Lima belas tahun kemudian....
Richie Angga Rizkyana, 28 tahun, telah beranjak dewasa. Wajah yang tampan, pemberani, tinggi dan kekar. Banyak yang mengejar Richie di kota kecil ini. Kota kecil telah berubah begitu pesat
"Bang Richie!" panggil Izan sedari tadi berdiri memanggil Richie yang tidak di sahuti.
"Hem!" lenguhnya.
"Iihh ... ini abang, dari tadi Izan panggil ngapain saja, sih?!" seru Izan duduk di sampingnya sedang mengutak-atik laptopnya.
"Bang, benar-benar nggak mau pacaran sama kak Dea? Dari pagi sampai sekarang asyik nanya Izan terus! Capek nih, Bang! Terima saja ngih suratnya, balas apa, kek!" Izan berikan beberapa amplop dari penggemarnya yang bernama Dea.
Dea itu teman satu sekolah Izan di sekolah Bakti Putra di kota kecil ini. Dea–kakak kelas Izan yang lagi kagumi dan jatuh cinta pandangan pertama sama Richie. Richie sendiri terlalu cuek sama cewek - cewek. Izan sendiri jadi malas ke sekolah kalau asyik di kejar mulu sama Dea.
Richie tidak pernah menyentuh sedikit pun surat cinta dari Dea, Izan melemparkan ke kotak kardus indomie. Sudah hampir dua bungkus surat cinta itu tidak disentuh sama Richie. Izan cuma bisa mendengus kasar.
"Begini, ya, kalau cewek sudah suka sama cowok, tapi nggak ada tanggapannya. Kasihan cewek zaman sekarang. Mudah-mudahan saja aku nggak kayak bang Richie," gumam Izan bangkit dari duduknya masuk ke kamar.
Richie masih menunggu balasan dari sahabatnya yang ada di kota Surabaya. Masih chatting- chatting'an dengan sahabatnya yang bernama Dion Saputra, anak dari Om Hendra. Meskipun sebagai sahabat. Tetap Richie merasa Dion adiknya sendiri.
Setelah selesai chatting'an dengan sahabatnya, Richie bersiap untuk keluar cari angin di pantai tanpa nama. Mengenang masa kecil bersama gadis kecil di sana, ia duduk di ranting pohon. Banyak wisatawan datang berkunjung di tempat ini.
"Kenapa kamu tidak pulang, Si. Kamu tidak rindu kota ini? Aku selalu menunggumu. Apa kamu melupakan semua kenangan kita bersama. Segitunya kah kamu melupakan semuanya. Apa kamu di sana baik-baik saja?" batin Richie duduk menatap lautan pantai yang berombak kecil itu.
****
"Sisi! Tolong bantu kakak dulu! Hari ini akan ada tamu spesial kita. Aku harap kamu memakai baju yang cantik, ya, Si! Dia, pria yang cukup tanggung. Aku yakin kamu menyukai pria itu!" seru Gea
"Kak, Sisi belum siap untuk menikah," kesal Sisi meskipun begitu banyak yang menanti cinta Sisi agar terbuka pada para lelaki.
"Ini terbaik untukmu!" teriak Gea, segera menyusun semua meja makan tertata rapi.
Gea Safira Maharani, seorang kakak angkat yang baik hati. Lima belas tahun lalu, Sisi diangkat oleh keluarga Maharani, Karena kondisi Gea dalam keadaan tidak membaik, mereka diusulkan oleh keluarganya yang turun menurut mengadopsi seorang anak perempuan untuk kemakmuran serta keharmonisan keluarga Maharani.
Sisi sangat sayang keluarga angkatnya mereka sangat baik. Segalanya saat ini Sisi tengah menjadi desainer busana di salah satu kota Surabaya. Sekarang ia telah buka satu butik di kota ini. Butiknya di kenali orang warga setempat hingga penjuru dunia.
"Kak, pokoknya aku belum siap untuk menikah?!" Sisi tetap Ngotot tidak ingin di comblangi, "memang zaman Siti Nurbaya pakai acara jodoh-jodohan," gerutu dalam hati Sisi.
"Kan, bisa berteman dulu. Bukan suruh kamu langsung, oke, kan?!" bantah Gea.
Wajah Sisi sudah merenggut seperti Bebek cobek minta di tarik sama penjepit baju.
"Pokoknya Sisi tidak mau, titik!" hentakan kaki Sisi pergi dari meja makan, tidak membantu Gea menata rapi mejanya.
Gea terus berteriak, tetap digubris oleh Sisi. Sisi masuk ke kamarnya. Dihempaskan tubuhnya berbaring menatap ponselnya. Ponsel dimana galeri kota kelahirannya. Sisi merindukan kota kelahiran saat tumbuh bersama dengan sahabat kecilnya yang bernama Richie.
Masih terngiang di ingatan memorinya lima belas tahun itu, di mana Richie berteriak akan menunggunya.
"Apa kamu masih menunggu kehadiranku?" batin Sisi
Menatap langit-langit kamarnya kedua mata pun tertutup rapat, masuk ke dalam dunia mimpinya.