Ketiga manusia itu bukan lain Si Telinga Arit Sakti, Sepasang Arit Hitam dan Sepuluh Jari
Kematian. Ketiganya memandang dengan mata ganas menyorot yang membayangkan maut.
"Ini dia bangsatnya!" Si Telinga Arit Sakti buka suara.
"Apa yang dikerjakannya di sini! Bermain-main asap?!" Sepuluh Jari Kematian menimpali.
Wiro masih diam dan menyapu tampang ketiga orang itu dengan pandangan seenaknya.
"Pendekar 212!" lengking Si Telinga Arit Sakti. "Ketahuilah hari ini adalah hari
kematianmu!"
Wiro Sableng senyum lalu keluarkan suara tertawa bergelak.
"Telinga Arit Sakti," kata Pendekar 212 pula. "Bacotmu besar amat! Mentang-mentang
berada sama-sama gurumu!"
"Kalau tahu aku gurunya mengapa tidak lekas berlutut dan bunuh diri?!" sentak Sepasang
Arit Hitam.
Wiro tertawa lagi gelak-gelak. "Orang gila pun disuruh bunuh diri tidak bakal mau!"
"Dan kau lebih dari gila!" damprat Sepasang Arit Hitam.
Sepuluh Jari Kematian lambaikan tangannya dan berkata. "Kau tak usah bicara panjang
lebar kawan-kawan. Mari kita berebut cepat memisahkan kepala dan badannya!"
"Ah... ah... ah!" Wiro rangkapkan tangan di muka dada. "Kalau tak salah penglihatanku
bukankah kau yang berjuluk Sepuluh Jari Kematian, gurunya Si Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga
yang mampus tempo hari di tanganku?!"
"Pemandanganmu memang tajam, pemuda gendeng! Muridku mati di tanganmu. Hari ini
aku datang meminta jiwamu!"
Wiro geleng-gelengkan kepala.
Katanya. "Akhir ini banyak sekali manusia-manusia yang begitu inginkan jiwaku, sebut-
sebut segala urusan jiwa.... seakan-akan jiwanya sendiri adalah jiwa yang bersih polos!"
"Jangan pidato!" bentak Sepasang Arit Hitam.
"Siapa bilang aku pidato!" sahut Wiro ketus. "Aku cuma bicara biasa!" Kemudian Pendekar
212 berpaling pada Sepuluh Jari Kematian. "Dengar Sepuluh Jari Kematian," katanya. "Muridmu
seorang manusia bernafsu besar doyan perempuan kelas satu! Bagaimana kalau hari ini kuberikan
seorang perempuan cantik padamu, apakah kau bersedia melupakan urusan kita?!"
Merahlah paras Sepuluh Jari Kematian. Darah di kepala mendidih mendengar ejekan itu.
Dia maju satu langkah. "Kau memang tak layak hidup lebih lama!" bentaknya. Kelima jari-jari
tangan kanannya dijentikkan ke muka. Lima sinar hitam yang menggidikkan melesat mengeluarkan suara menggaung. Inilah Ilmu Jari Penghancur Sukma yang dahsyat. Satu jentikkan saja ganasnya
bukan main, apalagi sekaligus lima jentikan. Dan dilancarkan oleh tokoh penciptanya sendiri yang
berilmu tinggi.
Dengan cepat Pendekar 212 melompat ke udara. Empat larikan sinar hitam berhasil
dihindarkannya, tapi sinar yang kelima tak sanggup dielakkan. Sinar ini menyapu kaki kiri
Pendekar 212.
Wuss!
Kaki kiri itu dengan serta merta menjadi hitam. Wiro Sableng terguling di tanah, merintih
kesakitan. Meski tubuhnya kebal segala macam racun namun dia masih khawatir. Begitu jatuh
dengan cepat Wiro totok jalan darah dan urat-urat di siku kaki kirinya. Dengan terpincang-pincang
Pendekar 212 bangkit berdiri. Di saat itu Si Telinga Arit Sakti dan Sepasang Arit Hitam memburu
dengan senjata di tangan sedang Sepuluh Jari Kematian melompat sebat menjambak rambut
gondrong Wiro Sableng siap untuk memuntir kepala pendekar itu.
Dengan berteriak nyaring Wiro gerakkan tangan kanan untuk cabut Kapak Maut Naga Geni
212. Tapi Si Telinga Arit Sakti yang tahu gelagat segera tendang tangan kanan Wiro Sableng.
Kraak!
Patahlah lengan Pendekar 212. Tubuhnya terhempas ke tanah. Tiga buah arit masing-masing
dua di tangan sepasang Arit Hitam dan satu di tangan si Telinga Arit Sakti menderu siap untuk
membuat tubuh Wiro Sableng menjadi terkutung empat sedang jambakan Sepuluh Jari Kematian
akan menanggalkan kepalanya dari badan.
Wiro Sableng hendak lepaskan Pukulan Sinar Matahari. Tapi sudah terlambat, sudah tak
ada kesempatan lagi.
"Tamatlah riwayatku!" keluh pendekar ini. Dipejamkannya kedua matanya menanti saat
kematian itu.
Hanya beberapa detik lagi tubuh sang pendekar akan terkutung empat dibabat tiga buah arit
sakti, hanya beberapa detik lagi kepalanya akan tanggal dipuntir, maka terdengarlah teriak lantang
menggeledek.
"Setiap nyawa manusia di Pulau Madura ini adalah milik Dewi Siluman! Kalian tak berhak
merampas jiwa pemuda itu! Kecuali kalau mau ikut-ikutan mampus!"
Terkejutlah Si Telinga Arit Sakti, Sepasang Arit Hitam dan Sepuluh Jari Kematian.
Empat sosok tubuh berkelebat.
Perlahan-lahan Wiro Sableng buka kedua matanya yang tadi dipejamkan! Dan hampir tak
dapat dipercaya pemandangan matanya sendiri saat itu. Betapa tidak. Empat pendatang baru ini
adalah gadis-gadis cantik berpakaian biru. Leher mereka digantungi tengkorak manusia yang besarnya sekepalan tangan. Meski tampang mereka cantik-cantik tapi membayangkan kebengisan.
Dugaan Wiro Sableng pastilah mereka ini orang-orangnya Dewi Siluman dari Bukit Tunggul.
Sehabis melemparkan bola yang meletuskan asap hitam dan tebal itu si nenek keriput cepat
berguling dan lari meninggalkan jalan kecil. Dimasukinya rimba belantara kemudian menyeruak di
antara semak belukar lebat. Dari luar semak belukar ini tiada beda dengan semak-semak yang lebat
di sekitar tempat itu. Tapi siapa nyana kalau begitu semak belukar diseruak maka muncullah sebuah
lobang besar setinggi manusia. Si nenek menyelusup memasuki lobang itu dan terus berlari. Meski
penerangan dalam lobang itu tidak begitu terang namun karena sudah terlalu sering melewatinya si
nenek sudah sangat hafal liku-likunya maka dia lari dengan sebat tanpa kurangi kecepatannya.
Dalam waktu yang singkat dia sudah sampai di ujung lobang yang merupakan terowongan bawah
tanah itu. Dia muncul di satu lamping bukit. Dari sini lari cepat ke bawah, masuk lagi ke sebuah
terowongan rahasia dan akhirnya sampai di satu terowongan batu pualam. Sebelum memasuki
sebuah ruangan besar si nenek gerakkan kedua tangannya ke muka. Sehelai selaput topeng yang
amat tipis ditanggalkannya dari parasnya. Kini kelihatanlah wajahnya yang asli. Dan nyatanya dia
adalah seorang gadis jelita berkulit hitam manis, berhidung mancung dan berbibir tipis mungil.
Gadis ini kemudian tanggalkan jubah putihnya. Di balik jubah putih si gadis kulit hitam
manis ini ternyata mengenakan pakaian ringkas biru. Gadis ini kemudian berlari ke tengah ruangan
besar. Salah satu tumitnya menekan ubin yang bergambar bunga mawar merah.
Maka pada saat itu menggemalah suara bertanya dalam ruangan itu. Entah dari mana
datangnya.
"Siapa yang mau masuk?!"
"Aku, Nariti hendak menghadap Dewi!" menjawab si gadis hitam manis.
"Silahkan masuk."
Sebuah pintu besar yang tadinya hanya merupakan sebuah dinding ruangan belaka terbuka.
Nariti cepat memasuki pintu itu. Ruangan di mana dia berada adalah sebuah ruangan yang jauh
lebih besar dari yang pertama tadi. Seluruh lantai ditutupi permadani. Di samping kanan terdapat
sebuah taman. Di tengah taman dihiasi dengan kolam berair biru. Beberapa gadis cantik asyik
mandi-mandi dalam kolam itu, bersimbur-simburan air dan bergurau sesama mereka. Beberapa
lainnya duduk di tepi kolam memperhatikan. Semuanya mengenakan pakaian ringkas biru.
"Hai, itu si Nariti dari mana baru kelihatan!" seru seorang gadis baju biru.
"Nariti dari mana kau!" berseru yang lain.
Nariti hanya melambaikan tangan lalu cepat-cepat menaiki sebuah tangga yang juga
beralaskan permadani. Di bagian atas terdapat tiga buah pintu yang dijaga oleh tiga orang gadis
berpakaian biru.
"Kemani, aku mau bertemu dengan Dewi," berkata Nariti pada salah seorang gadis-gadis itu.
"Ada keperluan apakah?!"
"Tak usah tanya. Katakan di mana Dewi saat ini, cepat! Ini penting sekali!"
Melihat keseriusan pada wajah Nariti maka Kemani segera menjawab. "Dewi berada di
anjungan ketiga."
Mendengar itu maka Nariti segera memasuki pintu di samping kanannya. Pintu ini
membawanya ke sebuah lorong yang kemudian menghubunginya dengan sebuah pintu biru yang
tertutup. Di belakang pintu itu didengarnya suara petikan-petikan kecapi yang merdu.
Nariti mengetuk daun pintu tiga kali berturut-turut lalu dua kali lagi. Suara kecapi di ruang
dalam berhenti.
"Siapa?!" terdengar suara perempuan bertanya dari dalam. Suaranya halus tapi penuh
wibawa dan ketegasan.
"Dewi, aku Nariti membawa laporan penting untukmu!"
"Masuklah!"
Nariti mendorong daun pintu lalu masuk dengan cepat. Kamar yang dimasukinya selain
bagus juga sangat luas. Lantai tertutup permadani biru yang tebal dan lembut. Tubuh serasa di
awang-awang kalau menginjak kelembutan permadani itu. Di tengah ruangan terletak sebuah
tempat tidur besar berseprai sutera putih. Di atas tempat tidur ini berbaringlah bermalas-malasan
seorang perempuan muda. Umurnya paling banyak dua puluh tiga tahun. Dia berpakaian sutra biru
yang bagus dan menjela ke permadani. Parasnya cantik sekali. Tapi dibalik kecantikan yang
mengagumkan itu nyata kelihatan bayangan kekejaman. Matanya yang berkilat menyoroti Nariti
dengan teliti. Kemudian dia berpaling pada gadis tujuh belas tahun yang duduk di permadani, yang
tadi memainkan kecapi menghiburnya. Gadis ini juga berparas jelita dan berkulit kuning langsat
Perempuan di atas pembaringan yang bukan lain dari Dewi Siluman adanya anggukkan
kepala. Maka gadis pemain kecapi yang mengerti isyarat ini segera mengambil kecapinya dari
pangkuan dan meninggalkan tempat itu lewat sebuah pintu di samping kanan.
"Katakan berita apa yang kau bawa, Nariti," ujar Dewi Siluman.
Nariti menjura dulu tiga kali baru menjawab.
"Ada beberapa pendatang baru di Pulau kita ini dewi. Semuanya dari Pulau Jawa...."
"Hemmm...." Dewi Siluman menggumam dan petik serenceng buah anggur lalu
memasukkan buah itu satu demi satu ke dalam mulutnya.
"Teruskan keteranganmu!"