Dia masih juga mencabuti rerumputan yang bertumbuhan di makam itu. Dia sama sekali tak mengacuhkan derap kaki kuda yang menggeru di belakangnya karena menyangka bahwa itu adalah kuda-kuda yang biasa lalu-lalang di tempat tersebut. Tapi tangannya yang halus itu berhenti mencabuti rerumputan ketika di belakangnya terdengar suara tertawa seseorang.
"Ha…. ha…. inikah manusia yang menjadi anak tunggal keparat Kalingundil?!"
Gadis enam belas tahun yang berlutut di muka makam itu putar kepala. Empat orang penunggang kuda dilihatnya berjejer di belakangnya. Penunggang kuda yang paling depanlah yang tadi tertawa dan buka suara. Tubuhnya jangkung, berewoknya lebih lebat dari berewok tiga manusia lainnya, tampangnyapun lebih angker.
"He…. he…. cantik juga parasnya huh?!", kata laki-laki ini yang tak lain dari Bergola Wungu adanya.
"Tapi sayang, kepalanya musti kita pisahkan dari badannya. Bukankah demikian, Bergola Wungu?!"
"Betul, tapi tak perlu cepat-cepat. Agaknya dia bisa memuaskan seleraku dan kalian semua!"
Keempat orang itu tertawa bekakakan.
"Kunyuk-kunyuk hitam berewok! Kalian siapa?!", bentak gadis berbaju biru. Dengan enteng dia berdiri. Tangan kanan memegang hulu pedang yang tersisip di pinggang.
"Eh, galak juga betina ini!", kata Ketut Ireng.
"Tapi kalau kau mau kenal kami, aku tak keberatan untuk memperkenalkan diri.
Namaku Ketut Ireng…. Ini Bergola Wungu. Yang ini, yang gemuk pendek Seta Inging dan ini yang matanya jereng Pitala Kuning. Nah... nah... sekarang kau tak keberatan kasih tahu namamu….?" Keempat orang itu tertawa lagi.
"Manusia edan! Berlalulah dari hadapanku! Kecuali kalau mau rasa tebasan pedangku!"
"Ah, besar mulutnya sama saja sama bapaknya!", kata Bergola Wungu sambil usap-usap berewoknya. "Ketahuilah kami datang untuk mengirim bapakmu ke liang kubur. Itupun kalau ada liang kubur yang masih mau menerimanya!"
"Mulutmu terlalu besar monyet berewok!", hardik gadis itu. "Aku mau lihat apakah juga cukup besar untuk menerima ujung pedangku ini?!"
Diiringi dengan pekik yang membising maka berkiblatlah sebatang pedang ke arah kepala Bergola Wungu! Kejut keempat orang itu, terutama Bergola Wungu sendiri tidak terkirakan. Kalau tidak cepat dia buang diri dari punggung kuda pastilah kepalanya akan terbelah dua.
Tapi selagi tubuhnya melayang di udara, maka saat itu pula pedang di tangan si gadis sekali lagi membabat sebat. Bergola Wungu membentak keras dan jungkir balik ke samping kiri. Pedang si gadis yang seharusnya membabat kutung pinggangnya kini menemui sasarannya di leher kuda tunggangan Bergola Wungu. Kuda itu meringkik dahsyat sebelum meregang nyawa. Menggelepar-gelepar dengan leher hampir putus. Kuda-kuda yang lainnya latah meringkik dan menjadi binal melihat muncratan darah. Untung saja tiga penunggangnya sudah melompat lebih dahulu. Kalau tidak pastilah mereka akan dilempar mental! Tiga ekor kuda itu seperti gila kemudian lari menghambur menerjangi batu-batu nisan pekuburan!
"Iblis betina!", kertak Bergola Wungu. "Meski kau punya tampang cantik dan tubuh mulus, apa kau sangka aku ragu-ragu untuk menebas kau punya batang leher?!"
"Jangan jual bacot kunyuk berewok! Lihat pedang!" pedang di tangan si gadis itu berkelebat lagi lebih cepat dan sebat.
"Sreet!" Bergola Wungu cabut golok panjangnya.
Dan….
"Trang!"
Dua senjata beradu keras di udara memercikkan bunga api yang menyilaukan mata.
Tangan Bergola Wungu tergetar kesemutan sedang si gadis baju biru terpental beberapa langkah ke belakang. Pedang di tangannya hampir saja terlepas!
Meski tahu kalau tenaga dalam dan ilmu silat manusia berewok itu lebih tinggi dari padanya, namun gadis yang keras hati ini tidak menjadi kecut. Dengan lengkingan dahsyat yang keluar dari tenggorokannya maka berubahlah tubuhnya menjadi bayang-bayang.
Sinar pedang menggebubu membungkus tubuh Bergola Wungu!
Tapi Bergola Wungu bukan manusia hijau dalam dunia persilatan. Bukan anak kemarin. Percuma dia malang melintang belasan tahun menjadi pemimpin dari Empat
Berewok dari Goa Sanggreng. Sekali dia enjot kedua kaki maka tubuhnyapun lenyap dari pemandangan.
"Breet.... breet.... breet.... breet....!!!"
Gadis baju biru terpekik dan keluar dari kalangan pertempuran. Mukanya merah gelap ketika menyadari bagaimana ujung golok Bergola Wungu telah membuat lebih dari sepuluh robekan pada pakaiannya sehingga gadis itu kini hampir berada dalam keadaan setengah telanjang!
"Manusia binatang!" rutuk gadis baju biru. "Hari ini aku mengadu nyawa terhadapmu!" Dengan segala kekalapan dia menyerbu ke muka. Pedangnya menderu laksana topan. Bergola Wungu berkelit ke samping. Pedang si gadis hantam batu nisan sehingga terkutung dua! Dia kembali membabat ke arah pinggang. Tapi pada saat itu lengan kiri Bergola Wungu telah menghantam pergelangan tangan kanannya, membuat pedangnya terlepas dan mental jauh.
"Ha.... ha.... hari ini tamatlah riwayatmu sebagai anak Kalingundil!"
Golok panjang di tangan Bergola Wungu kembali mebabat kian kemari. Kembali terdengar suara: breet.... breet.... breet....! Dan kini celana biru si gadis yang menjadi sasaran ujung golok. Dalam waktu setengah jurus saja boleh dikatakan gadis itu sudah hampir telanjang. Pakaiannya yang robek-robek besar tiada sanggup menutupi keputihan buah dada, perut, punggung serta pahanya!
Dengan andalkan kecepatan gerak bahkan dengan gulingkan diri di tanah anak perempuan Kalingundil ini berusaha untuk selamatkan diri. Namun ujung golok Bergola Wungu benar-benar telah mengurungnya dari pelbagai jurusan. Tak mungkin baginya untuk lari, tak mungkin baginya untuk selamatkan nyawa!
"Sreet….!"
Ujung rambut gadis itu terbabat putus.
"Sreet….!"
Tali celana biru si gadis terkutung putus sehingga celana itu jatuh dari pinggangnya dan auratnya benar-benar tiada tertutup kini!
"Bedebah! Bunuh saja aku! Bunuh!" teriak gadis itu.
Bergola Wungu tertawa mengakak.
"Bunuh soal mudah!", katanya sambil tekankan ujung golok ke tenggorokan gadis itu.
"tapi apa kau tahu bahwa dulu sebelum membunuh ibuku, kau punya bapak lebih dulu memperkosanya?! Ha…. ha…. Hukum karma kini berlaku! Hukum karma!"
Tiba-tiba dengan kecepatan yang luar biasa si gadis sorongkan batang lehernya ke muka. Tapi gerakan Bergola Wungu lebih cepat lagi. Ujung golok digesernya ke samping.
Begitu si gadis terdorong ke muka maka tangan kirinya dengan sigap menyambar rambut si gadis. Gadis yang hampir tak berdaya itu masih berusaha menendangkan kakinya ke muka.
Serangan yang tak berarti itu tidak mengenai sasarannya. Bergola Wungu melemparkan gadis itu ke tanah kemudian menyergapnya dengan ganas. Keduanya bergulung-gulung. Yang satu berusaha untuk mempertahankan kehormatannya, yang satu sengaja untuk menghancurkan kehormatan itu!
"Kawan-kawan!", teriak Bergola Wungu. "Jangan diam saja! Gadis ini adalah bagian kita semua! Ayo tunggu apa lagi?!"
Serentak dengan itu tiga orang anak buah Bergola Wungu segera menyerbu pula.
Seorang gadis, empat laki-laki bergulung-gulung di tanah pekuburan! Menjerit, berteriak, menendang dan menerjang. Seakan-akan mereka semua sudah sinting kemasukan setan-setan kuburan!
***
Pembalasan dendam kesumat memang dahsyat. Apalagi kini disertai dengan dorongan nafsu hewan yang meluap-luap. Keadaan Nilamsuri benar-benar sudah kepepet. Tenaganya sudah hampir habis. Empat pasang tangan manusia menggerayang di seluruh tubuh yang tertelentang di atas sebuah makam tua.
"Ha….ha...ha! Tulang belulang kau punya ibu akan menyaksikan pelaksanaan hukum karma ini!" kata Bergola Wungu.
Nilamsuri hantamkan lututnya ke perut laki-laki itu ketika Bergola Wungu hendak mendatanginya dari atas. Tapi hantaman lutut yang tiada bertenaga sama sekali itu tiada terasa oleh manusia berewok itu!
"Keparat! Bunuh saja aku! Bunuh!", teriak Nilamsuri.
"Kehormatanmu dulu, baru nyawamu!." Bergola Wungu mengekeh. Disaksikan oleh tiga anak buahnya yang juga menggerayangi tubuh gadis enam belas tahun itu, Bergola Wungu mulai melaksanakan niat terkutuknya. Runtuhlah harapan Nilamsuri untuk bisa selamatkan diri. Air mata meleleh di pipinya.
Namun nasib Nilamsuri tidak seburuk yang dibayangkannya saat itu. Satu bayangan putih berkelebat dari sebelah timur pekuburan yang tanahnya agak membukit. Dan tahu-tahu keempat orang yang mengerumuni Nilamsuri menjadi kaku tegang laksana patung batu!
Nilamsuri yang hanya merasakan sambaran angin serta gerayangan-gerayangan tangan pada tubuhnya berhenti dengan mendadak, membuka kedua matanya yang berkaca-kaca itu.
Terkejut sekali dan hampir tak percaya dia melihat bagaimana keempat manusia berewok itu masih berjongkok di sekelilingnya tapi mata mereka semua melotot dan tubuh mereka tegang kaku!
Gadis ini bangkit dengan cepat. Apakah yang telah terjadi dengan keempat manusia itu? Dia ingat pada desiran angin tadi. Mungkin ada manusia yang telah menolongnya?
Manusia yang mempunyai kesaktian luar biasa? Diperhatikannya keempat laki-laki itu.
Ternyata mereka tertotok urat besar di pangkal leher masing-masing. Atau mungkin keempatnya telah dicekik oleh setan kuburan?!
Peristiwa yang sangat aneh itu membuat Nilamsuri lupa akan keadaan dirinya sendiri saat itu. Dia memandang berkeliling. Matanya membentur segulung benda putih yang tergeletak di atas batu nisan sebuah kuburan. Benda ini adalah sehelai baju dan celana putih.
Dan memandang pakaian itu sekaligus mengingatkan Nilamsuri pada keadaan dirinya.
Tanpa perduli lagi siapa pemilik pakaian itu, tanpa ambil pusing lagi bagaimana pakaian itu bisa berada di atas kuburan tersebut si gadis langsung saja melompat, menyambar pakaian itu dan lari ke balik serumpun semak-semak. Dikenakannya pakaian itu cepat-cepat. Meski agak kebesaran sedikit, tapi pakaian itu memberi banyak pertolongan bagi Nilamsuri dan si gadis merasa sangat bersyukur.
Dia keluar dari balik semak-semak itu. Dan ketika terpandang olehnya keempat manusia yang masih berjongkok kaku di seberang sana maka meluaplah amarahnya.
Mendidih darahnya. Disambarnya pedangnya yang tergeletak di tanah. Sinar pedang berkiblat sekaligus menyambar ke arah kepala Bergola Wungu dan anak-anak buahnya.
"Tring!"
Sebutir kerikil sebesar ujung jari telunjuk membentur pertengahan pedang yang hendak merenggut nyawa keempat manusia berewok itu. Dan benturan batu kerikil ini membuat pedang di tangan Nilamsuri terdorong setengah tombak ke atas, lewat satu jengkal di atas kepala Bergola Wungu dan tiga orang lainnya itu!
Terkejut anak gadis Kalingundil ini bukan kepalang. Serentak dengan itu dia membentak dan memandang berkeliling. "Manusia atau setan yang jadi biang kerok jangan sembunyi! Unjukkan diri!"
Tak ada yang menyahut. Tapi rerumpunan semak belukar di dekat pohon kamboja kelihatan bergerak. Dan Nilamsuri hantamkan pukulan tangan kosong ke arah semak belukar itu. Semak belukar tercabut dari akarnya dan berhamburan jauh, tapi tak ada siapapun kelihatan di belakang sana.
Dengan gemas Nilamsuri balikkan tubuh. Pedangnya kembali membabat ke arah empat kepala manusia di hadapannya. Namun sekali lagi sebutir kerikil membentur senjata itu!
"Kurang ajar betul!", maki Nilamsuri. "Jika berani cari urusan, berani unjukkan diri!!"
Terdengar suara tawa bergelak.
Suara tertawa itu datangnya dari balik pohon-pohon bambu di tepi pekuburan. Untuk kedua kalinya Nilamsuri lepaskan pukulan tangan kosong. Angin deras melanda pohon-pohon bambu. Batang-batang bambu pecah, yang tercerabut dari akarnya segera tumbang sedang daun-daunnya luruh ke tanah. Tapi seperti tadi kali ini juga tidak kelihatan seorang manusia pun dibalik pohon-pohon bambu itu!
Gemas Nilamsuri bukan main.
Terdengar lagi suara tertawa bergelak. Kali ini diiringi dengan ucapan, "Hanya manusia pengecut yang membunuh musuh dalam keadaan tak berdaya!"
Nilamsuri memandang ke atas pohon kamboja merah. Detik itu juga sesosok tubuh kelihatan lenyap berkelebat ke utara laksana gaib!
Nilamsuri kertakkan rahang. Tanpa menunggu lebih lama gadis ini hentakkan kedua kaki dan segera mengejar ke jurusan utara!
Sampai beberapa ratus tombak jauhnya ke utara Nilamsuri masih juga belum berhasil mengejar orang tadi. Jangankan mengejar, melihat bayangannyapun tidak bahkan jejak kakinya sama sekali tidak kelihatan di tanah. Gadis itu menghentikan pengejarannya di tepi sebuah lembah.
Di samping rasa geram hatinya juga heran dan bertanya-tanya. Siapakah manusia itu tadi dan kemanakah lenyapnya? Apakah manusia itu yang telah menolongnya dari perbuatan terkutuk Bergola Wungu dan kawan-kawannya? Sekiranya betul mengapa lantas kemudiannya orang itu menghalangi ketika dia hendak menebas batang leher keempat manusia berewok itu?
Nilamsuri memandang lagi ke dalam lembah. Segala sesuatunya diselimuti kesunyian.
Kemudian gadis ini memandang kepada pakaian yang dikenakannya. Pakaian ini ditemuinya di atas sebuah makam. Apakah pakaian ini sengaja pula ditinggalkan untuk dipakainya oleh manusia aneh yang melarikan diri itu?
Nilamsuri memutar tubuhnya hendak kembali ke pekuburan. Tapi dengan serta merta tertahan ketika di belakangnya dari balik sebatang pohon waru terdengar suara orang berkata.
"Hendak kembali membuat kepengecutan? Membunuh musuh yang tak berdaya? Percuma tahu ilmu silat tapi tidak tahu tata peradatan silat!"
Bukan main geramnya Nilamsuri mendengar ejekan itu. Dia melompat ke arah pohon waru. Tapi lebih cepat lagi gerakannya itu orang yang tadi berkata telah berkelebat laksana bayang-bayang dan lari ke dalam lembah.
"Manusia atau setan! Jangan lari!" teriak Nilamsuri. Dan segera pula dia mengejar ke dalam lembah. Tapi seperti tadi, begitu dia sampai di dasar lembah maka orang yang dikejarnya lenyap lagi! Dengan hati penasaran gadis ini loncat ke atas sebatang pohon tinggi dan dari sini memandang ke seantero lembah untuk menyelidik kemana larinya orang tadi.
Namun ini juga tidak memberikan hasil.
Nilamsuri turun kembali. Dijelajahinya sebagian dari lembah. Hatinya belum puas kalau belum berhasil menemui orang yang dikejarnya itu. Di tepi sebuah anak sungai akhirnya gadis ini hentikan langkah. Sejurus kemudian dia termangu di tepi sungai ini.
Kemudian hidungnya dilanda oleh bau harum dari sesuatu yang dipanggang. Bau ini datang dari arah hulu sungai, membuat tenggorokannya menerbitkan air liur. Gadis ini langkahkan kaki ke hulu sungai.
Belum sampai lima puluh langkah dia berjalan, maka di satu tikungan sungai yang arus airnya lebih cepat mengalir, dilihatnya duduk di tengah sungai, di atas sebuah batu besar yang licin kehitaman, seorang laki-laki. Laki-laki ini duduk membelakanginya dan rambutnya gondrong, berpakaian putih-putih. Tak tahu Nilamsuri apa yang dibuat orang ini di tengah sungai ini di atas batu itu. Berat kecurigannya bahwa manusia ini adalah orang yang tadi dikejarnya. Tapi anehnya santarnya bau benda yang terpanggang itu datang dari arah laki-laki di tengah sungai ini!
Nilamsuri terus melangkah beberapa jauhnya ke hulu sungai, melewati laki-laki itu, untuk dapat melihat apa yang tengah dilakukannya. Nilamsuri masih belum dapat melihat paras laki-laki berambut gondrong itu. Tapi dari tempatnya berdiri saat itu dapat disaksikannya bahwa bau harum yang membuat titik seleranya itu disebabkan oleh seekor ikan besar yang dipanggang oleh laki-laki itu dan kini tengah digerogotinya dengan lahap!
Ikan panggang itu masih mengepulkan hawa hangat. Yang tidak dimengerti sama sekali oleh Nilamsuri ialah bahwa di atas batu itu di mana laki-laki itu duduk atau di tepi sungai sama sekali tidak dilihatnya bekas-bekas perapian untuk membakar ikan yang kini tengah dimakan dengan lahap oleh si rambut gondrong!
Nilamsuri berpikir sejurus. Kemudian berserulah dia ke tengah sungai.
"Saudara! Apa kau melihat seseorang lewat sekitar sini?!"
Laki-laki di tengah sungai tidak menjawab. Malah menolehpun tidak dan dengan lahapnya terus saja dia makan ikan panggang itu.
"Saudara!", seru Nilamsuri sekali lagi.
Kali ini orang itu palingkan kepala. Dan Nilamsuri terkesiap sejenak karena tak menyangka kalau si rambut gondrong ini nyatanya adalah seorang pemuda bertampang keren!
Meski keren tapi paras itu membayangkan pula paras anak-anak dan lucu!
"Eh…. kau bicara sama aku?" tanya pemuda yang asyik menggerogoti ikan panggang itu.
"Ya! Aku tanya apa kau lihat seseorang lewat di sini?!" kata Nilamsuri pula.
"Laki-laki atau perempuan?" tanya si rambut gondrong.
"Laki-laki…."
"Orangnya sudah tua apa masih muda….?"
"Kurang jelas. Cuma dia berpakaian putih-putih...."
Si rambut gondrong melemparkan kerangka ikan yang habis dimakannya ke dalam sungai. Kemudian dipandanginya pakaiannya sendiri. "Eh, aku juga berpakaian putih-putih….,"
katanya. "Kalau begitu pastilah aku yang kau cari!". Pemuda ini garuk rambutnya dan tertawa.
Sikap dan ucapan pemuda ini agak mengesalkan Nilamsuri. Hatinya bimbang untuk memastikan bahwa orang yang dikejarnya adalah pemuda itu. Karena tampangnya meski keren tapi seperti kanak-kanak.
"Eh, kenapa diam?!" tanya pemuda itu. "Aku tahu…. aku tahu….," katanya.
"Tahu apa?"
"Aku tahu kau sampai ke sini karena mencium harumnya bau ikan panggangku! Lalu kau berpura-pura tanya seseorang! Kenapa musti pura-pura dan malu-malu? Kalau doyan ikan panggang silahkan datang kemari. Aku masih ada seekor lagi!"
"Saudara! Jangan bicara seenaknya!"
"Seenaknya bagaimana?!"
"Aku betul-betul mencari seseorang! Dan aku tidak butuh sama ikan panggangmu!"
"Oh…. begitu….?". Pemuda itu manggut-manggut. Lalu katanya, "Kalau aku tahu tentang orang yang kau cari itu, kau mau persen aku apa?"
"Apa saja yang kau maui….", jawab Nilamsuri tanpa pikir panjang karena dia betul-betul ingin lekas-lekas dapat mengejar orang yang dicarinya tadi.
Si pemuda tertawa mengekeh dan tercekik serta batuk-batuk ketika ikan panggang yang dimakannya menyekat tenggorokannya.
"Kalau begitu….," kata pemuda rambut gondrong itu dengan masih tertawa serta batuk-batuk, "aku mau dirimu saja saudari."
"Pemuda ceriwis! Kutampar kau punya mulut baru rasa!"
"Lho…," pemuda itu melongo macam orang bodoh. "Kenapa kau jadi marah?!" tanyanya.
Benar-benar kesal jadinya Nilamsuri. Dikatupkannya mulutnya rapat-rapat menahan rasa kesal itu.
"Eh, sekarang kau tutup mulut. Lucu! Kau toh belum jawab pertanyaanku, saudari.
Aku minta dirimu. Boleh….?"
Rasa kesal di diri Nilamsuri kini berubah menjadi amarah yang meluap. Parasnya kelihatan merah. Sekali lompat dia sudah berada di hadapan pemuda itu, di atas batu besar.
"Pemuda edan, kau mau mampus?!"
Si gondrong garuk-garuk kepala. "Aku tidak mengerti saudari, aku benar-benar tidak mengerti. Mengapa kau jadi marah-marah begini samaku?!"
"Bicaramu terlalu kurang ajar, tahu?!"
Pemuda itu goleng kepala dan angkat bahu. Lalu tertawa sambil memandangi paras Nilamsuri. "Kau tahu saudari…," katanya, "kalau kau marah-marah dan membentak macam tadi hem…. parasmu tambah cantik!"
"Plak!"
Tamparan tangan kiri Nilamsuri mendarat di pipi si pemuda. Pemuda itu meringis kesakitan. Penyesalan timbul di hati Nilamsuri melihat bagaimana pipi yang ditamparnya itu kelihatan menjadi sangat merah.
"Kau jahat sekali!," kata si pemuda pula. "Aku tanya sama kau, kau mau persen aku apa kalau aku tahu orang yang kau cari itu. Dan kau jawab apa saja mauku! Lantas aku bilang mau dirimu! Apa aku salah….?!"
Nilamsuri menggigit bibirnya. Dia tahu ucapan pemuda itu betul. Dia tahu kalau tadi dia telah ketelepasan bicara.
"Saudara…," kata Nilamsuri.
Tapi si pemuda memotong. "Sudahlah. Aku tak sudi bicara sama kau. Orang mau menolong dikasih tamparan. Baru mau menolong. Kalau sudah ditolong aku akan dapat tendangan!"
Dan Nilamsuri menggigit bibir lagi. Tanpa berkata apa-apa dia melompat ke tepi sungai kembali.
"Hai saudari! Tunggu dulu!", seru si pemuda.
Nilamsuri balikkan badan.
"Sebenarnya ada apa kau mencari laki-laki itu?!"
"Itu urusanku sendiri!", jawab Nilamsuri.
"Laki-laki itu kekasihmu agaknya?"
"Kau mau tamparan sekali lagi?!"
Si pemuda tertawa. "Dunia serba aneh," katanya seakan-akan pada diri sendiri.
"Mustinya laki-laki yang cari perempuan. Ini perempuan yang cari laki-laki….!" Dan digaruknya kepalanya.
Dalam pikiran Nilamsuri terbit prasangka bahwa tentunya pemuda itu seorang yang berotak miring. Karenanya tanpa ambil perduli lagi dia segera tinggalkan tempat itu.
"Hai saudari! Kau tidak mau ikan panggang ini?!"
Nilamsuri terus saja menyusuri sungai menuju ke hulu. Dia hampir keluar dari kelokan sungai ketika didengarnya lagi suara pemuda itu berseru. Jarak antara mereka saat itu sudah puluhan tombak. Kalau saja Nilamsuri mau berpikir sejenak dia akan segera tahu kalau pemuda itu bukan berteriak biasa tapi dengan menggunakan tenaga dalam. Karena dalam jarak sejauh itu bagaimanapun kerasnya seseorang berteriak namun apa yang diucapkannya tak akan terdengar dengan jelas.
"Saudari! Jangan pergi ke sana! Saudari, kembalilah!"
Nilamsuri melangkah terus.
"Saudari! Hai! Disebelah sana banyak buayanya! Kembalilah!"
Tapi Nilamsuri jalan terus. Si pemuda goleng-goleng kepala lalu turun ke air.
Nyatanya sungai itu dalamnya hanya sebatas lutut. Begitu sampai di seberang si pemuda cepat lari menyusul Nilamsuri.
"Saudari kau mau kemana?!", tanya pemuda itu seraya pegang bahu Nilamsuri.
"Kau jangan kurang ajar, saudara!" bentak Nilamsuri karena marah sekali bahunya dipegang seenaknya.
"Kau mau kemana?"
"Perduli apa kau?!"
"Jangan kesana saudari. Banyak buaya lagi berjemur….". dan belum habis pemuda ini bicara tahu-tahu dua ekor buaya besar menyeruak dari belakang semak belukar di tepi sungai.
"Aku bilang apa! Celaka….! Saudari larilah!" Pemuda itu melompat ke belakang.
Sementara itu kedua ekor buaya dengan cepat meluncur menyerang Nilamsuri. Gadis itu cabut pedangnya. Sekali menebas puntunglah sebagian dari mulut buaya yang hendak menerkamnya. Binatang ini menggelepar-gelepar di pasir. Buaya kedua mengalami nasib yang sama. Bau anyirnya darah yang masuk ke dalam air sungai mengundang munculnya beberapa ekor buaya lagi. Binatang-binatang itu menyelusur ke tepi sungai dan berlomba menyergap Nilamsuri. Tapi si gadis dengan permainan pedangnya yang mengagumkan berhasil menewaskan semua buaya itu!
Si pemuda geleng-geleng kepala dan leletkan lidah. "Hebat! Hebat sekali kau saudari!", katanya memuji. "Kau tentu seorang jago silat! Sejak lama aku ingin belajar silat!
Bersediakah kau mengambil aku jadi murid?!"
"Jangan ngaco!", bentak Nilamsuri.
"Aku tidak ngaco. Aku bicara sungguhan….".
"Buka lagi mulutmu!", bentak Nilamsuri. Pedangnya masih merah oleh darah buaya-buaya tadi siap ditetakkannya ke kepala pemuda itu. Tentu saja pemuda ini cepat-cepat melompat ke samping.
"Saudari, aku betul-betul ingin belajar silat padamu…."
Nilamsuri pencongkan hidung. "Tidak malu merengek macam anak kecil!", ejeknya.
Si pemuda agaknya jadi kesal, lalu menyahuti. "Kau sendiri tidak malu pakai pakaian laki-laki!"
Memang saat itu Nilamsuri mengenakan baju dan celana laki-laki berwarna putih yakni pakaian yang tadi ditemuinya di atas sebuah kuburan. Dan parasnya menjadi kemerahan. Cepat-cepat dia berlalu dari situ.
"Saudari…. Tunggu….!"
"Apalagi?!"
"Kalau kau tak mau ambil aku jadi muridmu, tak apa. Tapi ada satu permintaanku yang lain…. Boleh aku tahu namamu?"
"Manusia macammu tak perlu tahu namaku!"
"Ah saudari, kau sombong betul. Beri tahu namamu, nanti kuberi tahu namaku…."
"Siapa sudi tahu namamu segala?!"
"Namaku Wiro Sableng saudari…. Harap kau mau kasih tahu kau punya nama…."
"Wiro Sableng?" ujar Nilamsuri.
Pemuda itu mengangguk.
"Pantas," kata Nilamsuri pula.
"Pantas kenapa?" tanya Wiro.
"Pantas lagakmu seperti orang edan!" dan habis berkata begitu Nilamsuri segera berlalu.