Chereads / wiro sableng 212 / Chapter 9 - dewi siluman bukit tunggul 09

Chapter 9 - dewi siluman bukit tunggul 09

Suara petikan kecapi terhenti sewaktu pintu kamar diketuk dari luar.

"Masuk!" kata Dewi Siluman. Kepalanya dipalingkan ke pintu yang terbuka. Nariti masuk.

Gadis ini menjura tiga kali di hadapan sang Dewi. Inani gadis pemetik kecapi berdiri dan

meninggalkan kamar itu.

"Kau berhasil?" tanya Dewi Siluman begitu dia tinggalkan berdua dengan Nariti.

"Aku dan kawan-kawan mohon ampunmu, Dewi," berkata Nariti.

"Hah?! Jadi kalian tak berhasil menangkap pemuda itu?" Dewi Siluman bangkit dari

pelaminannya. Matanya membeliak besar dan memandang lekat-lekat pada Nariti.

"Sebenarnya kami akan berhasil Dewi. Tapi...."

"Tapi apa?!" sentak Dewi Siluman.

"Manusia-manusia itu mengacaukan tugas kami hingga si pemuda lolos!"

"Manusia-manusia siapa maksudmu?!" bertanya Dewi Siluman sambil sandarkan punggung

ke bantal besar di belakangnya.

"Sepasang Arit Hitam dan muridnya Si Telinga Arit Sakti serta Sepuluh Jari Kematian,"

jawab Nariti. Lalu dia memberi penuturan atas apa yang telah terjadi. "Si Telinga Arit Sakti yang

berani menantang kekuasaanmu, telah kami penggal batang lehernya! Sepasang Arit Hitam kami

tawan hidup-hidup dan Sepuluh Jari Kematian ikut bersama kami. Mereka berdua kini berada di

ruang merah."

"Sepasang Arit Hitam pindahkan ke ruang gelap. Sepuluh Jari Kematian bawa ke ruang

putih!"

"Baik Dewi," Nariti hendak menjura siap untuk tinggalkan kamar itu.

"Tunggu dulu!"

Suara Dewi Siluman keras dan lantang menggetarkan hati Nariti. Dia membalik dengan

kecut.

"Ternyata apa yang menjadi tugas utamamu tidak kau laksanakan dengan baik! Kau musti

terima hukuman!"

Pucatlah paras Nariti.

"Tapi Dewi, aku sudah jelaskan semua pada kau. Tiga manusia itu mengacaukan tugasku

dan kawan-kawan. Bahkan...."

"Aku tidak perduli!" potong Dewi Siluman. Dia bertepuk satu kali. Lima gadis berbaju biru

masuk ke kamar itu melalui sebuah pintu rahasia. Kelimanya menjura.

"Siap menunggu perintahmu, Dewi." kata gadis baju biru paling depan. Nariti memandang

kepada mereka ini dan tahu bahwa mereka adalah anak-anak buah Dewi Siluman yang diberi

jabatan sebagai petugas penghukum.

"Seret dia ke ruang hitam! Sekap satu hari satu malam!"

"Perintah segera dilaksanakan Dewi!" Lima gadis itu kemudian melangkah cepat ke

hadapan Nariti. Menggigillah tubuh Nariti. Ruangan hitam adalah ruangan hukuman yang paling

ditakuti oleh seluruh penghuni Istana Dewi Siluman. Ruangan ini khusus disediakan untuk mereka

yang membuat kesalahan atau melalaikan tugas. Ruangan hitam merupakan sebuah ruangan sempit

dan gelap luar biasa, tangan di depan mata pun tidak kelihatan. Seseorang yang dijebloskan di sana

akan merasakan hawa panas ke luar dari empat dinding sempit di sekelilingnya sedang dari langit-

langit dan lantai ruangan mendera hawa dingin luar biasa. Hawa panas membuat tubuh hangus

melepuh sedang hawa dingin membuat kaki dan muka kaku tegang.

Nariti pernah menyaksikan keadaan seorang kawannya yang keluar dari ruang penyiksaan

itu. Tubuhnya hitam legam, kakinya tak sanggup berdiri sedang parasnya rusak. Selama satu

minggu dia diserang demam panas dingin, keadaannya antara hidup dan mati, mengigau siang

malam tiada henti. Dua bulan kemudian baru penderitaan akibat hukuman itu lenyap dan parasnya

berangsur-angsur baik kembali sedang kulit tubuhnya yang hitam berangsur-angsur mengelupas dan

kembali kebentuk-nya semula. Betapa mengerikannya. Dan kini dia Nariti sendiri yang akan

dijebloskan ke dalam ruangan hitam itu.

Beberapa pasang tangan memegang lengannya.

"Dewi...." suara Nariti seperti tercekik dan sendat.

"Seret dia lekas!" bentak Dewi Siluman.

Maka kelima petugas itu segera membawa Nariti. Meskipun rasa takut memuncak

menyelubungi dirinya namun Nariti tak bisa berbuat apa-apa. Melawan berarti akan lebih celaka

lagi. Di dalam hati Nariti berkobar kebencian dan dendam kesumat terhadap Wiro Sableng. Gara-

gara Pendekar 212 itulah dia sampai mendapat hukuman.

Di dalam kamarnya Dewi Siluman memanggil Inani kembali. Kali ini tidak menyuruh gadis

itu memainkan kecapi.

"Inani, kau bersama beberapa orang kawan segera pindahkan Sepasang Arit Hitam ke ruang

gelap dan Sepuluh Jari Kematian bawa ke ruang putih."

"Perintah segera kujalankan Dewi." kata Inani. Gadis jelita ini menjura.

Sebelum Inani berlalu, Dewi Siluman memberi perintah lagi yaitu agar menyuruh Kemani

menghadap.

Bila Kemani datang maka Dewi Siluman memberi keterangan singkat tentang pemuda yang

dimaksudkan Nariti lalu memerintahkan agar Kemani bersama beberapa orang kawannya mencari

si pemuda sampai dapat.

"Sebelum kau berhasil menangkap hidup-hidup pemuda itu dan membawanya ke hadapanku,

jangan harap kau dan kawan-kawanmu diperbolehkan menginjak Istana ini kembali!"

Meski hati tergetar kecut namun Kemani mengangguk menjura.

Sementara itu di satu ruangan yang disebut ruangan putih....

Sepuluh Jari Kematian duduk di sebuah kursi di kepala meja. Dia memandang seputar

ruangan yang keseluruhan lantai, langit-langit dan dinding serta isinya berwarna putih bersih. Lima

orang gadis jelita telah membawanya ke dalam ruangan itu dan meninggalkannya seorang diri.

Kawannya yaitu Sepasang Arit Hitam entah dibawa ke mana oleh orang-orangnya Dewi Siluman.

Sambil terus memandang seantero ruangan, tokoh silat itu berpikir-pikir hal apa pula yang bakal

ditemuinya di tempat itu? Meski kehadirannya di Pulau Madura adalah atas undangan Dewi

Siluman, namun sesudah peristiwa pertempuran di jalan kecil tadi, bukan tidak mustahil dia akan

menemui nasib buruk pula. Dicobanya mempertenang hati dan menunggu.

Telinga Sepuluh Jari Kematian yang terlatih dan tajam mendengar suara benda bergeser.

Tiba-tiba dinding di hadapannya membuka ke samping dan kelihatanlah tiga manusia berpakaian

biru melangkah memasuki ruangan itu. Mereka bukan lain dari Dewi Siluman dan dua pengiringnya.

Langkah yang dibuat sang Dewi tetap berwibawa. Kepala mendongak ke atas dan air muka

yang jelita itu membayangkan pula sifat kekerasan kalau tak mau dikatakan kekejaman.

Sepuluh Jari Kematian berdiri dari kursinya dan menjura dalam.

"Aku merasa bersyukur dapat memenuhi undanganmu, Dewi Siluman. Ini merupakan satu

kehormatan besar darimu."

Dewi Siluman naikkan hidung ke atas lalu menjawab. "Cuma sayang, sikap hormatku itu di-

balas dengan perbuatan sembrono hingga seorang yang hendak kutangkap berhasil meloloskan

diri!"

Muka Sepuluh Jari Kematian kelihatan merah. Dia berbatuk-batuk beberapa kali lalu berkata.

"Bukan maksudku untuk bertindak semborono. Anak-anak buahmu terlalu bersikap keras dan ikuti

kemauan sendiri."

Dewi Siluman tertawa.

"Adakah cara yang lebih baik dari kekerasan dan mengikuti kemauan sendiri bagi seseorang

yang hendak menguasai dunia persilatan? Bagi seseorang yang hendak memegang kendali delapan

penjuru angin?!"

Terkejutlah Sepuluh Jari Kematian. Jadi betul rupanya dugaan-dugaan bahwa Dewi Siluman

bermaksud hendak menguasai dunia persilatan dengan caranya sendiri yaitu menurut kehendak

hatinya, berbuat kejam dan membunuh manusia-manusia tiada berdosa hingga namanya menjadi

angker di kalangan rimba persilatan.

"Tentu saja kekerasan dan keteguhan hati sangat diperlukan Dewi!" berkata Sepuluh Jari

Kematian. "Apalagi bagi seorang yang punya maksud hendak merajai dunia persilatan."

"Bagus kalau kau berpendapat demikian. Sekarang terangkan mengapa kau dan kawan-

kawan tidak mau menyerahkan pemuda itu sebagaimana yang diperintah oleh anak-anak buahku?!"

Sepuluh Jari Kematian hela nafas dalam.

"Anak-anak buahmu keliwat kesusu, Dewi...."

"Hemm, begitu?! Lantas itu sebabnya kau bertindak ceroboh dan tidak memandang sebelah

mata padaku?!"

"Tidak begitu. Dewi," sahut Sepuluh Jari Kematian. "Pada saat itu aku dan kawan-kawan

tengah menempur habis-habisan pemuda itu. Kami sama-sama punya dendam kesumat terhadapnya.

Dia membunuh muridku... "

"Aku sudah tahu semua!" potong Dewi Siluman. "Kau tak usah cari dalih! Sebenarnya aku

punya rencana tertentu denganmu, tapi sesudah peristiwa itu terpaksa kubatalkan...."

"Harap Dewi tidak berpikir yang bukan-bukan terhadapku. Sampai saat ini aku masih

merupakan sahabat baikmu seperti dimasa-masa lalu...."

"Justru karena mengingat hubungan baik masa lalu aku tak sampai menjatuhkan hukuman

terhadapmu. Dalam waktu yang singkat kau akan meninggal."

Seloki emas berisi tuak masih juga mengapung di hadapan Sepuluh Jari Kematian yang

mukanya sudah menjadi merah karena jengah.

Tiba-tiba Dewi Siluman keluarkan tertawa mengekeh dan disaat itu pula seloki tuak

bergerak perlahan ke muka Sepuluh Jari Kematian. Tokoh silat ini segera memegangnya. Ketika

jari-jari tangannya menyentuh seloki itu, tuak di dalam seloki tumpah membasahi jari-jari tangan

dan alas meja. Benar-benar ketinggian tenaga dalam sang Dewi tak sanggup dijajaki oleh Sepuluh

Jari Kematian.

"Dalam waktu singkat pula kau harus angkat kaki dari Pulau Madura ini. Tapi sebelum pergi

aku masih mau berbuat baik, menjamumu mencicipi tuak harum!"

Dewi Siluman berpaling pada gadis baju biru di samping kanannya. Gadis ini bertepuk dua

kali. Dinding di belakang Dewi Siluman membuka. Seorang pelayan perempuan masuk membawa

sebuah baki. Di atas baki ini terletak sebuah poci dan dua buah seloki besar yang juga terbuat dari

emas. Tuak di dalam poci yang sangat harum segera dituang ke dalam kedua gelas itu. Selesai

menjalankan pekerjaannya si pelayan segera berlalu.

Dewi Siluman memegang salah sebuah seloki emas itu dan mengacungkannya ke hadapan

Sepuluh Jari Kematian yang duduk di kepala meja di seberangnya.