Romeo mengetuk pintu kamar yang ditempati oleh Riri dan juga Nia, ketukannya tak berhenti-berhenti mengusik sang punya kamar.
"Romeo?". Riri mengintip dari balik pintu dan menyipitkan matanya, aku tersenyum penuh arti.
"ngapain?". Ucap Riri lagi, ia menghalangi pintu dengan tubuhnya itu, sepertinya aku memang tak boleh masuk kedalam, walaupun aku juga tak berniat untuk masuk sebenarnya. aku hanya tersenyum jail, membuatnya semakin mengerutkan dahinya sebal.
"Nia mana?". Tanyaku balik, tak kuhiraukan rasa penasaran diwajahnya itu.
"Nia tidur, perlu apa lo anak mommy". Ia terkikik geli, berniat meledekku namun aku hanya menjitak kepalanya pelan. Ia mengaduh dan mengusap usap kepalanya yang kurasa tak sakit.
"penting banget lo nanya gue mau ngapain". Riri keluar dari pintu kamar dan menutupnya perlahan, aku menaikan sebelah alisku.
"gue mau ngomong sesuatu sama lu, mumpung lu ada disini dan gak sok sibuk". Aku menganggukan kepalaku singkat dan berjalan kearah beranda lantai dua, aku memberi isyarat kepadanya untuk mengikutiku. Aku duduk di bangku kayu berukir yang tak kupahami, Riri duduk di depanku, matanya menatapku penuh keingintahuan.
"jadi?". Kataku membuka percakapan, aku tak terlalu suka dengan wajah seriusnya kali ini.
"lu beneran jatuh cinta sama Nia? Gue bukan pengen tau banget sih, tapi gue Cuma pengen denger aja dari mulut lu langsung". Tanyanya to the point.
"iya, lagian emang selama ini gue pernah bercanda soal perasaan? dia sahabat kesayangan gue, dan gak mungkin juga gue bohong".
"wow, gue masih sedikit kaget mendengar ini sih, walaupun lu dan Nia udah jadi temen gue selama hampir empat tahun ini, gue gak akan bisa membela salah satu dari kalian. Perasaan kalian, kalian yang punya, tapi gue juga gak bisa melihat salah satu dari kalian merasakan sakit hati yang terlalu dalam, lu udah tau kalau Nia menyukai seseorang?". Tanya Riri dengan muka seriusnya kepadaku.
"ya, surya kan". Jawabku acuh tak acuh.
"gila sih, lu udah tau tapi lu bisa bersikap biasa aja". Riri memijat keningnya, lalu mengeluh resah, pandangannya mengarah tak tentu, aku memperhatikannya seksama tanpa berani mengatakan apapun.
"Nia belum tau ini, kalau sampe dia tau, gue yakin dia bakalan merasa sangat bersalah". Ucapnya lagi.
"kalau gitu biarin dia tidak tau apa-apa". Romeo tak mau banyak membahasa perasaannya ini, tapi mau bagaimana juga Riri adalah salah satu sahabat yang selalu ada untuknya.
"seriously? Itu sama aja lu mempermainkan dia rom".
"lalu gue harus apa?, dateng ke dia lalu bilang kalau gue tau dia suka sama surya? Kakak angkat gue sekaligus sepupu gue? Apa dengan itu dia akan menjadi tenang? Gak Ri!, kalau gue sampe tau hal yang dia sembunyikan itu, dia akan semakin menghindar dari gue, gue menyatakan perasaan ke dia aja, dia mulai menjaga jarak sama gue. Bukan semenjak itu, jauh sebelum itu, semenjak dia suka sama surya, dia udah membatasi dirinya dari gue". Aku mengusap kasar wajahku, Nia terlalu jauh untuknya, untuk sekarang dan menurutnya hingga seterusnya.
"tapi setidaknya dia harus tau, dia seperti bermain drama dan lu mengikuti permainannya, dia seperti orang bodoh yang merasa semuannya baik-baik aja". Riri adalah perempuan lembut yang selalu tau perasaan seseorang yang ada disekitarnya.
"semuanya emang baik-baik aja Ri, semuanya baik-baik aja, tapi tidak dengan perasaan gue, tidak dengan posisi gue yang menjadi sahabat sekaligus seorang yang mencintai sahabatnya sendiri, kalau gue bisa ngubah perasaan gue ini, kalau gue bisa hapus dan melupakan perasaan ini. Gue bakalan hapus Ri, sumpah gue bakalan menghilang dan membuat Nia bisa bersama dengan surya, harusnya gue menjadi sahabatnya yang mendukung perasaanya, selalu ada saat-saat seperti ini, karena dukungan yang dibutuhkan nia. Tapi gue gak bisa, bodohnya gue malah menyatakan perasaan gue sama Nia". Aku mengepalkan tanganku, rasanya aku ingin memukul meja depanku ini. Sahabat macam apa aku ini.
"are you okay rom?, I'm so sorry, I didn't mean to upset you". Riri bangkit dari duduknya dan mengelus puncak kepalaku, aku memegang tanganya erat.
"I'm okay Ri, No problem, gue gak marah sama lu. Gue Cuma bingung dan gue takut semakin lama Nia akan semakin jauh dari gue, gue gak tau harus ngapain". Aku menarik nafasku pelan, mencoba untuk tak kehilangan kendali.
Aku ingin menangis, rasanya hatiku terlalu hancur, rasanya perasaan ini menggerogotiku secara perlahan. aku menyayangi Nia sebagai sahabatku, tapi aku juga menyayanginya lebih dari itu. aku ingin lebih, sesuatu yang lebih intim dari sekedar sahabat.
"I'm stiil here rom, I'm here". Riri mensejajarkan tubuhnya denganku, lalu memelukku erat. Aku menangis di samping lehernya yang tertutupi rambutnya yang panjang itu, aku menangis pelan, ia selalu tau apa yang kubutuhkan saat ini.
Bukan aku terlalu lemah namun perasaan yang sudah kutahan selama empat tahun ini sudah menguar tak terkendali. "you will be fine rom, because I'm here, kapanpun lu butuh gue". Riri tetap memelukku dan menepuk pelan pungguku dengan tanganya yang kecil itu.
Aku semakin sesak, rasanya aku ingin menumpahkan semuanya saat ini, saat ini saja, aku mohon saat ini saja aku ingin menangis dan setelah ini aku harap hatiku akan semakin kuat.
"Thanks Ri, and I'm sorry". Kudengar Riri ikut menangis di balik punggungku, nafasnya tersengal tak beraturan. Romeo tau Riri juga merasa tak berguna sebagai sahabat karena tak bisa memberikan dukungan lebih dari pelukan ini, Riri pasti tak tau harus memilih ke siapa diantara kita berdua. dia pasti hanya ingin yang terbaik, tanpa harus menyakiti diantara kita berdua.
"sssstttt, don't say anything". Ucapnya memelukku makin erat. "lu adalah sahabat terbaik Nia, lu orang yang sudah membuatnya tersenyum selama ini, lu yang ngebuat dia selalu bangkit. Masa lalunya yang membuat dia terpuruk dan membuat dia hampir kehilangan kehidupannya, lu selalu ada disampingnya rom, dan gue tau itu. Gue tau apa yang udah lu perbuat untuk dia, apa yang sudah lu korbankan, semuannya lu berikan ke Nia. Lu udah cukup menjadi sahabat yang baik rom. Ucapnnya lagi, Riri melepaskan pelukannya, kulihat matanya sembab, ia menghapus air mataku pelan dan tersenyum.
"Ri?". Riri menutup mulutku saat aku ingin mengucapkan sesuatu.
"lu kuat, dan lu harus kuat, jangan pernah berubah untuk menjadi sahabat yang baik buat Nia. Jodoh dan maut hanya tuhan yang tau, tetaplah berusaha dan selalu disampingnya". Aku mengangguk dan ia menepuk pelan kepala ku, lalu tertawa.
"ingus lu nempel dipunggu gue ri, bahkan merembes hampir ke pantat gue". Aku meledekknya, lalu dia mendengus sebal.
"menurut lu, ingus lu gak merusak rambut gue yang halus ini. Lu harus ganti rugi dan anterin gue ke salon pokoknya".
"ay ay captain". Kataku memberi hormat layaknya prajurit lalu menepuk kepalanya pelan, kami tertawa bersama. Hatiku sedikit lega setelah menangis tadi.
Cukup sekali ini saja semuannya kucurahkan kepada Riri, setelah ini aku akan baik-baik saja. Ada Riri disini, dan aku tak perlu takut untuk jatuh, karena ada Riri….
Entahlah mengapa aku begitu percaya dengan Riri, aku mempercayakan hati yang rapuh ini ditanganya, digenggaman seorang perempuan yang terlihat kuat ini.