Kubaca beberapa buku tentang komunikasi, terlalu suntuk untuk berfikir. Banyak yang tak kupahami dengan penjelasan yang telah terjabar dalam lembaran kertas itu.
Otakku dipenuhi kejadian sore tadi; setelah selesai sholat aku berkunjung kerumah romeo karena sudah berjanji untuk menemui ibunya. Tidak terlalu lama, selepas magrib aku pulang karena sudah tidak terlalu nyaman berlama-lama dirumah orang.
Ya walaupun kami cukup dekat, namun aku sudah berjanji pada diri sendiri agar mengubah kehidupan sedikit demi sedikit.
Aku dan romeo tidak punya hubungan darah, dan kami seharusnya tidak pantas berada dalam satu ruangan yang sama karena belum terikat sesuatu yang halal.
Tapi semakin aku membangun tembok tinggi kepada romeo, ia selalu menghancurkannya dengan seenaknya menyentuk puncak kepalaku. Dia terlalu keras kepala jika dinasehati. Aku pun terlalu sungkan jika harus menolak secara terus-menerus. Jalan-jalan satu-satunya hanya menjaga jarak dengan membatasi diri untuk bertemu denganya atau teman laki-laki ku yang lain.
Sulit memang, apalagi dengan statusku yang sebagian besar berteman dengan laki-laki dan menyukai dunia malam. walaupun aku memegang teguh prinsip "No drugs, No sex".
Tapi menjauhkan keseharian yang selalu dikelilingi laki-laki. Sulit rasanya memberikan pemahaman kepada mereka. Aku tidak ingin memutuskan tali persahabatan kami secara Cuma-Cuma. Mereka yang selalu membantuku jika aku memiliki kesulitan, lalu dengan tiba-tiba aku menjaga jarak. Bukankah itu terlalu jahat?.
Tok tok tok…
"Na udah tidur?". Ucap Riri dari luar pintu kamarku.
"belum ri, masuk sini". Ucapku sedikit berteriak. Aku dan riri memang sudah selama 4 tahun ini tinggal di satu apartmen yang sama. Karena ia yang mengajak ku pertama kali untuk tinggal bersamaanya.
"sibuk gak?". Tanya nya berjalan kearah tempat tidurku.
"gak terlalu sih, Cuma abis baca baca buku yang tadi dibeli aja". Kataku.
"gue lagi pengen di temenin nih". Ia tertawa dan mulai merebahkan punggungnya di tempat tidurku.
"kenapa? Ada masalah?". Kataku, menutup buku yang kubaca tadi dan menaruhnya di meja samping tempat tidur.
"gak ada sih, Cuma suntuk aja ngerjain revisian skripsi". Katanya memejamkan mata, aku tersenyum melihat tingkahnya itu. Dia memang orang cukup mudah untuk dipahami. Jika bosan dia hanya butuh ketenangan dan ada orang disampingnya untuk menemani.
"emmmmm, butuh bantuan?".
"nanti ajalah, gue lagi pengen nyantai. Jadi gimana tadi ketemu mas surya?". Katanya, mengalihkan pembicaraan.
"gitu doang".
"yakin gitu doang, sampe suntuk gitu muka". Iya tersenyum dengan tetap memejamkan matanya.
"ya emang gitu doang, salah aja dia yang gak pergi-pergi dari otak gue". Kataku sebal.
"chat lah".
"mana bisa orang begitu di chat".
"minta nikahin kalau gitu". Ucap riri meledekku secara terang-terangan.
"maunnya, tapi nyatanya di tolak. Padahal baru bilang suka, apalagi bilang nikah, bisa-bisa di blokir gue dari semua sosmed nya".
"cintai aku karena allah eh?". Katanya, ia membuka mata dan mulai duduk berdampingan denganku.
"tidak ada cinta yang halal, jika bukan dalam pernikahan". Kataku mencoba mengutip kata-kata motivasi islami yang kubaca di instagram.
"bertahan terus? Setahun pertama lu jatuh cinta diam-diam, 6 bulan yang lalu lu mencoba mengungkapkan perasaan. Sekarang? Menunggu yang tidak pasti eh". Riri tetap tersenyum saat berkata seperti itu. Aku tau ia khawatir denganku. Namun ia tak mau terlalu mengekang apa yang aku rasakan.
"mungkin belum waktunya, gue cuma berdoa yang terbaik. Jika dia memang ditakdirkan, selama apa dan sejauh apapun pasti akan datang waktu dimana gue dan dia bisa menjadi halal. Namun jika bukan takdir, semoga allah berikan yang lebih baik".
"gue salut dengan kehidupan lu saat ini na, bahkan gue gak pernah membayangkan lu mencari pasangan hidup yang sifat dan pemahamannya paling lu benci. Tapi sekarang malah dia yang paling lu semogakan".
"ya gue juga gak nyangka, hidup se ekstrim itu ya, dia yang dulu secara terang-terangan gue benci. Yang dengan bangga gue cemooh di depan banyak orang, tapi sekarang gue ngerasa gue yang sedang di cemooh diri sendiri". Aku mulai merebahkan badan, riri mengikuti apa yang kulakukan. Kami sama-sama memandang langit-langit kamar.
"gue selalu berdoa yang terbaik buat lu na, selama lu butuh bantuan gue. Sebisa mungkin gua bantu lu, jadi jangan sungkan ya".
"yahhh sejauh ini lu selalu bantu gue lari dari pertanyaan romeo dan lainnya".
"itu soal gampang, yang gak gue bisa bantu sekarang adalah membalik hati mas surya biar bisa menghalalkan lu segera". Ia tertawa, aku pun ikut tertawa mendengar suarannya.
"doa dan usaha lu selama ini, udah lebih dari cukup ngebantu gue".
"yahhhh, udah deh. Gue mau tidur, capek denger suara lu mulu seharian". Aku berdeham dan mulai memikirkan banyak hal.
"ya, awas lu ngompol di kasur gue". aku mencubit pinggang Riri pelan, hanya bermaksud meledeknya.
"Gue ompolin pokoknya, biar besok lu ada kerjaan nyuci sprei dan gak mikirin Surya mulu".
aku hanya tersenyum dan berpikir bahwa, benar juga yang dikatakan Riri. harus lebih banyak kesibukan untuk melupakan Surya.
Hati yang tak bisa dipaksakan akan berlabuh kemana, mencintai? Pantaskah aku sebut ini cinta? Mencintai lawan jenis yang bukan mahramnya. Lalu disebut apa perasaan yang menggebu ini.
Memintanya kepada sang kuasa, tak henti disepertiga malam agar ia menjadi jodohku, apa itu salah? Apa itu cara yang benar atau pemaksaan?.
Aku semakin tak tau harus berbuat apa, aku takut doa-doa ku hanya siasat setan agar menyesatkanku semakin dalam. Semakin dalam pada perasaan yang tidak pantas, mencoba agar tak memikirkan mas surya.
Mencoba untuk tidak membayangkan bisa hidup bahagia bersamannya.
Aku mengeluh pasrah, mencoba memejamkan mata. Ini sudah terlalu larut untuk memikirkan hal-hal yang tak pantas dipikirkan..
"Yaudah Ri, ompolin aja. biar gue sibuk". kataku pelan.
"cinta ternyata buat lo jadi bego Na". aku hanya mengangguk pelan, walaupun aku tau dia tak melihatnya. cinta memang terkadang membuat orang menjadi sedikit bego..