Suara petikan kecapi terhenti sewaktu pintu kamar diketuk dari luar.
"Masuk!" kata Dewi Siluman. Kepalanya dipalingkan ke pintu yang terbuka. Nariti masuk.
Gadis ini menjura tiga kali di hadapan sang Dewi. Inani gadis pemetik kecapi berdiri dan
meninggalkan kamar itu.
"Kau berhasil?" tanya Dewi Siluman begitu dia tinggalkan berdua dengan Nariti.
"Aku dan kawan-kawan mohon ampunmu, Dewi," berkata Nariti.
"Hah?! Jadi kalian tak berhasil menangkap pemuda itu?" Dewi Siluman bangkit dari
pelaminannya. Matanya membeliak besar dan memandang lekat-lekat pada Nariti.
"Sebenarnya kami akan berhasil Dewi. Tapi...."
"Tapi apa?!" sentak Dewi Siluman.
"Manusia-manusia itu mengacaukan tugas kami hingga si pemuda lolos!"
"Manusia-manusia siapa maksudmu?!" bertanya Dewi Siluman sambil sandarkan punggung
ke bantal besar di belakangnya.
"Sepasang Arit Hitam dan muridnya Si Telinga Arit Sakti serta Sepuluh Jari Kematian,"
jawab Nariti. Lalu dia memberi penuturan atas apa yang telah terjadi. "Si Telinga Arit Sakti yang
berani menantang kekuasaanmu, telah kami penggal batang lehernya! Sepasang Arit Hitam kami
tawan hidup-hidup dan Sepuluh Jari Kematian ikut bersama kami. Mereka berdua kini berada di
ruang merah."
"Sepasang Arit Hitam pindahkan ke ruang gelap. Sepuluh Jari Kematian bawa ke ruang
putih!"
"Baik Dewi," Nariti hendak menjura siap untuk tinggalkan kamar itu.
"Tunggu dulu!"
Suara Dewi Siluman keras dan lantang menggetarkan hati Nariti. Dia membalik dengan
kecut.
"Ternyata apa yang menjadi tugas utamamu tidak kau laksanakan dengan baik! Kau musti
terima hukuman!"
Pucatlah paras Nariti.
"Tapi Dewi, aku sudah jelaskan semua pada kau. Tiga manusia itu mengacaukan tugasku
dan kawan-kawan. Bahkan...."
"Aku tidak perduli!" potong Dewi Siluman. Dia bertepuk satu kali. Lima gadis berbaju biru
masuk ke kamar itu melalui sebuah pintu rahasia. Kelimanya menjura.
"Siap menunggu perintahmu, Dewi." kata gadis baju biru paling depan. Nariti memandang
kepada mereka ini dan tahu bahwa mereka adalah anak-anak buah Dewi Siluman yang diberi
jabatan sebagai petugas penghukum.
"Seret dia ke ruang hitam! Sekap satu hari satu malam!"
"Perintah segera dilaksanakan Dewi!" Lima gadis itu kemudian melangkah cepat ke
hadapan Nariti. Menggigillah tubuh Nariti. Ruangan hitam adalah ruangan hukuman yang paling
ditakuti oleh seluruh penghuni Istana Dewi Siluman. Ruangan ini khusus disediakan untuk mereka
yang membuat kesalahan atau melalaikan tugas. Ruangan hitam merupakan sebuah ruangan sempit
dan gelap luar biasa, tangan di depan mata pun tidak kelihatan. Seseorang yang dijebloskan di sana
akan merasakan hawa panas ke luar dari empat dinding sempit di sekelilingnya sedang dari langit-
langit dan lantai ruangan mendera hawa dingin luar biasa. Hawa panas membuat tubuh hangus
melepuh sedang hawa dingin membuat kaki dan muka kaku tegang.
Nariti pernah menyaksikan keadaan seorang kawannya yang keluar dari ruang penyiksaan
itu. Tubuhnya hitam legam, kakinya tak sanggup berdiri sedang parasnya rusak. Selama satu
minggu dia diserang demam panas dingin, keadaannya antara hidup dan mati, mengigau siang
malam tiada henti. Dua bulan kemudian baru penderitaan akibat hukuman itu lenyap dan parasnya
berangsur-angsur baik kembali sedang kulit tubuhnya yang hitam berangsur-angsur mengelupas dan
kembali kebentuk-nya semula. Betapa mengerikannya. Dan kini dia Nariti sendiri yang akan
dijebloskan ke dalam ruangan hitam itu.
Beberapa pasang tangan memegang lengannya.
"Dewi...." suara Nariti seperti tercekik dan sendat.
"Seret dia lekas!" bentak Dewi Siluman.
Maka kelima petugas itu segera membawa Nariti. Meskipun rasa takut memuncak
menyelubungi dirinya namun Nariti tak bisa berbuat apa-apa. Melawan berarti akan lebih celaka
lagi. Di dalam hati Nariti berkobar kebencian dan dendam kesumat terhadap Wiro Sableng. Gara-
gara Pendekar 212 itulah dia sampai mendapat hukuman.
Di dalam kamarnya Dewi Siluman memanggil Inani kembali. Kali ini tidak menyuruh gadis
itu memainkan kecapi.
"Inani, kau bersama beberapa orang kawan segera pindahkan Sepasang Arit Hitam ke ruang
gelap dan Sepuluh Jari Kematian bawa ke ruang putih."
"Perintah segera kujalankan Dewi." kata Inani. Gadis jelita ini menjura.
Sebelum Inani berlalu, Dewi Siluman memberi perintah lagi yaitu agar menyuruh Kemani
menghadap.
Bila Kemani datang maka Dewi Siluman memberi keterangan singkat tentang pemuda yang
dimaksudkan Nariti lalu memerintahkan agar Kemani bersama beberapa orang kawannya mencari
si pemuda sampai dapat.
"Sebelum kau berhasil menangkap hidup-hidup pemuda itu dan membawanya ke hadapanku,
jangan harap kau dan kawan-kawanmu diperbolehkan menginjak Istana ini kembali!"
Meski hati tergetar kecut namun Kemani mengangguk menjura.
Sementara itu di satu ruangan yang disebut ruangan putih....
Sepuluh Jari Kematian duduk di sebuah kursi di kepala meja. Dia memandang seputar
ruangan yang keseluruhan lantai, langit-langit dan dinding serta isinya berwarna putih bersih. Lima
orang gadis jelita telah membawanya ke dalam ruangan itu dan meninggalkannya seorang diri.
Kawannya yaitu Sepasang Arit Hitam entah dibawa ke mana oleh orang-orangnya Dewi Siluman.
Sambil terus memandang seantero ruangan, tokoh silat itu berpikir-pikir hal apa pula yang bakal
ditemuinya di tempat itu? Meski kehadirannya di Pulau Madura adalah atas undangan Dewi
Siluman, namun sesudah peristiwa pertempuran di jalan kecil tadi, bukan tidak mustahil dia akan
menemui nasib buruk pula. Dicobanya mempertenang hati dan menunggu.
Telinga Sepuluh Jari Kematian yang terlatih dan tajam mendengar suara benda bergeser.
Tiba-tiba dinding di hadapannya membuka ke samping dan kelihatanlah tiga manusia berpakaian
biru melangkah memasuki ruangan itu. Mereka bukan lain dari Dewi Siluman dan dua pengiringnya.
Langkah yang dibuat sang Dewi tetap berwibawa. Kepala mendongak ke atas dan air muka
yang jelita itu membayangkan pula sifat kekerasan kalau tak mau dikatakan kekejaman.
Sepuluh Jari Kematian berdiri dari kursinya dan menjura dalam.
"Aku merasa bersyukur dapat memenuhi undanganmu, Dewi Siluman. Ini merupakan satu
kehormatan besar darimu."
Dewi Siluman naikkan hidung ke atas lalu menjawab. "Cuma sayang, sikap hormatku itu di-
balas dengan perbuatan sembrono hingga seorang yang hendak kutangkap berhasil meloloskan
diri!"
Muka Sepuluh Jari Kematian kelihatan merah. Dia berbatuk-batuk beberapa kali lalu berkata.
"Bukan maksudku untuk bertindak semborono. Anak-anak buahmu terlalu bersikap keras dan ikuti
kemauan sendiri."
Dewi Siluman tertawa.
"Adakah cara yang lebih baik dari kekerasan dan mengikuti kemauan sendiri bagi seseorang
yang hendak menguasai dunia persilatan? Bagi seseorang yang hendak memegang kendali delapan
penjuru angin?!"
Terkejutlah Sepuluh Jari Kematian. Jadi betul rupanya dugaan-dugaan bahwa Dewi Siluman
bermaksud hendak menguasai dunia persilatan dengan caranya sendiri yaitu menurut kehendak
hatinya, berbuat kejam dan membunuh manusia-manusia tiada berdosa hingga namanya menjadi
angker di kalangan rimba persilatan.
"Tentu saja kekerasan dan keteguhan hati sangat diperlukan Dewi!" berkata Sepuluh Jari
Kematian. "Apalagi bagi seorang yang punya maksud hendak merajai dunia persilatan."
"Bagus kalau kau berpendapat demikian. Sekarang terangkan mengapa kau dan kawan-
kawan tidak mau menyerahkan pemuda itu sebagaimana yang diperintah oleh anak-anak buahku?!"
Sepuluh Jari Kematian hela nafas dalam.
"Anak-anak buahmu keliwat kesusu, Dewi...."
"Hemm, begitu?! Lantas itu sebabnya kau bertindak ceroboh dan tidak memandang sebelah
mata padaku?!"
"Tidak begitu. Dewi," sahut Sepuluh Jari Kematian. "Pada saat itu aku dan kawan-kawan
tengah menempur habis-habisan pemuda itu. Kami sama-sama punya dendam kesumat terhadapnya.
Dia membunuh muridku... "
"Aku sudah tahu semua!" potong Dewi Siluman. "Kau tak usah cari dalih! Sebenarnya aku
punya rencana tertentu denganmu, tapi sesudah peristiwa itu terpaksa kubatalkan...."
"Harap Dewi tidak berpikir yang bukan-bukan terhadapku. Sampai saat ini aku masih
merupakan sahabat baikmu seperti dimasa-masa lalu...."
"Justru karena mengingat hubungan baik masa lalu aku tak sampai menjatuhkan hukuman
terhadapmu. Dalam waktu yang singkat kau akan meninggal."
Seloki emas berisi tuak masih juga mengapung di hadapan Sepuluh Jari Kematian yang
mukanya sudah menjadi merah karena jengah.
Tiba-tiba Dewi Siluman keluarkan tertawa mengekeh dan disaat itu pula seloki tuak
bergerak perlahan ke muka Sepuluh Jari Kematian. Tokoh silat ini segera memegangnya. Ketika
jari-jari tangannya menyentuh seloki itu, tuak di dalam seloki tumpah membasahi jari-jari tangan
dan alas meja. Benar-benar ketinggian tenaga dalam sang Dewi tak sanggup dijajaki oleh Sepuluh
Jari Kematian.
"Dalam waktu singkat pula kau harus angkat kaki dari Pulau Madura ini. Tapi sebelum pergi
aku masih mau berbuat baik, menjamumu mencicipi tuak harum!"
Dewi Siluman berpaling pada gadis baju biru di samping kanannya. Gadis ini bertepuk dua
kali. Dinding di belakang Dewi Siluman membuka. Seorang pelayan perempuan masuk membawa
sebuah baki. Di atas baki ini terletak sebuah poci dan dua buah seloki besar yang juga terbuat dari
emas. Tuak di dalam poci yang sangat harum segera dituang ke dalam kedua gelas itu. Selesai
menjalankan pekerjaannya si pelayan segera berlalu.
Dewi Siluman memegang salah sebuah seloki emas itu dan mengacungkannya ke hadapan
Sepuluh Jari Kematian yang duduk di kepala meja di seberangnya.