Chereads / wiro sableng 212 / Chapter 6 - dewi siluman bukit tunggul 06

Chapter 6 - dewi siluman bukit tunggul 06

Petikan kecapi yang membawakan lagu cinta itu menggema ke luar kamar, sampai ke kolam

dan taman dimana anak-anak buah Dewi Siluman tengah mandi-mandi dan duduk-duduk

beristirahat. Semua mereka saling berpandangan lalu memutar kepala ke arah jendela di anjungan

ketiga yang tingginya empat puluh tombak lebih.

"Aneh, sejak kapankah Dewi kita menyenangi lagu cinta-cintaan?" tanya salah seorang dari

mereka.

Tak ada yang memberikan jawaban. Semua mata diarahkan ke jendela anjungan. Semua

telinga mendengarkan. Suara kecapi yang merdu itu memasuki liang-liang telinga para gadis,

laksana air gunung yang sejuk terus mengalir ke hatinya. Betapa indahnya sesuatu yang dipengaruhi

oleh cinta. Betapa indahnya bercinta. Cinta kasih antara laki-laki dan pemudi. Dan mereka semua

adalah gadis-gadis yang selama ini tidak mengenal apa artinya cinta. Di dalam Istana Dewi Siluman

yang terletak di bawah Bukit Tunggul, itu hidup mereka hanyalah antara sesama gadis, sesama

perempuan. Dan kini mendengar lagu cinta kasih itu, hati mereka laksana berontak, darah mereka

menjadi panas. Walau bagaimanapun mereka adalah manusia-manusia biasa, gadis-gadis yang

membutuhkan cinta kasih sayang seorang pemuda. Gadis-gadis yang selama ini hidup di alam

suasana tertekan, dipaksakan untuk tidak mengenal cinta. Tapi kali itu melalui petikan kecapi yang

dimainkan oleh Inani tanpa disadari, Dewi Siluman secara tak langsung telah memberikan

kenyataan pada anak-anak buahnya bahwa sesungguhnya di dunia ini memang ada cinta kasih

antara laki-laki dan perempuan. Melalui petikan kecapi itu Dewi Siluman membuat anak-anak

buahnya menjadi sadar bahwa mereka semua adalah makhluk-makhluk hidup, manusia-manusia,

gadis-gadis yang membutuhkan kasih seorang laki-laki, membutuhkan peluk dekap dan ciuman

mesra seorang pemuda.

Lagu itu belum lagi sampai ke ujungnya. Tiba-tiba saja petikan kecapi berhenti dan gadis-

gadis yang di kolam serta di taman melihat tubuh Dewi Siluman muncul di ambang jendela.

"Kalian mendengarkan apakah?!" bentak Dewi Siluman marah. Suaranya menggetarkan

seluruh Istana. "Semua masuk ke kamar masing-masing! Jangan kalian berani memikirkan

kehidupan dunia yang bukan-bukan! Siapa yang tak dengar perintah akan menerima hukuman

berat!"

Penuh ketakutan maka gadis-gadis itu segera tinggalkan kolam dan taman.

Sementara itu Nariti dan tiga orang kawannya dengan cepat meninggalkan Istana Dewi

Siluman. Mereka mengambil jalan memotong yaitu melewati lorong-lorong di bawah bukit dan

lamping gunung. Ketika Inani dan tiga kawan-kawannya itu sampai ke jalan kecil di tempat mana

dia tadi bertempur dengan Pendekar 212 Wiro Sableng maka pada saat itu mereka melihat

bagaimana pemuda itu terhampar di tanah. Tiga manusia berebut cepat untuk mengirimnya ke

akhirat. Yang dua membacokkan senjata berbentuk arit sedang yang ketiga hendak memuntir dan

menanggalkan kepala pemuda itu dari tubuhnya.

Dengan serta merta Nariti berteriak.

"Setiap nyawa manusia di Pulau Madura ini adalah milik Dewi Siluman! Kalian tak berhak

merampas jiwa pemuda itu! Kecuali kalau mau ikut-ikutan mampus!"

Terkejutlah Si Telinga Arit Sakti, Sepasang Arit Hitam dan Sepuluh Jari Kematian. Pada

saat itu empat bayangan biru melompat ke hadapan mereka. Keempatnya ternyata gadis-gadis

berparas cantik.

Wiro sendiri yang tadi pejamkan mata menunggu detik kematiannya, kali ini membuka

kedua matanya itu dan menjadi heran melihat kemunculan empat gadis itu. Merekalah orang-

orangnya Dewi Siluman? Gadis-gadis cantik begini macam? Sungguh tak dapat dipercaya. Gadis-

gadis begitu jelita bisa membuat kejahatan main bunuh di mana-mana. Membunuh manusia-

manusia tak berdosa termasuk anak-anak dan orang-orang tua tak berdaya.

Sepuluh Jari Kematian lepaskan kepala Wiro Sableng yang barusan hendak dipuntirnya itu.

Sepasang Arit Hitam dan Si Telinga Arit Sakti batalkan bacokan arit mereka.

Dengan kertakkan rahang penuh geram Sepuluh Jari Kematian membentak.

"Gadis-gadis baju biru! Kalian siapakah yang berani lancang ikut campur urusan orang

lain?!"

Nariti mendengus.

"Orang tua jelek! Jangan jual omong besar di hadapanku! Serahkan pemuda rambut

gondrong itu dan kalian bertiga ikut kami!"

Sepuluh Jari Kematian tertawa dingin. "Gadis jelita, meski kau seorang bidadari dari

kahyangan, jangan kira aku yang tua ini berbelas kasihan untuk tidak merusak kecantikanmu itu!"

"Jangan banyak bacot!" bentak Nariti.

Marahlah Sepuluh Jari Kematian. Tangan kanannya diangkat ke atas.

"Kau mau keluarkan Ilmu Jari Penghancur Sukma? Silahkan teruskan!" mengejek Nariti.

Terkejutlah Sepuluh Jari Kematian melihat si gadis mengetahui ilmu kesaktian yang hendak

dilepaskannya.

"Gadis, sebaiknya lekas beritahu siapa kalian. Kalau tidak kau berempat akan mampus

percuma!"

Keempat gadis itu tertawa bergelak.

Nariti buka mulut. "Dasar orang tua pikun! Masih tak tahu siapa kami! Delapan penjuru

angin dunia persilatan mulai beberapa waktu yang lalu adalah di bawah kekuasaan Dewi Siluman!"

"Oh, jadi kalian adalah orang-orangnya Dewi Siluman?" tanya Sepasang Arit Hitam.

"Sudah tahu kenapa berlagak pikun?!" sentak salah seorang kawan Nariti.

Sepuluh Jari Kematian batuk-batuk.

"Untung kalian lekas beritahu siapa kalian," katanya. "Kalau tidak hampir saja aku salah

turun tangan!"

Nariti sunggingkan senyum mengejek.

"Setelah tahu siapa kami apakah kalian bertiga tidak mau turut apa yang kami katakan...?"

Sepuluh Jari Kematian batuk-batuk lagi. "Sebetulnya kami masih belum jelas apakah yang

kalian mau...." ujarnya.

Nariti menjawab. "Pemuda yang melingkar di tanah itu serahkan pada kami dan kalian

bertiga ikut ke Istana Dewi Siluman!"

Sepuluh Jari Kematian hela nafas panjang. "Tak mungkin!" katanya.

"Bakul kentut! Apa yang tidak mungkin!" bentak Nariti.

Mendengar makian bakul kentut itu Wiro Sableng terkejut. Dia ingat akan pertempurannya

dengan si nenek muka keriput sebelumnya. Si nenek telah memakinya dengan ucapan itu. Apakah si

nenek bukannya gadis jelita ini, pikir Wiro. Sementara itu dia menunggu kesempatan yang sebaik-

baiknya untuk melakukan sesuatu yang dirasakannya paling baik.

"Tak mungkin!" mengulang Sepuluh Jari Kematian. "Pemuda bangsat ini punya hutang jiwa

terhadapku! Dia telah membunuh muridku!"

"Di samping itu," menimpali Si Telinga Arit Sakti. "Antara aku dan dia terdapat dendam

kesumat yang belum terselesaikan!" .

"Perduli dengan hutang nyawa! Persetan dengan segala dendam kesumat! Apakah di Pulau

Madura ini ada bangsa kwaci yang berani menantang perintah Dewi Siluman dari Istana Bukit

Tunggul?!"

Marahlah Sepasang Arit Hitam karena dirinya dicap "bangsa kwaci" itu. Dia mendengus

dan buka suara. "Kau terlalu pongah mengumbar mulut seenaknya, mencap aku dan dua kawanku

manusia-manusia bangsa kwaci! Kau kira dunia persilatan ini kau dan Dewimu itukah yang

menguasainya?! Apa kau yang masih pitit hijau ini masih belum pernah mendengar nama gelarku,

Sepasang Arit Hitam? Belum pernah tahu gelar muridku, Si Telinga Arit Sakti?! Juga memandang

rendah pada Sepuluh Jari Kematian yang merupakan tokoh ternama dirimba persilatan?!"

Nariti tertawa panjang.

"Gelar kalian memang hebat-hebat, menyeramkan! Tapi bagi kami orang-orangnya Dewi

Siluman itu bukan apa-apa! Katakan saja apakah kau bertiga bersedia ikut atau mati di tempat ini

sekarang juga?!"