Karena merasa sia-sia untuk meneruskan pencariannya maka Nilamsuri akhirnya memutuskan untuk cepat-cepat kembali ke pekuburan. Sebenarnya, gadis ini telah bertemu dengan orang yang telah menolongnya sewaktu dikeroyok oleh Bergola Wungu dan anak-anak buahnya. Cuma Nilamsuri tidak tahu sama sekali kalau orang yang ditemuinya itulah tuan penolongnya. Dan siapa adanya orang yang menolong Nilamsuri tiada lain dari pada Wiro Sableng itu pemuda yang baru turun gunung yang sikap serta lagaknya begitu lucu sehingga setiap orang akan menduga bahwa dia tentunya seorang yang kurang waras.
Ketika Nilamsuri kembali ke pekuburan itu, yang ditemuinya bukanlah Bergola Wungu dan ketiga orang anak buahnya melainkan Wiro Sableng! Pemuda ini tengah berlutut menepekur di hadapan sebuah makam yang tanahnya hampir rata dan penuh ditumbuhi rumput-rumput liar serta kotor oleh daun-daun kering.
"Kemana perginya kunyuk-kunyuk berewok itu?" pikir Nilamsuri. Penasaran sekali dia jadinya. Sudah tak berhasil mengejar manusia yang diburunya kini empat musuh besarnya telah lenyap sepeninggal pengejarannya. Dan apa pula urusan pemuda berotak miring yang mengaku bernama Wiro Sableng itu di pekuburan ini? Makam siapa yang tengah ditepekurinya itu?
Kemudian Nilamsuri melihat Wiro berdiri dari berlututnya. Dan ketika dia memalingkan muka, Nilam melihat pada paras pemuda itu jelas terbayang rasa sedih yang mendalam. Atas banyak kejadian aneh yang tengah dialaminya sampai saat itu diam-diam Nilamsuri ingin sekali tahu siapa adanya pemuda berambut gondrong ini.
Dibukanya pembicaraan dengan bertanya, "Saudara, waktu mula-mula kau datang ke sini apa ada melihat empat orang laki-laki berewok?"
Bayangan kesedihan pada paras Wiro Sableng segera sirna. Dan pemuda ini tersenyum. "Kau lucu sekali saudari," kata Wiro. "Pertama kali jumpa, di tepi sungai tadi kau tanya satu orang laki-laki. Kalau jumpa ketiga kali nanti, kira-kira berapa orang laki-laki yang bakal kau tanyai padaku?!"
Mau tak mau paras Nilamsuri menjadi merah oleh ucapan Wiro Sableng itu.
"Saudara," katanya, "Kau siapakah sebenarnya?"
"Siapa aku bukankah aku sudah kasih tahu tadi di hulu sungai? Kenapa tanya lagi?
Kau sendiri tidak mau kasih tahu nama."
Nilamsuri terdiam. Kemudian diputarnya pembicaraan dengan bertanya, "Makam siapa itu?"
"Kau bisa baca sendiri pada batu nisan…." jawabnya.
Penuh rasa ingin tahu Nilamsuri melangkah dan mendekati nisan makam tua itu.
Nisan itu terbuat dari batu. Barisan kalimat yang terukir pada batu yang sudah retak-retak itu tak jelas lagi. Tapi Nilam masih bisa membacanya. Dan pada batu nisan itu tertulis:
"DISINI TELAH DIMAKAMKAN SUCI BANTARI"
Melihat Wiro yang masih muda, Nilamsuri tahu kalau orang yang bernama Suci Bantari itu bukanlah isteri Wiro Sableng.
"Ibumu….?", tanyanya.
Pemuda itu mengangguk perlahan. Dia teringat pada keterangan Eyang Sinto Gendeng ketika dia masih digembleng di puncak Gunung Gede dulu. Menurut perempuan sakti itu dia telah dipelihara sejak masih orok. Kini sesudah belasan tahun, sesudah menjadi seorang dewasa, sesudah sekian lama tiada mengenal kasih sayang ayah bunda, maka yang ditemuinya hanyalah dua onggok makam yang tiada terawat sepantasnya. Makam ayah dan makam ibunya.
"Kalau begitu kau adalah penduduk sini….?"
Wiro Sableng mengangguk lagi. "Aku tak pernah mengenal mereka."
"Maksudmu ayah dan ibumu?"
"Ya… Keduanya menemui ajal karena kebiadaban seseorang…."
"Dibunuh….?"
Wiro Sableng mengangguk. Matanya yang biasanya bersinar lucu itu kini kelihatan kuyu dan kedua matanya itu memandang pada bangkai kuda yang lehernya hampir puntung terbabat pedang Nilamsuri sewaktu terjadi pertempuran antara gadis itu dengan Bergola Wungu dan anak-anak buahnya. Wiro menggeram dalam hati. Nasib ayahnya tidak lebih baik dari kuda itu!
Nilamsuri sementara itu tenggelam dalam alam pikirannya sendiri. Tadipun Bergola Wungu mengatakan bahwa orang tuanya mati dibunuh, dibunuh ayahnya Kalingundil, ayahnya sendiri. Apakah orang tua pemuda ini ayahnya juga yang telah membunuhnya?
Kalau benar maka pastilah pemuda ini datang untuk mencari urusan. Untuk menuntut balas sebagaimana kemunculan Bergola Wungu dan anak buahnya. Jadi manusia ini tak lebih dari seorang musuh pula baginya!
Tapi untuk meyakinkan maka bertanyalah Nilamsuri. "Siapakah manusianya yang membunuh kedua orang tuamu, Saudara?"
"Ah panjang kisahnya. Kalaupun kuberi tahu kau tak akan kenal mungkin. Dan lagi semua itu bukan urusanmu…."
"Apakah pembunuh itu bernama Kalingundil?" memancing Nilamsuri dengan hati berdebar. Dadanya lega ketika dilihatnya Wiro Sableng menggeleng.
"Kau sendiri perlu apa datang ke pekuburan ini?" bertanya Wiro.
"Sama dengan kau. Untuk menyambangi makam ibuku…." Dan Nilamsuri menceritakan apa yang telah terjadi dengan dirinya ketika dia tengah mencabuti rumput-rumput di makam ibunya. Tapi tidak diterangkannya mengapa sampai Bergola Wungu hendak merusak kehormatannya dan hendak membunuhnya!
"Sungguh aneh cerita tentang manusia yang telah menolongmu itu saudari," kata Wiro Sableng pula dengan menahan rasa gelinya. "Pastilah dia seorang manusia sakti luar biasa.
Mungkin juga dia seorang malaikat….!"
Nilamsuri hanya termangu. Tapi diam-diam matanya melirik pada Wiro Sableng.
Kalau tadi memang dia kagum akan paras pemuda yang keren ini tapi karena bicaranya yang usil serta lucu tapi kurang ajar itu, maka kini bicara secara baik-baik nyatanya pemuda itu bukanlah seorang yang kurang ingatan.
"Kalau sekiranya kau menemui pembunuh orang tuamu itu," bertanya Nilamsuri, "apakah kau juga akan membunuhnya?"
Wiro Sableng tertawa, "Itu tak perlu musti dijelaskan lagi saudari," sahutnya.
Nilamsuri ingat pada nasib buruknya yang tadi hendak menimpanya. Lalu berkatalah perempuan ini, "Dunia ini penuh dengan ketidakadilan!"
"Ketidak adilan macam mana maksudmu saudari?" tanya Wiro Sableng pula.
Nilamsuri hendak membuka mulutnya. Tapi cepat-cepat mulut itu dikatupkannya kembali. Hampir saja terluncur rahasia mengapa Bergola Wungu hendak membunuhnya.
Gadis ini kemudian hanya gelengkan kepala. "Nanti kau bakal mengalami sendiri mungkin," katanya. "Sekurang-kurangnya melihat dengan nyata ketidakadilan berlangsung di depan matamu."
Wiro Sableng tertawa.
"Kenapa kau tertawa?" tanya Nilamsuri karena merasa diejek.
"Berapa umurmu, saudari….?"
Dalam hatinya gadis itu berpikir si pemuda hendak mulai lagi dengan keusilannya.
Wiro masih juga tertawa lalu berkata, "Kau masih sangat muda tapi bicaramu sudah seperti orang tua…."
Mau tak mau Nilamsuri tertawa juga. Tapi tertawa cemberut. Diam-diam hatinya yang tadi tertarik kini semakin senang pada pemuda itu.
Tiba-tiba kedua orang itu saling pandang. Dikejauhan terdengar derap suara kaki kuda.
"Ah…. hanya suara kaki-kaki kuda, kenapa terkejut?" tanya Wiro Sableng meskipun hatinya sendiri terasa tidak enak.
"Mungkin sekali, itu adalah manusia-manusia laknat yang tadi mengeroyokku!" kata Nilamsuri.
"Kalau begitu mari cepat-cepat menyingkir!"
Si gadis enam belas tahun gelengkan kepala.
"Lebih baik mati daripada lari….!"
Wiro Sableng menggerendeng. "Keberanianmu tidak pakai pikiran saudari!", katanya.
Wiro Sableng melompat ke muka dan menotok bahu kanan Nilamsuri. Gadis itu rebah dalam keadaan kaku tapi sebelum jatuh ke tanah Wiro sudah membopongnya. Segera gadis itu dilarikannya namun kasip. Empat penunggang kuda sudah mengurungnya. Keempatnya tiada lain daripada Bergola Wungu dan anak-anak buahnya.
"Ha….ha…, rupanya ada juga culik kesiangan yang inginkan mangsa kita kawan-kawan!" kata Bergola Wungu.
"Tikus busuk!", kata Ketut Ireng. "Turunkan gadis itu!"
"Masih ingusan sudah tahu perempuan!" memaki Pitala Kuning, anak buah Bergola Wungu yang bermata jereng. "Ayo turunkan gadis itu cepat!"
Perlahan-lahan Wiro Sableng menurunkan tubuh Nilamsuri. Dipandanginya keempat manusia berewok itu seketika. "Saudara-saudara kita tidak saling kenal satu sama lain, mengapa bicara memaki begitu?!"
"Bocah geblek! Terima ini!", bentak Ketut Ireng pergunakan kaki kanannya untuk menendang dada pemuda itu.
"Buuk"!!
Kaki kanan Ketut Ireng mendarat di dada Wiro Sableng. Tidak serambutpun tubuh pendekar dari Gunung Gede ini bergerak. Sebaliknya dari mulut Ketut Ireng terdengar lolong kesakitan setinggi langit!
Tendangan yang dilancarkan Ketut Ireng hanya menggunakan tenaga kasar atau tenaga luar karena dia sama sekali tidak menduga siapa adanya pemuda berambut gondrong itu. Dan akibatnya dari tendangan itu menimpa dirinya sendiri. Kaki kanannya sampai ke betis kelihatan menjadi gembung dan kehitaman. Ketut Ireng menelungkup di atas punggung kuda dan melolong kesakitan.
Kaget Bergola Wungu dan dua orang lainnya bukan olah-olah.
"Sreet"!!
Pemimpin ini segera cabut golok panjangnya.
Seta Inging cabut senjatanya yang berupa kelewang sedang Pitala Kuning keluarkan ruyung berdurinya!
"Bocah haram jadah! Siapa kau!?!", bentak Bergola Wungu seraya melintangkan golok di depan dada.
"Aku peringatkan pada kalian," sahut Wiro Sableng dengan suara datar sedang mulutnya menyunggingkan seringai, "aku tidak ada permusuhan dengan kalian. Sebaiknya tinggalkan tempat ini dengan aman!"
"Keparat betul, " kertak Pitala Kuning. "Apa kau tidak tahu berhadapan dengan siapa saat ini?!"
"Aku tidak perduli siapa kalian! Tinggalkan tempat ini kalau tidak mau susah!"
"Sebaiknya kau berlutut dan minta ampun dihadapan kami, bocah gila!"
"Aku bilang tinggalkan tempat ini, apa kalian tuli semua masih pentang bacot?!"
Mendidihlah darah di kepala Bergola Wungu.
***
Sebagai pendekar yang baru turun gunung dan cemplungkan diri dalam dunia persilatan tentu saja Wiro Sableng buta pengalaman dalam pertempuran. Tapi selama tujuh belas tahun digembleng oleh Eyang Sinto Gendeng maka serangan-serangan yang dahsyat itu sama sekali tidak membuat pendekar muda ini menjadi gugup.
Eyang Sinto Gendeng telah menggemblengnya bukan hanya sekedar memberi pelajaran ilmu silat luar dalam dan melatihnya belaka, tapi latihan-latihan perempuan sakti itu tak ada bedanya dengan pertempuran dahsyat yang benar-benar bisa mencelakakan Wiro sendiri.
Ketika tiga serangan itu datang ke arahnya, Wiro Sableng segera sambar pinggang Nilamsuri. Secepat kilat kemudian dia jatuhkan diri dan sambil berteriak hebat pemuda ini hantamkan tinju kanannya ke kaki seekor kuda lawan yang hampir menendang batok kepala Nilamsuri. Kuda itu meringkik keras dan rubuh karena kakinya itu hancur. Penunggangnya yaitu si mata jereng Pitala Kuning terlempar ke tanah tapi dengan andalkan ilmu mengentengi tubuh berhasil jatuh dengan kedua kaki menginjak tanah.
Sementara golok panjang Bergola Wungu dan kelewang Seta Inging beradu keras di udara memercikkan bunga api maka sambil bergulingan di tanah, Wiro Sableng tak lupa hantamkan kaki kiri kanannya pada kaki-kaki kuda kedua manusia berewok itu.
Seperti dengan kuda Pitala Kuning tadi maka kedua binatang inipun melemparkan Bergola Wungu dan Seta Inging. Wiro Sableng menyandarkan Nilamsuri pada sebatang pohon dan cepat bersiap-siap ketika dilihatnya tiga manusia berewok itu mendatanginya.
Akan Ketut Ireng tak masuk hitungan karena saat itu dia duduk menjelepok di tanah merintih karena kaki kanannya yang hitam gembung dan sakitnya bukan main!
"Aku peringatkan pada kalian untuk penghabisan kali!" kata Wiro Sableng, "Tinggalkan tempat ini!"
"Jangan omong besar bangsat ingusan!" bentak Bergola Wungu dengan sangat geram.
"Sebut kau punya nama agar golokku ini tidak penasaran menebas batang lehermu!"
Wiro Sableng mengeluarkan suara bersiul lalu garuk-garuk kepala dan tertawa gelak-gelak.
Kemudian menyanyilah murid Eyang Sinto Gendeng ini.
Anak kecil bodoh namanya biang bodoh,
Tua bangka bodoh namanya biang bodoh,
Monyet ingin jadi manusia,
Kenapa manusia piara berewok,
Apa mau jadi monyet….
Tolol, bodoh, bego, geblek!
Marahlah Bergola Wungu mendengar tembang yang kata-katanya ditujukan kepadanya sebagai ejekan itu.
"Bocah gila!" bentaknya, " terima ujung golokku ini!"
Dengan pergunakan jurus "burung bangau mematuk kodok," Bergola Wungu tusukan golok panjangnya ke arah tenggorokan Wiro Sableng. Pendekar Gunung Gede ini segera meringankan badan. Ujung golok hanya lewat setengah jengkal disamping lehernya.
Wiro tertawa mengejek.
Panas pemimpin Empat Berewok dari Gua Sanggreng ini tidak terkirakan. Baru hari ini ilmu golok yang sangat dibanggakannya itu dikelit dengan demikian mudah bahkan sambil tertawa mengejek dan menantang!
Dengan kertakkan rahang Bergola Wungu balikkan mata pedang dan babatkan senjata itu. Kali ini maksudnya untuk menebas batang leher si pemuda.
Kedua kaki Wiro Sableng bergerak sedikit, tangan kirinya menepis lengan yang memegang golok sedang telapak tangan kanan dihantamkan ke dada Bergola Wungu!
Kepala rampok itu mengeluarkan jerit tertahan.
Tubuhnya terhuyung ke belakang hampir jatuh duduk di tanah. Ketika dia memandang ke dadanya yang dihantam telapak tangan lawan, parasnya dengan serta merta menjadi pucat!
Baju hitamnya robek hangus. Pada kulit dada yang tadi kena dihantam terlukis memutih telapak tangan dan jari-jari tangan Wiro Sableng! Pada tengah-tengah lukisan itu tertera angka hitam 212. Dan sakitnya dada yang bertanda telapak tangan kanan berikut angka 212 itu bukan olah-olah. Meski Bergola Wungu sudah alirkan seluruh tenaga dalamnya, rasa sakit itu hanya sedikit saja berhasil dikuranginya!
Pitala Kuning dan Seta Inging tidak kurang pula pucat tampang-tampang mereka melihat apa yang terjadi dengan pemimpin mereka. Tidak dinyana pemuda belia berparas macam anak-anak itu lihai sekali. Apa arti angka 212 yang membekas hitam di kulit Bergola Wungu itu?
Pukulan "telapak 212" yang dilancarkan oleh Wiro Sableng tadi itu hanya mempergunakan seperlima bagian saja dari tenaga dalamnya! Kalau saja pendekar muda ini pergunakan setengah saja bagian dari seluruh tenaga dalamnya maka pastilah Bergola Wungu akan meregang nyawa dengan dada remuk!
Luapan amarah Bergola Wungu membuat pemimpin rampok yang malang melintang di sungai Cimandilu ini lupakan kenyataan bahwa pemuda yang dicapnya sebagai "pemuda gila", "bocah ingusan" itu sesungguhnya bukanlah tandingannya!
Bergola Wungu majukan kaki kanan dan surutkan kaki kiri. Golok panjang dipegang lurus ke muka.
"Bocah sedeng! Kau telah bikin cacad dadaku! Aku Bergola Wungu akan berbaik hati untuk membalasnya! Kau tahu jurus apa yang bakal aku lancarkan ini?!"
Pendekar kapak maut naga geni menjawab dengan tertawa bergelak sambil garuk-garuk kepalanya yang berambut gondrong.
"Lucu!" kata Wiro Sableng pula. "Bertempur ya bertempur. Kenapa musti pakai pidato segala!"
Bergola Wungu merasa tubuhnya seperti terbakar oleh kobaran amarahnya yang menggelegak. "Kau boleh tertawa dan mengejek sepuas hatimu bocah gila! Bila golokku berkiblat dalam jurus: merobek langit, kau akan tahu rasa nanti!"
Adapun jurus ilmu golok yang disebut "merobek langit" itu adalah jurus yang telah dipergunakan oleh Bergola Wungu untuk "menelanjangi" tubuh Nilamsuri yaitu dengan merobek-robek pakaian gadis itu dengan ujung goloknya.
"Jurus merobek langit memang hebat kedengarannya!" kata Wiro Sableng. "Tapi coba buktikan. Jangan-jangan cuma jurus kosong belaka!"
Tanpa banyak bicara Bergola Wungu segera putar goloknya dengan sebat. Angin menderu dahsyat keluar dari sambaran golok. Demikian hebatnya seakan-akan golok itu berubah menjadi ratusan banyaknya! Dalam sekejapan mata saja tubuh Wiro Sableng sudah terbungkus gulungan golok!
Yang anehnya, diserang hebat demikian rupa tidak serambutpun Wiro Sableng bergerak. Dan lebih aneh lagi adalah karena golok Bergola Wungu sama sekali tidak dapat mendekati bagian tubuh manapun dari Wiro Sableng! Manusia berewok ini mencak-mencak sendirian macam monyet terbakar ekor! Seta Inging dan Pitala Kuning yang saksikan kejadian itu mau tak mau jadi leletkan lidah!
Demikianlah hebatnya ilmu "benteng topan melanda samudra" yang dikeluarkan Wiro Sableng sehingga setiap sambaran tusukan dan sabetan golok sama sekali tidak dapat mengenai tubuh Wiro Sableng. Tubuh golok dilanda terus-terusan oleh gulungan angin dahsyat yang membungkus tubuh murid Sinto Gendeng itu!
Bergola Wungu membentak keras dan percepat permainan goloknya. Tapi sampai dua puluh jurus dimuka tetap saja goloknya tak dapat membentur sasarannya di tubuh Wiro!
Pakaian dan tubuhnya sudah mandi keringat. Pegangan pada hulu golok sudah licin.
Keletihan membuat gerakannya mulai menjadi lamban!
"Seta Inging! Pitala Kuning! Jangan jadi patung! Bantu aku!" teriak Bergola Wungu dengan sangat beringas.
Mendengar perintah ini Pitala Kuning dan Seta Inging segera menyerbu dengan senjata di tangan. Sebatang golok panjang, sebuah ruyung berduri dan sebuah kelewang dengan dahsyatnya menyambar-nyambar ke tubuh Wiro Sableng. Tapi ilmu "benteng topan melanda samudera" membuat ketiga senjata itu tak ada arti sama sekali.
Wiro Sableng tertawa bergelak. Tawa gelak yang disertai tenaga dalam ini menambah hebat perbawa ilmu "benteng topan melanda samudera!"
Sepuluh jurus berlalu.
"Ciaatt!!" tiba-tiba pendekar kapak maut Naga Geni membentak keras. Tiga manusia berewok keluarkan seruan tertahan dan lompat dari kalangan pertempuran. Mata mereka melotot besar memandang ke tangan Wiro Sableng yang saat itu telah merampas dan menggenggam senjata mereka!! Ketut Ireng yang duduk menjelepok merintih kesakitan, juga tak ketinggalan terbeliak dan terlongong-longong!
Nama mereka bukan nama baru dalam dunia persilatan pada masa itu mereka terkenal sebagai komplotan rampok yang berilmu tinggi dan ditakuti di sepanjang sungai Cimandilu. Terutama pemimpin mereka Bergola Wungu diakui kehebatan permainan goloknya oleh kalangan persilatan! Mereka tahu, kalau pemuda itu inginkan nyawa mau mencelakakan mereka maka sudah sejak tadi hal itu bisa dilakukannya!
"Kalau hari ini kami diberi sedikit pelajaran," kata Bergola Wungu dengan suara bergetar, "maka ketahuilah bahwa kami tak akan melupakan kejadian ini. Suatu hari kami akan datang untuk meneruskan apa yang terjadi hari ini!"
Wiro Sableng tertawa bergelak, "Bagus, bagus! Kau masih bisa pidato huh!! Ini terima kembali senjata kalian!"
Sekali tangan kanan Wiro Sableng bergerak maka ketiga senjata lawan yang tadi dirampasnya kini melesat ke arah ketiga orang itu masing-masing pada pemiliknya, Bergola Wungu menangkap hulu golok, Seta Inging menangkap gagang kelewang sedang Pitala Kuning menyambuti tangkai ruyung berdurinya.
Tanpa banyak bicara ketiga orang itu dengan membawa kawan mereka yang menderita sakit pada kakinya, segera hendak angkat kaki. Tapi sebelum mereka berlalu Wiro Sableng berkata:
"Satu hal kalian harus ingat baik-baik manusia-manusia berewok. Jika kalian berani lagi ganggu ini gadis, berarti kalian ingin cepat-cepat masuk liang kubur!"