Tetapi Eyang Sinto bukan menyerangnya. Nenek-nenek sakti ini ternyata hanya melompat ke atas pohon jambu klutuk dan duduk di cabang tempat dia duduk sebelumnya.
"Bagus Wiro.... bagus sekali," katanya. Mukanya dihadapkan lurus-lurus ke arah timur. "Sekian lama kau kudidik di puncak Gunung Gede ini, ternyata tidak mengecewakan....!" Sinto Gendeng tertawa melengking-lengking. Dan sehabis tertawa tadi maka diulanginya nyanyian tadi. Nyanyian yang membuat hati Wiro Saksana menjadi tergetar.
Pitulas taun wus katilar,
Pucuking Gunung Gede isih panggah kaya biyen mulo,
Langit isih tetep biru,
Wulan lan suryo isih tetep mandeng lan kangen,
Pitulas taun agawe kang tua tambah tua.
Pitulas taun ndadekake bayi abang dadi pemuda kang gagah,
Pitulas taun wektu perjanjian,
Pitulas taun wiwitane perpisahan,
Pitulas taun wekdaling pamales.
Wiro duduk menghamparkan diri di bawah sebatang pohon di seberang pohon jambu klutuk. Dilihatnya gurunya menghela nafas dalam beberapa kali.
"Dadamu sesak Eyang? Aku bisa tolong urut...."
"Diam!" bentak Sinto Gendeng.
Wiro menggaruk kepalanya dan diam.
"Aku mau bicara sama kau!" kata Sinto Gendeng pula.
"Bicara apa Eyang....?" Pemuda ini mulai bicara sungguh-sungguh karena dilihatnya gurunya juga bicara sungguh-sungguh.
"Berapa lama kau tinggal di sini bersamaku, Wiro?!"
"Murid tidak ingat...."
"Gelo betul! Buat apa aku ajar tulis baca dan berhitung sama kau?!"
"Mungkin sepuluh tahun, Eyang...."
"Goblok! Tujuh belas tahun, tahu?!"
Wiro tertawa, "Iyyaa.... tujuh belas tahun Eyang," katanya pula.
"Kuharap hari ini kau jangan bicara sinting sama aku, Wiro!" bentak Sinto Gendeng dan matanya masih terus menatap ke timur.
"Kau lihat matahari itu?"
"Lihat Eyang...." jawab Wiro seraya memandang ke timur.
"Matahari itu masih tetap matahari yang dulu juga, masih sama dengan matahari tujuh belas tahun yang silam. Puncak Gunung Gede ini juga masih seperti dulu juga. Cuma yang tua tambah tua, yang orok jadi pemuda! Cuma dunia luar yang banyak berobahnya!"
Wiro Saksana mendengarkan dengan sungguh-sungguh karena tak pernah dilihatnya gurunya bicara seperti itu sebelumnya.
Kemudian terdengar kembali suara sang nenek. "Tujuh belas tahun. Sekian lama kau tinggal bersamaku. Belajar tulis baca, belajar ilmu silat, belajar segala kesaktian. Tapi kau jangan lupa! Kudu inget! Ilmu dan segala kesaktian apa yang telah aku berikan sama kau semuanya adalah masih sangat terlalu kecil, terlalu sedikit, sama sekali tidak ada artinya jika dibandingkan dengan ilmu kekuasaan Gusti Allah. Kau mengerti, Wiro?"
"Ya, Eyang...."
"Karena itu kau musti sadar, kudu ingat. Kalau ini hari kau sudah menjadi sakti mandraguna yang tak sembarang orang bisa menandingi kau, tapi hal utama yang musti kau lakukan ialah menjauhkan diri dari segala sifat yang tidak baik! Kau jangan sekali-kali bersifat sombong, congkak dan takabur! Pakai semua ilmu yang kuberikan untuk menolong sesama manusia, untuk kebaikan. Kalau kau nyeleweng, kau akan dapat balasan sendiri di kemudian hari! Kau musti ingat bahwa bukan kau saja yang sakti di dunia ini. Kau musti sadar bahwa diluar langit ada langit lagi. Kau sadar, Wiro?"
"Sadar, Eyang...."
"Ingat?"
"Ingat, Eyang...."
"Ingat.... ya ingat! Manusia ingat dengan pikirannya, sama otaknya! Tapi aku tak mau kalau kau cuma sekedar mengingat saja karena setiap ada ingat musti ada lupa. Dan manusia manapun selagi bernama manusia, suatu ketika tetap akan membawa sifat lupa itu. Lupa dan kelupaan. Yang penting ialah kau musti menanamkan sedalam-dalamnya ke dalam hatimu, ke dalam sanubarimu, ke dalam aliran kau punya darah, ke dalam detakan jantung, ke dalam hembusan nafas! Sesuatu itu, jika ditanamkan dalam-dalam laksana sebatang pohon jadinya, tak satu tanganpun yang sanggup mencabutnya dari bumi karena dari hari ke hari akar yang membuat pohon itu tegak semakin kokoh dan jauh masuk ke dalam tanah!"
Kesunyian menyeling beberapa lamanya.
Kesunyian ini dipecahkan oleh suara Eyang Sinto Gendeng kembali.
"Hari ini adalah hari yang penghabisan kau berada di sini, Wiro!"
"Eyang....," terkejut Wiro Saksana mendengar kata-kata gurunya yang tiada disangkanya itu.
"Kau terkejut....? Tak perlu terkejut. Di dunia ini selalu ada waktu bertemu selalu ada waktu perpisahan. Waktu datang dan waktu pergi! Aku telah selesai dengan kewajibanku memberikan segala macam ilmu kepada kau dan kau sudah selesai dengan kewajiban kau yaitu menuntut dan mempelajari ilmu itu dariku...."
Dalam duduknya itu Wiro Saksana jadi tertegun. Jadi rupa-rupanya apa yang dinyanyikan oleh Eyang Sinto Gendeng tadi ada hubungannya dengan peri kehidupannya.
Cuma yang belum dimengerti Wiro ialah barisan kalimat, Tujuh belas tahun masa perjanjian.... tujuh belas tahun saat pembalasan.... Eyang Sinto Gendeng tiba-tiba melayang turun ke tanah kembali. Dia berdiri di hadapan muridnya. Dan mulai lagi bicara.
"Segala apa yang ada di dunia ini selalu terdiri atas dua bagian, Wiro! Dua bagian yang berlainan satu sama lain tapi yang menjadi pasangan-pasangannya...."
Wiro Saksana kerenyitkan kening tak mengerti. "Misalnya Eyang?" tanyanya.
"Misalnya...., ada laki-laki ada perempuan. Bukankah itu dua bagian yang berlainan?
Tapi merupakan pasangan?!"
"Betul Eyang...."
"Misal lain.... ada langit.... ada bumi. Ada lautan ada daratan. Ada api ada air.... ada panas ada dingin. Ada hidup ada mati, ada miskin ada kaya. Ada buta ada melek. Ada lurus ada bengkok, ada panjang ada pendek, ada tinggi ada rendah, ada dalam ada cetek!
Semuanya selalu begitu Wiro, Kemudian.... ada susah ada senang, ada tertawa ada menangis. Di atas semua itu ada satu yang tertinggi. Yang satu ini ialah penciptanya. Siapa yang ciptakan kau, Wiro....?"
"Tidak tahu Eyang...."
"Bogrol!"
"Aku tahu Eyang...."
"Siapa?"
"Ibu sama bapakku."
"Siapa yang menciptakan ibu sama bapak kau?"
"Nenek sama kakek...."
"Yang menciptakan nenek sama kakek....?"
"Nenek dari nenek dan kakek dari kakek...."
"Dan yang menciptakan nenek dari nenek serta kakek dari kakek....?"
"Ya nenek dari nenek dari nenek dan kakek...."
"Geblek!" bentak Sinto Gendeng. "Manusia tidak pernah bisa menciptakan manusia!
Bapak kau kawin sama ibu kau dan ibu kau cuma melahirkan kau, lain tidak!! Ibu kau dilahirkan sama nenek, kau begitu seterusnya goblok! Semua manusia ini, semua apa saja di dunia ini diciptakan oleh Yang Satu. Oleh Gusti Allah! Hal-hal yang dua itu pun juga diciptakan dengan kodrat iradatnya Gusti Allah. Gusti Allah ciptakan laki-laki juga Dia ciptakan perempuan. Gusti Allah bikin langit, juga bikin bumi. Bikin orang-orang susah juga bikin orang-orang senang. Bikin manusia-manusia kaya juga bikin manusia-manusia miskin.
Sekarang aku mau tanya sama kau. Berapa kau punya mata?"
"Dua, Eyang."
"Hidung?"
"Satu Eyang."
"Lobang hidung?"
"Dua Eyang...."
"Mulut?"
"Satu...."
"Bibir?"
"Dua Eyang."
"Kepala?"
"Satu...."
"Tangan?"
"Dua...."
"Kaki....?"
"Juga dua Eyang...."
"Kau punya biji kemaluan....?"
"Dua Eyang," dan dalam hatinya Wiro memaki tapi geli.
"Kau punya batang kemaluan?"
"Satu Eyang...." Wiro geli lagi dan memaki lagi.
"Nah.... itu semua membuktikan di dunia ini kehidupan manusia adalah tak ubahnya seperti bilangan dua dan satu, satu dan dua, dua satu dua dan seterusnya. Angka dua dan satu itu selalu ada melekat dalam diri manusia. Dan semuanya itu hanya diciptakan oleh Yang Maha Kuasa yakni Gusti Allah! Kehidupan dua dan satu ini, kehidupan dua satu dua ini, dan adanya dua satu dua ini tak bisa diingkari dan harus melekat dalam diri manusia! Manusia pasti akan merasakan senang susah, gembira sedih, kaya miskin, lapar kenyang, hidup mati, dan manusia juga musti percaya pada yang satu yakni Gusti Allah...."
"Tapi manusia yang picak, Eyang, matanya cuma satu, manusia yang buntung kakinya sebelah, berarti cuma punya satu kaki. Jadi dia tidak memiliki angka dua yang sempurna dalam dirinya...."
"Betul, meski begitu berarti dia cuma punya satu mata, punya satu kaki! Nah, bukankah ada juga melekat angka satu pada dirinya?! Aku sudah bilang sama kau bahwa dalam diri manusia musti ada angka dua dan satu itu! Apa kau masih kurang ngerti, goblok?!"
Wiro diam, kata-kata gurunya itu memang betul.
"Sekarang berdirilah kau!," perintah Eyang Sinto Gendeng.
Wiro Saksana berdiri.
Eyang Sinto Gendeng menyeringai dan tertawa cekikikan. Tiba-tiba dari balik pakaian hitamnya dikeluarkannya kembali kapak saktinya. Terkejut Wiro Saksana dan pemuda ini mundur beberapa langkah ke belakang. Sinto Gendeng menyeringai lagi, tertawa lagi hingga kedua matanya berair.
***
"Kenapa kau terkejut....?" tanya Eyang Sinto Gendeng. "Kau takut?!"
"Eyang mau bikin cilaka murid lagi?!" tanya Wiro Saksana bersiap-siap.
Dan nenek itu tertawa lagi melengking-lengking. Dia mundur sampai tujuh tombak ke belakang. "Pejamkan matamu, Wiro!" perintah Eyang Sinto Gendeng pula.
"Tapi.... Eyang mau bikin apa?!"
"Eeee.... kunyuk betul kau! Aku suruh pejamkan mata malah banyak tanya!! pejamkan matamu!"
Wiro memejamkan matanya dengan ragu-ragu. Karena itu kedua mata itu dipejamkannya tidak rapat betul.
"Biar rapat!" hardik Sinto Gendeng.
Dan Wiro terpaksa menutup matanya rapat-rapat.
"Buka bajumu!"
Wiro membuka bajunya dan meletakkannya di tanah. Kedua matanya tetap memejam.
"Buka tangan kananmu, naikkan ke atas dan hadapkan telapaknya kepadaku!", perintah Sinto Gendeng lagi. Wiro mengikuti perintah itu.
Eyang Sinto Gendeng memegang mata kapak dengan tangan kanannya erat-erat. Salah satu jarinya kemudian menempelkan disatu bagian rahasia pada gading dekat kepala kapak yang terbuat dari besi putih itu.
"Apapun yang terjadi sekali-kali jangan buka kedua matamu dan sekali-kali jangan bergeser. Kecuali kalau kau mau mampus!"
"Eyang...."
"Diam! Gila betul!," bentak Sinto Gendeng. Wiro terpaksa membungkam.
Perempuan tua itu menekan alat rahasia dekat kepala kapak. Maka dari mulut naga-nagaan di hulu kapak melesat dengan suara menderu tiga puluh enam batang jarum putih.
Ketiga puluh enam jarum itu mendarat dan menancap di dada kanan Wiro Saksana.
Jarum-jarum ini menancap dengan teratur membentuk susunan angka 212. Pemuda itu menjerit keras. Tubuhnya rebah ke tanah! Sekali lagi Sinto Gendeng menekan alat rahasia dekat kepala kapak. Kini dua puluh empat batang jarum hitam meluncur dan menancap di telapak tangan sebelah kanan Wiro Saksana! Pemuda ini menjerit lagi karena tancapan jarum yang 36 tadi telah membuat dia tak sadarkan diri!
Sebelum Wiro Saksana siuman, Eyang Sinto Gendeng sudah mencabuti jarum-jarum putih di dada pemuda itu, juga jarum-jarum hitam di telapak tangan kanan Wiro. Dan ketika Wiro sadarkan diri maka dilihatnya di kulit dadanya terukir deretan angka-angka 212 berwarna hitam kebiruan. Angka-angka yang sama juga terdapat di telapak tangannya.
Bedanya angka-angka yang di telapak tangan ini agak kecil dan berwarna putih sehingga agak samar-samar kelihatannya.
"Berdiri Wiro!" perintah sang guru.
Wiro Saksana berdiri. Dia tak tahu apa sebenarnya yang telah dilakukan oleh gurunya.
Yang dia tahu tadi ialah suara yang menderu-deru, lalu dia menjerit, lalu roboh dan.... tak ingat apa-apa lagi.
"Kau telah lihat angka 212 pada kulit dada dan telapak tangan kananmu?"
Wiro mengangguk.
"Berarti dalam dirimu sudah kulekatkan unsur-unsur keduniaan dan unsur ingat Tuhan. Agar kau tidak lupa bahwa kau hidup di dunia adalah untuk menolong sesama manusia. Juga agar kau tidak lupa bahwa kau mempunyai Tuhan yang harus dituruti segala perintah dan dijauhkan segala larangan-Nya. Kau mengerti?"
"Mengerti Eyang. Tapi... mengapa badanku kini tiga kali lebih enteng dari sebelumnya? Bahkan tenaga juga terasa bertambah hebat!"
Eyang Sinto Gendeng tertawa mengikik.
"Itu adalah berkat jarum kapak Naga Geni 212" kata Sinto Gendeng pula. Lalu nenek-nenek ini menerangkan apa yang telah dilakukannya terhadap muridnya.
Wiro merasa mendapat anugerah ilmu tambahan segera berlutut dihadapan gurunya.
"Tak usah pakai peradatan segala macam. Berdirilah! Masih banyak yang aku mau bicarakan sama kau," kata Sinto Gendeng pula.
Wiro berdiri.
Sinto Gendeng mengeluarkan kapak dan batu hitam kembali. Diulurkannya benda-benda itu. "Wiro.... kapak ini kuberi nama Kapak Naga Geni 212. Sepuluh tahun lamanya kubutuhkan waktu untuk membuatnya dan telah dua puluh tahun lebih senjata ini berada di tanganku. Rupanya kau ada jodoh dengan senjata ini. Terimalah...."
Tertegun dan hampir tak percaya Wiro Saksana mendengar ucapan gurunya. Tak disangkanya bahwa dia bakal mendapat anugerah senjata yang sangat sakti itu. Dia terdiam mematung seketika.
"Ayo Wiro! Kenapa kau jadi bimbang? Terimalah Kapak Naga Geni 212 ini untuk kau!"
Wiro Saksana mengulurkan kedua tangannya. Ketika senjata sakti itu menyentuh tangannya mendadak sontak mengalirlah arus aneh yang dingin ke dalam tubuh Wiro. Dan disaat itu pula dirasakannya tubuhnya naik sampai dua tingkat, padahal dia merasa tingkat tenaga dalam yang sudah dimilikinya sebelumnya sudah mencapai tingkat yang paling sempurna!
"Sisipkan di pinggangmu Wiro dan pakai kau punya baju kembali!"
Wiro melakukan apa yang dikatakan Eyang Sinto Gendeng. Kapak dan batu yang ada angka 212-nya itu disisipkan ke pinggangnya.
"Kapak Naga Geni 212 bukan senjata sembarangan, Wiro. Karenanya juga tak boleh kau pakai sembarangan. Pergunakanlah hanya pada saat-saat kau terdesak hebat atau dalam keadaan nyawamu terancam. Kau telah lihat juga macam kehebatan kapak itu tadi, tapi masih ada satu lagi kehebatannya yaitu bila kau tekan salah satu bagian di bawah mata kapak itu maka akan berhamburanlah jarum-jarum putih dari mulut naga-nagaan.... Untuk membuat angka 212 pada dada dan telapak tanganmu aku telah pergunakan jarum-jarum semacam itu tadi. Cuma jarum-jarum tadi telah kuisi dengan sejenis racun yang hebat sehingga tubuhmu akan kebal terhadap segala racun apapun juga! Tangan kananmu juga mempunyai racun yang tersembunyi, Wiro. Jangan sembarangan mempergunakannya karena bisa mematikan lawan!"
Wiro Saksana hendak berlutut lagi, tapi segera dibentak oleh gurunya.
"Terima kasih Eyang.... terima kasih," kata pemuda itu.
Eyang Sinto Gendeng hanya keluarkan suara tertawa. Digaruk-garuknya kepalanya yang berambut jarang dan yang kini hanya ditancapi dua buah tusuk kundai. Kemudian mulailah dia untuk ketiga kalinya menyanyikan lagu tadi: Pitulas taun wus katilar....
Ketika Sinto Gendeng selesai menyanyikan lagu itu maka bertanyalah Wiro.
"Eyang, apakah maksud Eyang dengan nyanyian itu....?"
Sinto Gendeng tertawa. Aneh sekali tawanya kali ini. Dan parasnya kelihatan begitu sedih serta rawan. Kemudian ketika dia berkata, jelas suaranya itu bergetar tanda dia tak dapat menahan sesuatu yang menyesak di lubuk hatinya.
"Aku sudah bilang bahwa hari ini adalah hari yang penghabisan kau berada di Gunung Gede ini bersamaku...."
"Mengapa demikian, Eyang....?" Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Karena segala ilmuku telah kupasrahkan kepadamu. Karena hari inilah saatnya bagimu untuk turun gunung, memasuki alam dunia luar, membawa garis-garis kehidupanmu sendiri yang telah ditentukan Gusti Allah...."
Sinto Gendeng diam seketika. Kemudian diteruskannya, "Sebelum kau meninggalkan puncak Gunung Gede ini ada satu tugas yang musti kau lakukan...."
"Tugas apakah itu, Eyang?" tanya Wiro Saksana. Lagi-lagi digaruknya kepalanya yang berambut gondrong itu.
"Dengar baik-baik Wiro.... Lebih dari empat puluh tahun yang silam aku telah mengambil seorang murid bernama Suranyali. Waktu itu dia baru saja berumur dua tahun.
Dari umur dua tahun itulah aku mulai mendidiknya pelbagai ilmu dasar silat dan kesaktian.
Tapi kemudian aku ketahui bahwa aku telah keterlanjuran mengambil itu manusia menjadi muridku. Suranyali kulepas turun gunung, kubekali pelbagai nasihat tapi dasar Suranyali bukan manusia baik-baik, begitu turun gunung segala ilmu yang kuberikan padanya dipakainya untuk perbuatan jahat, maksiat. Dia membuat keonaran dimana-mana! Menjadi kepala perampok! Tukang peras bahkan menculik perempuan-perempuan cantik dan merusak kehormatannya! Menurutku kini umurnya sudah hampir setengah abad, sudah dekat ke liang kubur! Tapi ini sama sekali tidak memberikan keinsyafan pada dirinya. Kejahatannya akhir-akhir ini semakin menjadi-jadi, sudah lewat dari takaran! Kini dia tengah menyusun rencana busuk terhadap Pajajaran. Pajajaran hendak dibikinnya banjir darah! Karena itu kau harus lekas-lekas dapat mencari itu manusia laknat dan perintahkan kepadanya untuk datang ke sini menghadapku guna mempertanggungjawabkan segala apa yang telah dibuatnya selama malang melintang di dunia sana! Dan perlu kau ketahui, Suranyali kini telah memakai nama baru yakni Mahesa Birawa!"
Wiro Saksana merasa betapa sedihnya akan berpisah dengan gurunya yang selama 17 tahun telah mendidiknya itu. Tapi mengingat perpisahan itu adalah demi untuk menjalankan tugas dari sang guru, terhibur juga sedikit hatinya. Dan berkatalah pemuda itu:
"Tugas Eyang akan aku laksanakan. Cuma bagaimana jika itu manusia Mahesa Birawa tidak mau mematuhi perintah untuk datang ke sini....?"
"Jawabnya hanya satu Wiro. Pateni manusia itu! Bunuh manusia durhaka itu!"
Wiro Saksana terdiam. Dalam diamnya ini dia berpikir-pikir sampai dimanakah ketinggian ilmu Suranyali atau Mahesa Birawa itu? Sanggupkah dia menghadapi manusia yang sesungguhnya adalah kakak seperguruannya sendiri?!
"Aku tahu apa yang kau pikirkan Wiro," kata Eyang Sinto Gendeng pula tiba-tiba. Ini mengejutkan Wiro Saksana. "Suranyali memang sakti bahkan kudengar dia telah berguru pula pada seorang sakti di Gunung Lawu! Tapi kau tak usah takut! Kau memiliki kapak Naga Geni 212. Dan kau berada dalam kebenaran pula! Sesungguhnya kau punya hak untuk membunuh itu manusia, Wiro. Pertama karena tugas yang aku pikulkan dibatok kepalamu! Kedua karena Suranyali atau Mahesa Birawa itulah yang telah membunuh kau punya ibu-bapak!"
Mendadak sontak bergetarlah sekujur tubuh Wiro Saksana. Parasnya berubah kelam membesi! Sejak kecil, sejak diam di puncak Gunung Gede itu belum pernah dia mengetahui apa yang dinamakan kebencian dan dendam kesumat! Tapi saat itu dadanya serasa mau pecah oleh kobaran kebencian dan amarah serta dendam yang tiada terkirakan!.
"Bapakmu bernama Ranaweleng! Dibunuh oleh Suranyali. Ibumu dilarikannya.
Sesudah itu bunuh diri sesudah dirusak kehormatannya. Kau sendiri hampir menemui ajal dimakan api sewaktu rumah bapakmu dibakar oleh Suranyali dan anak buahnya. Kebetulan sekali aku lewat disitu...."
Wiro menjatuhkan diri di hadapan gurunya. "Terima kasih Eyang.... kalau Eyang tidak ada...."
"Berdiri!" bentak Sinto Gendeng. Perempuan aneh itu memang paling tidak suka dilututi seperti itu. "Bukan aku yang menolong kau, tapi Gusti Allah!" katanya. "Ayo berdiri!"
Wiro berdiri kembali. Dan Sinto Gendeng menuturkan peristiwa tujuh belas tahun yang lalu sejelas-jelasnya. Kini maklumlah Wiro apa arti kata-kata dalam nyanyian gurunya tadi. Dikuatkan hatinya untuk mengendalikan perasaannya yang campur aduk.
Dikuatkannya dirinya untuk membendung air mata yang hendak tumpah dari kelompok matanya!
"Eyang....," desis Wiro Saksana, "Sewaktu Eyang turun ke kampung Jatiwalu itu, mengapa Eyang tidak langsung turun tangan....?"
Sinto Gendeng tertawa rawan.
"Semustinya.... semustinya memang aku harus turun tangan saat itu. Tapi ketika kutahu bahwa Ranaweleng – bapakmu – mempunyai seorang orok maka aku mempunyai pikiran lain! Kalau kupelihara anak itu dan kudidik ilmu silat seta kesaktian maka jika sudah besar dia lebih mempunyai hak dariku untuk menamatkan riwayat Suranyali alias Mahesa Birawa. Kalau tidak percuma saja aku ajarkan kepadamu bahwa kehidupan di dunia ini tersimpul dalam tiga barisan angka 212. Bukankah setiap budi ada balas? Setiap kejahatan ada pembalasannya? Tuhan telah menolongmu, berarti itu angka 1. Suranyali membunuh orang tuamu berarti itu angka2, Wiro! Jangan sekali-kali kau lupakan!"
"Menurut Eyang, apakah manusia keparat itu masih ada di kampung Jatiwalu bersama anak-anak buahnya....?"
"Tak dapat kupastikan, Wiro. Itu tugasmu untuk menyelidik. Yang aku tahu ialah bahwa manusia itu hendak membuat Pajajaran banjir darah. Karenanya, seret dia ke sini sebelum hal itu terjadi. Dan kalau dia tidak mau, pateni saja!!" (pateni=bunuh).
Sunyi selang beberapa lamanya. Kedua orang itu tenggelam dalam alam pikiran masing-masing.
"Kau akan segera berangkat, Wiro?"
Pemuda itu tak segera menjawab. Kemudian dia mengangguk perlahan.
"Ucapanku yang terakhir Wiro, mulai saat kau turun gunung ini, pakailah nama WIRO SABLENG. Itu lebih baik bagi kau. Gurunya GENDENG, muridnya SABLENG." Dan habis berkata demikian si nenek tua ini tertawa mengikik lama dan panjang. Namun tertawa itu hanyalah untuk menyembunyikan hati yang rawan, sedih itu untuk membendung air mata yang hendak tumpah keluar!
"Eyang.... kapan kita bisa bertemu lagi?" tanya Wiro.
Sang guru hentikan tertawanya. "Selama langit masih biru, selama hutan masih hijau, selama air sungai masih mengalir ke laut, kita pasti bertemu lagi Wiro Sableng....!"