Wiro Sableng si Pendekar 212 dari Gunung Gede duduk bersandar ke batang pohon yang
dikelilingi oleh semak belukar. Rimba belantara dimana dia berada sunyi senyap, berudara lembab
dan teduh dari teriknya sinar matahari. Rasa sakit pada tangan kanannya yang patah kini agak
berkurang. Dengan susah payah dia telah mengobati sendiri tangan yang patah itu dan
menopangnya dengan sebuah ranting kemudian dibubuhi dengan param yang dibuatnya dari akar-
akar pohon dan sejenis daun lalu dibungkusnya dengan sapu tangan. Cara mengobati seperti itu
dipelajarinya dari gurunya Eyang Sinto Gendeng sewaktu dia digembleng di puncak Gunung Gede.
Dalam waktu tiga hari bisa diharapkan lengan yang patah itu akan sembuh dan tulangnya bertaut
kembali.
Sambil duduk terperangah di bawah pohon besar dalam rimba belantara itu Wiro
memandangi kaki kirinya yang hitam disambar pukulan Ilmu Jari Penghancur Sukma yang
dilepaskan oleh Sepuluh Jari Kematian. Meski dia tahu bahwa racun pukulan tersebut tidak akan
membahayakan dirinya karena tubuhnya kebal segala macam racun, namun yang mengherankan
sang pendekar ialah karena sampai saat itu dia masih belum sanggup untuk melenyapkan warna
hitam pada kulit kakinya itu. Dia telah menelan dua buah pil yang paling manjur khasiatnya juga
berkali-kali telah mengerahkan tenaga ke telapak tangan kiri untuk mengusap kaki yang hitam itu,
tapi hasilnya sia-sia belaka.
"Gila!" maki Wiro. Kalau warna hitam itu tak bisa dilenyapkan pasti dia akan cacat seumur
hidup. Pendekar ini memaki lagi. Hatinya geram sekali terhadap Sepuluh Jari Kematian. Selama
turun gunung, puluhan musuh telah dihadapinya, berbagai ilmu silat kelas tinggi dan kesaktian-
kesaktian luar biasa telah dijumpainya. Namun belum pernah dia menerima nasib sial seperti di hari
itu. Kakinya hitam sedang lengannya patah. Disamping geram terhadap Sepuluh Jari Kematian,
Pendekar 212 juga geram pada Si Telinga Arit Sakti. Perempuan tua itulah yang telah menendang
lengan kanannya sehingga patah. Untuk kedua manusia itu Wiro Sableng bertekad akan
membalaskan sakit hatinya. Wiro tidak tahu kalau sepergiannya tadi Si Telinga Arit Sakti telah
tewas di tangan anak buah Dewi Siluman. Kemudian Wiro teringat pada empat orang gadis jelita
berpakaian biru-biru itu. Betulkah mereka orang-orangnya Dewi Siluman? Orang-orangnya Dewi
Siluman yang telah berbuat kejahatan dan kekejaman tiada tara, membunuh manusia-manusia tidak
berdosa, memusnahkan kampung-kampung? Betulkah gadis-gadis cantik jelita itu yang
melakukannya? Sungguh tak masuk di akal bahwa gadis-gadis semacam itu akan sanggup
melakukan kejahatan tanpa perikemanusiaan demikian rupa. Hal ini membuat makin besarnya tekad
Wiro Sableng untuk cepat-cepat mencari dan menemui Dewi Siluman itu. Jika anak-anak buahnya
demikian kejam dan jahat, tentu Dewi Siluman sendiri jauh dan jauh lebih kejam. Tapi untuk
mencari sarangnya Dewi Siluman dan membasmi kejahatannya Wiro musti menunggu sekurang-
kurangnya tiga hari yaitu sampai tangannya yang patah sembuh.
Dalam dia berpikir-pikir itu mendadak sontak dari atas pohon memancur air putih kekuning-
kuningan yang tidak enak baunya. Air itu jatuh tepat membasahi kepala Pendekar 212. Disaat itu
pula di atas pohon terdengar suara tertawa cekikikkan yang menggetarkan seluruh rimba belantara.
Suara cekikikkan itu tiada ubahnya laksana ringkikkan kuda di malam buta ketika melihat setan di
hadapannya!
"Bedebah!" maki Pendekar 212 seraya meloncat dan memandang ke atas pohon.
Sekelebatan dilihatnya satu bayangan putih!
Belum sempat Wiro memperhatikan siapa adanya bayangan putih itu, bahkan belum sempat
dia meneliti paras makhluk itu, si bayangan putih lenyap laksana gaib. Wiro kemudian merasakan
sekilas angin di mukanya. Pendekar ini pukulkan tangan kirinya ke depan. Tapi dia cuma memukul
tempat kosong, sesudah itu dia tertegun sendirian dengan penuh rasa heran dan juga sedikit ngeri.
Tak dapat diyakininya siapa adanya sosok bayangan putih tadi. Apakah manusia atau setan
atau dedemit penghuni rimba belantara itu. Gerakannya luar biasa cepat dan sebatnya. Begitu cepat
hingga Wiro tak dapat meneliti siapa adanya bayangan putih itu. Dan cekikikkannya yang seperti
kuda meringkik itu.
Kuncuran air yang tadi jatuh di atas kepalanya kini turun ke kening. Wiro menyeka kening
yang basah itu dengan belakang telapak tangan. Dia memaki tiada henti. Diperhatikannya telapak
tangan yang ditempeli air itu. Hidungnya menghirup bau yang tidak enak. Penasaran sekali Wiro
dekatkan belakang telapak tangannya ke lobang hidung. Pendekar ini kernyitkan kening. Kemudian
terdengarlah makiannya.
"Keparat sialan! Aku dikencingi!"
Wiro meludah ke tanah. Caci maki ke luar menyerapah dari mulutnya. Dengan beberapa
helai daun disekanya kening dan telapak tandannya.
"Manusia apa dedemit! Perlihatkan dirimu'" teriak Wiro. Rasa ngerinya tadi kini berubah
menjadi kemarahan. Seumur hidupnya baru kali itu dia dikencingi manusia. Mungkin di dunia ini,
cuma dia sendiri manusia yang dikencingi manusia. Tapi apa betul makhluk yang mengencinginya
itu seorang manusia? Bukannya setan atau dedemit?
"Keparat yang mengencingiku! Perlihatkan dirimu!" teriak Wiro gemas.
Suaranya bergema dalam rimba belantara itu.
Tiba-tiba terdengar dari samping kanan suara tertawa mengikik macam tadi. Dengan serta
merta Pendekar 212 memburu ke arah itu. Sekilas masih sempat dilihatnya satu sosok bayangan
putih samar-samar karena bayangan itu bergerak luar biasa cepatnya. Tanpa pikir panjang Wiro
Sableng gerakkan tangan kirinya lepaskan pukulan "Kunyuk Melempar Buah".
Semak belukar berpelantingan, sebuah pohon patah dilanda pukulan itu. Tapi si bayangan
putih sudah lenyap dari pemandangan.
"Sialan betul!" gerutu Wiro. Dia melompat ke arah lenyapnya bayangan itu lalu melesat ke
sebuah pohon besar yang tinggi dari mana dia bisa melihat dengan jelas seantero rimba belantara.
Namun si bayangan putih tetap tiada kelihatan seakan-akan sirna ditelan bumi.
Dengan kertakkan geraham Wiro Sableng turun dari pohon itu. Mungkin sekali si bayangan
putih tadi adalah Dewi Siluman. Tapi mengapa sang Dewi sengaja mempermainkan sedang dia
telah mengutus empat orang anak buahnya untuk menangkapnya.
"Gila!" gerendeng Pendekar 212. Belum pernah dia berhadapan dengan peristiwa begini
rupa. Kemudian bila hidungnya sudah tak sanggup lagi menghirup bau pesing kencing yang
membasahi kepalanya pendekar ini segera tinggalkan tempat itu untuk mencari kali atau telaga guna
mencuci kepalanya. Sewaktu dia melewati pohon besar tempat dia duduk tadi tanpa sengaja kedua
matanya memperhatikan batang pohon itu. Bukan main terkejutnya Wiro Sableng sewaktu
menyaksikan serentetan tulisan putih pada batang pohon besar itu.
"Ini lebih gila lagi!" kata Wiro. Dia melompat ke hadapan pohon dan meneliti apa yang
tertulis di situ.
Perbuatan tangan manusia bukan suatu yang abadi.
Manusia berilmu berpikir pendek berotak dangkal.
Punya senjata dilupakan.
Bukan untuk menebang kayu atau menebas kaki.
Hanya tujuh warna pelangi yang abadi.
Wiro tak dapat memastikan dengan apa tulisan putih itu dibuat. Cuma dia yakin bahwa yang
menulisnya pastilah si bayangan putih tadi. Untuk beberapa lamanya dia masih berdiri di hadapan
pohon itu merenung dan memikirkan apa arti serta tujuan rentetan tulisan itu. Namun tiada sanggup
otaknya memecahkan. Perbuatan tangan manusia bukan suatu yang abadi. Wiro tahu akan
kebenaran tulisan tersebut. Lalu: Manusia berilmu berpikir pendek berotak dangkal. Siapakah
manusia yang dimaksudkan dalam rentetan tulisan yang kedua ini? Apakah tulisan itu ditujukan
kepadanya? Punya senjata dilupakan. Hati Pendekar 212 tercekat sedikit. Di balik pakaiannya
tersembunyi Kapak Maut Naga Geni 212. Apakah senjata ini yang dimaksudkan oleh penggurat
tulisan pada batang pohon itu? Senjata itu selalu ada di tubuhnya dan tak pernah dilupakannya.
Wiro membaca rentetan tulisan yang keempat: Bukan untuk menebang kayu atau menebas kaki.
Tentu saja adalah keterlaluan kalau Kapak Maut Naga Geni 212 dipakai untuk menebang kayu.
Tapi untuk menebas kaki lawan, sudah beberapa kali dilakukan Wiro dalam pertempuran-
pertempurannya. Kaki siapakah yang dimaksudkan oleh tulisan itu?!
Wiro menepekur dan putar otak. Pandangannya membentur kaki kirinya. Tersentaklah
pendekar ini. Mungkin kakiku yang hitam ini yang dimaksud, pikirnya. Lalu diperhatikannya
rentetan tulisan yang terakhir. Hanya tujuh warna pelangi yang abadi. Hanya tujuh warna pelangi...
Wiro garuk-garuk kepalanya. Karena kepalanya yang basah oleh air kencing itu belum dibersihkan
maka dengan sendirinya kembali tangannya menjadi basah dan bau karena menggaruk itu. Dan
Wiro menyerapah lagi.
Hanya tujuh warna pelangi yang abadi. Wiro mengulang. Berarti selain warna pelangi, tak
ada warna yang abadi. Sekali lagi Wiro memandang ke kaki kirinya berwarna hitam, dan warna
hitam itu bukan warna pelangi, jadi tidak abadi. Berarti bisa sirna bisa dilenyapkan. Tapi bagaimana
caranya?!
Untuk kesekian kalinya Wiro membaca lagi rentetan demi rentetan tulisan di kulit pohon.
Tiba-tiba dipukulnya keningnya sendiri.
"Memang aku yang geblek!" katanya. Lalu cepat-cepat dikeluarkannya Kapak Naga Geni
212. Ditimang-timangnya senjata itu beberapa lama. Dan Wiro menggerutu pula. Apa yang akan
dilakukannya dengan senjata itu? Bukan untuk menebang kayu atau menebas kaki. Hanya tujuh
warna pelangi yang abadi. Kini Wiro jadi bingung kembali. Buncah otaknya. Hampir sepeminum
teh lamanya dia memutar otak memecahkan kalimat demi kalimat di batang pohon itu. Apa kini
yang harus dilakukannya? Perlahan-lahan Wiro duduk kembali di bawah pohon itu. Kapak Naga
Geni 212 diletakkannya di atas pangkuan paha kiri. Pada saat senjata itu me-
nyentuh pahanya maka detik itu pula dirasakannya satu hawa dingin menjalar dari mata kapak
ke dalam kakinya. Senjata mustika itu memberikan reaksi terhadap ketidakwajaran pada kaki
sang pendekar.
"Tolol! Betul-betul aku tolol!" Wiro memaki dirinya sendiri. Diambilnya kapak itu kembali
dan ditempelkannya pada kaki kiri yang berwana hitam. Hawa dingin semakin santer dan detik
demi detik Wiro Sableng menyaksikan bagaimana kulit kakinya yang hitam kini berangsur-angsur
kembali kewarna seperti biasanya.
Ketika keseluruhan warna hitam itu lenyap, Pendekar 212 berseru gembira dan melompat
dari duduknya. Lupa dia pada kegeraman hatinya karena dikencingi tadi. Wiro memandang
berkeliling dan berteriak. "Bayangan putih! Siapa pun kau adanya, aku haturkan terima kasih atas
petunjukmu!"
Begitu suara Wiro lenyap maka terdengarlah suara cekikikkan macam ringkikkan kuda.
Suara itu dekat sekali di samping kanannya. Sang pendekar berpaling. Dia melompat dengan cepat
sewaktu melihat kelebatan bayangan putih di balik semak belukar. Dia kecewa karena ketika
sampai di rerumpunan semak-semak itu si bayangan sudah lenyap lagi.
Wiro geleng-gelengkan kepala. Betul-betul luar biasa gerakan makhluk itu. Ilmu apakah
yang dimiliki si bayangan putih? Wiro tahu, seseorang yang memiliki ilmu mengentengi tubuh yang
bagaimana pun tingginya seseorang yang memiliki ilmu lain yang bagaimana cepatnya, tak akan
mungkin akan bisa berkelebat dan lenyap secepat itu. Cuma setan dan bangsa jin yang sanggup
berbuat seperti itu.
Meski agak kecewa tak dapat mengejar si bayangan putih namun Wiro gembira juga karena
warna hitam pada kaki kirinya telah lenyap. Dimasukkannya Kapak Naga Geni 212 ke balik
pakaiannya kembali. Betul-betul dia telah berbuat tolol, berpikir pendek berotak dangkal,
melupakan senjata itu. Padahal sewaktu di puncak Gunung Gede gurunya pernah menerangkan
bahwa kapak sakti itu bukan saja bisa dipergunakan sebagai senjata hebat, tapi juga bisa mengobati
dan menyedot segala macam racun jahat yang mengindap di tubuh manusia baik bagian luar
maupun bagian dalam.
Wiro angsurkan kaki kirinya ke depan untuk memperhatikan kaki itu kembali. Disaat itulah
matanya melihat lagi serentetan tulisan. Kali ini di tanah di hadapannya.
Kalau mau tahu tingginya langit dalamnya lautan.
Pada purnama empat belas hari
Datanglah ke Goa Belerang.
"Pastilah Si bayangan putih itu yang menulisnya," kata Wiro dalam hati. Nyatnya dunia ini
bukan saja penuh dengan kekejaman dan kejahatan, tapi juga penuh keanehan.