Paul berjalan tergesa-gesa memasuki kediaman utama Red Venom yang berada di kawasan elit Kensington Palace. Kawasan di mana yang tinggal rata-rata adalah konglomerat dan pengusaha yang mencatatkan namanya sebagai salah satu orang kaya di majalah Forbes.
Kediaman Red Venom terdiri atas beberapa bangunan. Ada bangunan utama di mana keluarga inti Red Venom tinggal yang terdiri dari sepuluh kamar yang memiliki kamar mandi tersendiri. Bangunan di belakang yang digunakan oleh pelayan yang mengurus urusan rumah tangga. Sebuah kabin yang biasa digunakan pada musim dingin. Rumah kaca untuk merawat tanaman yang biasa suka dilakukan pada musim semi. Tidak lupa kolam renang, sarana olahraga seperti lari dan gym.
"Selamat pagi Tuan Paul," seru pelayan membukakan pintu.
"Mana Ibuku?" tanya Paul tidak sabaran.
"Nyonya Grace berada di halama belakang sedang menikmati tehnya," balas pelayan dengan sopan.
Begitu mendengar posisi keberadaan ibunya, yaitu Grace Venomicia, kaki Paul langsung menuju ke sana.
"Ibu," seru Paul membuat Grace berbalik dan menemukan anak bungsunya datang dengan raut wajah tegang.
"Bukankah seharusnya kau berada di Prancis sekarang?" tanya Grace santai, lalu menyesal tehnya.
Paul menarik napas, kemudian maju dan duduk di depan Grace. "Apa maksud Marco soal rencana perjodohan Clara?"
Grace meletakkan cangkir teh yang terbuat dari keramik yang langsung didatangkan dari daratan cina. "Memang ada yang salah?"
Marco adalah orang kepercayaan kekuarga Red Venom. Marcus Venomicia menemukan Marco yang kala itu keluarganya mati oleh kartel narkoba yang ada di Meksiko. Marcus kemudian membawa Marco ke Inggris dan mendidiknya mulai dari dunia bisnis hingga bela diri sekelas pasukan militer khusus.
"Clara masih berkuliah, ini terlalu dini," balas Paul jelas menolak rencana Grace.
"Ayolah Paul, umur Clara sudah dua puluh tahun. Lagipula ini sangat baik secara bisnis, kita membutuhkan Theus untuk memperluas pasar kita di Amerika Serikat. Begitupula Theus yang sepertinya berkeinginan ingin merambah masuk ke Inggris."
"Aku bisa memperluas jaringan bisnis kita tanpa harus pernikahan Clara!"
Grace menarik napas. "Ini juga demi kebaikan Clara. Saat nanti Ibu sudah tidak ada dan dia sudah harus menjalankan bagian bisnis kita maka dengan bantuan pemilik Theus sebagai suaminya maka akan mudah."
Paul bangkit berdiri. "Kuharap Ibu kembali mempertimbangkannya, karena aku sangat tidak setuju dengan rencana ini. Lagipula Ibu sangat sehat, masih banyak waktu memikirkan hal seperti itu."
Paul meninggalkan Grace dengan perasaan berkecamuk. Saat berjalan menuju parkiran mobil. Ia mengeluarkan ponselnya.
"Atur jadwal keberangkatan ke Boston sore ini."
Bukan tanpa sebab Paul menolak rencana perjodohan Clara. Ia memang tidak tumbuh besar di kediaman Red Venom seperti dua kakaknya. Meskipun dirinya hanya anak adopsi yang publik mengenal sebagai anak tiri, tetapi ia sekarang yang lebih banyak mengendalikan bisnis Grup Venom. Sebab Marcus sudah cukup tua dan merencanakan ingin pensiun. Kakak sulungnya, yaitu Walker Venomicia sekaligus ayah dari Clara telah meninggal dunia. Sedangkan Elena Venomicia menikah dengan bangsawan Inggris yang mengharuskannya berhenti berkarir. Oleh karena itu, ia bersama Marco lebih banyak berperan aktif dalam menjalankan bisnis.
Paul secara sadar mengerti bahwa sebagai anak adopsi dirinya mungkin tidak akan mendapat bagian sebesar anak Walker dan Elena, tetapi bukan itu alasan utamanya menolak perjodohan Clara. Ada hal lain yang sampai sekarang tidak ada seorang pun yang tahu tentang itu.
*
Clara Maurie Jasmine memetik gitar mulai menyanyikan fly me to the moon. Suara yang merdu selaras dengan nada gitar membuat Rei dan Amanda ikut larut dalam suasana sore yang begitu tenang.
"In other words, I love you...."
Rei dan Amanda bertepuk tangan begitu Clara selesai menyanyikan barisan lirik terakhir.
"Sejak kapan kau belajar bermain gitar?" tanya Rei Dario Yuta, seorang laki-laki yang memiliki darah blasteran Jepang dan Inggris, serta merupakan sahabat dekat Clara sewaktu masih menempuh sekolah menengah atas di Inggris. Ia juga merupakan mahasiswa jenius yang kini menempuh pendidikan di Massachusetts Institute of Technology.
Clara mengendikkan bahu. "Otodidak? Aku baru membeli gitar ini dua bulan lalu."
Amanda terkekeh. "Aku saja bisa memainkan, tidak sepertimu Rei."
Amanda Charles adalah sahabat sekaligus teman kuliah Clara di Universitas Harvard. Ia adalah warga negara asli Amerika Serikat, memiliki rambut ikal berwarna cokelat dengan mata berwarna hijau.
Rei mendengus kesal. "Hal yang berhubungan dengan kesenian bukanlah bidangku."
Clara menganggukkan kepala. "Benar, kurasa aku butuh jari-jarimu untuk bekerja lagi Rei. Aku memiliki sedikit masalah dengan salah satu teman kampus."
Rei tersenyum miring. "Apa lagi kali ini?"
Clara menghela napas. "Aku mengerjakan beberapa tugas untuk minggu depan yang kusimpan di flashdisk. Tetapi salah satu senior dari jurusan lain meminjamnya, setelah mengembalikannya barulah aku sadar bahwa tugas itu tidak ada. Kukira termakan virus, tetapi file lain masih ada dan ... aku dan senior itu mempunyai kelas yang sama untuk tugas itu."
Rei mengangguk mengerti penjelasan Clara. Ia kemudian berjalan menuju komputer yang dirakitnya sendiri, diikuti Clara dan Amanda yang berdiri di belakangnya.
"Berikan aku identitas lengkap seniormu itu," ujar Rei.
Clara kemudian memperlihatkan riwayat hidup senior kampusnya itu dengan ipad miliknya. Setelah membaca beberapa informasi jari-jari langsung bekerja dengan kecepatan tinggi di atas keyboard yang bahkan Clara dan Amanda terkejut setiap melihatnya.
Algoritma pemprograman mulai bekerja sesuai apa yang diketikkan oleh Rei yang hanya bisa dimengerti laki-laki tersebut. Tidak lama kemudian muncul seperti tangkapan layar komputer dengan background-nya adalah foto senior dari Clara.
"Kau menyusup ke komputernya?" tanya Amanda terkejut.
Rei mengangguk. "Dia tidak akan sadar. Ketik nama tugasmu," ujarnya melirik Clara.
Clara maju sedikit dan mengetikkan judul tugasnya sehingga muncul dengan cepat. Tanpa menunggu waktu lagi, Rei menghapus tugas tersebut juga mulai mengetikkan beberapa kode di mana file tersebut juga akan hilang di tempat lain yang terkoneksi dengan komputer tersebut seperti ponsel atau tablet pc.
"Misi selesai," ujar Rei berbalik.
"Jadi kali ini kau mau apa?" tanya Clara melipat tangan.
Rei suka meminta imbalan setelah membantu Clara atau Amanda setiap ada masalah seputar dunia teknologi dan informasi. Bukan dengan bentuk materi, karena keluarga Rei sendiri adalah salah satu pengusaha sukses di Inggris.
"Pada pesta halloween nanti kita akan berpakaian seragam penjara," balas Rei membuat mata Amanda membulat.
"Tidak, aku ingin memakai kostum vampir tahun ini," tolak Amanda.
Clara terkekeh. "Baiklah, aku akan menemuimu Rei memakai seragam penjara. Lagipula tahun lalu aku tidak ikut."
Rei tersenyum senang. "Kita akan menjadi Bonnie dan Clyde abad ini."
Ketiga kemudian keluar dari apartemen milik Amanda yang mereka sering jadikan basecamp, karena dekat dengan kampus mereka di kawasan Cambridge, Massachusetts, Boston, Amerika Serikat.
Amanda memutuskan mengambil penerbangan menuju New York untuk bertemu dengan kakak laki-lakinya. Sedangkan Rei kembali ke kampusnya untuk urusan sebagai mahasiswa.
Clara sendiri kembali ke apartemennya yang tidak berada jauh dari gedung apartemen Amanda. Sebenarnya jika mau, bisa saja ia tinggal di kawasan perumahan mewah dengan segala fasilitasnya. Namun semua berubah sejak kecelakaan orangtuanya. Ia merasa muak dengan kehidupan lamanya yang sewaktu sekolah menegah atas begitu menikmati segala kemewahan yang ada.
Clara pun meminta kepada Grace untuk pindah ke Amerika Serikat sementara sembari menyelesaikan kuliah gelar sarjananya. Tentunya dirinya meminta agar identitasnya sebagai cucu Grup Red Venom dirahasiakan. Meski begitu Grace dan Marcus tetap memantau aktivitas, terutama keamanan Clara yang secara diam-diam dengan bantuan teknologi yang sudah sangat mumpuni.
Bel apartemen berbunyi ketika Clara baru saja selesai mandi dan berganti pakaian. Ia sedikit heran siapa yang datang, karena yang sering datang ke apartemennya hanyalah Rei dan Amanda dan mereka baru saja bertemu tadi.
Mata Clara terbelalak begitu menemukan Pamannya Paul datang tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Paul menatap mata berwarna cokelat di hadapannya. "Halo Clara."
"Apa yang Paman lakukan di sini?" tanya Clara cukup heran dengan kedatangan Paul.
"Ada urusan bisnis di kota ini dan sekalian ingin menemuimu," ujar Paul dengan lembut.
Clara terkekeh kecil. "Kalau dipikir-pikir tiga bulan yang lalu? Ketika Clara pulang ke Inggris untuk libur musim panas dan kita bertemu."
Paul mengangguk pelan. Perlahan tubuhnya mendekat, lalu memeluk Clara dengan hati-hati. Mata berubah menjadi tajam kala menatap lurus, memikirkan bahwa perempuan yang dipeluknya mungkin akan menikah dengan lelaki lain.
Clara yang mendapat pelukan seperti itu hanya menerima dengan senang hati. Lagipula ia sangat senang bertemu dengan Paul yang selama ini membantu dan perhatian kepadanya, terutama ketika dirinya melewati masa sulit ketika orangtuanya telah tiada.
***