["Jangan coba-coba main-main dengan saya! Cause I've got you."]
Bebi mengerutkan keningnya. Kata-kata Albercio dari seminggu yang lalu masih mengusik pikirannya. Apalagi dengan ekspresi mukanya yang datar namun dengan tatapan yang tajam menusuk, membuat Bebi jadi bertanya-tanya sendiri. Lagipula, siapa sih mau coba main-main? Bebi?
Hahaha .. ya enggaklah! Bebi gak segila itu. Jangankan mau main-main, mau menikmati satnite seperti temen-temennya aja gak bisa. Malah kadang Bebi suka berpikir sendiri, dia ini kerja sebagai sekretaris ato babu sih?! Jam kerjanya nyaris 24jam! Pantes aja, gak heran kalo sampe saat ini Bebi masih jomblo. Pacar satu-satunya ya cuma pekerjaannya!
"Hellooow!!" Sebuah suara maskulin terdengar dingin dan tegas, membuat Bebi langsung menegakkan posisi duduknya dengan jantung yang gak karuan. "Pantes aja daritadi saya panggil kamu, gak ada jawaban. Ternyata lagi ngelamun!"
Bebi menoleh ke arah asal suara dan, "Maaf, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"
Albercio melirik sekilas ke sekitarnya, lalu memandangi wajah Bebi dalam-dalam. "Rapiin barang kamu sekarang. Mulai hari ini kamu jadi sekretaris pribadi saya!"
"Tapi, Pak, saya .." Bebi gak bisa melanjutkan omongannya begitu menyadari wajah Albercio yang mendadak menyeramkan. Tatapan matanya berkali-kali lipat lebih tajam dari yang pertama Bebi lihat tadi, membuat cewek itu mau gak mau menelan ludahnya dengan susah payah dan mengangguk pelan.
Bebi memasang wajah manyunnya sambil mulai memunguti barang-barangnya dan secepat kilat memasukkannya ke dalam box. Diam-diam dia menghela nafas dengan jengkel. Dari balik bulu matanya, Bebi masih bisa melihat Albercio yang berdiri di depannya dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana panjang bahannya.
"Kamu beresin barang begini aja lama amat! Dua menit lagi gak selesai, besok kamu ikut training jadi OG!"
Astaga! Mimpi apa coba Bebi semalem? Kok ya pagi-pagi begini dia sampe begini amat? Mana dapet bos baru yang arogan bin killer. Masa udah capek-capek merintis karir, malah downgrade? Mana disuruh ikut training jadi OG. Hadehh!!
"Done.", sahut Bebi sambil merekatkan lakban di bagian atas boxnya. Wajahnya masih manyun-manyun jengkel. Untung aja Bebi udah sarapan. Coba kalo belom, beuh udah dia garuk tuh muka Albercio. Ganteng-ganteng tapi nyebelin!
"Ayo kita ke atas." Albercio mulai melangkahkan kakinya meninggalkan kubikel kerja Bebi sambil memberikan isyarat supaya Bebi mengikutinya. Namun sayangnya, Bebi malah masih diem di tempat dan mengepalkan tangannya. Menyadari hal itu, Albercio memutar arah dan memandanginya dengan tatapan tajam yang sulit diartikan. "Kenapa?"
"Maaf, Pak. Boleh tunggu sebentar? Kaki saya tiba-tiba kram."
Albercio menghela nafas. Entah apa yang merasuki pikirannya, Albercio langsung menggendong Bebi ala-ala newly wedds style dan gak peduli dengan segala aksi protes dari Bebi.
*
Bebi gak bisa menahan matanya untuk gak memandangi setiap inchi lekuk wajah Albercio. Ini pertama kalinya dia berada dalam gendongan seorang cowok. Mana ganteng pula! Apalagi dengan posisi kepalanya yang sejajar dengan dada cowok itu, Bebi bisa mendengar dengan jelas degup jantung Albercio yang berirama dan mencium wangi tubuhnya. Bebi berani bertaruh, kalo parfum yang dipake Albercio bukanlah parfum kaleng-kaleng sembarangan.
"Suruh OB anter barang kamu ke sini." Albercio menurunkan Bebi dari gendongannya sesaat begitu pintu lift khusus direktur tertutup dan bergerak naik.
Bebi mengangguk pelan. Dia menggeser posisi berdirinya beberapa langkah. Dia gak mau jadi berita heboh seantero kantor setelah kejadian gendong menggendong barusan. Bomat - bodo amat - sama tatapan aneh bin bingung dari Albercio.
"Kenapa kamu?"
"Gak kenapa-napa, Pak."
"Kalo gak kenapa-napa, kenapa kamu berdirinya jaga jarak gitu?"
"Anu, Pak. Saya takut Bapak gak nyaman sama aroma keringet saya. Saya masih agak keringetan, Pak."
Albercio gak percaya. Dipandanginya sosok Bebi dalam-dalam dari ujung kepala sampe ujung kaki. Untuk ukuran cowok, tubuh Bebi termasuk proporsional. Namun sayangnya, cewek itu cuma memakai BB cushion dan liptint berwarna ombre sebagai riasannya. Sangat jauh berbeda dengan temen-temen sekantornya yang tadi sempet Albercio lihat selintas. "Jangan panggil saya dengan sebutan itu lagi."
Bebi mengerutkan keningnya. "Sebutan apa?"
"Jangan panggil saya dengan Pak ato Bapak. Saya kan udah bilang ke kamu, saya belom setua itu."
"Ya gak bisa dong. Kan Bapak di sini sebagai atasan saya."
Albercio mengangkat dagu Bebi. "Lihat baik-baik wajah saya! Ada kerutan gak? Gak ada kan. Itu karna saya masih muda, dan kamu berani-beraninya panggil saya Bapak! Lagipula sekarang di sini cuma ada kita berdua."
TING! Belom sempet Bebi menjawab, pintu lift keburu terbuka dan Albercio langsung melangkahkan kakinya dengan lebar-lebar, meninggalkan Bebi yang masih harus kerepotan membawa barang-barang kerjanya. Bahkan sampe dia tiba di kubikel kerja barunya, Albercio sama sekali gak membantunya. Jangankan membantu, menoleh aja enggak.
Namun, kesialan Bebi kali ini bertambah lagi. Belom sempet dia duduk di kursi kerjanya, Albercio udah menyuruhnya masuk ke ruangannya. "Ya, Pak?"
Albercio menduduki kursi kerja direksinya. Dahinya berkerut. Dia sama sekali gak ngerti, ini Bebi beneran tulalit ato gimana ya? Kok ya lemot bener daritadi kalo diajak ngobrol? "Pak? Kamu panggil saya pake sebutan Pak lagi?! Kamu lupa nama saya?"
Bebi menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Masih inget. Inget dengan jelas malah."
"Yaudah kalo gitu panggil saya pake nama itu. Apa susahnya sih?"
Bebi menunduk. Dia takut dengan aura yang menguar dari presiden direktur di depannya ini. "Sa .. saya gak berani."
"Apanya yang gak berani?" sahut Albercio datar. "Angkat kepala kamu!"
Bebi menurut dan mengangkat kepalanya. Dipandanginya Albercio dalam-dalam. "Manggil Anda dengan nama Anda."
Albercio menghela nafas. "Kamu sekretaris saya, kenapa harus gak berani? Lagian juga saya berani taruhan kalo umur kita gak bedah jauh. Berapa umur kamu?"
"Dua puluh delapan tahun.", sahut Bebi pelan.
"Tuh! Kita cuma beda dua tahun, Bebi! Astaga! Saya gak peduli dan gak mau tau. Sekali lagi kamu berani panggil saya pake sebutan Bapak, saya skors dan potong gaji kamu!"
What?!
"Atuh jangan, Albercio. Kalo gaji saya dipotong, nanti saya bayar kostan gimana?"
"Nah itu bisa manggil saya pake nama. Pokoknya mulai saat ini gak ada lagi manggil saya dengan sebutan Bapak, kecuali kita lagi di luar ruangan ini. Paham?"
Lagi, Bebi mengangguk patuh. Bukan karna murni mau menuruti instruksi sang atasan barunya, tapi karna dia gak mau gajinya dipotong cuma gara-gara alasan paling sepele begitu. Kan gak lucu. Bisa-bisa Si Kimmy, kucing persia kesayangannya, ngambek karna jatah cemilannya berkurang.
"Tapi saya tadi gak bercanda loh. Saya beneran berencana potong gaji kamu."
HAH, WHAT? BENERAN?
Yah ... lutut Bebi langsung lemas begitu mendengar ucapan Albercio barusan. "Beneran, Al? Mau potong gaji saya?"
"Beneran. Ada tapinya.", sahut Albercio dengan ekspresi mutados yang bikin Bebi rasanya udah panas dingin kepengen nampol nih cowok. "Apaan tapinya?"
"Mulai hari ini kamu gak usah lagi tinggal di kosan. Kamu tinggal sama saya di apartemen, biar kamu juga bisa lebih fokus ngurusin saya dan kerjaan. Gimana?"
Bebi menghela nafas dengan pelan. Dia bener-bener gak ngerti sama ide gila yang barusan disebut sama Albercio. Huh! Beneran deh, mimpi apa dia semalem sampe-sampe kesialannya terus bertambah satu per satu dari semenjak Albercio muncul di depan matanya. "Kalo saya gak mau, gimana?"
"Ya kamu dapet hukuman."
"Apa hukumannya?"
"Gak berat kok. Hukumannya cuma ada dua, dan kamu bisa pilih salah satunya."
"Iya apaan?", sahut Bebi gak sabar.
Albercio memasang senyum sinisnya. "Dipecat ato bersedia nikah sama saya?"
WHAT?! Hukuman macem apaan itu?
Bebi gak menjawab. Cewek itu malah membalikkan badan dan bersiap pergi dari ruangan Albercio. Bodo amat. Dia butuh sesuatu yang bisa mendinginkan kepalanya. Aura dingin dari sang CEO gak cukup ampuh soalnya.
*
Albercio menghela nafas sekali lagi, entah untuk yang keberapa kalinya. Ada banyak hal yang berkelana di pikirannya. Salah satunya soal keputusan yang saat ini diambilnya.
Seorang Albercio Faresta Arkana terpaksa harus memilih sebagai presdir di perusahaan milik sang Ayah daripada harus segera menikah. Bukan apa-apa, lah dia mau nikah sama siapa coba? Selama ini dia jomblo tulen. Satu-satunya pacarnya ya cuma pekerjaannya. Secara kan ya dari dulu, Albercio emang selalu sibuk dengan tetek bengek pekerjaan dan bisnis yang dirintisnya. Hampir gak ada waktu untuk memikirkan cewek ato pacaran dan sejenisnya.
Tatapan Albercio mendadak terpaku. Beberapa meter di hadapannya, ada sebuah siluet seseorang yang seminggu lalu dikenalnya duduk sendirian dan menyedot cup ice ukuran big size berisi orange juice. Penasaran, Albercio mendekatinya dan menarik kursi di hadapannya lalu mendudukinya.
"Jadi begini cara kamu kabur dari masalah?"
"Bukan kabur dari masalah. Gue sengaja ke sini buat dinginin kepala, biar gak koleps ngadepin bos super dingin plus moody kayak lo!" Bebi mengalihkan pandangannya dan menemukan Albercio tepat di hadapannya. Dia sengaja memakai bahasa lo-gue ke Albercio karna saat ini cuma ada mereka berdua di rooftop cafe ini.
"Oh, jadi sekarang mulai berani pake bahasa lo-gue ke atasan? Hebat ya!", sinis Albercio. Dia merebut cup ice orange Bebi yang masih berisi setengahnya lalu menandaskannya gak bersisa. "Thanks."
Bebi geleng-geleng kepala. Kalo udah begini pengen rasanya Bebi banyak-banyak berdoa supaya Pak Don Hwa, CEO lama mereka, cepet sembuh dan bisa kembali duduk di kursi tertinggi di perusahaan ini dan Bebi kembali jadi sekretaris manajer walopun mustahil.
"Kan umur cuma beda dua tahun. Daripada pake bahasa aku-kamu ato sebut nama, tar malah orang-orang salah paham. Dipikirnya kita pacaran. Amit-amit dah kalo gue pacaran sama orang kelewat dingin kayak lo!"
"FYI, Miss Bebi, saya juga gak tertarik buat pacaran sama kamu. Tapi ... yaa .. mungkin .. saya lebih tertarik jadiin kamu istri saya. Gimana?"
"Masih pagi. Kalo ngomong coba dipikir dulu yang bener. Jangan ngawur!", sahut Bebi sambil berdiri dari duduknya dan bersiap kembali ke lantai 40 lalu memandangi Albercio denga tatapan datarnya. "Lo masih mau di sini ato gimana? Gue mau cek barang-barang gue udah dianter Mang Tara ato belom."
Albercio menggeleng, lalu memberikan isyarat agar Bebi segera menghilang dari pandangannya.
*
Bebi melirik jam tangannya, lalu menghela nafas lega. Seutas senyum mengembang. Untuk pertama kalinya dia bersemangat jam kerjanya berakhir lebih awal tanpa drama lembur-lemburan, ditambah lagi dari tadi siang Albercio udah walk out dari kursi kebesarannya. Tapi ...
"Mau kemana, Bi?" Sebuah suara maskulin tiba-tiba menyentak Bebi, membuat senyuman di wajah cewek itu langsung berubah 180 derajat.
"Mau pulanglah! Masa mau nginep?" Bebi menyelampirkan tali panjang tasnya lalu mematikan monitor komputer kerjanya. "Lah lo ngapain balik lagi ke sini? Kirain gue tadi lo balik pulang."
Seperti biasa, Albercio mengambil posisi duduk di kursi kebesarannya sambil memasang wajah datar tanpa ekspresin andalannya dan membiarkan aura dingin menguar begitu aja. "Yang nyuruh kamu pulang siapa?"
"Gak ada."
"Trus kalo gak ada yang nyuruh kamu buat pulang, kenapa kamu pulang?"
"Astaga, Albercio. Ya iyalah gue kepengen pulang. Ini kan emang udah jam pulang kantor. Masa gue kudu nginep di sini? Lagian juga semua kerjaan dan agenda lo udah rapi."
"Gak boleh."
"Apanya yang gak boleh?" Bebi mengangkat sebelah alisnya.
"Kamu gak boleh pulang sebelom saya pulang."
"Yaudah atuh, lo pulang juga. Biar gue bisa pulang. Lagian, lo ngapain juga mesti balik lagi ke sini? Emang lo gak kangen sama anak istri lo?"
"Saya belom nikah, Bebi! Coba tolong dipikir dulu sebelom ngomong."
Bebi memasang senyum lebar ala-ala unta nyengir sambil menjiwai ekspresi mutados - muka tanpa dosa. "Ye maap. Kirain situ udah kewong. Biasanya kan cowok seumuran lo emang udah punya buntut."
"Makanya kalo ngomong jangan sembarangan. Kamu harus tanggungjawab."
"Hah? Tanggungjawab? Tanggung jawab apaan sih? Kan gue juga udah minta maaf. Ah yaudahlah! Gue pulang duluan ya, Al."
"Lo mau pulang kemana?"
"Ya ke rumah lah."
"Rumah ato kost an?"
Bebi menghela nafas jengkel. Seumur-umur baru kali ini dia punya bos yang BT - banyak tanya! Udah seperti emak-emak yang bolak-balik nanya harga cabai.
"Lo bawel deh ah. Lo jangan pulang malem-malem. Jaga kesehatan. Besok kita ada rapat penting soalnya." Bebi beranjak pergi lalu menutup pintu ruangan Albercio dengan pelan, padahal tanpa cewek itu sadari, Albercio terus memandanginya lekat-lekat sampe dirinya bener-bener menghilang dari balik pintu.
*