Chereads / Y.O.U / Chapter 7 - Kacung

Chapter 7 - Kacung

Kulihat Wulan berjalan kearah rumah singgah kami. "Hari ini lo bakal jadi kacung temen-temen gw! Biar rasa!! Itu akibatnya kalo punya mulut gak pake etika!" Seruku dalam hati.

Belum hilang rasa kesalku pada anak Kades itu karena kejadian tadi pagi didalam ruang administrasi. "Emang enak gw kerjain" Lirih ku nyaris tak terdengar.

"Diandra"

"Hhmmm?" Responku saat mengetahui yang memanggilku ternyata Bian.

"Acara donor darah nya sekarang?"

"Iya bang, mau di ganti tahun depan kita nya keburu selesai KKN nya" Jawabju ketus.

Jujur aku merasa kecewa mendengar berita Bian yang sudah lamaran dan akan menikah. Tapi, apa hak ku?.

Dari awal dia tak memberi tahu soal statusnya mungkin karena dia menganggapku hanya sebatas teman.

"Jutek amat?, lagi PMS?" Tanya nya mencurigaiku.

"Eemm... Enggak bang, maaf. Saya cape banyak yang dikerjain jadi gini deh ngaruh ke mood.. hehehe" Jawabku memberi alasan.

"Oh, iya.. Maaf abang juga gak tahu." Jawabnya denga tersenyum manis.

"Yaaaahhhh pake senyum... Goyah iman gw kalo begini. Mana udah mau nikah, masa mau disalip" Runtukku dalam hati menyesali apa yang sudah terjalin sampai saat ini antara aku dan Bian.

-----------------------------------

"Bener-bener Diandraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa"

Teriak Wulan meluapkan emosi dalam dadanya.

"Sabar Lan Sabar. Kita kan emang relawan di suruh bapak kamu bantu. Dan lagi tadi kamu nyinggung Ka Diandra jadi kacung deh kita" Ucap Ayu, entah apa yang diucapkan Ayu. Yang pasti dia pun merasa lelah yang luar biasa dan kesal yang membuncah karena sedari tadi dirinya dan Wulan tak henti-hentinya dimintai tolong melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar sebagai sukarelawan. Nasib? Tidak, kalau saja pagi tadi Wulan tak cari masalah dengan Diandra.

"Lu apain itu anak Kades?" Tanya Putri sambil mencolek lenganku.

Aku hanya menoleh sekilas pada Putri dan tersenyum miring memandang lurus kepada objek manusia menyebalkan versi ku didepan ruang tempat dimana kegiatan pengambilan darah berlangsung.

"Emang gw apain tuh anak?" Ucapku menoleh pada Putri dan Sri. "Dia diminta sama bapaknya bantu kita. Yah gw kasih dia bantu-bantu" jawabku tersenyum manis.

"Kalo orang yang gak kenal lo. Senyum lo sumpah manis nya ngalahin madu." Ucap Sri, "tapi, karena gw kenal sama lo luar dalam. Gw yakin ada racun mematikan dibalik manisnya madu disenyum lo" Sambung Putri.

Aku terkekeh. Jujur teman-temanku memang terlalu mengenal diriku. "Gak bakal gw apa-apain tenang. Cuma sedikit ngasih ilmu tahu diri aja" Jawabku tersenyum namun sorot mata tajam.

"Gak heran gw lo sampe punya cita-cita mau jadi snipper Di. Lo nyeremin kalo lagi marah". Jawab Sri bergidik ngeri.

Aku hanya tertawa terbahak sampai akhirnya berhenti ketika kurasa pundakku ada yang menepuk.

"Diandra, itu anak-anak SD ambil darah juga?" Bian bertanya padaku.

"Enggak lahh bang, mana bisa anak SD donor darah?" Jawabku sambil melirik pada gerombolan anak-anak usia 7 sampai 12 tahun yang mulai berdatangan ke balai desa.

"Terus mereka diundang kesini untuk?"

"Tuh ada gorengan, suruh duduk ambil goreng satu-satu".

"Serius Diandra!!!"

"Abang Bian yang bentar lagi mau nikah. Emang saya keliatan gak serius?" Jawabku ketus dan kulihat Bian menegang.

"Eehheemm. Gak, cuma itu anak-anaknya pada tanya aku donor darah juga apa enggak? soalnya mereja takut kalo harus donor darah." Jawab Bian di awalin deheman yang kuyakin dia sedang berusaha mentralkan suara dan emosinya.

"Gak usah takut, kami sudah sampaikan koq pada pihak guru kalau murid SD hanya menjadi peserta pengecejan golongan darah GAK LEBIH".

Entah kenapa aku sedikit tersulut emosi dengan Bian siang ini. Obrolan kami selalu ketus dan selalu ada penekanan-penekanan pada kalimat yang aku lontarkan pada Bian, yang mungkin membuat Bian tak nyaman.

Sampai, "Kamu kenapa sih?" Tanya Bian sedikit emosi menyentak tanganku supaya menghadap padanya.

Kami sedang berada diruang administrasi, dan hanya kami berdua. " Gak apa-apa? emang ada apa?" tanyaku balik.

"Kamu beda?"

"Hidung ku masih satu, mata masih dua. Apanya yang beda?" ucapku sarkas.

"Aku emang sudah lamaran. Aku pikir kamu tau itu?"

"Terus?!"

"Terus apa?"

"Terus aja terus kaya tukang parkir ?!" Jawabku dengan nada meninggi dan segera kutinggalkan Bian karena kesal.

**************