Amanda mengajak Clara ke salah satu pesta perayaan ulang tahun salah satu seniornya di Fakultas Hukum. Pesta tersebut berlangsung di salah satu rumah mewah yang hadiri banyak mahasiswa berbagai jurusan bahlan lintas universitas, walaupun masih didominasi oleh mahasiswa Universitas Harvard.
"Sejujurnya aku ragu ikut, karena tidak banyak mengenal siapa-siapa di sini," ujar Clara melirik sekitar.
Amanda merangkul bahu Clara. "Ayolah, sejujurnya aku juga tidak terlalu kenal dengan Davos, hanya saja kami pernah mengadakan kegiatan fakultas bersama," ujarnya menyinggung nama Davos sebagai pemilik acara sekaligus orang yang berulang tahun.
Clara terkekeh pelan. "Lalu kau tidak mengajak Rei?"
"Tentu saja aku mengajaknya, tapi dia harus mengerjakan laporan praktikum. Aku sangat bersyukur tidak diterima oleh MIT, ayahku selalu ingin aku atau Alex masuk ke sana," ujar Amanda membuat Clara makin tertawa.
"Wow, bagaimana bisa?" tanya Clara baru mendengar cerita ini dari Amanda.
"Yah, ayah Hazel adalah jenius dibidang matematika, itu menjadikan ayahku ingin seolah salah satu anaknya menekuni dunia yang penuh angka-angka tersebut," jawab Amanda mengingat jelas bagaimana ayahnya marah ketika tahu Alex memilih masuk jurusan bidang kuliner, sedangkan dirinya memilih hukum. Terinspirasi dari film Legally Blonde.
Clara mengernyit. "Hazel pemilik Theus?"
Amanda mengangguk pelan. "Aku lupa cerita soal ayah Hazal yang berteman baik dengan ayahku. Kukira kau tidak mengenal siapa Hazel, jadi aku todak pernah cerita."
"Hei guys."
Seruan seseorang mendekati Clara dan Amanda membuat obrolan kedua perempuan itu terhenti. Mereka kemudian memandang ke arah sumber suara yang ternyata adalah Davos.
"Amanda, aku kira kau tidak ikut. Balasan DM di instagram hanya kau baca," ujar Davos menatap Amanda.
Amanda tersenyum. "Ya, kalau begitu kejutan. Ini untukmu," ujarnya mengeluarkan sesuatu dari saku celananya yang sama sekali tidak diketahui oleh Clara bahwa sahabatnya itu membawa kado. "Dariku dan Clara," lanjutnya melirik sekilas ke arah Clara.
Davos menerima sebuah cincin perak dan langsung memakainya. "Wow inu keren. Orang akan menganggap kado ini sebagai lamaran."
Amanda tertawa keras. "Apakah kado itu akan membuat pacarmu cemburu?"
Davos menggeleng. "Aku dan Rebecca putus bulan lalu. Dan siapa....," ujarnya kini menyadari kehadiran Clara.
"Oh, aku Clara. Sahabat Amanda dari Fakultas Ekonomi," ujar Clara mengulurkan tangannya.
Davos menerima uluran tangan Clara sambil menatap dalam perempuan itu. "Davos, kuharap kau menikmati pestanya."
"Ya, terima kasih."
Davos yang merasa terkesima melihat wajah Clara, ingin mengajak perempuan itu mengobrol lebih lama, tetapi salah satu temannya menarik tangannya pergi.
"Kau ingin minum?" ujar Amanda menyodorkan gelas plastik berwarna merah yang berisi rum.
Clara mengernyit menatap isi gelasnya. Kemudian meminumnya pelan. Ia sejujurnya sudah mencoba beberapa minuman beralkohol sejak ikut dalam pesta perayaan saat masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Harus ia akui kalau gaya pesta anak Inggris dan Amerika cukup berbeda.
Sejak mulai kuliah Clara kerap diundang ke pesta teman jurusannya yang lebih sering diadakan pada kediaman pribadi dan cenderung lebih santai. Seperti sekarang ini, dirinya hanya memakai pakaian kasual. Sangat berbeda ketika di Inggris, bahwa ia berpakaian semi formal bahkan anak-anak perempuan berlomba tampil menawan. Menghilangkan esensi pesta yang harusnya bersenang-senang.
"Apakah pesta ini terasa sederhana bagimu?" tanya Amanda bersandar di dinding, karena tempat duduk di rumah Davos telah penuh.
Clara ikut tersandar sambil memegang gelas minumannya. "Kau tidak akan suka pesta ketika aku masih murid sekolah. Tidak ada permainan kartu seperti itu," tunjuknya kepada sekumpulan orang yang duduk melingkar sambil bermain kartu di mana yang kalah harus mencium yang menang.
"Kenapa? Bukankah ciuman sudah lumrah di sana juga?" tanya Amanda heran.
"Tentu saja berciuman hal biasa. Namun akan terasa aneh melakukannya jika pengawal terus berada di sekitarmu," ujar Clara lalu menuju salah satu meja yang menyajikan potongan kue.
Amanda terdiam sejenak. Ia bisa merasakan bagaimana kehidupan Clara waktu masih sekolah yang mungkin sangat diawasi oleh keluarganya yang notabenenya kaya raya. Apalagi ia tahu bahwa Clara dari sekolah paling elit di Inggris.
"Dibanding kue seperti ini, pesta yang kudatangi lebih sering menyajikan steak," ujar Clara kembali sambil mengunyah kue dan memberikannya juga kepada Amanda.
"Apa?" ujar Amanda tidak percaya sambil tertawa.
Di Amerika Serikat bukannya tidak ada pesta perayaan yang mewah dengan kesan glamor. Namun umumnya untuk anak sekolah dan tingkat mahasiswa akan lebih suka yang bertema santai dan bersenang-senang. Minum dengan menikmati permainan konyol diiringi musik tren.
Amanda mengajak Clara ke halaman belakang di mana Davos mengundang salah satu grup musik indie yang sedang populer. Semua tamu mulai berkumpul untuk mendengar nyanyian lagu. Namun baru saja Clara akan ikut bernyanyi hingga ponsel di saku jaketnya dirasa bergetar.
Mata Clara terbelalak begitu melihat nama Grace di sana. Artinya neneknya sedang menelepon dirinya. Ia melirik ke arah Amanda sebentar yang tampak menikmati pertunjukkan musik. Tidak ingin menganggunya, ia perlahan berjalan mundur untuk menjawab telepon.
Clara menuju halaman depan yang mulai sepi ditinggal tamu lain yang ingin melihat pertunjukkan. Hanya ada beberapa pasangan yang saling mencumbu. Mengabaikan keberadaan Clara sendiri.
"Halo?"
"Kau di mana?"
"Pesta ulang tahun teman Amanda."
Terdengar helaan napas Grace yang sudah familier bagi Clara.
"Itu dikawasan perbukitan St.Eslor bukan?"
Clara terkejut sebentar mengetahui Grace mengetahui posisinya sekarang. "Apa nenek mengirim mata-mata lagi?"
"Ayolah Clara sayang, ini semua demi keamananmu. Mereka tidak bisa masuk, karena dicegat digerbang utama."
Clara bernapas lega. Setidaknya pengawal atau lebih suka ia sebut sebagai mata-mata tidak merembet masuk dan memantau segala kegiatannya yang kemudian akan dilaporkan kepada Grace. Sama seperti dirinya waktu masih di sekolah.
"Ini hanya pesta biasa untuk kalangan mahasiswa," ujar Clara supaya Grace tidak khawatir.
"Ini sudah hampir pukul dua belas malam."
Clara mengerang sambil menjauhkan ponsel sejenak. "Aku bukan lagi gadis berusia tujuh belas tahun. Sekarang aku berusia dua puluh tahun."
"Aku akan mencoba menghubungi pihak penyelenggara agar mengizinkan mereka masuk memantaumu," ujar Grace membuat mata Clara membulat.
"Jangan. Biarkan aku yang keluar," balas Clara tidak ingin keadaan menjadi tidak terkendali yang bisa-bisa seluruh orang di pesta ulang tahun Davos mengetahui bahwa dirinya adalah anggota keluarga Red Venom.
Clara berjalan keluar menuju terbang utama setelah mengirim pesan ke Amanda bahwa dirinya pulang duluan. Ia bisa melihat mobil sedan hitam terpakir di seberang jalan beberapa meter di depan. Sesuai gambaran dari Grace tadi tentang mobil pengawal.
Clara menarik napas setelah penjaga membuka pintu gerbang. Namun dari sisi jalan dengannya terlihat sebuah mobil yang berjalan pelan, dengan sigap ia berhenti di depan mobil itu sehingga mobil tersebut berhenti.
*
Hazel belum bisa bertemu dengan Alex untuk mengkonfirmasi soal kedatangan Paul ke Restoran Quiro, karena selain jadwal pertemuan yang padat di perusahaan, dirinya juga harus berangkat ke Boston untuk menghadiri salah satu seminar. Tidak biasanya ia akan menerima untuk menjadi pemateri dalam acara seminar, namun Hazel kali ini ingin mengunjungi kota yang terkenal sebagai kota pelajar, di mana beberapa perguruan tinggi terbaik di dunia ada di sana.
Setelah makan malam dengan salah satu rekan bisnisnya, ia berniat kembali ke hotel untuk kemudian besok bisa pulang ke New York. Namun badannya tersentak ke depan dalam perjalanan begitu supir menginjak rem mendadak. Belum sempat dirinya melihat ke depan, lalu pintu bagian kirinya terbuka. Dan seorang perempuan masuk dengan wajah tegang.
"Kau?" tunjuk Hazel setelah melihat wajah perempuan itu.
Clara terperanjat menyadari bahwa mobil yang kini dimasukinya adalah milik Hazel. Namun ia kembali melihat ke depan di mana terlihat pengawal perempuan yang mungkin sudah melihatnya keluar dari gerbang, kini ikut keluar dari mobil. Berjalan dengan dua laki-laki yang memakai jas.
"Bisa kau memberiku tumpangan?" tanya Clara menatap Hazel.
"Kenapa aku harus melakukannya? Seperti mereka mencarimu bukan?" balas Hazel mengikuti arah pandang Clara tadi.
"Mereka adalah ... rentenir. Aku memiliki pinjaman," ujar Clara jelas berdusta.
Alis Hazel terangkat sebelah. "Itu urusanmu," ujarnya dingin.
"Ayolah kita pernah bertemu di New York," pinta Clara dengan wajah memelas yang belum pernah sebelumnya ia tunjukkan.
Clara tidak punya pilihan lain. Apabila pengawal menemukannya, maka bukan tidak mungkin malam ini mereka akan membawa ke Inggris untuk diceramahi oleh Grace.
"Kau seorang mahasiswi?" tanya Hazel memerhatikan wajah dan cara berpakaian Clara.
Clara mengangguk. "Benar, aku mahasiswi Harvard, fakultas ekonomi," ujarnya kali jujur.
Ketika pengawal perempuan mendekati mobil Hazel. Secara spontan Clara langsung menunduk, untung saja kaca jendela mobil Hazel begitu gelap.
"Jenis mahasiswi fakultas ekonomi apa yang akan punya pinjaman ke rentenir?" ujar Hazel merasa curiga. Meski begitu dirinya cukup penasaran bagaimana perempuan yang duduk di sampingnya ini sekarang berada di Boston, sedangkan beberapa hari yang lalu berada di Restoran Quiro.
"Turunkan saja aku di halte bus terdekat," bisik Clara masih tertunduk, tetapi memiringkan kepalanya agar bisa melirik Hazel.
Hazel menghela napas. "Jalan."
Clara baru bisa duduk normal setelah mobil telah berjalan menjauh dari kediaman Davos.
"Siapa namamu?" tanya Hazel membuat Clara menoleh.
"Jasmine," balasnya memakai nama belakangnya.
Hazel mengulurkan tangannya. "Kartu identitas?"
Clara tertawa pelan. "Aku baru saja dari pesta, mana mungkin membawa hal seperti itu."
"Setiap orang selalu membawa kartu identitas setiap bepergian."
"Oh berarti aku lupa," ujar Clara sambil berpura-pura merogoh tas selempang kecilnya.
"Apa kau datang sendiri ke Restoran Quiro?" tanya Hazel.
Clara menelan ludah. "Tidak, bersama temanku yang datang menemui saudaranya."
"Saudaranya?"
"Kakak perempuannya," ujar Clara sadar bahwa itu dapat merujuk kepada hubungan Amanda dan Alex.
Hazel menganggukkan kepalanya pelan. Ia kemudian beralih mengambil tablet pc miliknya. Mengabaikan Clara yang kini berusaha mematikan ponselnya.
Clara begitu terkejut begitu mobil berhenti di salah satu hotel berbintang lima. "Kenapa di sini?" tanya berbalik menatap Hazel.
"Aku tidaklah sekejam itu," balas Hazel membuat Clara bingung.
"Apa?"
"Daritadi suara perut laparmu memenuhi mobil," ucap Hazel membuat wajah Clara memerah karena menahan malu.
Clara memang mengakui bahwa segelas rum dan potongan kecil kue tidak akan cukup mengganjal perutnya. Rencananya setelah pesta Davos, ia akan mengajak Amanda ke apartemen Rei untuk makan pizza.
"Keluarlah, kita makan di restoran hotel," ujar Hazel mulai membuka pintu.
"Makan malam bersama Hazel?" gumam Clara tidak percaya dengan apa yang didengarnya
***