Sang surya sudah lama bergeser ke ufuk barat. Warnanya yang tadi demikian terik menyilaukan kini memudar merah kekuningan seperti tiada sanggup menahan dirinya dirampas oleh kedatangan sore. Sore yang akan dirampas oleh senja dan senja yang akan bertekuk lutut di pintu malam.
Jalan yang ditempuh pemuda itu semakin sukar. Berliku dan menanjak. Di kiri kanan senantiasa mengapit batu karang putih yang tiada berubah dari zaman ke zaman atas kerasnya. Mendadak dari puncak batu karang di sebelah timur melengking suara suitan aneh yang menusuk sepasang gendang-gendang telinga si pemuda. Dengan waspada pemuda ini putar kepala dan mendongak ke atas.
Puncak karang itu tingginya sekira dua puluh lima tombak. Curam dan terjal sukar didaki. Tapi mata si pemuda yang tajam dapat melihat bekas cungkilan-cungkilan pada sepanjang lereng karang mulai dari bawah sampai ke atas. Cungkilan-cungkilan itu merupakan tangga penolong. Meski demikian, jangan harap manusia biasa bisa mempergunakannya. Sekali tergelincir tubuh akan amblas ke bawah, ditunggu oleh unggukan batu karang runcing!
Suara suitan aneh itu terdengar lagi lebih keras dan nyaring dari yang pertama.
Dan sesaat mata si pemuda berputar kembali ke puncak batu karang itu dia terkejut melihat kemunculan seorang tua bermuka brewok yang kaki kanan dan tangan kanannya buntung. Anggota badan yang buntung ini disambung dengan kayu. Pada ujung kayu dari lengan menancap sebuah benda berbentuk arit yang bergemerlap ditimpa sinar matahari di ambang sore itu! Di tangan kirinya ada sebuah tongkat biru dari besi murni.
Karena puncak karang di mana manusia berewok ini berdiri tinggi sekali maka si pemuda tak dapat mengenali dengan jelas potongan muka orang ini, apalagi tertutup berewok.
Hanya samar-samar bisa dilihatnya bahwa manusia ini adalah seorang tua yang bertampang angker. Melihat kepada berewok yang memenuhi mukanya keraslah hati si pemuda bahwa dia sudah dekat ke tempat tujuannya. Mungkin juga sudah sampai.
Dipandang tajam-tajam demikian rupa, si muka angker berewok juga memandang pada si pemuda secara tajam menyorot. Tapi sebegitu jauh tidak buka suara.
Si pemuda yang menjadi tak sabar lambaikan tangan dan menjura hormat sedikit.
"Orang tua, aku yang muda ini mau tanya apakah ini jalannya ke Gua Sanggreng?!".
Orang yang ditanya kerutkan kening.
"Bocah gondrong, apakah kau yang dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212...?!". Pemuda yang berada di bawah batu karang terkejut sekali. Siapakah orang tua berewok bermuka angker ini? Apakah guru atau kakak seperguruannya Bergola Wungu yaitu musuh yang telah mengundangnya untuk datang ke Gua Sanggreng?.
"Aku merasa tak ada orang yang menjuluki demikian, orang tua...!," menyahuti si pemuda yang tak lain dari Wiro Sableng adanya.
Si muka berewok masih memandang menyorot pada pemuda itu. Memang adalah tak dapat dipercayanya kalau pemuda ini adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 karena angka 212 telah menggetarkan dunia persilatan pada dua puluh tahun yang lalu. Tapi ciri-ciri yang diterangkan muridnya tentang pemuda ini cocok betul. Akhirnya si berewok bersuit lagi.
Kali ini suara suitannya lain dari dua kali tadi. Dan sesaat kemudian muncullah sosok tubuh berpakaian hitam. Orang ini mukanya juga berewok dan Wiro dapat mengenalinya sebagai orang yang dulu telah menantangnya yaitu Bergola Wungu! Kini dia yakin bahwa si kaki buntung itu punya sangkut-paut erat dengan Bergola Wungu. Dari bawah dilihatnya kedua orang itu bercakap-cakap sedang si buntung sekali-kali menunjuk-nunjuk dengan tongkat birunya ke arah Wiro.
Tiba-tiba mengumandanglah tawa bergelak dari si kaki buntung. Daerah sekitar situ seperti di robek oleh suara tertawanya. Sambil tertawa diketuk-ketukkannya tongkat di tangan kirinya ke atas batu karang. Batu karang itu bergetar dan bagian yang kena ketuk lebur menjadi pasir!
Kemudian kedua mata orang tua buntung itu kembali memandang tajam pada Wiro Sableng. "Kalau kau bukan Pendekar 212 palsu pastilah kau muridnya si Sinto Gendeng...:
Ah, kiranya kau tak ubah seperti bocah-bocah ingusan lainnya. Tak ubah seperti gurumu sendiri! Bego dan keblinger...!"
"Jaga mulutmu, orang tua!," bentak Wiro marah karena gurunya di maki. Tapi diam-diam dia juga heran kalau si muka berewok yang satu ini tahu nama gurunya. Melihat kepada umur mungkin kira-kira dia seumur dengan Eyang Sinto Gendeng. Berewok buntung itu tertawa lagi. Tongkatnya diketuk-ketukkannya lagi.
"Muridku Bergola Wungu bicara terlalu hebat tentang kau. Tapi setelah berhadapan muka nyatanya kau hanya kosong melompong! Tadinya mendengar kematian tiga muridku aku ingin mengajaknya bertempur sampai seratus jurus. Hendak kupecahkan kepalanya dengan tongkat biru besi murni ini! Tapi nyatanya dia adalah seorang bocah pitit, masih pantas ngempeng! Pakai baju pun belum becus! Pendekar potongan macammu ini sekali aku ayunkan tongkat saja pasti sudah kelojotan!"
Panas hati Wiro Sableng tiada terkirakan. Darah mudanya menggeru dalam pembuluhnya. "Orang tua!," serunya. "Bicaramu terlalu sombong! Apakah kau tahu bahwa semut itu sanggup mengalahkan gajah? Apakah kau juga tahu bahwa manusia itu bisa terpeleset oleh sebutir batu kecil berlumut...?!"
Si berewok kaki buntung tertawa dingin. "Barangkali kau belum tahu kebalikan ucapanmu itu, orang muda! Tahukah kau bahwa semut itu sekali dipijak oleh gajah akan mejret amblas ke dalam tanah?! Tahukah kau kerikil kecil itu kalau ditendang akan mental jauh tiada daya?"
Wiro Sableng keluarkan suara mendengus dari hidung. "Kadangkala manusia keliwat pintar jadi bicara terbalik-balik macam kau!," sahutnya. "Tapi tak apa... aku tak ada urusan dengan kau. Biar aku bicara dengan Bergola Wungu!".
Si orang tua tertawa berkekeh.
"Jangan sebut soal tak ada urusan, geblek! Muridku mati tiga orang..."
"Bukan aku yang bunuh...!".
"Tapi kau turut bertanggung jawab!" menukas Bergola Wungu.
"Buset!," kata Wiro. "Di depan hidung gurumu kau bisa buka bacot keras Bergola! Aku sudah datang untuk menerima tantanganmu!"
Bergola Wungu tertawa mengejek.
"Ini bukan Gua Sanggreng, Wiro! Bukan di sini ajalmu harus kau pasrahkan!"
"Keren betul kau Bergola! Manusia kalau sudah lupa nasib memang persis macam kau!
Kau tahu bahwa kau dulu anak kampung Jatiwalu kentut?! Yang sekarang punya sedikit ilmu lantas jadi kepala rampok! Tapi lantas menantang aku dengan lari kepada gurunya? Kalau aku jadi kau lebih baik terjun dari atas puncak karang itu ke bawah, mampus bunuh diri!"
Merah muka Bergola Wungu sampai ke telinga dan ke kuduk. Mulutnya terkatup rapat.
Gerahamnya bergemeletakkan. Namun tak ada suara jawaban dari dia.
Maka berkatalah si berewok tua kaki buntung. "Bocah 212, karena kau bicara begitu congkak tentu kau punya sedikit ilmu yang diandalkan. Aku yang sudah tua ingin sekali bertukar pengalaman!".
Wiro Sableng tertawa-tawa. "Kau yang sebenarnya congkak orang tua! Apakah umurmu yang sudah bangkotan itu masih belum cukup puas untuk melakukan pertempuran?
Tapi kalau kau berkeras hati mau iseng-iseng tukar pengalaman katamu, aku yang muda tidak keberatan...." Wiro gosok-gosokkan telapak tangannya satu sama lain "Tapi aku ingin tahu nama dan siapa kau lebih dahulu.:..".
Si orang tua kembali tertawa macam tadi yang menggetarkan seantero daerah batu karang itu.
"Aku adalah penghuni Gua Sanggreng yang sudah empat puluh tahun malang melintang dalam rimba persilatan! Kau dengar itu bocah? Dan kalau kau perlu tahu namaku... akulah yang bernama Bladra Wikuyana Angin Topan Dari Barat!".
Tentu saja Wiro Sableng terkejut mendengar nama asli serta nama julukan si berewok kaki buntung itu karena dari gurunya dia mengenai bahwa Angin Topan Dari Barat adalah satu tokoh persilatan sakti yang memimpin sebuah perguruan di Jawa Barat, yang namanya cukup tenar tapi dicurigai adalah kaki tangan golongan hitam (golongan jahat).
Namun demikian pemuda ini sama sekali tidak unjukkan paras kecut. Malah dia tertawa bergelak: "Julukanmu hebat juga, orang tua! Tapi setahuku angin itu hanyalah satu benda kosong belaka dan berbau busuk bila ke luar dari pantat!"
Bladra Wikuyana bersuit marah.
"Bocah setan! Kau berani kurang ajar terhadap Angin Topan Dari Barat! Terima ini...!".
"Wuuuuuutt"!
Tongkat birunya disapukan ke bawah!