Sepasang Arit Hitam renggangkan kedua kaki. Matanya yang cuma satu menyorot marah.
Namun dengan ilmu menyusupkan suara Sepuluh Jari Kematian segera memberi kisikan. "Jangan
teruskan niatmu, Sepasang Arit Hitam. Gadis-gadis ini rata-rata berkepandaian tinggi. Meskipun
kau sanggup kalahkan mereka tapi kita tak bakal bisa ke luar dari pulau ini dengan selamat!"
"Kalau kau mau dicap manusia kwaci mentah, biarlah! Jangan perduli aku!" bentak
Sepasang Arit Hitam. Dia berpaling pada Nariti. "Apakah kau akan maju sendirian atau sekali
berempat?!"
"Hem... jadi ini contoh manusianya yang minta cepat-cepat mampus?!" menyahuti Nariti.
"Tikus tua renta bermata picak mau jual tampang di sarang macan?!" Nariti dan ketiga kawannya
tertawa gelak-gelak.
Sepasang Arit Hitam berkobar amarahnya. Dia maju dengan cepat. Tapi muridnya Si
Telinga Arit Sakti mendahului.
"Guru, biar aku yang kasih pelajaran pada gadis ingusan bermulut besar ini!" kata Telinga
Arit Sakti.
"Bereskan dia dalam tiga jurus!" perintah Sepasang Arit Hitam.
Si Telinga Arit Sakti keluarkan senjatanya yaitu sebilah arit. Semua orang yang ada di situ
boleh dikatakan telah melupakan Wiro Sableng. Pada saat Si Telinga Arit Sakti menyerbu ke depan
dengan satu sambaran dahsyat ke arah leher Nariti maka Pendekar 212 Wiro Sableng melompat dari
tanah seraya berseru. "Kalian bertempurlah sampai mampus! Lain kesempatan kita bertemu lagi!"
"Kawan-kawan! Kejar pemuda itu!" teriak Nariti sambil mengelakkan serangan Telinga Arit
Sakti. Tiga kawannya melompat ke muka, tapi Wiro Sableng sudah lenyap.
Kemarahan Nariti tertumpah bulat-bulat pada Telinga Arit Sakti dan Sepasang Arit Hitam.
Berserulah dia. "Kawan-kawan, tangkap hidup-hidup perempuan tua mata picak itu!"
Ketiga gadis yang tadi melompat mengejar Wiro berbalik dan kini mengurung Sepasang
Arit Hitam.
"Bagus, kalian majulah sekali bertiga biar cepat kumusnahkan!" teriak Sepasang Arit Hitam.
Serentak dengan itu dia keluarkan sepasang arit hitam yang memancarkan warna menggidikkan.
Di lain pihak tiga orang anak buah Dewi Siluman keluarkan tiga buah jala berbentuk aneh.
Jala ini besarnya hanya segumpalan tangan, terbuat dari sutera halus berwarna biru. Ketiganya
memencar mengurung Sepasang Arit Hitam.
Didahului dengan pekik yang dahsyat Sepasang Arit Hitam menyerbu dan bagaikan enam
serangan arit kepada tiga orang lawannya. Warna hitam dari kedua senjatanya menderu mengerikan.
Memaklumi dua buah arit di tangan lawan adalah senjata-senjata mustika sakti, tiga orang
anak buah Dewi Siluman tiada berani membuat jurus adu kekuatan. Mereka menyurut beberapa
langkah ke belakang, begitu sepasang arit lewat maka ketiganya menyerbu ke muka. Secepat kilat
tebarkan jala sutera biru.
Sepasang Arit Hitam sewaktu melihat tiga tebaran warna biru menyungkupi bagian atas
tubuhnya dengan cepat merunduk dan sepasang senjatanya kini menderu ke arah lengan-lengan tiga
orang anak buah Dewi Siluman dari Bukit Tunggul. Tapi serangannya yang kedua ini kembali
mengenai tempat kosong karena dengan sebat tiga gadis baju biru tarik lengan serta jalanya untuk
kemudian menyerang lagi dengan tebaran jala ke arah pinggang dan kaki Sepasang Arit Hitam.
Naiklah amarah Sepasang Arit Hitam. Tiga gadis anak buah Dewi Siluman itu ternyata tidak
mudah baginya untuk merubuhkan. Dia melompat ke udara setinggi empat tombak dan babatkan
arit di tangan kanan ke arah tiga buah jala sedang arit di tangan kiri disapukan dengan ganas pada
kepala ketiga gadis yang mengeroyoknya.
Tiga gadis melengking keras. Tubuh mereka lenyap dan tahu-tahu Sepasang Arit Hitam
merasakan bagaimana salah satu dari jala sutera lawan telah menjirat arit di tangan kanannya.
Betapapun dia coba untuk menariknya dengan sekuat tenaga namun tak berhasil. Dia terpaksa
serahkan arit yang satu itu kepada lawan untuk menyelamatkan lengannya dari sambaran dua jala
sutera lainnya.
Ketiga gadis tertawa mengejek.
Seorang di antara mereka berkata. "Inikah nenek-nenek sakti tokoh dunia persilatan terkenal
yang bergelar Sepasang Arit Hitam itu? Huah! Nyatanya tak lebih dari bangsa kurcaci saja!"
Bola mata kiri Sepasang Arit Hitam kelihatan seperti berapi-api sedang mata kanannya yang
berlobang besar tampak tambah cekung menggidikkan.
Perempuan tua ini pindahkan arit yang di tangan kirinya ke tangan kanan.
"Gadis-gadis keparat! Kenalkah kalian akan jurus lain?!"
Tiga orang anak buah Dewi Siluman sunggingkan senyum mengejek. Tapi karena ingin tahu
mereka menunggu dan memperhatikan. Sepasang Arit Hitam berdiri dengan kaki merenggang.
Tangan kiri diangkat tinggi-tinggi agak ke belakang kepala sedang arit di tangan kanan diacungkan
lurus-lurus ke muka. Kelihatannya acungan arit itu merupakan bulan-bulanan serangan yang empuk,
namun jika seorang coba menyerang maka secepat kilat tangan kiri akan memukul ke muka, arit
berkiblat dan kaki kiri menendang. Jika tiga serangan ini masih gagal maka dengan menjejakkan
kaki kanan ke bumi, Sepasang Arit Hitam akan sanggup lancarkan serangan susulan yang lebih
ganas dari yang pertama tadi.
Karena memang tidak mengenali jurus apa yang bakal dikeluarkan si nenek, namun melihat
sikap dan tampang si nenek yang demikian menggidikkan, tiga gadis itu diam-diam memaklumi
bahwa lawan mereka hendak mengeluarkan satu jurus serangan yang dahsyat. Karenanya ketiga
gadis ini bersiap siaga. Bagi pihak mereka sendiri jika lawan mereka itu salah-salah langkah dalam
lancarkan serangan akan segera pula menjadi mangsa mereka.
Sementara itu pertempuran antara Nariti dan Si Telinga Arit Sakti berjalan sangat seru.
Telinga Arit Sakti kirimkan jurus-jurus yang mematikan. Aritnya yang putih mengeluarkan sinar
bergulung-gulung melanda ke arah Nariti. Namun Nariti sendiri bukanlah seorang lawan jenis
murahan. Tubuhnya hampir lenyap dari pemandangan, cuma bayangan warna biru pakaiannya saja
yang kelihatan berkelebat kian kemari.
Mendadak sontak terdengar pekik menggidikkan keluar dari mulut Nariti.
Belum habis pekik itu menyusul lengkingan Si Telinga Arit Sakti. Senjatanya kelihatan
mental ke udara. Satu tangan menyambar senjata itu. Dan sekejap kemudian arit putih itu menderu
laksana kilat ke arah batang leher pemiliknya sendiri.
"Tahan!" teriak Sepuluh Jari Kematian yang menyaksikan bagaimana Si Telinga Arit Sakti
tiada sanggup mengelakkan serangan maut itu.
Tapi mana Nariti mau ambil perduli teriakan tokoh silat itu. Arit di tangannya terus menderu
dan "Cras!" Putuslah leher Telinga Arit Sakti. Tubuh dan kepala terpisah. Darah menyembur
mengerikan.
Sepasang Arit Hitam pelototkan mata kirinya besar-besar sewaktu di hadapannya
menggelinding kepala muridnya sendiri. Dari tenggorokannya keluar suara mengaum macam
harimau lapar dan sekejap kemudian tubuhnya pun berkelebat ke muka, lancarkan satu jurus
serangan yang sejak tadi disiapkannya yaitu jurus "Tiga Naga Mengamuk Di Atas Air Laut".
Jurus ini memang bukan olah-olah dahsyat dan ganasnya. Arit di tangan kanan menderu
berputar-putar macam kepala seekor naga. Tangan kiri memukul ke depan laksana kepala naga
mematuk sedang kaki kiri menyapu laksana ekor naga mematil. Debu dan pasir jalanan beterbangan,
daun-daun pohon bergetar dan banyak yang gugur karena untuk lancarkan jurus hebat itu Sepasang
Arit Hitam kerahkan seluruh bagian tenaga dalamnya.
Tiga anak buah Dewi Siluman dari Bukit Tunggul tidak tinggal diam. Masing-masing
mereka berteriak nyaring dan tangan kiri dipukulkan ke depan. Tiga larik sinar biru kelihatan
dengan ganas memapas jurus "Tiga Naga Mengamuk Di Atas Air Laut" dari Sepasang Arit Sakti itu.
"Tobat! Tobat!" seru Sepuluh Jari Kematian seraya pukul-pukul keningnya sendiri. "Demi
setan hentikan pertempuran ini! Kalau tidak kalian sama saja dengan bunuh diri!"
"Bakul kentut!" semprot Nariti. "Kau tak usah jual bacot! Jangan campuri urusan yang tak
ada sangkut pautnya dengan dirimu!"
Rahang-rahang Sepuluh Jari Kematian kelihatan menonjol. Kedua tangannya mengepal.
"Gadis...." desisnya, "Kalau tidak memandang muka Dewimu, aku tak akan terima ucapanmu itu!"
Nariti tertawa dingin dan mengejek. "Kalau kau punya nyali, silahkan masuk ke dalam kalangan
pertempuran!" kata gadis itu seraya goyangkan kepalanya ke arah pertempuran yang berlangsung.
Sepuluh Jari Kematian hendak buka mulut namun di saat itu terdengar pekikan salah
seorang dari tiga gadis pengeroyok sepasang Arit Hitam. Tubuh gadis ini mental dan lengannya
sebelah kanan patah di makan tendangan kaki kiri sepasang Arit Hitam. Meski dapat mencelakakan
salah seorang pengeroyoknya namun nenek-nenek sakti ini tiada sanggup mengelitkan libatan jala
sutera biru salah seorang lawan lainnya pada kaki kirinya yang tadi menendang. Dalam dia bergulat
untuk membebaskan kaki kiri itu, jala kedua menderu melibat bagian tubuhnya mulai dari dada
sampai ke kepala. Betapapun tokoh silat ini bergulat untuk membebaskan diri namun sia-sia belaka.
Jala yang terbuat dari sutera halus biru itu mempunyai kekuatan yang hebat sekali. Sepasang Arit
Hitam menggerung, jatuhkan diri ke tanah dan berguling dalam masih berusaha membebaskan diri.
Gulingan tubuhnya terhenti sewaktu Nariti injakkan kaki kanannya di perut tokoh silat tua
itu.
"Tak satu kekuatan pun yang sanggup melepaskan jiratan jala itu!" kata Nariti dengan nada
bengis. Sekali kakinya menendang maka pingsanlah Sepasang Arit Hitam.
"Kau keterlaluan!" teriak Sepuluh Jari Kematian marah sekali.
Nariti tertawa dingin dan menjawab. "Terhadapmu aku bisa berlaku lebih keterlaluan lagi,
kakek-kakek bakul kentut!"
"Tutup mulutmu setan alas!" damprat Sepuluh Jari Kematian.
Nariti mengekeh. Meski wajahnya jelita, tapi mimiknya waktu mengekeh itu menyeramkan
sekali.
"Orang tua bakul kentut sialan! Kalau saja Dewi kami tidak memerintahkan membawamu
hidup-hidup ke istananya niscaya tubuhmu sudah jadi bangkai saat ini!"
"Penghinaan dan kesombonganmu sudah lewat batas, gadis hijau! Di lain hari kelak kau
akan rasakan akibatnya!"
Nariti tertawa gelak-gelak. Tubuh Sepasang Arit Hitam dipanggulnya di bahu kiri kemudian
katanya pada Sepuluh Jari Kematian. "Ikuti kami! Sekali kau berbuat yang tidak kuinginkan, kau
akan menyesal sampai ke liang kubur!"
Meski kemarahan tidak tertahan lagi oleh tokoh silat yang namanya telah menggetarkan
dunia persilatan itu, namun mau tak mau, karena mengingat hubungan baiknya selama ini dengan
Dewi Siluman dan kedatangannya ke Pulau Madura itu justru atas undangan Sang Dewi maka
akhirnya Sepuluh Jari Kematian mengikuti juga keempat gadis itu dari belakang.