. Rahang-rahang mereka membuka melancarkan teriakan-teriakan.

"Penyihir!"

"Entress...."

"Dia seorang entress!"

Apa yang salah dari entress kalau tidak menganggu? Sejauh ini Marna tidak pernah melakukan apapun yang berbahaya. Hal yang dia lakukan hanyalah bermain-main di hutan seperti anak-anak pada umumnya.

"Hentikan!"

Anak laki-laki itu membentangkan tangannya dan berdiri di antara Marna dengan penduduk desa. Bebatuan kerikil yang sudah terlanjur dilayangkan menghantam tubuhnya tanpa ampun. Bersamaan dengan itu, rasa sakit berdatangan dan tubuhnya pun ambruk tergeletak di atas tanah.

"Hentikan…," dia bangkit kembali dan sekali lagi merentangkan tangannya.

"Tyl? Rumahmu di desa sebelah," kata salah seorang laki-laki di sana. "Apa yang kau lakukan di sini? Pulang sana!"

"Tidak mau!" Tyl menjawab ketus. Matanya menatap tajam pada orang dewasa di hadapannya itu. Walau begitu, hatinya berkecamuk. Rasa panas amarah serta dinginnya kehampaan dari rasa takut saling beradu di pusat dadanya. Bagaimana caranya mereka bisa keluar dari keadaan ini?

"Apa?"

"A-aku ada janji dengan Marna," Tyl meracau, berusaha mencari alasan yang paling tidak masuk akal sekalipun untuk bisa menyeret Marna pergi dari sana. "Kami mau melihat bulan purnama dan kunang-kunang."

"Nak…"

Seorang perempuan muda memanggil Tyl. Dia tidak memegang batu ataupun peralatan berbahaya. Raut wajahnya begitu khawatir. "Buka matamu, Nak. Kau telah ditipu. Entress itu sudah meracuni pikiranmu dengan daya pikatnya. Kemari, Nak, kemari. Jangan biarkan sihirnya menipumu lebih jauh."

Tyl terdiam. Dia tidak sepenuhnya mengerti maksud kata-kata itu. Sejauh ini dia tidak pernah merasa ditipu oleh Marna. Kedua orang tuanya dan kakak-kakaknya juga pasti begitu. Tidak ada untungnya Marna melakukan hal macam itu.

"Lagipula... hari ini bukan purnama," geram seorang laki-laki sangar di barisan depan. Tangannya memegang garpu tanah semakin erat, siap digunakan. Dia, mereka, hanya berhadapan dengan seorang gadis kecil. Untuk apa benda berbahaya seperti itu dibawa-bawa?

"Ta-tapi masih ada kunang-kunang kan?"

"Minggir, Bocah!"

Laki-laki itu menghempaskan Tyl ke samping begitu saja dengan tangannya. Dengan perlahan, seolah takut, dia bergerak mendekati Marna yang masih meringkuk. Dia mengangkat tangannya bersiap menghantamkan garpu tanah itu pada Marna.

"Jangan!"

Terjadi keriuhan sesaat sebelum sepi. Tyl mengerang tersungkur di tanah. Tubuhnya kini bermandikan darah dari luka besar menyengat di bahu kirinya.

"Apa yang kau lakukan, Bocah?"

"... Tyl…."

Suara parau Marna memanggilnya. Tyl berusaha bangun bertumpu pada tangan kanannya sembari menoleh pada Marna. Suaranya tadi, serta mata biru berpendar yang memerah dan sembab itu menunjukkan dia menangis.

Siapapun pasti akan menangis dalam keadaan begini. Sejujurnya, Tyl pun ingin menangis. Amarah penduduk desa ini, Marna yang terluka dan menangis, luka besar di bahunya, kesadaran yang mulai memudar, tubuhnya yang terasa sakit, dan jantungnya yang berdebar tidak keruan seolah memaksa dirinya untuk menangis.

Kalau boleh menangis, dia mau menangis sekuat-kuatnya. Namun kalau dia menangis, Marna juga akan menangis. Oleh karena itu, dia hanya tersenyum bodoh pada Marna. Ibunya pernah bilang, kadang senyuman mengurangi rasa takut dan rasa sakit. Mungkin itu separuh benar.

"Bapak dan Ibuku pernah bilang… walau kami miskin...," Tyl berhasil berdiri sepenuhnya sembari merentangkan tangan kanan. Tangan kirinya mulai kebas dan tidak bisa digerakkan. "... Setidaknya kalau kami memiliki ilmu dan hati…. maka kami bisa terus melangkah… dan jangan pernah melangkah meninggalkan mereka yang pernah menolong ataupun yang perlu pertolongan."

Sebuah tamparan keras menghantam pipinya dan nyaris menjatuhkan tubuh Tyl.

"Bodoh! Apa kau tidak tahu dia itu penyihir? Seorang entress. Dia itu terlalu berbahaya untuk didiamkan begitu saja!"

"Penyembuh dan peramal… kan, penyihir juga. Lalu apa bedanya dengan entress?" Tyl menggeram memprotes.

"Tapi mereka tidak akan membawa petaka seperti dia!" tamparan keras lainnya kembali menghantam wajah Tyl. Tubuh Tyl oleng lebih keras, tetapi dia masih mampu berdiri. Sayangnya, kesadarannya semakin lama semakin pudar. Apa mungkin itu akibat lukanya?

"Tapi… Marna tidak melakukan apa-apa… dia anak yang baik...," balas Tyl lagi, dia sudah tidak mampu melihat jelas wajah laki-laki di hadapannya yang sepertinya berang sekali dengan garpu tanah diangkat. Terbesit dalam benaknya sebuah pertanyaan, jikalau dia telah berbuat benar atau sebenarnya berbuat bodoh. Mungkin dia tidak akan tahu. Dia hanya anak kecil.

"Diam kau, bocah!"

"Tyl!"