Amanda memutuskan untuk tetap di New York hingga lusa sehingga hanya Clara dan Paul yang kembali ke Boston pada malam itu.
Alex melirik curiga kepada Amanda yang masih berada di restoran, padahal sudah tutup sejak sejam yang lalu. Semua pelayan dan pengawai juga sudah pulang dan membersihkan restoran. Tinggal menunggu Alex mengunci restoran dan pulang.
"Kenapa kau memutuskan tetap di sini?" tanya Alex sambil memeriksa daftar persediaan bahan. Ia duduk di salah satu kursi yang berada di lantai dasar.
Amanda yang sedaritadi duduk di depan Alex sambil memainkan ponsel. Kini mendongak, lalu meletakkan ponsel di atas meja.
"Besok aku tidak mempunyai jadwal kuliah dan ... kupikir akan menyenangkan bisa berlibur di sini sebentar."
Alex mendengus. "Kau bahkan pernah libur selama seminggu dan memilih menghabiskan waktu di Nevada dibanding datang ke sini."
"Baiklah, baiklah. Aku hanya penasaran, kenapa Hazel bisa datang ke sini?" tanya Amanda tidak bisa mengelak dari kecurigaan Alex.
"Tentu saja untuk makan," jawab Alex santai.
Amanda memutar bola matanya. "Well, Hazel tidak akan datang ke mari tanpa memberitahumu terlebih dahulu. Tanpa bertanya tentang keadaan restoran apakah ramai dan ... lantai dua sengaja dikosongkan, karena kedatangan Clara dan Palu, lalu kau datang membawa Hazel ke balkon lantai dua."
"Itu hanya kebetulan saja," balas Alex berusaha tenang. Atau ia akan mendapat lebih banyak pertanyaan ala introgasi dari Amanda.
"Sekarang giliranku, apa hubungan Clara dan Paul?" tanya balik Alex yang sebenarnya sangat penasaran.
"Paul adalah Paman dari Clara, saudara dari Ayahnya setahuku," balas Amanda jujur.
Alex mengalihkan pandangannya sambil menatap serius ke arah vas bunga. Meski begitu pikirannya bukan tentang itu, melainkan ia melihat sesuatu dari Paul setiap kali lelaki itu menatap Clara.
"Apa Clara punya kekasih?" tanya Alex membuat Amanda memang kakaknya itu curiga.
"Jangan bilang kau ingin menjodohkan Clara dengan Hazel," jawab Amanda membuat Alex cukup terkejut. Ia tidak mengira bahwa Amanda akan secepat itu menangkap perkataannya.
"Bukan seperti itu," bantah Alex segera.
Amanda memutar bola matanya. "Terus apa lagi? Kau bahkan tidak pernah menanyakan apakah aku punya kekasih atau tidak."
"Bukankah itu sudah jelas, bahwa kau memiliki kekasih yang mungkin tidak akan sampai tiga bulan kemudian putus lagi," balas Alex mengetahui dengan jelas bagaimana kisah asmara Amanda.
Amanda cemberut sambil menatap kesal Alex. "Setahuku, Clara tidak pernah dekat dengan siapapun selama kuliah di sini. Satu-satunya laki-laki yang berada di sekitarnya hanyalah Rei."
Alex tahu tentang Rei yang sering dibicarakan oleh Amanda. Hanya saja ia cukup heran apabilan memang Clara tidak pernah dekat dengan laki-laki selama berada di Amerika, apalagi jika melihat wajahnya yang cantik, tubuh yang proposional dan latar belakang perempuan itu. Matanya lalu menyipit ke arah Amanda.
"Apa mungkin Clara itu--"
Amanda mengangkat sebelah tangannya, membantah sebelum Alex melanjutkan isi pikirannya. "Clara normal, dia bahkan pernah memperlihatkanku mantan kekasihnya sewaktu sekolah menengah atas."
Kemudian Amanda menghela napas pendek. "Aku rasa ... mungkin Clara menjadi sedikit tertutup semenjak kematian orangtuanya. Foto-foto lamanya bahkan ... lebih parah dariku."
*
Sebuah benda panjang berwarna hitam mengkilap ketika sebuah tangan menggerakkan. Pantulan cahaya langsung mengenai benda tersebut.
Dalam kegelapan yang hanya diterangi oleh lampu berwarna merah membuat seorang laki-laki berdiri di hadapan koleksi benda-benda yang setiap hari ia pegang dan coba untuk mengeceknya.
Tiba-tiba sebuah bel berbunyi. Laki-laki itu berbalik, lalu memasukkan benda yang dipeganginya tadi. Ia menuju sebuah pintu di mana, samping pintu tersebut terdapat monitor pemantau. Laki-laki itu memencet sebuah tombol.
"Ada apa?" tanyanya dengan suara berat.
"Tuan Tanaka sudah dalam perjalanannya," balas suara laki-laki lain.
Laki-laki yang berada dalam ruangan tersebut memutar lehernya, lalu membuka pintu di depannya.
"Apakah Tuan Hazel ingin diantar ke sana?" tanya laki-laki yang tadi berada di luar.
Hazel yang baru saja keluar dari ruangan bermainnya perlahan menggeleng sambil mengangkat sebelah tangannya. "Aku akan menyetir sendiri ke sana."
"Baiklah Tuan."
Hazel mengemudikan sebuah mobil bergaya vintage tahun 1980 ke sebuah restoran Jepang yang berada di sebuah lorong sempit pada sudut kota New York. Meski pada malam hari lorong tersebut terlihat sepi dan menyeramkan, tetapi ia bisa melihat beberapa mobil jeep terparkir di sana.
Seorang pria berwajah Asia dengan tubuh gemuk mendatangi Hazel yang baru saja keluar dari mobilnya.
"Silakan ikut saya," ujar pria tersebut hanya dibalas anggukan kepaka oleh Hazel.
Restoran di mana Hazel dan seorang pengusaha bertemu bukanlah jenis restoran mewah seperti kebanyakan yang ada di kota New York. Restoran lebih bisa disebut kedai itu hanya menyajikan ramen dan sake dengan satu meja panjang di mana di hadapan pengunjung koki akan memasak ramen di sana.
Bilik kedai tersebut ditutupi oleh tirai yang begitu Hazel masuk aroma dari dua mangkuk ramen telah tersaji dengan seorang pria telah duduk mengaduk-aduk ramen di depannya.
"Tuan Tanaka," sapa Hazel membuat pria bernama Tanaka itu berbalik sejenak sambil mengulum senyum.
"Duduklah."
"Apa aku menganggumu jam segini?" tanya Tanaka dalam bahasa Jepang.
Hazel menggeleng pelan. "Tentu saja tidak, aku sangat senang bisa bertemu denganmu," jawabnya juga dalam bahasa Jepang.
Tanaka tertawa keras. "Bahasa Jepangmu makin membaik dari sebelumnya. Tiga tahun yang lalu bukan?"
"Benar dan kali ini kuharap kita bisa bekerja sama seperti tiga tahun yang lalu," ujar Hazel santai.
Tanaka terkekeh. "Aku sangat menyukai berbisnis denganmu. Jujur saja godaan tawaran dari salah satu anak Red Venom membuatku berpikir lebih keras tentang kerjasama kita."
"Red Venom?"
"Ya, laki-laki itu bernama Paul. Dia juga salah satu pebisnis yang kejam dan cerdas. Sumberku mengatakan bahwa kemarin dia datang ke New York, namun bukan untuk berbisnis. Melainkan menemani seorang wanita makan di sebuah restoran," ujar Tanaka bercerita.
"Restoran apa itu?" tanya Hazel penasaran.
Tanaka tertawa lagi. "Aku tidak mengira kau akan tertarik. Nama restorannya ... Quiro? Sudahlah, ayo kita makan dulu. Semua awal kerjasamaku dengan rekan bisnis dimulai dari santapan ramen."
Akhirnya Hazel makan malam bersama Tanaka sambil membicarakan tentang bisnis kerjasama mereka. Tanaka dan para pengawalnya yang dari luar sudah jelas kelompok yakuza meninggalkan kedai ramen terlebih dahulu.
Hazel menjalan mobilnya dengan pelan sambil memikirkan tentang ucapan Tanaka. Jujur saja ia merasa terkejut bahwa anak Red Venom pernah datang ke Quiro dan Alex tidak memberitahunya soal itu. Jika hari itu adalah kemarin, berarti ketika dirinya datang ke Restoran Quiro bukan?
***