Chereads / Retaknya Sayap Merpati / Chapter 7 - Jogja

Chapter 7 - Jogja

Kami sampai di jogja pada malam hari, aku merebahkan sedikit punggungku yang sudah mulai retak ini, perjalanan yang cukup membuat badan dan hatiku mengeluh resah. Berkali-kali menahan nafas saat bersitatap dengan mas surya.

Berulang kali mencoba untuk terbiasa dengan bola mata hitamnya yang sayu, dengan bibir kecilnya yang jika tersenyum. Runtuh sudah pertahanku, dengan tutur katanya yang lembut, yang tak ada lagu terindah selain kata-katanya saat memanggilku dengan sebutan 'mbak'.

Oh good…. Bahkan jantungku tak pernah berhenti berlari, aku takut tiba-tiba aku mempunyai riwayat penyakit jantung. Uhhh… mengeluh pasrah, memejamkan mataku sedikit lebih lama.

Aku mendengar suara gemericik air, aku tau pasti kebiasaan sahabatku itu mandi di malam hari. Biarkan saja, ia keras kepala saat aku menasehatinya.

"berendamlah sampai pagi ri, biar sekalian lo berubah jadi duyung atau lebih beruntung lagi berubahlah jadi lele di comberan depan rumah". Aku menggerutu mendengarnya tak mengidahkan perkataan ku. Ia malah bersandung lebih kencang.

Kami menginap di hotel malam ini, seharusnya kata bu devy kita akan tinggal dirumah ibu mertuanya. Tapi karena letaknya terlalu pelosok, dan waktu sudah menunjukan pukul 10 malam.

kami tak berani melewati jalanan yang sepi itu. Maklum saja jika dijakarta jam segini orang-orang itu baru keluar dari kantornya atau rumahnya. Jam segini orang di tempat ini pasti sudah memejamkan matanya.

Walaupun kulihat tadi di jalan malioboro masih banyak anak-anak muda yang sekedar nongkrong bareng atau menikmati kuliner di kota ini. Tapi tetap saja rumah mertua ibu devy terlalu sepi jika di lewati malam hari, dan itu sudah keputusan calon ibu mertuaku…

What? Apa yang kupikirkan? Calon ibu mertua?... iya aku berharap bisa menikah dengan mas surya dan hidup bahagia bersamannya.

Walaupun kurasa itu pikiran yang sangat naïf, tapi biarlah, ini pikiranku.. suka-sukaku mau berfikir apa. Bukan begitu? Aku mengeluh lagi, akhir-akhir ini aku terlalu banyak mengeluh. Seperti beban yang sangat berat kujalani setiap harinya.

"berhenti menarik nafasmu yang menghabiskan oksigen disekitarku Na". riri melempar handuk basah yang sudah ia pakai tepat didepan mukaku.

Aku membuka mataku dan balik melemparnya dengan handuk tadi. Ia tertawa sembari mengeringkan rambutnya. Aku bangkit dari kasur dan melihat kearah jendela. "tak ingin keluar sekedar mencari udara segar?". Ucap riri lagi, aku mendengus dan tak menanggapi perkataanya.

Aku tetap melihat kearah luar jendela. Suasana kota ini cukup menenangkan, kota kelahiran mas surya, kota dimana mas surya tumbuh menjadi laki-laki yang mampu membuatku berkali-kali jatuh cinta.

"keluarlah, minumlah sedikit kopi di café bawah hotel ini, aku tau pikiranmu sangat kalut. Apa mau kutemani?". Riri tetap berbicara kepadaku.

Aku menengok ke arahnya, dia tersenyum menunggu jawabanku. "oh c'mon Na, mukamu suntuk sekali. Bahkan aku jijik melihat matamu yang sayu seperti tak ada kehidupan. Bersenang-senanglah Na. mumpung seminggu ini kau bisa berdekatan dengan mas surya. Setidaknya bersikaplah bahwa kau wanita yang periang".

"emmm". Aku berdehem dan mulai bangkit kearah kamar mandi hanya sekedar mencuci muka, setelah itu aku berganti pakaian yang lebih hangat.

Cuaca disini cukup dingin, atau hatiku yang sedikit membeku? Mungkin bukan hati, tapi otakku yang membeku karena terlalu banyak hal yang dipikirkan.

Bukan panas, terlalu biasa. Aku lebih suka otak ku membeku dan aku tidak bisa lagi memikirkan mas surya. Setelah menyelesaikan rutinitas membersihkan muka yang kusut ini dan sedikit menabur bedak serta memakai sedikit pelembab bibir. Lebih baik. Pikirku…

"gue keluar sendiri aja, mungkin lu mau telponan dengan gebetan lu yang manis itu. Gue ngerti". Kataku sakartis, ia terkikik. Aku tau isi otak kecilnya menyuruhku keluar di jam segini. Dasar sahabat menyebalkan.

"have fun sister". Ia terkikik saat aku mendengus keluar pintu, tapi kurasa riri ada benarnya. Aku butuh udara yang segar, setidaknya kopi hangat dengan sesendok gula dan sedikit cream diatasnya bisa menjernihkan pikiranku.

Ah satu lagi sepotong red velvet dan sedikit music klasik. Aku turun menggunakan lift kelantai bawah dimana café ini bersebelahan dengan kolam renang dan taman buang mawar yang cukup indah bagiku.

Aku memesan hal yang sudah kupikirkan tadi dan membayarnya. Aku menunggu pesanan datang dan duduk di pojok ruangan yang langsung menghadap kearah kolam renang, tentu saja hal itu yang akan kupilih, tempat yang cukup strategis untuk bergalau ria.

Jangan lupakan live music yang dibawakaan oleh perempuan imut yang berkulit putih itu. Suaranya cukup manis, ahhh… inilah yang sangat kubutuhkan, sedikit ketenangan dan baiknya lagi pengunjung disini tidak terlalu banyak.

Pesananku datang, pelayan itu tersenyum ramah dan meletakan kopi dan cake red velvet ku di atas meja dan ia berlalu pergi. aku mencoba menghirup aroma kopi itu.

menenangkan…

Sangat menenangkan..

Lagu yang dipopulerkan oleh krisdayanti berjudul 'satu sayap' di mainkan sangat baik oleh perempuan imut, aku menutup mataku mendengarkan lagu tersebut dan menghirup lagi aroma kopi. Hanya menghirup aku tak berniat meminumnya.

Mana mungkin…

Aku terbang menggapai bintang, bila satu sayapku tertinggal dibumi..

Ya sepenggal lirik itu, mewakili hatiku yang resah ini.

Bagaimana mungkin aku bisa terbang jauh jika satu sayapku tertinggal di mas surya? Bagaimana mungkin jika separuh hatiku kuberikan pada sesosok orang yang tak mau mengembalikannya, ia bukannya tak mau mengembalikan mungkin lebih tepatnya ia tak pernah menerimanya. Ia membuangnya….

Ia membuangnya…

Dan aku? Dan aku tidak tau harus mencari dimana setengah hati itu, aku tak tau dimana dia membuangnya, aku tak temukan dimanapun. Tak kutemukan…

Aku terhanyut pada bayang-bayang yang tak pasti, aku terlalu naïf mencintainya dan mengatakannya akan membuatnya jatuh cinta kepadaku. Seperti aku jatuh cinta kepadannya. Jatuh dan tak bisa bangkit lagi..

Ia terlalu bersinar sedangkan aku? aku terlalu banyak diselimuti kegelapan yang tak mungkin menyentuhnya. Jika aku terlalu dekat dengannya maka aku akan menghilang.

Aku hanya bayangan di kegelapan malam, sedangkan dia matahari di pagi hari, aku akan menghilang!! Ia tak tersentuh. Dan tak akan pernah tersentuh olehku…

"kopimu akan dingin jika tak segera meminumnya". Aku tersentak kaget mendengar suara yang sangat familiar. Aku membuka mataku dan seolah udara disekitarku menipis. Mas surya duduk didepanku dengan secakir kopi yang sama denganku. Entahlah mungkin satu kopi yang sama namun dengan rasa yang berbeda.

"emmm". Aku berdehem pelan, tak tau harus berkata apa, aku menyeruput kopi yang tadinya tak ingin ku minum itu, hangat… seperti senyum mas surya yang sedang ditampilkannya saat ini, sungguh hangat.. dan kopi ini begitu terasa manis, pelayan itu ingin membuatku terkena penyakit gula mungkin.

Atau mungkin senyum itu yang membuat ini menjadi sangat manis, entahlah. Pikiranku terlalu liar jika berhadapan dengan sosok ini ditambah senyumannya.

"sendirian, Riri kemana?". Mas surya membuka percakapan denganku, aku menarik nafas sedikit panjang dan mencoba menetralkan degupan jantungku yang bergerak sangat cepat ini.

"dia sedang ingin dikamar". Kataku singkat, aku menyeruput sekali lagi kopiku, tanganku terasa bergetar, dan aku rasa dipelipisku sudah berkeringat dingin.

"are you okay?". Sekali lagi mas surya menatapku dan tersenyum lembut. Aku memalingkan mukaku kearah jendela dan melihat pantulan rembulan di air kolam renang itu. Mengapa malam ini sangat indah? Mengapa rembulan bercahaya sangat indah, perasaanku atau memang mas surya yang membawa semua keindahan ini.

"I'm okay". Aku menaruh kopiku kembali ke atas meja, aku takut jika aku terlalu lama memegangnya, gelas itu aku jatuh atau lebih parahnya aku akan menumpahkannya di bajuku karena terlalu gugup.

"kamu tidak nyaman dengan kehadiranku?". Mas surya bertanya lagi, ia menyeruput kopinya pelan.

Gerakannya membuat nafasku tersengal, hanya meminum segelas kopi? Dan nafasku tersengal seperti habis lari marathon?. Kau bodoh Na, dan kau terlalu berlebihan, batinku berteriak..

"tidak". Kataku pelan, bukannya aku tak nyaman mas surya. Ini membuatku sangat nyaman, setelah hampir satu tahun enam bulan, aku berharap bisa ada di posisi saat ini.

Duduk di atas meja yang sama dan meminum secangkir kopi lalu bercengkrama ria. Ini impianku, astaga!! jantung berhentilah berdetak cepat. Dan untuk otakku, berhentilah berfikir terlalu liar. Bersikaplah santai…

"lalu? Boleh ceritakan, mengapa mukamu sedikit pucat. Kurasa". Mas surya memandangku dan tersenyum lagi. Catat pembaca! Mas surya tersenyum lagi!!!

Ya allah, cobaan apa yang kau berikan kepada hambamu ini, jauhkan senyumnya yang membuatku jatuh cinta padannya berulang kali, jauhkan ya allah. Aku menutup mataku dan menarik nafasku pelan.

"aku terlalu lelah, sepertinya". Mengedikkan bahuku pelan. "dan mungkin karena cuaca disini cukup dingin". Lanjutku..

"maaf jika mengganggumu, aku hanya lewat dan tak sengaja melihatmu yang sepertinya sedang banyak pikiran".

"ehmm, mungkin bisa disebut seperti itu". Jawabku acuh tak acuh, tak kah mas surya paham? Pikiran yang ada di otakku ini perbuatan siapa? Perbuatan dia, astaga aku ingin berteriak tepat di depan wajahnya yang sangat polos itu.

"baiklah kalau begitu, sepertinnya kau tak ingin diganggu. aku ke kamar duluan". Ia bangkit dari tempat duduk dan ia berlalu tanpa melihatku lagi.

Ia pergi, pergi tanpa menoleh kebelakang lagi. Ia datang dan pergi sesuka hatinnya, ia pergi tanpa menunggu jawabku. Seharusnya ia tak boleh pergi, seharusnya ia disini menemaniku melewati malam yang cukup indah ini dengan pantulan sang rembulan. Harusnya ia tetap disini memberikan senyumnya lagi. Dan lagi..

Seharusnya ia tetap disini menyelesaikan percakapan kita, kita? Walaupun aku tau tak ada kata kita disini..

Tak ada kata kita disini…