Clara memasuki lobi hotel yang begitu mewah dan megah. Ia tidak pernah menginap di hotel tersebut, karena memiliki apartemen. Apalagi menurutnya jarak antara hotel dengan kampusnya cukup jauh.
Langkah kaki Clara masih mengikuti Hazel yang kini memasuki elevator. Ia sebenarnya ingin menolak ajakan makan malam dengan Hazel, tetapi merasa tidak enak telah ditolong oleh pria tersebut.
Pintu elevator terbuka. Hazel memilih restoran pada tingkat tertinggi hotel yang kebetulan sedang sepi pengunjung. Ia kemudian memilih meja dekat jendela sambil memberi isyarat kepada perempuan yang datang bersamanya untuk duduk.
"Jasmine," seru Hazel membuat Clara mendongak.
"Ya?"
Pelayan datang memberi menu. Terdapat dua buku menu yang dapat Hazel ataupun Clara bisa baca secara terpisah.
Clara tentu saja familier dengan makanan seperti yang tertera pada menu restoran hotel. Hanya saja ia harus berpura-pura agar terlihat baru pertama kali mencicipinya. Ia kemudian menutup buku menu dan meletakkannya di atas meja.
"Samakan saja pesananku denganmu," ujarnya.
Hazel hanya mengangguk pelan. Ia memesan berbagai menu mulai dari steak, salad hingga sejumlah makanan penutup berkelas.
"Mau minum wine?" tawar Hazel menatap lekat Clara.
Clara mengangguk pelan. Ia tidak bisa menolak bagaimana anggur hasil fermentasi itu akan menyentuh lidahnya, setelah hanya mencicipi koktail sederhana pada pesta Davos.
"Jadi kau seorang mahasiswi bukan?" tanya Hazel sembari menunggu hidangan tersaji di atas meja.
"Fakultas Ekonomi, Universitas Harvard," jawab Clara spontan yang kemudian membuat mengutuk diri dalam hati, karena ceroboh membeberkan kebenarannya kepada Hazel tanpa berpikir panjang.
"Kau tidak menggunakan ilmu yang kau pelajari dalam bagaimana meminjam uang?" ujar Hazel dengan sebelah alis terangkat.
Clara mengendikkan bahu. "Ya, kurasa kredit terlalu besar dari debit yang bisa kudapatkan."
"Masalah finansial pribadi? Atau ... keluarga?" balas Hazel penasaran bagaimana mahasiswi salah satu universitas ternama khususnya berasal dari jurusan ekonomi bisa ceroboh dalam pengelolaan masalah keuangan.
"Pribadi, aku terlalu boros," ujar Clara tidak bisa menemukan alasan lebih krusial.
Hazel tidak berkomentar lebih lanjut. Pelayan datang membawa sebotol anggur merah. Dua gelas langsung ikut di hidangkan di atas meja.
Mata Clara tidak bisa bersantai begitu melihat botol wine Henri Jayer Cros Parantoux produksi Vosne Romanee. Ia mengenali jenis wine yang seharga lima ribu dollar perbotolnya tersebut dari Amanda yang pernah membawanya pulang dari New York.
Hazel mengambil botol wine yang telah dibuka. Ia kemudian menuangkannya ke gelas yang berada di depan Clara. Mata keduanya bertemu sepersekian detik.
"Ini adalah satu salah jenis wine yang terbaik," ujar Hazel menjelaskan.
Clara hanya menganggukkan kepalanya seraya langsung mencicipi minuman rasa anggur merah itu. Ia tahu bahwa untuk bersulang dengan Hazel, hal itu tidak mungkin. Mereka bukanlah kenalan dekat.
Hidangan makan malam tersaji. Clara menatap makanan yang mulai membuatnya menelan saliva. Ia biasanya tidak akan terlalu bersemangat seperti ini, tetapi perutnya benar-benar kelaparan sekarang.
Hazel melirik sekilas ke arah Clara yang sedang makan dengan lahap. Ujung bibirnya sedikit terangkat melihat wanita itu. Namun ia segera kembali fokus pada makanannya juga.
"Sudah selesai?" tanya Hazel membuat Clara mengangguk singkat.
Hazel kemudian berdiri diikuti oleh Clara. Namun wanita itu mengernyit begitu menyadari bahwa Hazel tidak mengarahkan elevator bukan ke bawah menuju lobi, tetapi berhenti di sebuah lantai berisi kamar hotel berjenis president suite.
Clara hanya menatap Hazel ketika pintu elevator tempatnya keluar beberapa detik lalu telah tertutup.
Hazel mengulas senyum tipis yang baru pertama kali dilihat oleh Clara. "Jangan berpikir aneh-aneh. Aku tidak mengajakmj untuk tidur bersama."
"Apa?"
Clara melongo mendengar ucapan Hazel. Ia tidak dapat menghilangkan prasangka tersebut, namun sadar bahwa sosok seperti Hazel tidak mungkin akan mau tidur dengannya. Ia bisa membayangkan bagaimana penampilan wanita yang berada di atas ranjang pria tersebut.
"Aku rasa kau bisa menginap di sini dna pulang keesokan harinya. Sopirku mungkin juga telah tidur, apalagi aku lupa memberitahunya untuk menunggu. Sejujurnya aku tidak bisa mengantarmu sendiri pulang, karena besok pagi-pagi harus berangkat menuju bandara," ujar Hazel menjelaskan.
Clara yang ingin membalas ucapan Hazel, harus menahan sebentar begitu pelayan hotel datang.
"Silakan ikut denganku," ujar pelayan tersebut dan diikuti oleh Hazel.
Pelayan hotel tersebut mulai membuka satu kamar dan beralih ke kamar di depannya. "Selamat malam," ujarnya pamit pergi.
"Kau bisa menggunakan kamar itu. Jangan khawatir, aku yang membayarnya," ujar Hazel berbalik menatap Clara.
Clara sendiri hanya terhenyak beberapa saat sebelum mengulas senyum. "Baiklah, terima kasih."
"Hazel?" seru Clara yang membuat Hazel yang semula akan masuk ke dalama kamarnya, menjadi berbalik kembali.
Clara menarik napas pendek. "Selamat malam."
Hazel menganggukkan kepalanya. "Selama malam juga."
*
Clara tidak bisa memungkiri kenyamanan dari kamar hotel yang kini ditempatinya. Tidurnya begitu nyenyak, setelah semalam menikmati pemandangan malam kota ditemani camilan dari pelayanan khusus untuk kamar president suite. Namun matanya mulai terbuka sekitar pukul sembilan pagi. Ia langsung bangkit dari tempat tidur berukuran king size menuju kamar mandi untuk membasuh muka.
Setelah merasa kesadarannya telah kembali sepenuhnya, Clara meraih ponsel dalam tasnya yang ternyata dimatikan sejak di mobil Hazel. Ya pria itu, Clara jadi mengingat bahwa Hazel lah yang membuatnya bisa menginap di hotel ini. Ia segera menyalakan kembali ponselnya seraya keluar dari kamar dan menatap kamar yang ditempati Hazel telah terbuka.
Terlihat pelayan seperti membersihkan kamar tersebut. Clara yang telah berdiri di depan kamar tersebut mengetuk pelan pintunya, membuat pelayan itu berbalik.
"Ada yang bisa dibantu Nona?"
"Ke mana pria yang menginap semalam di kamar ini?" tanya Clara pelan.
Pelayan itu tersenyum ramah. "Sudah check out pukul enam pagi tadi."
Clara langsung mengingat ucapan Hazel semalaman bahwa pria itu akan berangkat ke bandara pagi-pagi. Namun sejujurnya ia sedikit merasa tidak nyaman, bahwa Hazel pergi tanpa memberitahunya. Maksudnya, mereka datang bersama dan sekarang ia tinggal sendiri.
Tidak ingin berlama-lama juga, Clara memutuskan menuju lobi dan tempat resepsionis. Ia bukan mencemaskan tagihan kamar yang tentu mampu dibayarnya lewat kartu kredit, hanya saja dirinya ingin juga segera check out.
"Aku Clara menempati kamar R-002," ujar Clara sambil menyebut nomor kamarnya.
Rssepsionis wanita yang memakai tag nama bernama Rosie tercengang sesaat, namun tersenyum kemudian. "Berarti Nona adalah teman dari penghuni R-001?"
Clara mengangguk mengingat nomor kamar Hazel yang dilihatnya semalam. "Benar."
Rosie kembali tersenyum. "Ada yang bisa saya bantu?"
Clara menggeleng pelan. "Aku hanya ingin keluar sekarang."
Rosie mengernyit. "Benarkah? Padahal kamar Nona dipesan untuk tiga malam."
Clara melongo tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Untuk apa Hazel memesankan dirinya kamar hingga tiga hari lamanya. Apakah pria itu berpikir ia tidak bisa lepas dari kemewahan kamar tersebut?
"Tidak, aku ingin keluar sekarang."
Rosie memgangguk pelan. "Baiklah tunggu sebentar."
"Ini adalah uang refund, karena orang yang membayar tagihan kamar Nona memberikan untuk tiga hari lamanya. Jadi karena telah berlalu sehari yang harusnya terhitung dari tadi malam hingga malam nanti, tetapi Nona memutuskan keluar sekarang," jelas Rosie memberikan uang sebesar tiga puluh ribu dollar kepada Clara. "Sedangkan ini catatan yang ditinggalkan kepada Nona, maaf saya sempat salah menulis nama Nona pada bagian akhir atas permintaan tanu R-001," lanjutnya.
Kini Clara memegang uang yang cukup banyak secara tunai. Setidaknya tiga puluh ribu dollar bisa membeli kendaraan roda empat sederhana. Namun matanya tertuju kepada catatan yang ditulis oleh Rosie.
Jika kau keluar keesokan paginya, gunakan uang refund untuk melunasi utangmu.
Just Mine----
Jasmine.
Clara tersenyum tipis. Ia kemudian memasukkan uang tersebut ke dompetnya. "Terima kasih," ujarnya kepada Rosie kemudian berjalan keluar dari hotel.
*
Amanda sudah berdiri sekitar tiga puluh menit di depan apartemen Clara. Ia berniat mengajak sahabatnya itu untuk pergi ke salon, namun setelah memencet bel berkali-kali, tidak ada jawaban. Bahkan teleponnya tidak aktif.
Hal itu terjawab dengan kedatangan Paul yang mengatakan bahwa Clara kemungkinan tidak ada di apartemennya.
"Aku akan mencoba meneleponnya sekali lagi," ujar Amanda merasa khawatir, bagaimanapun semalam dirinya pergi bersama Clara.
"Halo," suara Clara terdengar.
Mata Amanda terbelalak. "Kau di mana? Aku dan Paul ada di depan apartemenmu?"
Terdengar suara helaan napas Clara. "Aku dalam perjalanan menuju apartemen."
"Berikan ponselmu," ujar Paul membuat Amanda menurutinya.
"Di mana kau menginap semalam?" tanya Paul bersuara.
"Paman Paul? Kenapa ada di sini?" tanya Clara balik dengan heran.
"Jawab pertanyaanku dulu Clara."
Clara menghela napas lagi. "Hotel."
"Apa? Kau menginap di hotel?"
Ucapan terkejut Paul membuat Amanda juga ikut terkejut.
"Kau datang dengan siapa? Atau menginap sendirian?" tanya Paul terburu-buru.
"Ayolah Paul, aku tidur sendirian di kamar hotel tentu saja," jawab Clara membuat Paul menghembuskan napas dengan lega.
"Sekarang kenapa Paman Paul bisa di sini?" tanya Clara lanjut.
"Aku berada di Los Angeles kemarin, lalu mendapat telepon dari Nenek Grace bahwa kau berkata akan pulang bersama pengawal, tetapi malah hilang," jawab Paul menjelaskan.
Clara terkekeh pelan. "Menyenangkan bukan bermain petak umpet dengan nenek. Tenang saja, aku baik-baik saja."
"Jangan lakukan ini lagi Clara. Jangan hilang dari pengawasanku lagi," balas Paul pelan.
Amanda yang mendengar ucapan Paul menatap pria itu. Ia mengernyit sesaat, memikirkan sesuatu yang berkecamuk dalam kepalanya bahwa sikap dan reaksi Paul atas segala kejadian yang terjadi atau dilakukan oleh Clara terlalu berlebihan sebagai seorang paman. Ia sudah lama menduga-duganya, tetapi kali ini sangat terlihat jelas. Apalagi dilihatnya raut wajah Paul yang begitu tegang kala berbicara awal dengan Clara di ponselnya tadi.
Namun yang membuat Amanda lebih penasaran adalah bagaimana Clara bisa berakhir di hotel? Sahabatnya itu jelas tidak mabuk semalam dan tentunya bukan tipikal orang yang akan berakhir one night stand dengan orang lain.
***