Begitu lenyap dikejauhan maka Wiro Sableng segera lepaskan totokan di leher Nilamsuri. Gadis ini memandang berkeliling dengan terheran-heran. Dia seperti orang yang baru bangun dari mimpi. Tapi jelas dilihatnya bekas-bekas pertempuran di sekelilingnya.
"Apa yang terjadi?" bertanya gadis itu.
Wiro tertawa. "Tak satupun," jawabnya.
"Aku tak percaya. Tadi kudengar suara derap kaki kuda menuju ke sini…."
"Ah, kau ini ada-ada saja. Aku tak dengar suara apa-apa…."
Nilamsuri berpikir-pikir dan mengingat-ingat. Parasnya mendadak berubah. Matanya memandang lekat-lekat pada Wiro Sableng. "Tadi…. kau melompatiku dan…," gadis ini raba urat besar di pangkal lehernya. "Ya…. kau menotok urat besar di leherku ini?"
Habis berkata demikian Nilamsuri segera cabut pedang! "Apa yang kau telah perbuat terhadap diriku?" tanyanya membentak.
Murid Sinto Gendeng memaki dalam hati, "Sialan! Sudah ditolong malah menuduh yang bukan-bukan!"
Tapi di hadapan si gadis itu pemuda itu masih sunggingkan senyum. "Kuharap kau jangan punya pikiran yang tidak-tidak terhadapku saudari…."
"Lalu perlu apa kau menotok aku?!"
Wiro garuk-garuk kepalanya. Dia tak ingin Nilamsuri tahu siapa dia sebenarnya.
Karena itu dia menjawab dusta. "Kau ingat bagaimana kau begitu kalap untuk bertempur melawan itu?!"
"Ya, lalu?!"
"Dengar saudari, aku hanya paham sedikti ilmu totokan. Karena aku tahu kau tak bakal sanggup menghadapi mereka, aku lantas totok kau punya urat besar lalu sembunyi dibalik rumpun bambu. Ketika mereka pergi kubawa kau kembali ke sini dan kulepaskan totokan di lehermu."
"Aku tak percaya….!" kata Nilamsuri.
"Aku memang tidak suruh kau percaya untuk mempercayainya," menyahuti Wiro Sableng.
"Kai ini siapa sebenarnya?!"
"Heh…," Wiro Sableng hela nafas panjang. "Bukankah aku sudah kasih tahu nama?
Malah kau sendiri masih rahasiakan kau punya nama!"
Nilamsuri dalam kesalnya tambah tak percaya. Terlintas dalam pikirannya untuk menjajal si pemuda.
"Baik," katanya, "jika kau tidak mau kasih keterangan, biar pedangku ini yang memintanya!"
Habis berkata demikian maka gadis ini segera kirimkan satu tusukan hebat ke dada Wiro Sableng!
Wiro terkejut dan gerabak gerubuk lompat kesamping.
"Saudari! Apa-apaan ini? Kenapa kau serang aku?!"
Sebagai jawaban Nilamsuri kirimkan serangan berantai. Pedangnya menderu kian kemari membuat Wiro tak bisa ayal lagi dan terpaksa berlompatan dengan cepat.
"Sekarang kau tak bisa sembunyikan diri lagi saudara!" kata Nilamsuri. "Terima jurus elang menyambar burung dara ini!"
Pedang di tangan Nilamsuri menderu dari samping kiri ke bahu Wiro. Ketika pemuda ini berkelit, ujung pedang dengan sangat tiba-tiba menusuk ke rusuk laksana patukan burung elang!
Wiro lambaikan tangan kiri, angin keras membentur badan pedang, menyimpangkan senjata itu dari sasarannya!
"Saudari!" seru Wiro Sableng, "sayang aku ada urusan lain. Sampai jumpa lagi!"
Habis berkata demikian pemuda ini melompat ke muka, mencuil dagu si gadis lalu berkelebat.
"Pemuda kurang ajar!" maki Nilamsuri. Disabetkannya pedangnya dengan sekuat tenaga. Tapi Wiro Sableng sudah lenyap dari hadapannya. Hanya suara tertawanya yang masih sempat terdengar di kejauhan. Gadis itu berdiri termangu. Parasnya yang cantik kelihatan kemerahan. Pemuda itu benar-benar ceriwis sekali! Tapi kini dia sudah tahu bahwa pemuda itu sama sekali bukan bodoh dan berotak miring. Sama sekali tidak buta dalam ilmu silat! Tadi dia telah menyerang dengan jurus-jurus ilmu pedangnya yang lihai dan si pemuda berhasil mengelakkan bahkan memukul badan pedang dengan pukulan tangan kosong yang menimbulkan angin keras!
Meski hatinya marah sekali dengan keceriwisan pemuda itu tapi rasa senang dan kagumnya tak dapat disembunyikannya. Sekelumit senyum memberkas di bibirnya ketika dia mengusap dagunya yang tadi dicuil oleh Wiro Sableng.
*****
Kedai itu sepi saja.
Angin malam bertiup dingin dari lembah. Wiro Sableng masuk ke dalam seenaknya dan sambil bersiul-siul.
Orang tua pemilik kedai menyambuti dengan muka pucat cemas.
"Orang muda," katanya, "sebaiknya kau lekas-lekas tinggalkan tempat ini!"
"Memang kenapa?" tanyanya.
"Sebentar lagi mungkin empat manusia berewok itu akan kembali ke sini…."
"Siapa takutkan mereka!" ujar Wiro.
"Tapi anak muda, kau mungkin belum tahu siapa mereka itu."
"Perduli amat siapa mereka," kata Wiro pula sambil duduk di kursi.
Dan pemilik kedai itu berkata lagi, "Mereka adalah rampok-rampok yang ditakuti di sungai Cimandilu! Mereka adalah Empat Berewok dari Goa Sanggreng!"
"Biar mereka adalah Empat Setan dari Neraka, aku tetap tak perduli!"
Pemilik kedai jadi terdiam. Siang tadi dia memang telah menyaksikan bagaimana pemuda itu menyumpal mulut dengan pisang. Maka bertanyalah dia, "Orang muda, kau ini siapa sebenarnya dan datang dari mana?"
Wiro usap-usap dagunya yang licin. Ini mengingatkannya pada dagu Nilamsuri yang dicuilnya dan pemuda ini senyum-senyum sendiri. Si orang tua diam-diam mulai meragukan apakah anak muda ini berotak sehat!
"Bapak sudah lama tinggal di sini?" tanya Wiro.
"Sejak masih orok…."
"Hem…. kalau begitu tentu kenal dengan nama Ranaweleng…."
"Oh tentu... tentu sekali. Beliau adalah Kepala Kampung yang baik. Cuma sayang…."
"Sayang kenapa….?"
Orang tua itu tak segera menjawab. Dia memandang keluar kedai seperti mau menembusi kegelapan malam, seperti tengah mengenangkan sesuatu.
"Beliau sudah meninggal…," katanya kemudian menambahkan.
Wiro Sableng menelan ludahnya.
"Bapak tahu siapa yang membunuhnya….?"
Pertanyaan ini membuat si orang tua memandang lekat-lekat pada paras Wiro Sableng.
"Semua orang tahu….," katanya. Kemudian dituturkannya peristiwa kematian Ranaweleng dan Suci Bantari sekitar tujuh belas tahun yang lewat. Kisah ini sudah didengar sejelasnya oleh Wiro Sableng dari gurunya Eyang Sinto Gendeng.
"Ada satu keanehan dalam peristiwa tujuh belas tahun yang lalu itu," kata si pemilik kedai.
"Keanehan bagaimana?" tanya Wiro ingin tahu.
"Waktu itu Mahesa Birawa dan anak-anak buahnya membakar rumah mendiang Ranaweleng. Dalam kobaran api yang tiada terkirakan besarnya terdengar suara tangisan orok! Itu adalah oroknya Ranaweleng sendiri! Orang banyak sangat kebingungan.
Bagaimana mungkin menyelamatkan bayi dalam kobaran api itu? Pada saat yang sangat tegang itu semua orang melihat berkelebatnya bayangan hitam. Sangat cepat sekali bayangan hitam itu menyerbu ke dalam kobaran api lalu lenyap. Dan suara tangisan oroknya Ranaweleng juga hilang! Sewaktu api padam semua orang mencari. Tapi tak ditemui tulang belulang orok itu…."
Wiro Sableng termanggu-manggu. Dia tahu betul, orok yang diceritakan orang tua itu adalah dirinya sendiri dan berkelebatnya bayangan hitam adalah kelebat bayangan gurunya Eyang Sinto Gendeng!
"Sampai sekarang tidak pernah diketahui dimana anak Ranaweleng itu?" bertanya Wiro.
Si orang tua angkat bahu. "Kalau dia masih hidup kira-kira sebesar kaulah, anak muda," katanya.
"Mahesa Birawa sendiri…. apakah masih hidup?"
"Masih…. sampai dua tahun belakangan ini dia masih tinggal di sini. Tapi sekarang entah dimana. Tapi ada atau tidaknya dia di sini, sama saja. Empat orang anak buahnya sama saja jahat dan kejamnya dan keempatnya malang melintang di kampung ini. Kalau makan tak pernah bayar!"
"Apakah mereka itu?" tanya Wiro.
"Bukan…. bukan! Justru ini sengaja datang dari jauh bikin perhitungan dengan anak buah Mahesa Birawa yang bercokol di sini! Dan Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu bukanlah manusia baik. Mereka rampok-rampok yang tak kalah kejam dan terkutuknya dengan anak-anak buah Mahesa Birawa! Tapi ketika mereka datang anak-anak buah Mahesa Birawa tak ada di sini. Kebetulan keluar…. sudah empat hari dengan hari ini…."
Wiro mengulurkan tangannya memotes sebuah pisang yang tergantung "Eee…. apakah kau punya uang untuk membayar pisang itu, anak muda?" tanya si pemilik kedai.
Wiro tertawa, "Hutang dulu toh tak apa-apa…." sahutnya.
Si orang tua mengeluh dalam hati. Berarti tambah satu lagi "langganan" nya yang makan tanpa bayar!
Sambil mengunyah pisangnya Wiro Sableng bertanya, "Urusan apakah yang dibawa oleh itu ke sini?"
Si orang tua memandang lagi ke luar kedai. Lalu katanya, "Perlu kau ketahui…. pemimpin itu, yang kini memakai nama Bergola Wungu, dulunya adalah penduduk kampung Jatiwalu ini! Anak-anak buah Mahesa Birawa yang bercokol di sini kemudian membunuh ayahnya, juga ibunya, merusak kehormatan perempuan itu serta saudara-saudara perempuannya. Bergola Wungu sempat melarikan diri. Ketika dia kembali ke sini ternyata dia sudah jadi seorang yang tak kalah jahatnya dengan anak-anak buah Mahesa Birawa!"
Lama Wiro Sableng terdiam. Tiba-tiba dia ingat satu nama yang diucapkan Nilamsuri.
"Kenal dengan seorang yang bernama Kalingundil?"
Kulit kening pemilik kedai itu mengkerut.
"Adalah lucu kalau pertanyaan itu kau ajukan saat ini, anak muda?" katanya.
"Kenapa….?"
"Karena Kalingundil adalah anak buah Mahesa Birawa yang bercokol di sini dan yang bertindak sebagai pemimpin dari tiga kawan-kawan lainnya!"
Tentu saja Wiro Sableng terkejut mendengar keterangan ini. Tapi rasa terkejutnya disembunyikannya. Dan dia berpikir-pikir, mengapa gadis itu di pekuburan siang tadi menanyakan apakah kedua orang tuanya dibunuh oleh manusia bernama Kalingundil itu?
Wiro meletakkan kulit pisang di tepi meja. "Siang tadi, Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu telah mengeroyok seorang gadis belia berparas cantik. Bahkan gadis itu hendak mereka perkosa beramai-ramai. Mungkin bapak tahu pangkal sebab sampai hal itu terjadi….? mungkin juga kenal dengan gadis itu?"
"Gadis itu berpakaian biru….?"
"Betul."
Si orang tua hela nafas. "Sebenarnya sudah berkali-kali Bergola Wungu tanya padaku apakah ada seorang lain yang tinggal di rumah Kalingundil. Aku jawab tidak tahu. Aku tak ingin susah anak muda. Kalau kukatakan ada dan Kalingundil mengetahuinya, pastilah leherku akan jadi umpan pedang Kalingundil dan gadis itu adalah anak Kalingundil sendiri!"
Kini jelaslah bagi Wiro Sableng mengapa demikian besar tekat Bergola Wungu untuk membunuh si gadis baju biru itu.
"Kalingundil yang bikin kejahatan, anaknya yang musti ikut tanggung akibat…," desis orang tua pemilik kedai.
Wiro manggutkan kepala. "Dendam kesumat laksana besi tua seribu karat kadang kala tidak mengenal pembalasan yang wajar….", katanya. "Kadang-kadang itu adalah merupakan hukum karma bagi seseorang yang pernah melakukan perbuatan terkutuk!"
"Kata-katamu betul, anak muda….", kata orang tua itu pula. Lalu diangsurkannya mukanya dekat-dekat ke muka Wiro Sableng. "Waktu Bergola Wungu tahu bahwa kau telah mendustainya, habis mukaku ini ditempelaknya….!"
"Itu salahmu sendiri," kata Wiro seenaknya. "Siapa suruh kau yang tua bangka masih mau berdusta!"
Orang tua itu jadi menggerendeng dan memaki panjang pendek dalam hatinya. Dan dia memaki lagi untuk kedua kalinya ketika didengarnya Wiro berkata, "Minta tehnya, pak."
Sementara si orang tua membuatkan segelas teh manis untuknya, Wiro Sableng tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tidak diduganya kalau gadis berbaju biru yang menarik perhatiannya itu adalah anak Kalingundil. Anak buah Mahesa Birawa yang telah membunuh kedua orang tuanya.
Ketika si orang tua datang membawakan teh bertanyalah Wiro Sableng, "Bapak tahu nama anak perempuan Kalingundil itu?"
"Nilamsuri. Nama bagus, orangnya juga cantik, tapi sayang bapaknya manusia terkutuk!"
"Sewaktu Mahesa Birawa melakukan pembunuhan atas diri Ranaweleng, apakah Kalingundil juga ikut-ikutan?" tanya Wiro lagi.
"Bukan hanya Kalingundil, tapi semua anak buahnya," menyahuti si orang tua.
Wiro hendak bertanya lagi tapi mulutnya terkatup kembali karena di luar terdengar suara gemuruh derap kaki kuda. Empat penunggang kuda lewat di muka kedai dengan cepat.
Mereka bukanlah Empat Berewok dari Goa Sanggreng. Dan ketika Wiro Sableng berpaling pada orang tua pemilik kedai, orang tua ini tarik nafas panjang dan berkata, "Kalingundil dan anak-anak buahnya…. pasti akan segera terjadi bentrokan dengan Bergola Wungu…."
"Menurutmu…. siapa yang bakal menang di antara mereka?" tanya Wiro.
Oran tua itu angkat bahu. "Aku tidak mengharapkan siapapun di antara mereka akan menang! Kalau dapat biarlah Gusti Allah membuat mereka mampus semua. Kalingundil dan Bergola Wungu tiada beda bagiku! Sama-sama jahat! Sama-sama tidak bayar kalau makan apa-apa di sini!"
Wiro Sableng tertawa. Diteguknya teh manis dalam gelas kaca itu. Lalu dia berdiri.
"Meski hari ini aku tidak bayar harga pisang dan teh manis itu, tapi jangan samakan aku dengan Bergola Wungu atau Kalingundil…." Habis berkata demikian Wiro segera tinggalkan kedai.
Si orang tua mengangkat gelas bekas minuman pemuda itu. Tapi sesuatu menarik perhatian matanya yang sudah agak mengabur itu. Pada kaca gelas dilihatnya sederetan angka. Diperhatikannya lebih dekat. Tidak salah, itu memang deretan angka 212. Tak habis mengerti orang tua ini bagaimana angka ini bisa tertera di sana. Disekanya dengan ujung pakaiannya. Disekanya lagi…. lagi…. Tapi angka 212 itu tetap saja tidak mau pupus!
"Ah…. semakin tua umur dunia ini semakin banyak terjadi keanehan…." katanya dalam hati.
***
Dari jauh telah terdengar suara beradunya senjata serta bentakan-bentakan hebat. Wiro Sableng percepat jalannya. Dan bila dia sampai di halaman rumah yang agak kegelapan itu maka dilihatnyalah bagaimana halaman rumah itu kini berubah menjadi sebuah medan pertempuran. Enam manusia, sepasang demi sepasang tengah bertempur hebat dan cepat.
Di tangga rumah besar dilihatnya berdiri Nilamsuri.
Di bawah tangga, dengan bersedekap tangan berdiri seorang laki-laki berbadan tinggi langsing. Wiro tak pernah melihat orang ini sebelumnya. Tapi dia yakin betul bahwa manusia ini pastilah Kalingundil.
Di ujung halaman sebelah kiri berdiri pula Bergola Wungu. Sebagaimana dua orang yang terdahulu sepasang matanya memandang ke tengah halaman, memperhatikan jalannya pertempuran.
Tiga orang anak buah Kalingundil yaitu Saksoko, Majineng dan Krocoweti sebenarnya bukan orang-orang yang berilmu rendah. Permainan golok mereka cukup lihai.
Tapi menghadapi anak-anak buah Bergola Wungu yaitu Ketut Ireng, Seta Inging, dan Pitala Kuning merak kalah gesit. Dalam sembilan jurus Krocoweti terpaksa pasrahkan nyawa dilanda ruyung berduri Pitala Kuning! Krocoweti menggeletak di tanah dengan dada melesak!
Tiga jurus kemudian menyusul Majineng. Lehernya hampir kutung terbabat kelewang Seta Inging. Pertempuran yang agak lama berlangsung ialah antara Ketut Ireng dan Saksoko.
Kedua orang ini mempunyai tingkat kepandaian yang sama dan sama-sama bersenjatakan golok. Namun oleh kemenangan kedua kawannya Ketut Ireng mendapat semangat dan nyali besar. Lima jurus di muka sambaran goloknya tiada tertahankan. Akhirnya Saksoko yang berbadan gemuk pendek itu menjerit mengerikan ketika perutnya yang buncit terbabat ujung golok! Ususnya membusai dan menjela-jela di tanah!
Rahang-rahang Kalingundil kelihatan mengatup rapat dan bertonjolan. Kedua kakinya terpentang. Saat itu karena gelap tak seorangpun yang melihat bagaimana kedua lengan Kalingundil menjadi hitam sampai ke jari-jari tangannya. Didahului dengan suara bentakan yang bukan saja dahsyatnya menggetarkan dada tapi juga menggetarkan tanah maka melompatlah Kalingundil ke tengah halaman di mana tiga anak buah Bergola Wungu berada.
Tujuh belas tahun yang lampau kehebatan pukulan lengan baja itu sudah mengagumkan.
Dan kini dapat dibayangkan bagaimana keampuhannya!
Tiga pekik kematian merobek kegelapan malam! Ketut Ireng, Seta Inging dan Pitala Kuning terlempar sampai lima-enam tombak dan menggeletak di tanah tanpa nyawa!
Bergola Wungu saksikan kematian yang mengenaskan ketiga muridnya itu dengan tubuh bergetar.
"Bergola Wungu! Kau tunggu apa lagi! Majulah jika kau benar-benar ingin membalaskan dendam kesumat seribu karat!"
Meski bagaimana kobaran amarahnya namun Bergola Wungu menyahuti, "Jangan bicara terlalu keren, keparat! Aku masih berbaik hati untuk membiarkan kau bernafas beberapa jam lagi! Aku Bergola Wungu menunggu kau besok pagi waktu matahari terbit di pekuburan Jatiwalu! Aku ingin nyawamu terbang ke neraka disaksikan makam ayah bundaku!"
Habis berkata demikian, Bergola Wungu putar tubuh. Tapi saat itu Kalingundil sudah menyerbunya dengan kedua tangan terpentang!
Bergola Wungu yang tahu kehebatan lengan baja itu tak berani menyambuti. Dia berkelit ke samping dan lambaikan tangan kanannya. Serangkum angin menyambar ke dada Kalingundil. Kalingundil melompat ke samping dan hantamkan lengannya kembali. Tapi ini juga dapat dielakkan Bergola Wungu. Dalam sebentar saja kedua orang ini sudah terlibat dalam tiga jurus. Memasuki jurus keempat tiba-tiba dari bagian yang gelap di bawah pohon mempelam terdengar suara memaki.
"Kalingundil edan! Orang sudah kasih kesempatan untuk bertempur besok pagi masih saja beringasan! Gelo betul!"
Kalingundil keluar dari kalangan pertempuran. Segera dia hantamkan lengannya ke jurusan datangnya suara.
"Jangan memaki saja kunyuk! Keluarlah unjukkan diri!"
Angin dahsyat melanda ke tempat gelap, menghantam pohon mempelam sampai pohon itu tumbang. Tapi orang yang memaki sudah kabur. Dan ketika menoleh ke samping, Bergola Wungu pun sudah lenyap!
Akan Nilamsuri begitu mengenali suara yang memaki tadi tanpa tunggu lebih lama dia segara mengejar ke tempat gelap. Beberapa puluh meter kemudian, di pinggiran kampung dekat pematang sawah, orang yang dikejar tahu kalau dirinya dikuntit. Dengan pergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah sampai ke puncak yang sangat tinggi dia melompat ke satu cabang pohon dan menunggu.
Nyatanya yang mengejar adalah si gadis baju biru itu. Segera dia lompat turun kembali.
"Kita berjumpa lagi, Nilamsuri…."
"Eh, dari mana kau tahu namaku?" gadis itu tanya dengan heran.
Wiro Sableng tertawa dan menjawab, "Terlalu banyak manusia tempat bertanya.
Terlalu banyak mulut yang bisa kasih keterangan! Ada apa kau mengejar aku?!"
"Ada apa kau ikut campur urusan ayahku?!" balik menanya Nilamsuri.
Wiro Sableng melangkah mendekati gadis itu. Matanya yang memandang tajam membuat hati si gadis menjadi berdebar. Wiro semakin mendekat juga. Nilamsuri menyurut mundur namun badannya tertahan oleh batang pohon.
"Ayahmu Kalingundil, bukan….?" desisnya.
Gadis itu mengangguk.
Wiro menyeringai. Dipegangnya bahu gadis itu. Nilamsuri hendak menyibakkan tangan itu tapi tak jadi karena saat itu Wiro membungkukkan kepalanya. Rasa panas menjalari darah ditubuhnya ketika bibir pemuda itu berani mengecup bibirnya. Kemudian tangan yang lain dari si pemuda mengusap mukanya. Dia diam saja. Juga masih diam ketika tangan itu meluncur turun ke bawah lehernya.
"Wiro…. kau ini ceriwis sekali…. ceriwis sekali," bisik gadis itu setengah merintih.
Pemuda itu menyeringai.
"Kenapa kau ikuti aku….?"
"A…. aku suka padamu Wiro…."
Wiro tak banyak tanya lagi. Dipanggulnya tubuh yang montok itu lembut itu dan dilarikannya ke tengah sawah dimana terdapat sebuah dangau. Angin malam terasa sangat dingin di udara yang terbuka itu. Tapi tubuh mereka dilanda keringat panas dalam melakukan apa yang belum pernah mereka alami sebelumnya, dalam merasakan apa yang mereka tak pernah rasakan sebelumnya!
*****
Sinar matahari pagi memerak kekuningan. Udara segar sekali. Namun kesegaran itu tiada dirasakan oleh tiga manusia yang berada di pekuburan Jatiwalu. Yang dua adalah Bergola Wungu dan musuh besarnya Kalingundil. Yang ketiga Nilamsuri. Paras gadis ini agak pucat.
Bergola Wungu hentikan langkahnya beberapa tombak di hadapan Kalingundil.
"Keluarkan senjatamu Kalingundil!"
Kalingundil tertawa bergelak dan meludah ke tanah. "Untuk menghadapi manusia macam kau tak perlu pakai senjata segala! Mulailah!." Mulut Kalingundil komat-kamit dan sebentar kemudian kelihatanlah kedua lengannya menjadi hitam!
Tergetar juga hati Bergola Wungu melihat dua lengan lawan itu. Tapi tentu saja tak diperlihatkannya. Malahan dia berkata, "Bagus kalau tak mau pakai senjata. Itu mempercepat aku mengirimkan kau ke neraka!"
Bergola Wungu mencabut golok panjangnya. Dengan ujung senjata itu dia menunjuk ke arah dua buah makam di bukit pekuburan.
"Kau lihat dua makam di lereng sana, Kalingundil?!"
Kalingundil tak berani mengalihkan pandangannya karena khawatir ini hanya tipuan belaka.
"Itu adalah makam ayah bundaku. Roh-roh penghuni makam itu akan bersorak gembira bila menyaksikan sesaat lagi kepalamu kubabat menggelinding!"
"Tak perlu jual bacot manusia hina! Terima lenganku!"
Disertai angin yang dahsyat maka kedua lengan Kalingundil memukul susul menyusul. Bergola Wungu kiblatkan golok memapas salah satu lengan lawan! Betapa terkejutnya dia ketika goloknya tidak mempan membabat lengan lawan malahan mata goloknya menjadi sumplung!
Dengan segera Bergola Wungu keluarkan jurus terhebat dari ilmu goloknya yaitu jurus "merobek langit." Sesaat saja terbungkuslah tubuh Kalingundil oleh sinar golok! Dan satu jurus dimuka Kalingundil terdesak hebat. Berkali-kali dia hantamkan lengannya ke arah lawan namun Bergola Wungu berkelit sangat cepat. Dengan penasaran Kalingundil coba menyampoki senjata lawan dengan kedua lengannya.
Tapi Bergola Wungu tidak bodoh. Mana dia mau adu senjata dengan lengan yang kerasnya macam baja itu!
"Ha... ha... lekaslah minta tobat pada Tuhan atas kesalahan-kesalahanmu, Kalingundil!
Sebentar lagi kepalamu akan menggelinding!" ejek Bergola Wungu.
Geram Kalingundil bukan alang kepalang. "Kita akan lihat siapa yang bakal meregang nyawa lebih dahulu kunyuk berewok!", balasnya mengejek.
Kalingundil berseru keras, "Terima senjata rahasiaku ini, kunyuk!"
Ratusan jarum hitam kemudian menggebubu menyerang Bergola Wungu tapi dengan satu kali putaran golok saja senjata rahasia itu gugur semua ke tanah!
"Hebat! Hebat…. hebat!" terdengar suara dari jurusan barat. Orang yang bicara itu jauhnya masih sekitar seratus tombak. Namun begitu suaranya berakhir serentak itu pula dia sudah berada di tempat pertempuran itu! Dapat dibayangkan hebatnya ilmu lari orang itu.
"Hebat memang hebat, Bergola Wungu! Tapi mungkin kau tidak tahu bahwa manusia itu adalah bagianku!"
Baik Bergola Wungu maupun Kalingundil sama lompatkan diri dari kalangan pertempuran. Bagi Kalingundil ini adalah satu keuntungan karena saat itu dirinya terdesak.
Keduanya memandang pada orang yang berdiri di bawah pohon. Kalingundil kerutkan kening sedang Bergola Wungu katupkan rahang rapat-rapat begitu kenal pendatang baru itu!
"Kalingundil! Kau tak perlu pandang aku dengan kerut jidat segala! Dimana manusia bernama Mahesa Birawa?!"
"Orang muda bermulut besar, kau siapa?!" bentak Kalingundil.
"Ditanya malah menanya! Sialan betul!", gerendeng Wiro Sableng. "Tujuh belas tahun yang silam kau bersama Mahesa Birawa telah membunuh Ranaweleng, bapakku!
Juga membunuh ibuku dan Jarot Karsa! Apa kau punya otak masih sanggup mengingatnya?!"
Kalingundil merutuk dalam hati. Apakah manusia ini juga hendak membalaskan dendam kesumatnya seperti Bergola Wungu? Melihat kepada tenaga dalam yang menyertai suaranya tadi Kalingundil sudah dapat mengukur kehebatan manusia ini. Hatinya mengeluh!
Melayani Bergola Wungu saja dia sudah kepepet, apalagi menghadapi dua lawan sekaligus!
"Apa maumu orang muda?!"
"Apa mauku….?!" Wiro tertawa bergelak.
Nilamsuri yang merasa cemas segera mengetengahi dengan berkata, "Wiro…. dia adalah ayahku!"
"Aku tahu adik manis…," dan si pemuda tertawa lagi. Dalam tertawanya itu masih bisa dia mengingat kemesraan dan kebahagiaan hidup yang dirasakannya bersama gadis itu di dangau di tengah sawah tadi malam. "Karena itulah aku berbaik hati datang ke sini hanya untuk meminta tangan kanannya saja!"
"Wiro!" muka Nilamsuri menjadi pucat.
Bergola Wungu sendiri tahu bahwa apa yang dikatakan oleh Wiro Sableng bukan omong kosong belaka. Dia telah melihat kehebatan pemuda rambut gondrong ini!
Sebaliknya Kalingundil keluarkan tertawa membahak. "Kurasa kau masih pantas untuk menetek sama kau punya ibu!", ejeknya.
"Kata-kata itu cukup lucu, Kalingundil! Aku senang pada manusia-manusia yang suka bicara lucu!" Wiro Sableng melangkah mendekati Kalingundil.
Nilamsuri melompat ke muka hendak menahan si pemuda tapi pada saat itu pula dari samping Bergola Wungu yang sejak lama menahan kegeramannya terhadap Kalingundil, maka ketika melihat anak musuh bebuyutannya itu melompat ke muka, tanpa tunggu lebih lama segera ditebaskan golok panjangnya!
Nilamsuri melengking! Tubuhnya tercampak ke tanah. Dadanya robek besar. Darah menyembur! Bergola Wungu yang melihat tidak adanya kesempatan baginya untuk turun tangan terhadap Kalingundil segera lari ke lereng bukit pekuburan dan berseru:
"Manusia bernama Wiro Sableng! Antara kita masih ada sedikit urusan! Kalau kau merasa punya nyali untuk meneruskan, aku tunggu di Gua Sanggreng!"
"Setan alas betul!" maki Wiro Sableng. Dipukulkannya tangan kanannya ke arah lereng bukit pekuburan. Angin laksana badai menderu dahsyat. Batu-batu nisan dan tanah pekuburan beterbangan. Pohon-pohon bertumbangan. Semak belukar diterabas gundul!
Tapi Bergola Wungu sudah lenyap dibalik bukit!
Wiro Sableng putar kepala dan dia memaki lagi ketika melihat Kalingundil melarikan diri. "Boleh saja lari Kalingundil! Tapi tinggalkan lenganmu dahulu!"
Sekali pemuda itu melompat ke muka maka dia berhasil menyusul Kalingundil. Tiba-tiba Kalingundil berbalik, cabut keris di pinggang dan tusukkan ke perut Wiro Sableng!
Serangan yang dilancarkan dengan kalap serta karena ketakutan itu tidak mengenai sasarannya. Sebaliknya yang diserang cepat gerakan tangan kanannya.
"Kraak"!
Kalingundil melolong. Tangan kanannya sebatas bahu tanggal. Tulangnya copot!
Daging dan otot seta urat-urat berserabutan mengerikan sekali!
Laki-laki itu macam babi celeng seradak seruduk kian kemari. Dia hendak lari lagi.
"Eee…. tunggu dulu Kalingundil! Kenapa terburu-buru kabur?! Terima dulu angka kenang-kenangan ini!" Habis berkata begitu Wiro Sableng benturkan tapak tangan kanannya ke jidat Kalingundil! Pada kulit jidat laki-laki ini maka terpampanglah lukisan telapak tangan berikut lima jari dengan angka 212 pada bagian tengahnya!
Kalingundil seradak seruduk lagi macam babi celeng! Darah berceceran dari luka di tangannya. Wiro Sableng tertawa mengekeh. Diperhatikannya laki-laki itu berlari macam dikejar setan! Tangan kirinya memutar-mutar lengan Kalingundil yang masih dipegangnya.
Tiba-tiba dilemparkannya potongan lengan itu. Laksana anak panah potongan lengan itu melesat dan menghantam punggung Kalingundil, membuat laki-laki itu tergelimpang menelungkup di tanah, tapi segera bangkit lagi dan lari lagi!
Wiro Sableng hentikan gelaknya ketika telinganya mendengar suara gerangan Nilamsuri. Cepat didekatinya tubuh gadis itu. Dia berlutut di tanah. Matanya menyipit melihat luka besar di dada si gadis. Nyawa Nilamsuri tak mungkin di tolong lagi. Dibopongnya gadis itu, dibawanya ke tempat teduh dan dibaringkannya.
"Wiro…." Nilamsuri membuka kedua matanya yang telah menjadi sayu itu. "Wiro…. peluk aku….," pintanya.
Wiro Sableng merangkul gadis itu.
"Cium aku…. Wiro…."
Si pemuda mencium pipi Nilamsuri. Lalu mengecup bibirnya. Bibir itu kesat dan dingin kini, tidak basah dan hangat seperti malam tadi. Nafas Nilamsuri lambat dan satu-satu.
Sinar matanya semakin pudar.
"Umurku untuk mengenalmu hanya sampai di sini, Wiro…." bisik Nilamsuri.
"Aku akan obati lukamu, Nilam. Kau akan sembuh…." kata Wiro pula menghibur.
Nilamsuri tersenyum. Bersamaan dengan memberkasnya senyum itu di bibirnya maka saat itu pula rohnya lepas meninggalkan tubuh.
Pendekar muda dari Gunung Gede hela nafas panjang. Hatinya beku menyaksikan kematian gadis itu. Semalam Nilamsuri masih dirangkulnya, masih dirabanya…. tapi kini tubuh itu tiada akan memberikan apa-apa lagi kepadanya. Bahkan kehangatanpun tidak karena saat itu tubuh Nilamsuri berangsur menjadi dingin.
Wiro menghela nafas panjang sekali lagi. Disibakkannya bagian pakaian yang robek di dada gadis itu. Pada bagian kulit dada yang masih utuh, tepat di atas buah dada sebelah kiri si gadis, dengan pergunakan ujung telunjuk jari tangan kanannya, Wiro menggurat tiga barisan angka: 212.
Disandarkannya tubuh tanpa nyawa itu ke batang pohon dengan hati-hati. Lalu melangkahlah pendekar ini meninggalkan tempat itu. Dan seperti tak pernah terjadi apa-apa, seperti tak satupun yang barusan dialaminya, dari sela bibir pemuda ini terdengarlah suara siulan. Siulan melagukan nyanyi tak menentu….