Chereads / Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 / Chapter 56 - Andjarsari Calon Permaisuri

Chapter 56 - Andjarsari Calon Permaisuri

MALAM itu di satu ruangan rahasia Parit Wulung, Karma Dipa, Djuanasuta dan seorang tokoh terkemuka dari Partai Api Setan yaitu suatu partai silat yang dipimpin oleh Resi Matjan Serta tengah melakukan perundingan penting. Tokoh silat ini adalah murid terpandai dari Matjan Seta yang telah mewarisi seluruh kepandaian Resi itu. Namanya Rana Tikusila. Dia dan selusin anggota partai lainnya sengaja diminta datang ke Banten oleh Parit Wulung untuk memperkuat kedudukannya dan menjaga segala sesuatu yang tak diingini. Seperti Matjan Seta, muka merekapun coreng-moreng. Parit Wulung yang duduk dikepala meja segera buka bicara.

"Saudara-saudara pertemuan ini adalah penting sekali sehubungan dengan Keris Tumbal Wilayuda.

Sampai sekarang kita masih belum berhasil menemukannya sedang Sultan sendiri tak diketahui jejaknya. Resi Singo Ireng dan Resi Matjan Seta tidak pula kunjung ada kabar beritanya. Aku berharap…"

Parit Wulung tiba-tiba hentikan ucapannya. Dia memandang ke sebuah alat rahasia disudut ruangan. Alat itu kelihatan bergerak-gerak.

"Saudara-saudara bersiaplah," kata Parit Wulung. Ada tamu yang tak diundang rupanya mendengarkan perundingan kita ini di atas loteng!"

Dan baru saja Parit Wulung selesai mengucapkan kalimat itu, dua lembar papan loteng terbuka dan sesosok tubuh laksana seekor alap-alap melayang turun. Suara kedua kakinya sama sekali tiada terdengar sewaktu menjajaki lantai!

Rana Tikusila, Karma Dipa dan Djuanasuta segera cabut senjata. Parit Wulung sendiri berdiri dari kursi dan membentak.

"Manusia atau setan! Apakah kau punya nyawa rangkap berani datang ke sini?!"

Tamu tak diundang itu keluarkan, suara bersiul yang tak asing lagi yang menandakan bahwa dia bukan lain daripada Pendekar 212 adanya.

"Kau terlalu menghina padaku, Parit Wulung," menyahuti Pendekar 212. Dia melirik sedikit ketika melihat Rana Tikusila melangkah kehadapannya dengan pedang melintang.

"Lekas katakan apa maksud kedatanganmu ke sini!," kata Tikusila seraya angkat tinggi-tinggi tangan kanannya yang memegang pedang.

"Aku adalah utusan pribadi Sultan Hasanuddin!".

Maka terkejutlah semua yang , hadir di tempat itu. Dari balik pakaiannya Pendekar 212 keluarkan segulung kertas dan melemparkan benda itu yang tepat jatuh memalang di atas gelas tuak, dihadapan Parit Wulung.

"Silahkan baca," kata Pendekar 212 pula. Parit Wulung keretakkan rahang melihat sikap yang merendahkan ini tapi gulungan surat di atas gelas diambil dan dibacanya juga.

Parit Wulung,

Aku berikan kesempatan padamu untuk menyerahkan diri bersama bergundal-bergundal pemberontak lainnya malam ini. Maksud busukmu untuk menduduki takhta kerajaan Banten secara tidak syah di atas lumuran darah sekian banyak rakyat dan prajurit Banten serta sekian banyak pembesar-pembesar istana yang tak berdosa akan sia-sia saja ! , Keris Tumbal Witajuda walau bagaimanapun tak bakal kau dapat. Dua cecunguk pembantumu yaitu Resi Singo Ireng dan Matjan Seta telah menemui ajalnya.

Jika kalian menyerah, hukuman yang bakal dijatuhkan tidak begitu berat.

Tapi bila kalian membangkang, kepala kalian jadi imbalannya karena walau bagaimanapun yang bathil tak akan bisa mengalahkan yang hak, kejahatan tak akan bisa mengalahkan, kebenaran !

Ingat, waktumu cuma sampai malam ini !

Tertanda

SULTAN HASANUDDIN

Mengelam wajah Parit Wulung membaca surat itu. Namun kemudian keluarlah suara tertawanya bergelak. Diserahkannya surat itu pada Karma Dipa, Karma Dipa meneruskan pada Djuanasuta dan Djuanasuta meneruskan lagi pada Rana Tikusila. Dan ruangan itu kemudian pecahlah oleh suara tertawa bergelak keempat manusia itu.

Wiro sendiri mengerendeng dalam hatinya. "Kau utusan Sultan yang tampangmu macam orang hutan!" kata Rana Tikusila, "aku mau tanya, Sultanmu itu andalkan apakah sampai berani membuat surat ancaman macam begini rupa?!"

Wiro tertawa gelak-gelak. "Kau keliwat menghina sobat!" katanya. "Coba lihat ke kaca besar di dinding sana, tampangmu yang coreng moreng macam orang gila itu jauh lebih buruk dari padaku! Kurasa kalau orang tuamu bukannya macan jadi-jadian pastilah macan kesurupan!"

Maka marahlah Rana Tikusila rnendengar hinaan ini.

"Sret," dicabutnya sebilah pedang lalu dengan, cepat kirimkan satu tusukan mematikan ke arah dada Pendekar 212. Tusukan ini adalah sebagian dari jurus paling tangguh dalam ilmu pedang Partai Api Setan dan dinamakan jurus "anak panah menembus rembulan!" Selama menghadapi lawan-lawan tangguh jarang dari mereka yang sanggup mengelakkannya Kalaupun berhasil maka biasanya tak akan mampu untuk mengelakkan jurus susulan yang dinamakan "gendewa menyambar puncak gunung".

Tapi hari itu Rana Tikusila ketemu batunya. Tusukannya tiada tersangka hanya mengenai tempat kosong karena berhasil dikelit oleh Pendekar 212. Dengan penasaran dan juga malu pada kolega-koleganya di ruangan itu maka,Tikusila segera susul dengan jurus "gendewa menyambar puncak gunung". Pedangnya membalik membabat ke arah pinggang lawan!

Namun nasib anak buah Partai Api Setan ini lebih buruk lagi. Dengan kecepatan yang sukar dilihat mata, Pendekar 212 berhasil memukul sambungan siku Tikusila. Pedang mental ke udara, Tikusila sendiri meraung kesakitan! Dan sesaat kemudian pedangnya sudah berada di tangan Pendekar 212!

Mata Parit Wulung dan dua orang lainnya membeliak besar. Rana Tikusila sendiri pucat pasi wajahnya, memercik keringat dingin di keningnya!

"Aku datang ke sini bukan untuk membuat keributan tapi hanya sekedar menyampaikan surat Sultan Banten! Aku minta jawaban sekarang juga apakah kalian sudi menyerah atau tidak?!"

Parit Wulung merampas surat yang dipegang oleh Rana Tikusila lalu merobekrobeknya.

"Ini jawaban kami!" kata Parit Wulung pula serta melemparkan robekan surat ke muka Wiro Sableng. Pendekar muda ini, tiup robekan surat-surat itu hingge bertebaran di lantai.

"Besok pagi jangan harap kalian masih bercokol di dalam istana ini....."

"Saudara-saudara, sangkap manusia yang satu ini!". Parit Wulung beri perintah.

Pendekar 212 tertawa mengekeh. Pedang di tangan kanan dilemparkannya ke lampu besar yang menerangi ruangan itu. Dengan serta merta gelaplah suasana dan secepat kilat Wiro melompat ke atas loteng, lenyap dikegelapan malam.

Ketika pagi tiba maka gemparlah seluruh penduduk Kotaraja. Bagaimanakah tidak. Di halaman depan istana berjejer, bergantungan di tiang langkan muka lima belas manusia yang sudah menjadi mayat. Mata semuanya mendelik, lidah terjulur dan pada kening masing-masing tertera tiga angka yang tak asing lagi yaitu angka 212 !

Kelima belas manusia yang telah menemui ajal dengan cara yang aneh ini ialah Rana Tikusila bersama dua belas anggota Partai Api Setan, Djuanasuta dan Karma Dipa, dua pentolan pemberontak dari Pajajaran!

Pada masing-masing leher kelima belas mayat itu tergantung secarik kertas yang bertuliskan:

Kepada kalian telah diberikan syarat keampunan untuk menyerah.

Tapi kalian sengaja memilih kematian macam begini. Kalian lupa bahwa kebathilan akan selalu hancur oleh yang hak.

Kepada para perajurit dan rakyat Banten yang masih setia pada Sultan, hari ini adalah hari kebebasan Banten dari cengkeraman kaum pemberontak !

Tertanda

SULTAN HASANUDDIN

Di balik kegemparan yang menyungkupi setiap diri manusia yang ada di Banten maka berbagai pertanyaan timbul pula dikalangan mereka. Siapakah yang telah membunuh dan menggantung kelima belas manusia itu? Apakah arti angka 212 dikening mayat-mayat.

Apakah ada hubungannya dengan peristiwa terbunuhnya beberapa prajurit pemberontak diperbatasan tempo hari? Apakah Sultan masih hidup dan, surat itu benar-benar ditandatangani olehnya?

Kalau betul masih hidup di mana dia berada sekarang? Kemudian di mana pula Resi Singo Ireng serta Matjan Seta yang menjadi pentolan pembantu utama Parit Wulung? Kalau betul Sultan sudah muncul kembali dan turun tangan, mengapa Parit Wulung sendiri tidak digantung?!

Di dalam suasana yang serba membingungkan dan penuh tanda tanya tak terjawab itu sekelumit harapan timbul di kalangan rakyat bahwa mereka betul-betul akan bebas dari kaum pemberontak. Sekelumit harapan ini ditunjang pula oleh sebagian besar balatentara Banten yang sesungguhnya masih setia pada Sultan. Dan dari hanya sekelumit harapan untuk bebas maka menjadilah satu tekat bulat untuk angkat senjata menumbangkan kekuasaan yang tidak syah itu. Lagi pula satu-satunya pentolan pemberontak yang masih bercokol di istana saat itu cuma tinggal Parit Wulung seorang. Yang lain-lainnya sudah menemui kematian.

Singo Ireng dan Matjan Seta sudah sejak seminggu lenyap, mungkin juga kini cuma tinggal nama saja!

Sementara itu di dalam istana begitu menyaksikan lima belas mayat yang digantung itu, sekujur tubuh Parit Wulung laksana diserang demam panas dingin. Mukanya sepucat salju.

Tengkuknya sedingin es. Siapakah yang punya kerja menggantungi pembantupembantu utamanya demikian rupa? Dugaannya keras pada pemuda yang datang malam tadi!

Dalam kebingungan dan kengeriannya Parit Wulung sampai lupa untuk memerintahkan agar lima belas mayat yang digantung itu diturunkan!

Bila dia berhasil menguasai dirinya kembali maka diperintahkannyalah beberapa kelompok pasukan untuk melakukan pembersihan di seluruh Kotaraja dan menyelidik ke perbatasan. Namun sebelum pasukan-pasukan itu bergerak, maka sebagian dari balatentara yang masih setia pada Sultan bersama-sama dengan rakyat yang membawa berbagai macam senjata sudah menyerbu laksana air bah. Harapan untuk bebas dari kaum pemberontak, tekat bulat untuk menegakkan kembali Kerajaan Banten yang syah serta pembalasan dendam kesumat atas sanak saudara dan karib kerabat yang mati ditumpas kaum pemberontak tempo hari, itulah semua yang membuat mereka tanpa diberi komando lagi, menyerbu dengan dahsyatnya !

Dan pada saat pertempuran berkecamuk hebat maka melesatlah tiga sosok tubuh manusia dari wuwungan istana. Yang pertama seorang perempuan berkerudung biru, yang kedua seorang pemuda berambut gondrong bertampang gagah dan yang ketiga adalah Sultan sendiri! Maka semangat tempur para penegak keadilan itupun berlipat gandalah!

Parit Wulung dan beberapa orang sisa-sisa pembantunya yang berkepandaian tinggi bertahan mati-matian di dalam kurungan kira-kira tiga puluh prajurit dan empat puluh rakyat jelata. Ketika Sultan, Dewi Kerudung Biru dan Pendekar 212 maju pula ke tengah gelanggang, maka hanya beberapa gebrakan saja tewaslah pembantu-pembantu utama Parit Wulung!

Manusia pengkhianat besar ini dengan putus asa coba bunuh diri dengan hantamkan pedang ke kepalanya. Tapi Pendekar 212 lebih cepat merampas senjata itu. Sultan dan Dewi Kerudung Biru kemudian meringkus Parit Wulung! Maka hari itu tamatlah riwayat kekuasaan kaum pemberontak di bawah pimpinan pengkhianat Parit Wulung dan kawan-kawannya!

Di mana-mana hanya tebaran mayat yang kelihatan. Di mana-mana hanya suara gegap gempita rakyat dan prajurit-prajurit yang terdengar menyambut kemenangan dan mengeluk-elukan Sultan Hasanuddin.

Kemudian diantara rakyat dan prajurit-prajurit Banten banyak yang berteriak.

"Gantung Parit Wulung!"

"Cincang tubuhnya sampai lumat!"

"Hukum picis pengkhianat itu !"

"Bakar saja hidup-hidup!" teriak kelompok yang lain!

Sementara itu di langkan istana, di bawah lima belas mayat yang masih tergantung berputar-putar di tiup angin pagi, pendekar 212 dan Dewi Kerudung Biru berdiri dihadapan Sultan.

"Sultan kami rasa segala sesuatunya sudah selesai kini. Kami berdua mohon diri...."

Sultan terkejut. "Tidak bisa!," kata Sultan setengah berteriak.

"Kalian berdua musti tinggal dulu di sini beberapa lamanya. Bahkan aku sudah punya rencana untuk mengangkat kau sebagai Kepala Balatentara Banten merangkap Pengawal Pribadiku, Wiro!".

Wiro dan Anggini tersenyum. "Hatimu mulia sekali Sultan," sahut Pendekar 212.

"Tapi kami berdua adalah orang-orarig persilatan yang suka bertualang. Di lain hari kita akan berjumpa dan berkumpul lagi..."

Sultan merasa kecewa.. Hatinya juga sangat terharu. "Kalian berdua telah berjasa besar terhadap Kerajaan dan rakyat Banten. Aku harus umumkan hai ini sekarang juga dihadapan rakyat...."

"Ah, jangan.... tak usah Sultan" kata Anggini dan Wiro pula.

Sultan mengambil sebuah benda berbentuk bintang bersudut delapan dengan sebuah berlian besar di tengahnya. "Anggini," kata Sultan pada Dewi Kerudung Biru, "benda ini adalah bintang utama Kerajaan Banten yang hanya diserahkan pada siapa saja yang telah berjasa pada Kerajaan dan Raja Banten. Ini juga sebagai tanda bahwa yang memegangnya adalah sahabat Raja dan rakyat Banten. Terimalah....''

"Sultan... mana bisa aku yang rendah dan sama sekali tidak membuat jasa apa-apa musti menerima bintang penghargaan begitu rupa....?"

"Terimalah Anggini. Pada Wiro juga sebelumnya telah pernah kuberikan...."

Dengan malu-malu Anggini kemudian menerima jaga bintang bersudut delapan bermata berlian yang terbuat dari emas itu, Tiba-tiba Sultan ingat sesuatu.

"Andjarsari, bagaimana Andjarsari ... ?"

"Dirinya tak perlu dikhawatirkan Sultan," menjawab Dewi Kerudung Biru. "Saat ini dia masih berada di Lembah Batu Pualam dalam keadaan tak kurang suatu apa. Seorang pengemudi kereta dan dua prajurit utama telah kami suruh ke sana untuk menjemputnya...."

"Ah, jasa kalian berdua benar-benar setinggi langit sedalam lautan. Aku betul-betul berterima kasih..."

Pendekar 212 tersenyum. "Bukan kepada kami sebenarnya kau harus berterima kasih Sultan. Tapi kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita manusia hanya hamba-hamba Tuhan, hanya alat Tuhan yang cuma sanggup berusaha sedang ketentuan tetap ditanganNya...."

Sultan manggut-manggut. Dari balik pakaiannya dikeluarkannya Keris Tumbal Wilajuda.

Dengan ujung senjata itu digoresnya kedua telapak tangannya sehingga mengeluarkan darah.

"Kuharap kalian berdua juga suka menggores telapak tangan masing-masing…"

Anggini dan Wiro saling pandang. "Untuk apa kah Sultan?" tanya Wiro pula.

"Gores sajalah," desak Sultan.

Kedua orang itu kemudian sama menggores telapak tangan masing-masing. Wiro menggores telapak tangan kanan sedang Anggini tangan kiri. Sultan kemudian menempelkan erat-erat telapak tangan kanannya ke telapak tangan kanan Wiro sedang telapak tangan kiri ke telapak kiri Anggini. Kemudian kedua tangannya diacungkan tinggi-tinggi ke udara. Dan karena tak dapat membendung lagi perasaan hatinya maka berserulah Raja Banten ini.

"Saudara-saudaraku para prajurit dan rakyat Banten! Hari ini di bawah penyaksian kalian, aku mengangkat saudara terhadap dua orang yang telah berjasa besar terhadap kita sekalian...."

"Sultan!" seru Pendekar 212. "Kami ini hanya manusia-manusia rendah jelata, bagaimana kau sudi mengangkat saudara…"

Sultan tersenyum. "Darahku dan darah kalian telah bercampur. Tadi kau menyebut nama Tuhan, apakah ada perbedaan aniara aku dan kalian sebagai manusia di mata Tuhan....?!"

Dan Sultan berseru lagi. "Yang di sebelah kananku ini adalah Pendekar 212 Wiro Sableng dan yang berkerudung adalah Dewi Kerudung Biru Anggini !'' `

Maka untuk kesekian kalinya tardengarlah gegap gempitanya suara orang banyak yang menyambut ucapan Sultan itu. Dan ketika sekilas Sultan memandang ke arah timur, maka berserilah parasnya. Nun jauh di sana, di lereng bukit, kelihatan meluncur sebuah kereta.

Kereta yang membawa Andjarsari, calon permaisurinya.