Paul mengajak Clara untuk makan siang bersama, sedangkan Amanda telah pergi untuk memasuki kelas jam mata kuliahnya.
"Paman tahu kan, aku sebenarnya punya mata kuliah hari ini," ujar Clara sambil memakai garpu untuk menusuk salad miliknya.
"Kenapa kau kabur dari pengawal semalam?" tanya Paul menatap lekat keponakan yang duduk di depannya itu.
Mereka berdua memutuskan untuk makan siang di salah satu restoran yang berada tidak jauh dari apartemen Clara.
"Aku khawatir Grace akan menyuruh mereka untuk membawaku kembali ke Inggris," balas Clara tentang apa yang dipikirkannya.
Paul yang mengetahui nama hotel di mana Clara berada, secara diam-diam menyuruh bawahannya untuk mencari tahu hotel tersebut. Ia kemudian terkejut setelah mendapat pesan dari bawahannya bahwa hotel tersebut adalah milik Hazel Theus.
"Kau yakin pergi sendiri?" tanya Paul menyelidik. Entah mengapa walaupun ia belum pernah mendengar tentang Clara yang mengetahui rencana perjodohan dengan Hazel, namun setelah melihat kehadiran Hazel di Restoran Quiro, kemudian Clara berada di hotel milik Hazel, itu terlalu kebetulan baginya.
Clara terkekeh pelan. "Aku masih sangat sadar. Sudahlah Paman, tidak perlu khawatir."
Paul mengulurkan tangannya, lalu memegang tangan Clara. Membuat wanita itu terkejut beberapa saat.
"Aku hanya ingin kau baik-baik saja."
Clara tersenyum membalas menyentuh punggung tangan Paul yang memegang tangannya itu. "I feel so fine."
Setelah makan siang, Paul langsung mengantar Clara ke kampus atas permintaan wanita itu. Sebenarnya Clara hanya memiliki satu mat kuliah hari ini, tetapi dirinya perlu ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas essai.
Langkah kaki Clara terhenti begitu di depan salah satu rak buku, ia dihadang oleh Davos.
"Davos?" seru Clara heran. Bagaimana bisa Davos yang merupakan mahasiswa hukum, terlebih senior dari Amanda, kini berdiri di hadapannya. Lebih tepatnya di perpustakaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
"Hello Clara," ujar Davos melangkah sekali.
"Apa kau ingin bertemu dengan seseorang di sini?" tanya Clara berkesimpulan.
Davos mengangguk singkat. Ia kemudian melirik sekitar dan mencondongkan tubuhnya ke depan, lalu berbisik tepat didekat telinga Clara. "Aku tahu kau adalah cucu dari keluarga Red Venom."
Mata Clara membulat mendengar ucapan Davos. Ia memundurkan tubuhnya, lalu menyipitkan mata memandang wajah Davos yang sudah menyungging senyum tipis.
"Darimana kau mendengar tentang hal itu?" tanya Clara to the point tanpa mau membenarkan atau membantahnya.
"Amanda."
Clara menelan salivanya tidak menyangka bahwa Amanda akan membeberkan rahasia terbesarnya itu. Ia kemudian berjalan mengacuhkan Davos untuk mengambil salah satu buku tentang ekonomi makro.
Davos tidak tinggal diam. Ia terus mendekati Clara yang telah duduk di depan sebuah meja panjang. Ia menarik kursi dan duduk di sebelah wanita itu.
"Aku awalnya tidak mempercayainya. Tetapi aku menemukan sesuatu yang menarik," ujar Davos membuat Clara menoleh.
"Apa maksudmu?"
"Aku tahu kau pulang lebih awal kemarin malam. Aku melihatmu berjalan menuju gerbang, itu sebelum aku mengetahui latar belakangmu dari Amanda. Kemudian setelah mengetahuinya, aku memeriksa CCTV bagian depan gerbang dan melihat sejumlah orang memakai pakaian pengawal tampak mencari sesuatu. Itu terjadi setelah kau berjalan menuju tepi jalan," cerita Davos secara runtut.
Clara menarik napas pendek. "Kalau kau sudah tahu, sebaiknya tidak perlu mengungkitnya kembali," katanya kemudian mulai membuka buku yang tadi diambilnya.
"Ayolah Clara, kau akan menghabiskan waktumu hanya untuk belajar? Kau bahkan bisa menikmati hidup lebih dari Veronica." Davos membahas tentang sosok Veronica yang terkenal seorang model sekaligus anak dari pengusaha kaya raya.
Clara terus berusaha memandang ke arah buku. "Setiap orang punya pilihannya tersendiri Davos. Jika tidak ada hal yang lain ingin kau katakan, maka pergilah. Aku harus mengerjakan tugas."
Davos tersenyum miring mendengar usiran halus dari Clara. Meski begitu ia tidak bergeming, sebaliknya tangannya terulur dan memegang tangan Clara.
"Jadilah kekasihku," bisiknya.
Clara tidak secara spontan menarik tangannya. Ia menyampingkan tubuh ke arah Davos, lalu memakai tangan satunya untuk menyingkirkan tangan pria itu.
"Kau pasti juga telah menyelidik apakah aku punya kekasih atau tidak. Dan jawabannya pasti tidak, kau pikir kenapa?" balas Clara dengan berbicara pelan.
Alis Davos terangkat. "Ya, aku mendengar kau tidak pernah dekat dengan lelaki siapapun ...," katanya lalu berhenti sejenak sebelum matanya terbelalak. "Kau bukan pecinta seorang laki-laki?"
Clara menghela napas, lalu memutar bola matanya. "Sebaiknya kau pergi Davos. Aku sibuk."
Davos masih sedikit terkejut dengan isi pikirannya kalau saja Clara itu menyukai sesama jenis. Hal itu bukan sesuatu yang aneh di negaranya, tetapi melihat status latar belakang dari seorang cucu keluarga Red Venom tentu terdengar cukup ganjil. Meski begitu ia akhirnya meninggalkan Clara dan keluar dari perpustakaan.
Clara melirik sekilas kepergian Davos. "Mungkin lebih baik begini, daripada tingkahnya semakin menjadi-jadi," gumamnya.
Sebelum melanjutkan kegiatan membaca, tanpa sengaja mata Clara menatap ke layar televisi besar yang terpasang di dinding. Sebuah breaking news baru saja ditayangkan.
"Pembunuhan sadis seorang wanita pada malam hari di Stony Brook Reservation," ucap Clara membaca judul utama berita. Ia kemudian mengingat bahwa kawasan tersebut dekat dengan kediaman Davos. Namun ia hanya mengendikkan bahu, lalu kembali fokus untuk mengerjakan tugas.
*
Clara mendatangi apartemen Rei di mana Amanda juga berada di sana. Ia ingin meminta penjelasan tentang apa yang tadi Davos katakan.
"Aku benar-benar tidak tahu," ujar Amanda ikit terkejut bahwa Davos mendatangi Clara dan mengetahui soal latar belakang wanita itu.
"Tapi dia berkata bahwa kau yang memberitahunya," ujar Clara sesuai fakta yang didapat dari Davos, meski belum terbukti kebenarannya.
Rei yang sedaritadi duduk melihat dua orang itu berdiri sambil berdebat, kini ia bangkit sambil merentangkan tangan. "Tunggu, apa kau mabuk semalam?" tanyanya menatap Amanda.
Amanda mengigit bibir bawahnya. "Ya, setelah pertunjukkan musik selesai. Davos mengajakku minum anggur putih di kamarnya."
Mata Clara terbelalak mendengarnya. "Apa? Dan kau mau?"
Amanda mengangkat bahu. "Sejujurnya aku penasaran dengan bagaimana isi kamar seorang Davos."
"Jangan bilang kau--"
"Yap, kami bercinta dengan waktu yang singkat," ujar Amanda melanjutkan perkataan Clara.
"Bukankah semua rahasia selalu terbongkar di atas tempat tidur," ujar Rei sambil memutar bola matanya.
"Aku benar-benar minta maaf Clara, aku mungkin sudah meracau ketika mabuk semalam," kata Amanda dengan menangkup kedua telapak tangan di depan Clara.
Clara hanya bisa menghela napas. "Seharusnya aku tidak meninggalkanmu di sana dan pergi ke hotel."
"Aku mendengarnya dari Amanda, bahwa kau pergi ke hotel?" Kini Rei menatap Clara dan ikut bingung bagaimana perempuan itu bisa berakhir di hotel.
Amanda melangkah mendekat. "Aku meragukan kau pergi sendiri. Itu hanya bualanmu bukan untuk Paul?"
Clara mengangguk singkat. Ia tahu tidak akan pernah bisa membohongi Amanda apalagi Rei.
Mata Rei berbelalak. "Kau terlihat cinta satu malam?" tuduhnya.
"Tentu saja tidak. Sejujurnya dia hanya membantuku kabur dari pengawal dengan menumpangi mobilnya dan kebetulan tujuannya adalah hotel itu," bantah Clara menceritakan sebenarnya.
"Lalu dia senang hati membantumu dan kalian tidur di kamar terpisah?" tanya Rei penasaran.
"Dan siapa orang itu?" Kini giliran Amanda yang bertanya.
Clara mengangkat kedua tangannya. "Dia hanya pria baik dan kami makan malam, lalu bermalam di hotel dengan kamar saling berhadapan."
Amanda dan Rei saling bertukar pandang. Mereka berdua tahu jelas bahwa Clara tidak akan menerima ajakan malam begitu saja dari orang asing, terlebih lagi seorang pria.
"Kuharap kalian tidak bertanya lagi. Aku sudah cukup pusing dengan gelagat Davos yang sepertinya aneh," ujar Clara kemudian duduk di kursi sebelah Rei.
Amanda mengangguk mengerti. Ia juga turun berperan dalam hal itu, sehingga membuat Clara menjadi pusing seperti sekarang.
"Ok, tapi kalian sudah dengar soal pembunuhan di Stony Brook? Itu dekat dengan perbukitan St. Eslor bukan, tempat pesta yang kalian datangi semalam," ujar Rei mengingat artikel yang lewat di beranda twitternya.
Amanda menepuk tangannya sekali. "Ya, ada sejumlah mahasiswa di fakultasku yang didatangi seperti seorang detektif, katanya pelaku meninggalkan lokasi dengan mobil sekitar pukul sebelas malam."
"Kalian tahukan sejumlah pasangan yang ingin bercinta, tetapi tidak bisa melakukannya dipesta memutuskan keluar dan mencari lokasi sendiri di luar kediaman Davos," lanjut Amanda menjelaskan. Ia kemudian mengernyit sambil berkata, "Tunggu ... Clara kau bilang ikut menumpang di mobil seseorang? Bukankah kau hilang di sekitarku tepat saat penyanyi muncul dan seingatku itu sebelum pukul dua belas malan."
Clara memandang Amanda, lalu beralih ke Rei yang sudah menatapnya nanar. Ia kemudian tertawa. "Jangan bilang maksud kalian mobil yang kutumpangi semalam adalah milik pelaku," ujarnya masih tertawa.
Jika Clara tidak mengetahui sosok Hazel bisa saja ia akan mulai merasa takut dan parno bahwa dirinya mungkin satu mobil dengan seorang pembunuh. Tetapi kenyataannya dirinya bersama Hazel, pria pengusaha sukses yang bahkan makan malam dan minum wine bersamanya.
"Lalu bagaimana kau yakin bahwa dia bukanlah pelakunya?" tanya Rei curiga.
Clara menarik napas pendek. "Karena yang memberiku tumpangan, sebelumnya aku pernah bertemu dengannya di New York. Tepatnya di restoran milik Alex."
***