Hari keempat selama di jogja, tak terasa liburan yang menegangkan akan segera berakhir. Menegangkan sekaligus menyenangkan, bagaimana tidak menyenangkan jika setiap saat bisa melihat wajah mas surya.
Walaupun kenyataanya mas surya tak pernah melihatku, ya itu kenyataanya tapi khayalannya aku bisa berbincang-bincang sedikit. Ya walaupun sedikit tapi tak pernah tersampaikan, nasib sekali cintaku ini, ditengok pun tidak wajahku yang cantik jelita nan rupawan ini.
Aku mengigit sepotong roti yang sudah ku olesi selai coklat, kami sedang sarapan bersama di meja makan, nenek yang sedang meminum jamu paginya, ibu devy memakan bubur tempe yang dibelinya dipasar, dan yg lainnya sama sepertiku, mereka memakan roti tawar dengan selai.
Bukan kami yang terlalu sombong dengan makanan khas kota ini, tapi lebih tepatnya kami tak dibelikan oleh bu devy.
Calon ibu mertuaku itu memang, memang kadang-kadang hanya memikirkan perutnya sendiri, tapi aku tak ingin menanyakan alasan mengapa ia tak membelikan kita sarapan yang sama denganya, aku tak ingin dibilang calon menantu yang kurangajar.
Calon menantu? Pede sekali hatiku berkata ini..
"Nia jadi gimana, kita bisa mampir ke ibu kamu yang ada di solo?". Ucapan ibu devy menghentikan kunyahan roti yang ada di mulutku.
"kemarin terakhir Nia telfon ibu, sepertinya gak bisa mom, soalnya ternyata ibu ada acara di rumah saudara".
"emmm yaudah kalau gitu, berarti kita besok langsung pulang aja ya ke Jakarta".
"iya mom, maaf ya mom". Kataku sedikit merasa bersalah.
"ya gak papa, namanya ada acara. Lain kali aja kalau kita jalan jalan lagi. Kita bisa mampir".
"iya insyallah mom". Kataku tersenyum.
Sebenarnya aku ingin sekali ibuku bertemu dengan mas surya, tapi apalah daya saat ibu mengatakan ada acara di rumah saudaraku. Mungkin belum waktunya aku mengatakan hal penting ini ke ibu.
"jadi hari ini kalian mau kemana?". Tanya nenek.
"beli oleh-oleh bu, kebetulan pesanan dari teman-teman banyak sekali, devy sampe pusing". Keluh bu devy.
"ya gak papa, sekali-kali berbagi oleh-oleh kan juga mendatangkan rejeki".
"tapi banyak banget tau bu, devy buat history yang komen titip oleh-oleh semua".
"jangan suka ngeluh nak, semoga aja bisa bawa berkah. Siapa tau yang nitip kekamu orang yang memang tidak pernah kesini dan dia baru ngerasain makanan khas sini, dia bahagia kamu dapat pahala loh"
"ibu bisa aja". Bu devy tertawa dengan perkataan nenek, bu devy adalah orang yang selalu menuturkan pemikirannya tanpa ada yang disembunyikan. Dan nenek? Dia adalah orang yang mempunyai pikiran terbuka, dan pastinya sangat menyayangi bu devy, jarang-jarang kan ada mertua dan menantu yang selalu bisa akur seperti ini.
"yasudah habis ini kalian langsung ke pusat oleh-oleh, biar pulangnya tidak terlalu sore. Jadi langsung bisa istirahat malam ini, jadi besok pagi udah seger buat ngelanjutin perjalanan pulang". Nenek menuturkan pemikirannya, dan kami semua mengangguk mengerti.
*****************
"Na lu gak beli baju gitu, gue aja udah banyak gini". Riri memamerkan isi belanjaan nya tepat di depan mukaku, aku mendengus tak suka. Bukan aku tak ingin belanja, tapi aku tak ingin menghabiskan uang bulanan yang sudah diberikan ibuku, lagipula aku masih banyak baju dirumah. Pikirku.
"gak lu aja sono, kalau lu yang beli kan, gue juga bisa minjem". Aku tertawa pelan saat kulihat wajah tak sukannya yang dibuat-buat itu.
"gue beliin celana batik yang panjang ya, jadi lu bisa pake kalau di dalem apartemen". Riri memilih beberapa celana, dan aku hanya mengangguk kepalaku sebentar. Riri dan bu devy sama-sama kalap saat sudah melihat harga pakaian yang ada sepanjang jalan malioboro ini, tentu kalap, harganya sangat murah meriah untuk dijadikan oleh-oleh.
Aku duduk di satu bangku sang empunya toko, kakiku hampir mati rasa menemani dua perempuan ini, kulihat mas surya dan romeo juga melihat beberapa tas dan sepatu yang cocok menurut mereka.
"Na, sini". Kudengar romeo meneriakan namaku dari toko sepatu. Aku mengahampirinya melewati 3 toko pakaian lainnya, pengunjung hari ini cukup ramai, apa memang selalu ramai. Entahlah aku tak tau.
"kenapa?". Tanyaku saat sudah sampai di depannya.
"menurut lu gue bagus pakai sepatu yang warna coklat muda ini apa yang coklat tua?". Aku memperhatikan saat romeo mencoba sepatu itu secara bergantian.
"yang tua lebih bagus rom". Jawabku singkat, sebenarnya aku tak terlalu tau soal sepatu cowok, tapi aku hanya suka melihat warna saja. "warna nya bagus kalau lu yang pakai". Lanjutku.
"oke deh, gue beli yang ini aja". Romeo menghampiri sang penjual, dan sedikit berbincang. Aku tak terlalu mendnegarnya. Aku hanya memperhatikan mas surya yang juga memilih beberapa sepatu.
"yang warna abu-abu cukup bagus mas". Kataku memecahkan keseriusannya yang sedari tadi tak berhenti memilih. Ia menengok ke arahku dan tersenyum.
"oh ya?, kalau gitu aku pilih yang ini berarti". Ia mengambil sepatu abu-abu itu dan menghampiri sang penjual seperti romeo. Aku mematung ditempatku, aku hanya sekedar berbasa-basi. Tapi tak pernah kusangka mas surya akan mengikuti saranku.
Rasanya ribuan kupu-kupu menari-nari didalam perutku, begini aja rasanya aku seperti terbang tinggi.. astaga…
Aku menunggu mereka yang sudah membungkus pilihan masing-masing, saat kulihat romeo dan mas surya menghampiriku, aku hanya tersenyum.
"lu gak beli apa-apa Na?". Tanya romeo saat sudah sampai didepanku.
"gak, gak ada yang pengen gue beli juga". Kataku pada romeo.
"yaudah, yuk ke mommy". Romeo berjalan duluan, aku mengikutinnya dari belakang, dan mas surya ia berjalan disampingku, hanya tas belanjaanya yang menghalangi kami, hanya berjalan melewati 3 toko pakaian. Namun rasannya aku berjalan sangat jauh disamping mas surya, tak ada percakapan, tak ada sapaan. Kami hanya membisu, tanpa kata.
"eh gue kira lu kemana Na". Riri lebih dulu menegurku, saat kulihat tas belanjaannya lebih banyak dari yang kulihat 15 menit yang lalu.
"borong neng". Kataku mencoba membantunnya yang sudah kelihatan kesusahan. Ia hanya cengengesan tak jelas.
"loh kamu gak belanja apa-apa Na?". bu devy keluar dari toko dan sama seperti Riri ia menenteng tas belanja yang banyaknya tak terkira. Kulihat mas surya membantunya begitu pula romeo.
"gak mom, Nia lagi gak pengen beli apa-apa". Kataku tersenyum.
"tau nih mom, Nia maunnya nenteng belanjaan orang tapi gak mau belanja". Riri mencoba meledekku.
"romeo kamu gimana, sahabat sendiri gak dibeliin apa-apa sih". Kini giliran Bu devy yang meledek romeo. Dua insan perempuan di depanku ini benar-benar.
"romeo gak kepikiran mom". Romeo menggaruk kepalannya yang kurasa tak gatal itu sambil cengengesan.
"dasar laki-laki gak peka". Bu devy meledek romeo sembari mencubit lengannya pelan.
"yuk Nia kita belanja lagi, lu mau apa?". Romeo bertanya dengan polosnya, mana mungkin aku langsung mau dengan ajakannya, nanti disangka aku cewek matre. Walaupun memang kalau tidak didepan bu devy, pasti aku langsung meng iyakan tawaran romeo ini.
"gak usah rom, gue lagi gak butuh apa-apa. Yaudah yuk mom, kita langsung ke toko makanan. Takutnya kesorean". Aku mencoba membujuk bu devy yang sebentar lagi akan menunjukan wajah serigalanya saat melihat kepolosan romeo. Maklum saja, bu devy adalah orangtua yang menjunjung tinggi sifat romantisme.
"yaudah yuk, nanti di toko makanan. Kamu beli apa aja yang kamu mau, biar romeo yang bayar. Biar bangkrut sekalian uang jajan nya". Bu devy berjalan duluan dengan langkah angkuhnya. Belanjaanya? Di berikan ke romeo secara paksa. Aku menahan tawaku melihat wajah romeo yang pasrah dan mengikuti ibunya itu.
Tapi tidak dengan Riri, tawanya sudah terdengar tak tertahankan. Perempuan ini tidak tau tempat memang. Selalu saja membuat orang-orang melihat kearah kami. Ia tertawa dengan melenggang mengikuti romeo dan meledeknya habis-habisan kurasa.
"ini buat kamu Na". suara mas surya menganggetkanku. Ia ternyata sedari tadi disampingku. Menyodorkan satu buah gelang berbahas kulit dan ada sedikit ukiran batik. Sederhana tapi cukup cantik.
"buat Nia?". Tanyaku memastikan. Ia mengangguk, aku menerimannya dan memeperhatikannya semabri tersenyum. "cantik". Kataku tanpa sadar.
"iya cantik". Mas surya berlalu pergi setelah mengatakan itu, aku melihatnya dan mengikutinnya perlahan. Aku selalu suka saat melihat punggung nya yang bindang itu. Postur badan yang tinggi, kulit yang putih, tidak terlalu tanpa mungkit dibandingkan dengan romeo. Tapi aura nya selalu membuat jantungku berdisko ria. Senyumnya terlalu lembut, namun juga terlalu jauh untuk kusentuh.
Aku memakai gelang yang diberikannya. Senyumku mengembang, hanya sebuah gelang, namun aku merasa ini cukup menjadi bentuk perhatiannya. Ia laki-laki yang penuh dengan teka-teki. Jatuh cinta dengannya seperti musim dingin yang membekukan. Wajahnya,suaranya,tatapan matanya, membekukan setiap inci tubuhku.
Takdir memang aneh, ia yang memang tak pernah ingin kusentuh, mendadak malah kujatuhkan hatiku. Dan kata-kata penolakan selalu menghantui disetiap detik yang kulalui. Selalu penolakan..