bismillāhir-raḥmānir-raḥīm
iqra` bismi rabbikallażī khalaq
khalaqal-insāna min 'alaq
iqra` wa rabbukal-akram
aku berhenti membenarkan letak mukena, pendengaranku terpaku dengan suara merdu yang mampu menggetarkan hati ini, aku tau betul suara siapa ini. Aku tau betul suara lembut ini.
allażī 'allama bil-qalam
'allamal-insāna mā lam ya'lam
aku duduk dan menunduk, biarkan aku dengar sebentar ayat-ayat ini, biar ku nimati dulu suara yang lembut ini.
kallā innal-insāna layaṭgā
ar ra`āhustagnā
inna ilā rabbikar-ruj'a
a ra`aitallażī yan-hā
hatiku semakin terketuk, air mata mulai menggenang, aku memejamkan mataku sebentar. Mengikuti setiap lantunan yang terucap.
'abdan iżā ṣallā
a ra`aita ing kāna 'alal-hudā
au amara bit-taqwā
a ra`aita ing każżaba wa tawallā
a lam ya'lam bi`annallāha yarā
kallā la`il lam yantahi lanasfa'am bin-nāṣiyah
nāṣiyating kāżibatin khāṭi`ah
falyad'u nādiyah
sanad'uz-zabāniyah
kallā, lā tuṭi'hu wasjud waqtarib
Shadaqallahul-'adzim'...
"Shadaqallahul-'adzim'". Ucapku mengikuti ucapannya, mataku tetap terpejam, di otakku berputar-putar akan banyak hal, banyak hal yang tak pernah aku tau. Aku yang lemah dengan suara lembutnya, aku yang menangis dengan setiap lantunan yang terucap.
"Nia ayo". Suara Riri menyadarkanku, aku menengok ke arahnya yang kurasa sedari tadi dia ada disampingku dan mendengar lantunan ayat suci al-qur'an yang dibaca mas surya. Ya suara itu memang suara mas surya, laki-laki yang selalu mampu menggetarkan hatiku.
Aku bergegas melepas mukena, dan merapikan kerudungku, lalu berjalan keluar dari musholla, karena sudah memasuki waktu ashar kami memutuskan untuk berhenti di salah satu musholla kecil yang ada di pinggir jalan.
Aku mulai memakai sandal dan kulihat bu devy dan romeo juga sudah menunggu, aku hanya tersenyum ke arah mereka, aku menengok ke arah pintu musholla saat aku mendengar sebuah deritan kecil.
Mas surya ada disana, dengan wajah yang menunjukan kelembutan, ia tersenyum saat matanya melihat ke arahku. Aku memalingkan wajahku dan melihat ujung kakiku yang sedikit bergetar, hanya senyumannya dan hancur sudah pertahanan diriku, aku ingin menangis jika mengingat lagi suara itu.
Untuk pertama kalinya aku mendengar ia melantukan ayat- ayat al-qur'an, dan itu yang semakin membuatku jatuh cinta, jatuh berkali-kali.
"yuk". Bu devy menggandeng tanganku yang sudah mengeluarkan keringat dingin itu, ia tersenyum dan menuntunku dengan genggamannya. Di perlakukan seperti ini aku benar-benar ingin menangis.
Aku mengerjapkan mataku, aku tak boleh menangis, aku tak ingin nanti aku malah dikatakan lebay atau semacamnya. Hanya karena mendengar mas surya mengaji. Lucu bukan? Hanya karena suara lembutnya, tubuhku sudah seperti mencair.
Kami kembali naik ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan untuk kembali ke Jakarta, ya setelah kemarin membeli oleh-oleh yang super banyak. pagi tadi kami langsung bergegas untuk pulang.
Aku memejamkan mataku saat mobil ini sudah mulai bergerak dan membelah jalanan, tak ada obrolan selama perjalanan ini, kurasa semuanya mulai kelelahan. Hanya romoe yang sedikit kudengar bersenandung mengikuti lagu yang diputarnya.
Hahhhh, berbicara tentang romeo, aku jadi mengingat insiden saat dia menyatakan cintanya padaku. Aku dan ia tak pernah membahas lagi hal itu, apa aku terlalu jahat? Entahlah..
Aku pikirkan nanti saja jika ia bertanya, tapi jika tidak, aku juga tak ingin membahasanya lagi. Hatiku terlalu bingung jika harus berhadapan lagi dengan romeo.
*********
(Jakarta)
Romeo Pov
"makasih ya sayang, kapan-kapan kita liburan bareng lagi ya". Mommy mencium pipi Nia dan juga Riri. Aku sudah mengeluarkan barang- barang mereka, waktu sudah menunjukan pukul 9 malam. tubuhku juga rasanya sudah rindu kasur.
"makasih ya rom". Riri melambaikan tanganya kepadaku, aku tersenyum singkat padanya. Lalu aku menengok kearah Nia yang hanya memandang surya. Aku mendengus pelan. Dimata Nia hanya ada surya, bahkan selama di jogja aku sering mempergokinya menatap surya diam-diam.
"makasih ya mom, hati-hati dijalan". Nia menyeret kopernya dan beberapa tas belanja yang kurasa punya Riri. Dia berlalu tanpa melihat kearah ku, memang sekarang aku benar-benar sudah tak dianggapnya. Kemana Nia yang dulu? Yang setiap hari selalu aku yang dicari.
"yuk nak, kita pulang". Mommy menyenggol perutku dan masuk kedalam mobil. Aku mengikutinya dan duduk di kursi pengemudi. Surya hanya diam sedari awal kepulangan kita.
Tapi dia memang orang yang jarang bicara jika tidak terlalu penting. Aku menyalakan mobil dan mulai melaju kearah rumah kami.
Pikiranku tak pernah lepas dari Nia, kupikir jika Nia ikut ke jogja, aku bisa leluasa untuk mendekatinya. Tapi nyatanya ia memang benar-benar sudah memberi jarak padaku, tak tau lagi apa yang harus kulakukan untuk mendekatinya. Surya terlalu berat untuk kusingkirkan, jika saja dia orang lain, aku sudah menyuruh teman-temanku untuk membuatnya pergi jauh dari Nia dan Nia tak akan melihatnya lagi.
Tapi surya? Dia sudah seperti kakak bagiku, walaupun sekarang memang kami tidak terlalu dekat seperti kecil dulu, apalagi saat kutau Nia menyukainya. Aku semakin bingung jika harus mengobrol berdua denganya.
Walaupun aku juga tak tau pasti, apakah surya juga menyukai Nia atau tidak. Ia tak pernah berbicara banyak kepada mommy ataupun daddy, jadi aku tetap tidak bisa mengorek isi hati seorang surya. Di hidup nya hanya ada kerja, kerja, dan kerja. Menjalani perusahaan yang didirikan oleh daddy. Dan dilanjutkan oleh surya, aku tak terlalu berminat untuk mencari tau urusan perusahaan yang mereka jalani.
Bukan aku hanya ingin uang saja, tapi sejujurnya aku sudah mempunyai usaha sendiri di bidang Makanan, jadi aku dibanding surya juga tak berbeda jauh kan? Kita sama-sama pekerja keras. Hanya saja mungkin surya lebih taat kepada Allah SWT, sedangkan aku? Aku saja masih bolong-bolong dalam shalat 5 waktu.
"kok bengong Rom?. Mommy mengetuk-ngetuk kepalaku pelan, aku berdehem tanpa menengok kearahnya. "gak baik bengong, apalagi kamu masih nyetir". Ucapnya lagi.
"iya mom". Kataku pelan, jalanan Jakarta di jam segini masih sangat padat, padahal tubuhku sudah hampir mati rasa.
"mikirin apa emangnya kamu?". Mommy tak berhenti sampai disitu, aku tau ada yang ingin Mommy Tanya tapi sengaja ia ingin memancingku terlebih dahulu. Jika tak ada surya disampingku, sudah sedari tadi aku berbincang perihal Nia ke Mommy.
"gak mom, Cuma agak capek aja". Kataku pelan. Mataku tetap memperhatikan kendaraan di depanku yang bergerak perlahan.
"mau mas gantiin gak Rom?". Kini giliran surya yang berbicara padaku.
"gak usah mas, tanggung juga bentar lagi sampe".
"yaudah kalau gitu". Aku hanya berdehem menanggapi perkataan surya.
"yakin kamu gak papa Nak?, kamu udah nyetir mulu loh, gak mau gentian?". Mommy mengelus pundakku pelan, aku memegang lembut tanganya memberikan isyarat aku baik-baik saja.
"gak kok Mom, Romeo gak papa, lagian kalau mau gantian pasti daritadi romeo udah minta gantiin nyetir sama mas surya".
"yaudah, kalau mau cerita sesuatu atau ada apa-apa cerita ya ke Mommy".
"iya Mom". Aku tak ingin terlalu banyak menanggapi ucapan Mommy, surya masih ada disini, aku tak mau dia menjadi canggung juga. Biar nanti saja setelah sampai dirumah aku akan cerita ke Mommy.
Sekarang aku tau apa yang membedakan aku dengan surya, jika aku selalu menceritakan semua masalahku ke Mommy atau Daddy ku, tidak dengan surya, walaupun ia sudah dianggap menjadi anak mereka, tidak pernah sekalipun surya berkeluh-kesah kepada kedua orangtuaku.
Aku mengerti bagaimana perasaanya, semenjak orangtuanya meninggal, kehidupannya berubah drastis, ia juga jarang tersenyum dan memilih sendiri, ia selalu mengambil semua keputusan sendiri. Ia bisa dikatakan sosok kakak yang cukup mengayomi, walaupun memang dia irit sekali dalam berucap.
Tapi dia tak pernah mengambil sedikitpun kasih sayang orangtuaku, ia seperti tau dimana dia harus bertindak, itu mengapa aku tak pernah membencinya saat mommy dan daddy mengangkatnya sebagai anak.
Aku anak satu-satunya dikeluarga ini, dan semua perhatian tertuju padaku, sempat terpikir olehku pertama kali surya datang kerumah, aku takut dia mengambil seluruh perhatian dan kasih sayang orangtuaku, tapi nyatanya tidak. Tidak sama sekali..
Sedari kecilpun aku sangat menyayanginya, mungkin sampai sekarang, tidak bisa dideskripsikan kasih sayang seorang saudara. Karena kami juga mengaliri darah yg sama dari Nenek kami.
Seandainya aku tak pernah menyukai Nia, mungkin sekarang aku sudah menjodohkannya dengan Nia. Tapi tidak, aku tak sanggup melihatnya bersanding dengan Nia, tidak dengan dalam pikiranku….