Chereads / wiro sableng 212 / Chapter 3 - dewi siluman bukit tunggul 03

Chapter 3 - dewi siluman bukit tunggul 03

* * *

Nenek!" seru Wiro Sableng. "Antara kita tak ada silang sengketa, mengapa kau menyerang

aku sejahat ini?!"

"Kalau kau tak lekas berlutut dan minta ampun niscaya kau akan kukirim ke akherat!" teriak

si nenek jubah putih. Serangan ranting keringnya semakin menggila. Dalam waktu lima jurus saja

Pendekar 212 sudah terdesak hebat.

Sampai jurus yang kesembilan Wiro Sableng masih juga berkelebat dalam posisi bertahan,

sama sekali tidak balas menyerang. Inilah yang menyebabkan dia saat demi saat semakin terdesak

dan kepepet. Ruang gerak Pendekar 212 makin lama makin ciut. Ranting kering di tangan si nenek

laksana ratusan buah banyaknya dan menyerangnya dari puluhan jurus.

Hampir tiada terasa lagi, saat itu mereka sudah memasuki jurus ke empat belas. Dalam jurus

ini Wiro benar-benar dibikin mati kutu. Dia tak sanggup bertahan lebih lama. Dengan satu bentakan

nyaring Pendekar 212 segera pergunakan kedua tangannya untuk mulai balas menyerang. Tapi

justru pada jurus itu pula ranting kering di tangan si nenek membuat satu serangan yang sukar

dikelit.

"Breet!"

Robeklah pakaian Pendekar 212. Dadanya tergores luka. Rasa sakit dan perih serta merta

menjalari sekujur tubuhnya. Dan tubuh itu kini menjadi panas dingin. Nyatalah ranting kering di

tangan si nenek bukan ranting kering biasa, melainkan sebuah senjata sakti yang mengandung racun

luar biasa. Cepat-cepat Wiro ke luar dari kalangan pertempuran dan kerahkan tenaga dalamnya.

Si nenek tertawa panjang.

"Jangan harap kau bisa hidup lebih dari satu jam, pemuda keparat! Rantingku ini

mengandung racun yang jahat sekali!"

Wiro tetap tenang. Dia tidak yakin racun ranting si nenek akan menamatkan riwayatnya.

Sewaktu digembleng di puncak Gunung Gede, tubuhnya telah diberi kekuatan oleh Eyang Sinto

Gendeng, kekuatan yang membuat dia kebal terhadap segala racun yang bagaimanapun jahatnya.

Apalagi saat itu dia sudah kerahkan tenaga dalamnya.

Si nenek tertawa lagi.

"Selamat tinggal orang muda! Nasibmu ternyata sial di Pulau Madura ini! Nantikanlah saat

kematianmu di depan mata!"

Habis berkata begini si nenek segera putar tubuh dan berkelebat meninggalkan tempat itu.

"Manusia keriput! Tunggu dulu! Aku tak sudi kau pergi sebelum menerima sedikit

pembalasan hormat dariku!" teriak Wiro Sableng. Sekali dia melesat maka tahu-tahu tubuhnya

sudah berada dihadapan si nenek, menghalangi lari perempuan tua itu. Tentu saja kejut si nenek

bukan tanggung-tanggung. Matanya melotot membeliak.

"Nyalimu keliwat besar!" teriaknya. "Apakah mau mampus saat ini juga bedebah?!"

Wiro bersiul nyaring.

"Soal nyawa jangan diributkan perempuan keriput! Terima pukulanku ini!"

Wiro Sableng hantamkan tinju kanannya ke depan. Di saat itu pula si nenek sapukan

rantingnya ke muka. Maka tak ampun lagi tinju dan rantingpun beradulah.

Wiro kerenyitkan kening menahan sakit. Kulit tangannya kelihatan lecet sedang ranting di

tangan si nenek mental dan patah berantakan. Si nenek beringas sekali melihat ranting keringnya

dimusnahkan lawan. Dia melompat ke muka dengan sepuluh jari tangan terpantang.

"Cengkeraman Garuda Sakti" seru Pendekar 212 begitu dia mengenali jurus serangan lawan.

Sekali tubuh kena dicengkeram pastilah daging dan tulang-tulangnya akan hancur remuk. Cepat-

cepat Wiro menyurut mundur dan buat satu liukkan, kemudian hantamkan tangan kanan ke depan,

melepaskan "Pukulan Kunyuk Melempar Buah" yang disertai hampir setengah bagian tenaga

dalamnya.

Si nenek melengking penasaran sewaktu serangannya tertahan oleh satu gelombang angin

yang laksana satu gumpalan batu keras. Dengan kalap dia menyeruak dari samping dan begitu

pukulan Pendekar 212 lewat dengan serta merta dia lepaskan dua jotosan dan dua tendangan jarak

jauh. Empat serangan ini hebatnya bukan main. Debu dan pasir jalanan menderu.

Empat angin pukulan si nenek laksana air bah merambas tubuh Pendekar 212. Murid Eyang

Sinto Gendeng ini terpaksa melompat beberapa tombak ke atas. Sambil turun ke bagian yang aman

Wiro lepaskan "Pukulan Angin Puyuh".

Empat angin pukulan si nenek dan satu gelombang angin pukulan Wiro Sableng saling

bentrok menimbulkan suara letusan nyaring, menggetarkan tanah tempat berpijak. Si nenek

terpelanting sampai enam langkah sedang kedua kaki Wiro Sableng tenggelam ke tanah sampai

sedalam tiga senti.

Bukan main geramnya si nenek. Ternyata si pemuda memiliki ilmu yang tidak rendah

sebagaimana yang disangkanya. Dalam luapan amarah, nenek keriput ini segera cabut batang

belimbing di tepi jalan. Dengan mempergunakan pohon itu sebagai senjata dia segera menyerang

Wiro Sableng.

"Hebat!" seru Wiro sambil berkelit cepat. Pohon belimbing yang di babatkan si nenek

menderu menghantam pohon lain di belakangnya, membuat pohon ini tumbang bergemuruh. Dapat

dibayangkan bagaimana kalau batang pohon belimbing itu melanda tubuh Wiro Sableng.

Laksana memegang sebuah sapu lidi, demikianlah si nenek pergunakan pohon belimbing itu

untuk menyapu dan membabat lawannya. Wiro Sableng geleng-geleng dan garuk-garuk kepala.

Belum pernah ia menghadapi lawan yang demikian kalapnya seperti si nenek ini sehingga mau

mencabut sebatang pohon dan menyerang dengan pergunakan pohon itu sebagai senjata. Di

samping kagum, Wiro juga kepingin tahu siapa sesungguhnya manusia ini.

"Nenek, sesuai dengan peradatan dunia persilatan harap kau terangkan siapa nama atau gelarmu!" seru Wiro.

"Bakul kentut! Kau bisa tanya nanti pada cacing-cacing di liang kubur!" Dan si nenek

babatkan lagi pohon belimbing di tangannya.

"Buset!"

Wiro berkelebat cepat.

Si nenek penuh penasaran memandang berkeliling. Lawannya lenyap seperti ditelan bumi.

"Setan alas kau lari ke mana hati?!" teriak nenek-nenek itu.

Di belakangnya terdengar suara tertawa.

"Nenek-nenek kurasa matamu belum begitu kabur hingga tak tahu kalau aku berada di sini!"

Begitu putar tubuh begitu si nenek hantamkan batang belimbing ke pohon di belakangnya.

Kraak!

Pohon di tepi jalan patah dan tumbang. Wiro Sableng yang tadi memang melompat dan

berdiri di salah satu cabang pohon itu, berkelebat ke pohon lain dan berdiri di salah satu cabangnya

sambil tertawa-tawa mengejek.

"Setan alas! Apa kau kira aku tidak sanggup mengejarmu ke atas sana?!" teriak seraya

lemparkan pohon belimbing ke tepi jalan kemudian melompat sebat ke cabang pohon di mana Wiro

berdiri.

Tapi kemengkalannya jadi bertambah-tambah karena begitu ia menginjak cabang pohon,

Wiro Sableng sudah lenyap dari cabang itu. Dan bila dia memandang ke bawah maka dilihatnya si

pemuda berdiri bertolak pinggang di jalan kecil, cengar-cengir ke arahnya.

Si nenek sampai melengking nyaring saking gemasnya. Dia keruk satu jubahnya dan

berteriak. "Pemuda keparat! Terima ini!"

Selusin senjata rahasia yang berbentuk paku hitam melesat ke arah Wiro Sableng dalam

bentuk lingkaran. Wiro pukulkan tangan kanannya ke atas. Enam paku mental jauh sedang enam

lainnya amblas ke dalam tanah. Di saat itu pula si nenek sudah turun ke tanah kembali dan kirimkan

serangan berantai ke arah Wiro.

"Nenek! Ilmumu memang tinggi. Tapi aku tak begitu suka bertempur dengan orang lain

tanpa alasan! Apalagi kalau tidak tahu asal usul dan namanya!"

"Pemuda sialan, jangan jual kentut! Kau tak akan kulepaskan hidup-hidup!" hardik si nenek.

Kembali dia kirimkan selusin paku hitam dan susul dengan serangan berantai.

Pendekar 212 angkat kedua tangannya. Saat itu pertempuran sudah berjalan tiga puluh jurus

lebih. Wiro kini tak mau main-main lagi. Begitu kedua tangannya dipukulkan ke muka maka

gelombang angin yang laksana topan menderu. Inilah "Pukulan Benteng Topan Melanda Samudera" yang kedahsyatannya bukan saja membuat selusin paku hitam itu mental tapi juga

membuat si nenek terguling di tanah sampai enam tombak.

Belum lagi sempat bangun Wiro memburu tak kasih ampun. Dua tangannya melesat ke

pangkal leher si nenek, siap untuk menotok. Tapi lebih cepat dari itu si nenek keluarkan sebuah

benda berbentuk bola berwarna hitam. Bola hitam ini dilemparkan ke arah Wiro. Satu letusan

terdengar. Dalam kejap itu pula asap hitam tebal menggebu menutup pemandangan, Wiro Sableng

tak dapat melihat apa-apa dan cepat-cepat melompat ke samping. Tapi dia masih juga terkurung

oleh asap hitam yang gelap itu. Dia melompat sekali lagi, dua kali lagi dan barulah bisa keluar dari

kurungan asap hitam yang membutakan pemandangannya.

Beberapa saat kemudian ketika asap hitam itu sirna dengan perlahan maka si nenek sudah

lenyap dari tempat itu. Dan betapa terkejutnya Pendekar 212 karena di seberangnya kini berdiri tiga

manusia lain.