"Ini!" kata laki-laki berkumis melintang itu dengan suara kasar. "Berikan sama dia! Aku harus terima jawaban hari ini juga, Kalingundil!! Kau dengar!?" Orang yang bernama Kalingundil mengangguk. Diambil surat yang disodorkan.
"Kalau dia banyak bacot.....," kata laki-laki berkumis melintang itu pula, "bikin beres saja. Berangkat sekarang, jika perlu bawa Saksoko!" Kalingundil berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Dan bila Kalingundil baru saja lenyap di balik pintu maka menggerendenglah Suranyali, laki-laki yang berkumis tebal itu.
"Betul-betul perempuan laknat! Perempuan haram jadah!" Dibulatkannya tinju kanannya dan dipukulkannya meja kayu jati di hadapannya.
"Brakk!!"
Papan meja pecah. Keempat kaki meja amblas sampai tiga senti ke dalam lanci ubin dan ubin sendiri retak-retak! Kemudian dia berdiri. Tubuhnya menggeletar oleh amarah yang hampir tak bisa dikendalikannya lagi. Dan mulutnya terbuka kembali. Dia memaki-maki seorang diri.
"Perempuan keblinger! Ditinggal satu tahun tahu-tahu kawin! Bunting malah dan punya anak malah! Keparat!" Suranyali berdiri dengan nafas menghempas-hempas di muka jendela lalu dia melangkah ke meja lain yang juga terdapat di ruangan itu. Dari dalam sebuah kendi diteguknya air putih dingin. Tapi baru dua teguk air melewati tenggorokannya, isi kendi itu sudah habis.
"Keparat!" maki Suranyali lagi. Dibantingkannya kendi itu ke tanah hingga pecah berantakan. Seorang perempuan paruh baya memunculkan kepalanya di pintu sebelah sana namun melihat Suranyali yang lagi beringasan ia cepat-cepat diam menghilang kembali.
Akhirnya, Suranyali letih sendiri memaki-maki dan marah-marah seperti itu. Dibantingkannya badannya ke sebuah kursi. Dan kini terasa olehnya betapa letih badannya.
"Ludjeng!" teriak Suranyali.
Perempuan separuh baya yang tadi memunculkan diri di pintu masuk bergegas.
"Ya, Denmas Sura....".
"Kau juga keparat!" damprat Suranyali pada perempuan itu. Ludahnya menyemprot dan Wilujeng tak berani menyeka ludah yang membasahi mukanya.
"Sudah berapa kali aku bilang, jangan panggil aku dengan nama itu! Apa kau sudah gila hingga lupa terus-terusan?!? Kau gila ya, hah?!!." Wilujeng terdiam dengan tubuh menggigil ketakutan. Lagi-lagi dia lupa. Lagi-lagi dia memanggil dengan Sura padahal sudah sering Suranyali memerintahkan agar dia memanggil dengan nama Mahesa Birawa.
"Perempuan monyong! Aku tanya kau sudah gila? Jawab!"
"Tidak, Denmas Su....., eh Mahesa Birawa....."
"Kalau tidak gila kau musti sinting! Ambilkan aku air, lekas!"
Wilujeng putar tubuh. Sebentar kemudian dia sudah kembali membawa segelas air putih. Air yang dingin itu menyejukkan hati Suranyali sedikit. Kemudian dia duduk tenang-tenang di kursi itu dan bila matanya dipicingkannya, maka kembali terbayang saat setahun yang lewat.
Waktu itu dia sudah lama berkenalan dengan Suci. Dia tahu bahwa gadis itu tidak suka terhadapnya, tapi dengan menemui Suci terus-terusan di tepi kali tempat mencuci, dia berharap lama-lama akan dapat juga melunakkan hati gadis itu. Memang akhirnya Suci mau juga bicara-bicara melayani Suranyali, tapi ini bukanlah karena dia suka terhadap Sura melainkan karena kasihan belaka. Tapi celakanya Suranyali salah tafsir. Dia menduga bahwa kini Suci sudah terpikat kepadanya.
Satu ketika Sura dipanggil oleh seorang sakti di gunung Lawu. Sebelum pergi, Sura menemui Suci dan berkata, "Suci, aku akan pergi ke Gunung Lawu. Mungkin satu tahun lagi aku baru kembali. Kuharap kau mau menunggu dengan sabar. Jika aku kembali aku akan mengawini kau....."
"Tapi Kangmas Sura....."
Suci menghentikan kata-katanya karena saat itu dilihatnya Suranyali melangkah ke hadapannya dan mengulurkan tangan untuk memeluknya.
Suci mundur.
"Jangan, Kangmas. Nanti kelihatan orang....."
Kemudian Suranyali pergi tanpa ada lagi kesempatan bagi Suci untuk menerangkan bahwa dia tidak suka laki-laki itu, bahwa dia menolak lamaran tadi! Dan dalam kepergian Suranyali itu maka Suci kemudian kawin dengan Ranaweleng seorang pemuda yang dicintainya dan juga mencintainya. Bagi Suci perkawinannya dengan Ranaweleng itu sama sekali bukan pengkhianatan atas diri Suranyali karena memang dia tidak mencintai
Suranyali dan juga tak pernah menyatakan cintanya.
Demikianlah, bila hari itu Suranyali kembali dari perjalanannya maka kabar yang pertama yang didengarnya, yang begitu menyentakkan darah amarahnya ialah bahwa Suci telah kawin dengan Ranaweleng. Kedua suami istri itu bahkan sudah mempunyai seorang anak laki-laki. Kehidupan mereka meski sederhana tapi bahagia dan kini Ranaweleng sudah menjadi Kepala Kampung Djatiwalu.
Jika Suranyali seorang manusia punya muka dan punya harga diri, sebenarnya mengetahui perkawinan Suci itu dia musti bersikap mundur karena adalah memalukan sekali bila dia terus-terusan menginginkan Suci sedang Suci tidak mencintainya apalagi kini sudah bersuami dan beranak pula. Tapi dasar Suranyali bukan manusia berpikiran jernih, lekas kalap dan naik darah membabi buta, maka hari itu juga dikirimkannya anak buahnya ke Djatiwalu untuk membawa sepucuk surat ancaman kepada Ranaweleng.
Suranyali yang kini memakai nama Mahesa Birawa bangkit dari kursinya ketika didengar suara gemuruh kaki-kaki kuda di halaman. Dia melangkah ke jendela dan memperhatikan kepergian kedua orang anak buahnya. Jari-jari tangannya mencengkeram sanding jendela.
"Suci musti dapat..... musti dapat!" katanya dalam hati yang dikecamuk amarah itu.
"Kalau tidak.....," Mahesa Birawa tak meneruskan kata-katanya. Sebagai gantinya tangan kirinya bergerak memukul dinding jendela. Dan kayu sanding itu pecah berantakan!!
***
Keduanya menghentikan kuda di hadapan seorang laki-laki tua yang tengah mencabuti rumput halaman. Tanpa turun dari kudanya, Kalingundil bertanya dengan membentak kasar,
"Ini rumahnya Ranaweleng?!"
Orang tua berdiri perlahan-lahan dari jongkoknya. Ketika berdiri nyatalah bahwa tubuhnya pendek dan bongkok. Ditengadahkannya kepalanya dan dikeataskannya topi bambu yang menutupi keningnya untuk dapat melihat orang yang telah bicara kepadanya. Orang tua ini tak segera berikan jawaban melainkan melirik kepada Saksoko yang duduk di atas punggung kuda di sisi kanan Kalingundil.
"Orang tua bego!" maki Kalingundil. Laki-laki bertubuh langsing ini memang bersifat tidak sabaran. "Aku tanya ini rumahnya Ranaweleng?!"
"Ya!" jawab Kalingundil.
"Ada keperluan apa Saudara?"
Si gemuk pendek Saksoko kini yang buka suara. Suaranya parau dan tidak enak didengar. "Tak perlu tanya keperluan kami. Kamu orang tua pikun minggirlah!" Saksoko menyentakkan tali kekang kudanya. Sekali kuda itu menghambur ke depan maka terpelantinglah si orang tua kena terajakan kaki binatang yang ditunggangi Saksoko itu!
Orang tua itu bangun dengan perlahan-lahan. Matanya yang mengabur dimakan umur kelihatannya menyorot. Dengan kaki kirinya ditendangnya secara acuh tak acuh topi bambunya yang tergeletak di tanah.
Topi itu melesat ke muka laksana anak panah cepatnya dan menghantam kemaluan kuda yang ditunggangi oleh Saksoko. Kuda jantan itu meringkik dahsyat. Kedua kaki depannya melonjak ke atas tinggi-tinggi dan Saksoko terpelanting ke tanah!
Si orang tua diam-diam merasa puas. Dengan sikap seperti tidak terjadi apa-apa dia memutar tubuh jongkok kembali dan mulai lagi mencabuti rerumputan di halaman! Bola mata laki-laki gemuk pendek itu berpijar-pijar. Untuk beberapa lamanya segala sesuatunya menjadi guram dalam pemandangannya.
"Saksoko, ada apa dengan kau?!" tanya Kalingundil terkejut dan heran.
"Aku sendiri tidak tahu," sahut Saksoko seraya bangun dengan menepuk-nepuk pantat celananya. Dia memandang berkeliling. Tidak ada siapa-siapa kecuali orang tua yang tadi tengah mencabuti rumput. Kemudian mata laki-laki itu membentur topi bambu yang tergeletak tak berapa jauh dari tanah. Hatinya curiga. Tapi bila dilihatnya lagi orang tua kurus dan bongkok itu kecurigaannya menjadi sirna. Tak mungkin, pikirnya. Tak mungkin kalau kakek-kakek pikun itulah yang telah melemparkan topi bambu itu ke kuda tunggangannya.
Kalingundil juga memandang berkeliling dengan hati bertanya-tanya. Dilihatnya orang tua itu. Dilihatnya topi itu. Kemudian dia berkata, "Kurasa orang tua kerempeng itu....."
Kalingundil memang lebih tajam penglihatannya dan perasaannya. Dalam ilmu silatpun dia lebih tinggi dua tingkat di atas Saksoko.
"Mana mungkin," kata Saksoko pula tidak percaya.
"Coba kita lihat."
Kalingundil turun dari kudanya. Diambilnya topi yang tergeletak di tanah. Diperhatikannya topi bambu ini seketika. Matanya melirik pada orang tua yang masih jongkok dan mencabuti rumput dekat pagar halaman. Kalingundil menggerakkan tangan kanannya. Topi terlepas dari tangan itu dan melesat deras ke arah kepala si orang tua.
Begitu acuh tak acuh sekali, orang tua yang jongkok membelakangi itu gerakan tangan kanannya untuk menggaruk bagian belakang kepalanya. Dan adalah mengejutkan kedua orang anak buah Mahesa Birawa atau Suranyali ketika melihat bagaimana topi bambu itu melesat ke samping dan menggelinding di tanah!
Kalingundil dan Saksoko saling pandang.
"Apa kataku, kau lihat?" desis Kalingundil.
Melihat kenyataan ini maka geramlah si gemuk pendek Saksoko.
"Orang tua edan!" makinya. "Punya sedikit ilmu saja sudah mau kasih pamer!" Dia membungkuk dan meraup pasir. Raupan pasir itu dilemparkannya ke arah si orang tua.
Meski hanya pasir namun karena diisi dengan tenaga dalam maka pasir itu melesat hebat dan dapat melukakan kulit membutakan mata!
Si orang tua tiba-tiba berdiri dengan terbungkuk-bungkuk. Ditepuk-tepuknya pakaian hitamnya seperti seseorang yang sedang membersihkan debu dari pakaiannya. Tapi gerakannya ini sekaligus membuat berhamburannya pasir-pasir halus yang menyerang ke arahnya!
"Kurang ajar betul!" damprat Saksoko karena merasa semakin ditantang dan dipermainkan. Dia menerjang ke muka. Dalam jarak beberapa tombak dilepaskannya pukulan tangan kosong. Orang tua itu memutar badannya yang bungkuk ke samping.
"Apa-apaan ini?!" tanyanya dengan suaranya yang halus melengking, "Ada apa kau serang aku?!"
Namun gerakannya tadi sekaligus telah melewatkan angin pukulan Saksoko hanya beberapa jengkal saja di depan hidungnya.
Saksoko kertak rahang.
"Orang tua gelo! Siapa kau sebetulnya?!"
Orang tua itu menyeringai menunjukkan gusinya yang tidak bergigi barang sepotongpun.
"Aku sudah tua, tak usah bicara memaki!," katanya dan didorongkannya telapak tangan kanannya ke depan. Setiup angin dahsyat melanda tubuh Saksoko. Kalau tidak cepat-cepat menghindar pastilah si gemuk pendek ini akan mendapat celaka.
Begitu melompat ke samping segera dia kirimkan satu jotosan kepada orang tua itu. Pada saat inilah dari pintu rumah terdengar seruan keras:
"Ada apa di sini?! Tahan!!"
Saksoko tarik pulang tangannya dan berpaling. Seorang laki-laki muda berparas gagah dilihatnya keluar dari rumah dan berdiri di tangga langkan. Kemudian dilihatnya Kalingundil memberi isyarat agar datang mendekatinya. Meski hatinya masih diselimuti amarah terhadap si orang tua tapi melihat isyarat kawannya itu segera dia datang juga. Keduanya melangkah ke hadapan langkan rumah.
"Kau Ranaweleng?" tanya Kalingundil membentak.
Selama menjadi Kepala Kampung di Jatiwalu, baru ini harilah Ranaweleng dibentak orang demikian rupa dan oleh orang asing pula! Dari tampang-tampang serta sikap kedua tamunya itu Ranaweleng segera maklum bahwa mereka tentu datang bukan membawa maksud baik. Namun demikian, dengan suara ramah dia menjawab:
"Betul, Saudara, aku memang Ranaweleng," lalu tanyanya kemudian, "Saudara-saudara datang dari mana dan ada keperluan apakah?"
Kalingundil cabut gulungan surat dari balik pakaiannya.
"Ini! Silahkan dibaca!" katanya.
Gulungan surat itu dilemparkannya ke hadapan Ranaweleng. Karena lemparan itu disertai dengan aliran tenaga dalam maka surat tersebut melesat berdesing dan ujung kayu di mana surat itu disepit menancap pada tiang langkan!
Ranaweleng kaget. Ditekannya rasa kaget itu dan dicabutnya surat yang menancap dari tiang langkan lalu dibacanya. Kalingundil dan Saksoko memperhatikannya dengan bertolak pinggang.
Ranaweleng keparat!
Aku kasih tempo satu hari untukmu agar angkat kaki dari Jatiwalu ini! Bawa anakmu tapi tinggalkan istrimu! Ini adalah perintah! Kalau kau tidak patuhi, jangan harap kau bisa melihat matahari tenggelam esok hari! Ini adalah perintah!
Mahesa Birawa
Bergetar tubuh Ranaweleng. Dadanya panas dikobari luapan hawa amarah. Dia tak pernah kenal dengan manusia yang bernama Mahesa Birawa itu, bahkan juga tak pernah dengar nama atau riwayat manusia itu sebelumnya.
Matanya memandang melotot pada kedua tamunya. "Mahesa Birawa ini siapa?" tanya Ranaweleng.
Kalingundil meludah dahulu ke tanah sebelum menjawab. "Laki-laki yang kau rampas kekasihnya dan yang kini menjadi istrimu!"
Kaget Ranaweleng bukan alang kepalang. Belum dia sempat bicara Saksoko sudah mendahului. "Mahesa Birawa inginkan jawabanmu hari ini juga Ranaweleng!"
Kalingundil menyambungi, "Dan sebaiknya... apa yang tertulis di surat itu kau ikuti saja."
"Kalau tidak?," tanya Ranaweleng menindih rasa geramnya.
Kalingundil tertawa mengekeh. Gigi-giginya kelihatan besar-besar dan coklat kehitaman.
Ranaweleng tak dapat lagi menahan luapan amarahnya. Diremasnya dan dipatah-patahkannya kayu penyepit surat lalu dilemparkannya ke kepala Kalingundil, tepat mengenai mulut yang sedang tertawa mengekeh itu!
"Bangsat rendah!" hardik Kalingundil. Dia meloncat ke muka. "Kau berani berlaku kurang ajar terhadapku, huh?!"
"Tak usah jual lagak di sini, setan!" balas menghardik Ranaweleng. "Kalian budak-budak sinting kembalilah kepada majikan kalian! Bilang sama itu manusia Mahesa Birawa agar lekas-lekas pergi mencari dukun untuk mengobati otaknya yang tidak waras!"
"Betul-betul anjing budak yang tidak tahu diri!" semprot Saksoko. Dari tadi dia memang sudah beringasan gara-gara si orang tua yang telah mempermainkan dan setengah menantangnya tadi. Sekali dia ayunkan langkah maka satu tendangan yang didahului oleh angin hebat melanda ke bawah perut Ranaweleng.
Melihat musuh yang inginkan jiwanya ini Ranaweleng menggeram dan kertakkan rahang. Dia berkelit ke samping dan hantamkan ujung sikunya ke tulang iga lawan. Saksoko bukan manusia yang baru belajar ilmu silat kemarin. Sambil melompat ke atas lututnya ditekuk dan disorongkan ke kepala lawan. Ranaweleng merunduk dan lompat ke samping.
Sebelum dia berbalik untuk mengirimkan pukulan ke punggung lawan yang saat itu masih belum menginjak lantai langkan maka terdengarlah suara seseorang.
"Ah, Raden Ranaweleng, mengapa musti mengotori tangan terhadap kunyuk kesasar ini?! Biar aku si tua bangka Jarot Karsa yang kasih sedikit pelajaran sopan santun terhadapnya!"
Ternyata yang berkata itu adalah orang tua renta kurus kerempeng yang tadi mencabuti rumput di halaman, yang merupakan pembantu Kepala Kampung Jatiwalu.
Mendengar dirinya dimaki sebagai kunyuk kesasar maka marahlah Saksoko. Dia membalik dan menyerang orang tua itu kini dengan satu pukulan jarak jauh yang menimbulkan angin deras. Angin pukulan ini menyerang ke pusat jantung di dada Jarot
Karsa. Dengan begitu Saksoko berkehendak untuk mencabut nyawa si orang tua detik itu juga!
Tapi Jarot Karsa ganda tertawa.
Sekali dia gerakan tangan kanannya yang kurus maka setiup angin dahsyat memapaki serangan si gemuk pendek Saksoko. Angin pukulan Saksoko menyungsang balik menyerang Saksoko sendiri. Ditambah dengan dorongan angin pukulan si orang tua maka kedahsyatannya bukan olah-olah!
Tubuh Saksoko mencelat keluar langkan rumah sampai tiga tombak dan menggelinding di tanah. Dicobanya bangun kembali. Tapi tubuhnya itu segera rebah lagi setelah terlebih dahulu dari mulut Saksoko menyembur darah kental dan segar!
Kaget Kalingundil bukan kepalang. Mukanya hitam membesi. Laki-laki ini menerjang ke depan. Terjangan ini disertai dengan bentakan yang keras menggeledek membuat langkan rumah dan tanah menjadi bergetar!
Jarot Karsa merunduk cepat. Gerakannya ini disusul dengan cepat oleh Kalingundil.
Serangkum angin keras dan dingin menyerang ke seluruh jalan darah di tubuh orang tua.
Pasir menderu beterbangan, debu menggebu.
Jarot Karsa cepat-cepat dorongkan tangan kanannya ke muka. Maka dua angin pukulan bertemu di udara menimbulkan suara berdentum seperti letusan meriam! Tubuh Jarot Karsa kelihatan bergoyang gontai sedang Kalingundil terdampar ke tanah tapi cepat bangun lagi.
Keringat dingin memercik di kening anak buah Mahesa Birawa ini. Nyalinya menciut kecil. Tak nyana si orang tua memiliki kehebatan demikian rupa! Tak diduganya sama sekali kalau tenaga dalamnya ada di bawah angin berhadapan dengan tenaga dalam Jarot Karsa!
Tapi laki-laki ini, yang menjadi buta matanya dan tumpul pikirannya karena amarah dan kebencian yang meluap, tidak memikirkan lagi bahwa sesungguhnya si orang tua bukan tandingannya.
Kedua tangannya dipentang ke muak. Tangan itu kelihatan bergetar. Jarot Karsa dan juga Ranaweleng memperhatikan gerak-gerik manusia itu dengan tajam. Kelihatan kini bagaimana sepasang lengan Kalingundil sampai ke jari-jari tangannya berwarna kehitaman.
"Ha.....ha....," terdengar kekehan si tua Jarot Karsa, "Kau hendak pamerkan ilmu lengan tangan baja?!"
Kalingundil terkejut. Terkejut karena belum apa-apa musuh sudah mengetahui ilmu simpanan yang paling diandalkannya. Tapi ini tidak diperlihatkannya, bahkan dia pentang mulut.
"Bagus, penglihatanmu masih tajam juga, huh! Tapi tahukah kau kehebatan ilmu pukulan lengan tangan baja ini?!"
"Kau tak perlu banyak bacot, Kalingundil, majulah!" tantang Jarot Karsa.
Kalingundil menggeram. Kebetulan saat itu dia berdiri di dekat langkan rumah. Sekali ayunkan tangan kanannya maka: brak!! Tiang langkan yang besarnya hampir menyamai paha manusia patah. Atap rumah menurun miring!
Sebenarnya Jarot Karsa kagum juga dengan kehebatan ilmu lawannya itu. Tapi sebagai orang tua yang sudah banyak pengalaman dalam dunia persilatan masakan dia jerih menghadapi ilmu pukulan macam begitu saja!
"Ayo monyet kesasar, majulah!" katanya dengan terbungkuk-bungkuk.
Kedua telapakan kaki Kalingundil menjejak tanah. Tubuhnya melesat ke muka, sedikit miring. Kaki kiri dan kanan mengirimkan serangan berantai terlebih dahulu kemudian menyusul sepasang lengannya yang menghitam oleh aji 'lengan tangan baja.' Angin yang ditimbulkan oleh serangan dua lengan ini dahsyatnya bukan alang kepalang, tajam dan memerihkan mata. Lengan kiri membabat ke pinggang Jarot Karsa, kalau kena pastilah pinggang orang tua itu akan terkutung dua. Lengan kanan menghantam dari atas ke bawah mengincar batok kepala Jarot Karsa. Dapat dibayangkan bagaimana dalam sekejapan mata lagi kepala si orang tua akan hancur berantakan!
Pekikan setinggi langit yang hampir merupakan lolongan serigala haus darah melengking menegakkan bulu roma! Kalingundil melingkar di tanah. Nafasnya sesak, lidahnya menjulur keluar seperti orang yang tercekik dan matanya melotot. Tubuhnya bergerak-gerak beberapa lamanya kemudian ketika darah menyembur dari mulutnya, tubuh itu pun tak bergerak-gerak lagi! Kalingundil pingsan menyusul kawannya yang terdahulu.
Ranaweleng menghela nafas dalam. Dipandanginya kedua manusia yang melingkar di tanah itu. Kemudian dia berpaling pada si orang tua. "Bapak Jarot Karasa, kau kenal dengan manusia yang bernama Mahesa Birawa itu?"
Jarot Karsa menggeleng.
"Siapa dia tak penting Raden. Yang penting ialah mulai saat ini kita musti waspada karena cepat atau lambat manusia itu pasti datang ke sini untuk membuat perhitungan dengan kita!"
Ranaweleng mengangguk.
"Aku tak ingin melihat kedua orang ini lebih lama di depan rumahku. Bereskan mereka, pak Jarot."
Si orang tua tertawa mengekeh.
"Tak usah khawatir... tak usah khawatir. Aku akan sapu mereka dari depan hidungmu, Raden."
Dua kali kaki kanan Jarot Karsa yang kurus kering itu menendang. Tubuh Kalingundil dan Saksoko mencelat seperti bola, dan angsrok di luar pagar halaman.
***
Kedua mata Mahesa Birawa alias Suranyali yang menutup dalam tidur-tidur ayam membuka lebar-lebar bila telinganya menangkap suara derap kaki kuda yang memasuki pekarangan. Dia bangun dan melangkah cepat ke pintu muka. Dan matanya yang tadi membuka lebar itu kini tampak membeliak. Setengah meloncat dia turun ke tanah.
"Ada apa dengan kalian?!" tanya Mahesa Birawa. Pertanyaan ini hampir merupakan teriakan.
Kedua kuda itu berhenti. Penunggangnya, Kalingundil dan Saksoko turun perlahan-lahan.
Pakaian mereka kotor oleh darah dan debu. Muka keduanya pucat pasi. Melihat ini Mahesa Birawa segera maklum bahwa kedua anak buahnya itu mendapat luka dalam yang parah.
Kalingundil berdiri terbungkuk-bungkuk sambil mengurut dada. Pemandangannya masih berkunang-kunang. Saksoko begitu menginjakkan kedua kakinya di tanah segera tergelimpang, muntah darah lagi lalu pingsan! Mahesa Birawa melompat dan cepat menubruk Saksoko. Dari dalam sabuknya dikeluarkannya sebutir pil dan dimasukkannya ke dalam mulut Saksoko. Sebutir lagi kemudian diberikannya pada Kalingundil.
"Telan cepat!," katanya. "Kalau sudah, lekas atur jalan nafas dan darahmu!"
Kalingundil menelan pil yang diberikan lalu cepat-cepat duduk bersila di tanah untuk mengatur jalan nafas dan darahnya. Tak lupa dia mengalirkan tenaga dalamnya ke bagian tubuh yang tadi kena terpukul.
Satu jam kemudian keadaan Kalingundil boleh dikatakan siuman meski masih berbaring menelentang di atas sebuah tempat tidur.
"Sekarang!" kata Mahesa Birawa sangat tidak sabar dan sambil menggeprak meja, "terangkan apa yang terjadi Kalingundil!"
Kalingundil tarik nafas panjang. Diurutnya dadanya beberapa kali lalu mulailah dia memberi keterangan. Dan bila Mahesa Birawa selesai mendengar keterangan itu maka mendidih darah di kepalanya. Mukanya hitam membesi. Kumisnya yang tebal melintang bergetar. Matanya yang memang sudah besar itu dalam keadaan melotot seperti mau tanggal dari rongganya!
"Kalingundil! Siapkan kudaku! Panggil Majineng dan Krocoweti. Kalian bertiga ikut aku ke tempatnya itu manusia haram jadah! Lekas.....!"
Kalingundil tanpa banyak bicara tinggalkan tempat itu. Tak lama kemudian kelihatanlah empat orang penunggang kuda menderu laksana terbang. Debu mengepul, pasir berhamparan. Mahesa Birawa memacu kudanya di muka sekali.
Orang tua bernama Jarot Karsa itu mengusap dagunya. Tanpa berpaling pada Ranaweleng yang berdiri di sampingnya dengan mata yang memandang tajam ke muka dia berkata, "Dugaan kita tidak salah, Raden. Mereka datang. Agaknya yang di depan sendiri itu adalah manusia yang bernama Mahesa Birawa....."
Ranaweleng memandang pula ke muka. Hatinya mengeluh. Inilah pertama selama menjadi Kepala Kampung dia menghadapi kesukaran dan kekerasan macam begini!
Bahkan dia tadi belum sempat menyelesaikan pembicarannya dengan Suci ketika Jarot Karsa memanggilnya, memberi tahu kedatangan empat penunggang kuda itu. Ketika Mahesa Birawa sampai di halaman, Suci pun saat itu sudah berdiri di belakang suaminya.
Mahesa Birawa hentikan kudanya. Sorotan matanya seganas kelaparan tertuju pada Ranaweleng. Di belakangnya Kalingundil memberikan kisikan.
"Laki-laki tua yang berdiri di dekat tiang itulah bangsatnya yang telah mencelakai aku dan Saksoko. Hati-hati terhadap dia, Mahesa. Ilmunya tinggi sekali....."
"Kau manusia kintel tutup mulut! Tak usah kasih nasihat padaku!" membentak Mahesa Birawa.
Kalingundil terdiam. Digigitnya bibirnya. Dan saat itu dendam serta bencinya terhadap kedua orang yang berdiri di langkan rumah itu, terutama Jarot Karsa, tak dapat dilukiskan.
Mahesa Birawa memandang sekilas pada Suci yang berdiri di belakang suaminya.
Nafsu untuk dapat memiliki perempuan ini yang tak kesampaian atau belum kesampaian membuat amarahnya semakin meluap-luap. Dadanya seperti mau pecah. Saat itu meski sudah bersuami dan punya anak satu tapi Suci dilihatnya semakin tambah cantik dan muda jelita.
Bola mata Mahesa Birawa bergerak ke jurusan Jarot Karsa setelah terlebih dahulu menyapu tampang Ranaweleng dengan garangnya.
"Anjing tua yang di atas langkan turunlah untuk menerima mampus!" suara Mahesa Birawa begitu lantang dan menggeletarkan karena disertai tenaga dalam yang tinggi sudah mencapai puncak kesempurnaannya.
Jarot Karsa sunggingkan senyum tawar. Sekali dia menggerakkan kedua kakinya maka setengah detik kemudian dia sudah berdiri di tanah, beberapa tombak di hadapan kuda Mahesa Birawa. Gerakannya waktu melompat tadi enteng sekali. Senyum datar yang mengejek tersungging lagi di mulut orang tua ini.
"Ini manusianya yang bernama Mahesa Birawa?! Yang inginkan istri orang?! Kalau kau tidak sedeng tentu sinting! Apa kunyukmu yang satu ini sudah kasih tahu padamu agar mencari dukun untuk mengobati otak miringmu?!"
Bergetar badan Mahesa Birawa mulai dari ubun-ubun sampai ke ujung jari-jari kaki!
"Anjing tua yang tak tahu diri, hari ini terpaksa kau harus pasrahkan nyawa kepadaku!"
Mahesa Birawa enjot diri, melompat turun dari kuda. Dalam keadaan tubuh melayang demikian rupa kedua tangannya dipukulkan ke muka. Dua rangkum angin sedahsyat badai menyerbu orang tua yang membungkuk itu. Debu dan pasir mengebubu!
Jarot Karsa melengking dan melompat setinggi tiga tombak ke atas. Angin pukulan yang dahsyat lewat di bawah kedua kakinya.
Pada detik dia hendak mengirimkan serangan balasan maka berserulah Ranaweleng.
"Bapak Jarot minggirlah, biar aku yang hadapi manusia pengacau ini!"
"Ah Raden....," kata Jarot Karsa dalam keadaan tubuh masih mengapung di udara.
"Biarlah aku yang sudah tua ini kasih pelajaran padanya! Tak usah Raden bersusah payah. Dalam satu dua jurus ini akan kusapu badannya keluar halaman!"
Mahesa Birawa kertakkan rahang. Dua tinjunya bergerak susul menyusul. Deru angin yang dahsyat melanda ke arah Jarot Karsa. Si orang tua, yang rupanya ingin menjajaki sampai di mana ketinggian tenaga dalam lawan, balas mengirimkan pukulan tangan kosong.
Letusan sedahsyat meriam berdentum ketika dua tenaga dalam itu saling bentrokan di udara. Gendang-gendang telinga seperti menjadi pecah dan pekak. Tubuh Mahesa Birawa kelihatan berdiri gontai beberapa detik lamanya sedangkan Jarot Karsa jatuh duduk di tanah, mandi keringat dingin!
Bukan saja Jarot Karsa sendiri, tapi Ranaweleng-pun kagetnya bukan main. Suci yang berdiri di belakang suaminya dan menyaksikan itu menjerit tertahan karena menyangka si orang tua mendapat celaka besar. Ternyata tenaga dalam Mahesa Birawa demikian tingginya, lebih tinggi dari tenaga dalam Jarot Karsa.
Tahu kalau tenaga dalam lawan lebih unggul dari dia, Jarot Karsa segera melompat dan menyerang. Kedua tangannya bergerak demikian cepat hampir tak kelihatan, menyapu-nyapu dan sekali-kali menjotos ke muka dengan dahsyatnya.
Hampir dua jurus Mahesa Birawa terkurung oleh pukulan-pukulan yang anginnya memerihkan matanya. Mahesa Birawa atau Suranyali mau tak mau mempercepat pula gerakannya. Tubuhnya kini laksana bayang-bayang. Bila satu jurus lagi berlalu, maka Jarot Karsa mulai merasakan tekanan-tekanan serangan yang membuatnya harus berhati-hati.
Tiga jurus lagi berlalu. Tubuh kedua manusia itu sudah hampir tak kelihatan karena cepatnya gerakan mereka ditambah lagi dengan debu serta pasir yang menggebubu ke udara menutupi keduanya.
Tiba-tiba diiringi dengan lengkingan yang menggetarkan dengan satu gerakan yang sukar ditangkap oleh mata Jarot Karsa, dengan mengandalkan ilmu mengentengi tubuhnya yang lebih tinggi sedikit dari lawan dia menyorongkan siku kirinya ke muka. Tubuh lawan di lihatnya mengelak ke samping dan sekaligus tangannya yang lain memapaki gerakan mengelak dari Mahesa Birawa.
"Buk!!"
Mahesa Birawa terjajar sampai dua tombak ke belakang. Mulutnya memencong menahan sakit pukulan tangan kanan Jarot Karsa yang bersarang di dada kirinya. Cepat-cepat dialirkannya tenaga dalamnya ke bagian yang terkena itu, Jarot Karsa tertawa mengekeh.
"Jika kau masih juga belum mau angkat kaki dari sini bersama kunyuk-kunyukmu itu, jangan menyesal kalau mukamu nanti akan benjat benjut macam mangga busuk!"
Tampang Mahesa Birawa kelam membesi. Kedua kakinya merenggang. Tangan kiri dipentang lurus-lurus ke muka. Tangan kanan ditarik tinggi-tinggi ke belakang di atas kepala.
Pelipisnya bergerak-gerak. Tangan kanan Mahesa Birawa kemudian kelihatan menjadi hijau dan bergeletar.
"Bangsat tua bangka!" kertak Mahesa Birawa, "lihat tangan kananku. Kenalkah kau akan pukulan yang akan kulepaskan ini....!"
Jarot Karsa kerutkan kening. Matanya memandang lekat-lekat ke tangan kanan Mahesa Birawa yang semakin lama semakin bertambah hijau itu. Meski dia sudah hidup hampir tujuh puluh tahun, meski pengalamannya di dunia persilatan setinggi langit sedalam lautan namun kali ini mau tak mau tergetar juga hatinya melihat tangan kanan lawan itu, ditambah lagi dia sama sekali tidak tahu ilmu pukulan apakah yang akan dilancarkan oleh lawannya!
Akan Ranaweleng, begitu melihat tangan Mahesa Birawa yang menjadi hijau itu, kagetnya bukan main. Dengan cepat dia memberikan kisikan pada Jarot Karsa dengan mempergunakan ilmu "menyusupkan suara."
"Bapak Jarot, hati-hati. Pukulan yang hendak dilepaskan itu adalah pukulan – Kelabang Hijau — Hebatnya bukan main dan sangat beracun....!"
Jarot Karsa menindih rasa terkejutnya. "Pukulan Kelabang Hijau....," keluhnya dalam hati. Hampir-hampir tak dapat dipercayanya kalau tidak menyaksikan sendiri. Dia tahu betul bahwa di dunia persilatan hanya ada satu manusia yang memiliki ilmu pukulan yang dahsyat ini yaitu seorang Resi bernama Tapak Gajah yang diam di lereng Gunung Lawu. Tapi kini muncul seorang lain yang memiliki ilmu pukulan itu. Apakah Mahesa Birawa ini muridnya Tapak Gajah?
Kerut-kerut pada kening Jarot Karsa mengendur sedikit. Dicobanya menunjukkan mimik mengejek.
"Hanya pukulan Kelabang Hijau, apakah perlu ditakutkan....!" kata seorang tua bungkuk itu.
Diam-diam Mahesa Birawa menjadi kaget melihat bahwa lawan mengetahui ilmu pukulan yang hendak dilepaskannya. Cepat dia membentak.
"Kalau sudah tahu mengapa tidak segera berlutut, anjing tua?!"
"Hanya monyet edan yang akan berlutut di hadapanmu Mahesa Birawa. Terimalah ini....!" dan tangan Jarot Karsa mendahului melepaskan pukulan tangan kosong yang dahsyat.
Setengah tombak lagi angin pukulan yang menghembuskan maut itu melanda tubuh dan kepala Mahesa Birawa maka kelihatanlah laki-laki ini meninjukan tangan kanannya ke muka!
Setiup angin laksana topan prahara dan mengeluarkan sinar hijau melesat ke muka.
Angin pukulan Jarot Karsa terdorong dan balik menyerang orang tua itu sendiri! Jarot Karsa melompat ke samping. Tapi tak keburu. Sinar hijau pukulan Kelabang Hijau telah melanda pinggangnya. Suci menjerit dan menutup mukanya dengan kedua tangan.
Orang tua itu berteriak setinggi langit. Tubuhnya terguling di tanah. Kulitnya kelihatan hijau.
Dia mengerang dan menggelepar-gelepar seketika, kemudian nafasnya lepas, maka tubuhnya melingkar tanpa nyawa!
"Manusia biadab!" bentak Ranaweleng. "Orangku tiada permusuhan dengan kau. Mengapa kau bunuh dia?!"
Mahesa Birawa atau Suranyali tertawa mengekeh.
"Sebentar lagi kau juga akan mampus Ranaweleng! Tapi aku masih berbaik hati untuk membiarkan kau angkat kaki dari sini. Kalau kau masih keras kepala ketahuilah bahwa ajal sudah di depan mata!" dan Mahesa Birawa tertawa lagi macam tadi.
"Hari ini aku mengadu nyawa dengan kau manusia iblis!" teriak Ranaweleng. Maka menerjanglah Kepala Kampung Jatiwalu itu.