Nia hanya memandang kaca jendela mobil Romeo dengan wajah datar, ia sedikit sebal saat Riri tidak memberikannya waktu untuk memilih baju apa yang akan dia bawa. bahkan Riri mengatakan bahwa ia hanya perlu mambawa pakaian tidur. selebihnya mereka akan membelinya jika memang diperlukan.
"udah gak usah cemberut gitu, lu udah jelek makin jelek Nia". itu suara Riri, Nia rasanya ingin menyumpal mulut Riri dengan kaus kaki Romeo yang bau itu.
"bodo amat, gue jelek juga Romeo jatuh cinta setengah mati ama gue". ucapan Nia secara tidak sadar itu menyambut gelak tawa dari Romeo dan Riri. mereka berdua tidak menyangkan bahwa Nia akan senarsis dan sepercaya diri itu.
"kenapoa lu berdua ketawa? bner kan?".
"lu tau gue ketawa kenapa?". Riri memperhatikan wajah sahabatnya ini, Romeo hanya tersenyum sembari memperhatikan jalan yang cukup lenggang didepannya.
"apa". tanya Nia sedikit sewot.
"karena lu udah balik jadi Nia yang pertama kali kita kenal". ucapan Riri membuat Nia hampir menangis, entah kenapa airmata sialannya ini lagi-lagi keluar dan tidak bisa ditahan.
"gue satu suara sama Riri, lu udah jadi Nia yang ceplas-ceplos dan tingkat kepercayaan diri yang tinggi". Romeo tersenyum kearah Nia yang memang duduk disampingnya. sedangkan Riri ada dibelakang mereka.
"dan berhentilah menangis, sialan lu Nia berapa banyak air mata lu tumpah itu? jijik gue sialan ngeliat ingus lu kemana-mana. untung ini mobil Romeo, kalau mobil gue. udah gue tendang lu dari tadi". Riri berucap seperti itu namun tetap dengan perhatian memberikan tisue kepada Nia dan membantunya membersihkan ingus dan sisa airmatanya yang menurut Riri ini sangat menjijikan.
"lu sahabat terbaik gue Ri, i love you pulll 100 ribu". kata NIa dengan riang.
"kenapa seratus ribu lu bawa-bawa?". tanya Riri sewot.
"karena seratus ribu merupakan pecahan uang terbesar di indonesia, dan gue mempunyai cinta sebesar itu ke lu, gak akan ada yang bisa gantiin cinta gue ke lu seperti saat gue liat pecahan 100 ribu, apalagi saat gue liatnya dalam jumlah yang banyak". kata Nia dengan perumpaannya yang tolol.
"sakit kepala gue denger kata-kata absurd lu Nia". tapi Riri tetap tersenyum saat melihat wajah manis sahabatnya.
"jadi cuma Nia yang lu cinta? gue enggak?" tanya Romeo yang melirik kearah Nia, Nia yang dilirik menjadi salah tingkah dan bingung ingin menjawab apa.
"sialan-sialan gue kyak liat drama kolosal Romeo and juliet, jijik banget gue sialan, wajah lu Nia udah kayak pantat monyet, merah banget!". ucapan Riri membuat mereka bertiga tertawa dan melirik satu sama lain. dalam hati mereka masing-masing mengatakan hal yang sama. mereka merindukan saat-saat seperti ini, saat mereka bercanda dan melontarkan lelucon yang walaupun terdengar kasar namun itu adalah tanda bahwa mereka saling menyayangi satu sama lain.
"ngomong-ngomong genggs, gue laper. setidaknya kita bisa mampie ke rumah makan sunda. gue kangen makan ayam kampung dengan sambel tomat dan bakwan jagung". kata Nia mengintrupsi tawa mereka.
"sesuai permintaan, kita berhenti di tempat makan yang terkenal itu ya, gue juga laper nih blum makan sore". akhirnya mereka menganggukan kepala secara bersamaan karena memang perut mereka sudah sangat lapar.
Romeo melirik kearah Nia yang bersenandung kecil saat mendengar lagu kesukaanya diputar, dalam hati terdalam Romeo entah berapa banyak rasa syukur yang dia panjatkan atas kesempatan seperti ini.
Berada didalam satu mobil lagi bersama Nia, bersama dengan celotehnya yang tak pernah habis, bersama dengan senyumannya yang memang selalu menenangkan hati Romeo. bersama semua kenangan yang berputar kembali hari ini. hari ini Romeo rasanya ingin mengadakan syukuran atas kembalinya sang pemilik hatinya.
Romeo tersenyum dan ikut beryanyi lagu yang sama, Nia hanya melirik sebentar dan tersenyum kearah Romeo. dan Riri? entah apa yang ada dipikiran gadis cantik itu, wajahnya sangat suram dan menghela nafas berkali-kali. ada banyak pengungkapan yang ingin diutarakan, namun lagi-lagi semua tertahan di tenggorokan.
matanya melihat keluar jendela, menatap jalan panjang yang lenggang diiringi rintik hujan, Riri memegang dadanya sebentar dan memejamkan mata lalu membukanya lagi. ada satu hati yang seperti tercabik-cabik, ada rasa yang terusik didalam sana, namun sampai detik ini Riri tidak pernah tau perasaan apa itu.
seharusnya dia senang saat kedua sahabatnya ini bisa bersama-sama, seharusnya sudah tidak ada lagi hati yang sesak, seharusnya tidak ada rintik-rintik hujan didalam relung dadanya.
Tapi lagi-lagi Riri hanya pasrah dan menerima semua ini dengan hati yang dia usahakan untuk baik-baik saja, dengan senyuman yang dia paksakan selalu terlihat didepan semua orang.
"ri, ri... ayo kita udah sampe didepan rumah makan". nia menggoyangkan tubuh Riri yang tiba-tiba tak mendengar suara Nia, Riri hanya memandang wajah Nia sebentar dan menetralkan detak jantungnya yang sesak itu.
"udah sampe". ucap Riri pelan.
"iya, kenapa? ada yang sakit? daritadi gue liat lu megangin dada lu terus". tanya Nia khawatir.
"enggak, gue rasa bra yang gue pakai agak sesak". elak Riri dengan ucapanya yang konyol itu, Nia tersenyum dan menunggu Riri di luar pintu.
Riri keluar dan ia melihat karah Romeo yang sejak tadi tidak berhenti memandang wajah Nia, Riri sedikit kesal dan entah mengapa hatinya tidak terima jika perhatian Romeo harus ada pada Nia selalu. tapi buru-buru Riri menapik hal itu dan masuk kedalam rumah makan sunda yang memang sudah menjadi langganan mereka.
pelayan menyambut dan memberikan teh hangat kepada mereka, Riri meneguknya untuk menghilangkan hatinya yang tidak hilang rasa sesaknya.
"pelan-pelan Ri, itu panas". ucapan Romeo membuat Riri melirik sebentar dan mengalihkan pandanganya kearah lain. "lu kenapa? sakit?". tanya Romeo lagi.
"enggak, cuma haus aja". elak Riri sedikit salah tingkah saat diperhatikan Romeo sebegitu intens.
"gak biasanya aja lu mau minum teh panas tanpa gula". Romeo masih memandang wajah Riri dengan heran, yang dipandangi masih mengelak tak mau menatap.
"itu loh Rom, Riri pakai bra terlalu sesak katanya". ucapan Nia membuat Romeo sedikit tertawa dan mengelus kepala Riri pelan.
"sana kekamar mandi, ganti bra". Romeo berkata dengan lembut dan terus memandang kewajah Riri yang sudah benar-benar memerah menahan rasa yang meletup-letup didalam dadanya.
"tuh kan, wajah lu udah merah banget tuh, kepanasan minum teh panas gitu". nia memegang tangan Riri dan menyuruh Riri mengikuti saran dari Romeo dengan tatapan mata.
Riri hanya mengangguk dan buru-buru kearah kamar mandi, dia memegang dadanya yang berdetak sangat cepat. entah perasaan apa ini, semoga saja bukan perasaan sialan yang sudah sangat Riri tahan selama 4 tahun ini. tidak-tidak, Riri harus menghilangkan perasaan sialan ini.