Wiro Sableng memperhatikan kesibukan-kesibukan dalam warung itu dengan sikap acuh tak
acuh. Teh manisnya baru satu kali diteguknya.
"Orang muda lekaslah habiskan minumanmu. Warung ini akan segera ditutup...."
Wiro heran mendengar ucapan orang tua pemilik warung. "Siang-siang begini sudah
ditutup?" tanyanya.
"Kau tak tahu apa-apa orang muda. Habiskan saja teh itu, bayar cepat dan berlalu...."
"Ada apakah sebenarnya?"
Pemilik warung tampak agak gusar. Dia menunjuk ke luar warung. "Kau lihat penduduk
yang berbondong-bondong itu?"
Wiro Sableng palingkan kepala ke luar warung. Di tengah jalan dilihatnya serombongan
penduduk berjalan cepat menuju ke selatan membawa berbagai macam barang rumah tangga dan
binatang-binatang peliharaan seperti kambing-kambing dan beberapa ekor sapi.
"Memangnya kenapa mereka itu...?" bertanya lagi Wiro.
"Mereka mengungsi! Aku pun hendak menyertai rombongan mereka. Daerah sini sudah
tidak aman! Malam kemarin seorang gadis telah diculik. Dua orang ditemui mati."
"Siapa yang melakukannya?" tanya Wiro.
Pemilik warung itu hendak menjawab tapi tak jadi. Di wajahnya nyata sekali kelihatan rasa
ketakutan. "Habiskan saja minumanmu. Aku tak bisa menunggu lebih lama," katanya pada Wiro.
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya beberapa kali lalu meneguk teh manisnya sampai
habis. Dari saku pakaiannya dikeluarkannya sebuah mata uang perak. Ditimang-timangnya sebentar
uang itu lalu diletakkannya di atas meja di hadapan pemilik warung. Sewaktu pemilik warung
mengambil uang itu, Wiro memegang tangannya dan berkata. "Dengar orang tua. Kau tak usah
kembalikan uangku asal saja kau bisa kasih keterangan di mana letaknya Bukit Tunggul tempat
bersarangnya Dewi Siluman...."
Si orang tua tersentak kaget. Parasnya yang keriputan serta merta menjadi pucat pasi.
Matanya membelalak memandang Wiro.
"Justru karena dialah penduduk kampung ini terpaksa pindah mengungsi. Kini kau malah
mencari penyakit bertanyakan tempat kediamannya. Apa kau sudah bosan hidup orang muda...?!"
Wiro Sableng tertawa.
"Mana ada orang yang bosan hidup," sahutnya "Toh tidak ada salahnya kalau kau kasih
sedikit keterangan di mana letak Bukit Tunggul itu...."
Si orang tua gelengkan kepala. "Aku masih ingin hidup! Sekali aku membuka mulut kasih
keterangan seluruh keluargaku akan mampus! Mungkin juga semua penduduk kampung ini!"
Pemilik warung itu segera mengambil uang di atas meja dan memberikan kembalinya pada
Wiro. Lalu katanya. "Nah, sekarang berlalulah."
Wiro geleng-gelengkan kepala. Dia keluar dari warung itu. Agaknya seluruh Pulau Madura
sudah digerayangi oleh rasa takut terhadap Dewi Siluman dan orang-orangnya. Tak ada satu
kampung pun yang ditemuinya berada dalam keadaan tenang tenteram. Di setiap kampung mesti
saja ada korban-korban yang jatuh akibat kejahatan yang dilakukan oleh orang-orangnya Dewi
Siluman. Dan bukan itu saja, di setiap kampung orang-orangnya Dewi Siluman selalu menculik
gadis-gadis. Entah dibawa ke mana dan entah apa, yang menimpa diri gadis-gadis itu tak bisa
diduga oleh Wiro.
Dia mendongak ke langit. Sang surya tengah bersinar seterik-teriknya. Dengan
mempergunakan ilmu lari cepatnya, Wiro tinggalkan kampung itu. Di satu jalan kecil yang lurus
pendekar ini memperlambat larinya. Di ujung sana dilihatnya seseorang duduk menjelepok di
tengah jalan. Ketika dia sampai di hadapan orang itu ternyata manusia ini adalah seorang nenek tua
bermuka cekung keriput. Dia duduk seenaknya di tengah jalan yang kecil itu. Di tangan kanannya
ada sebatang ranting kering. Dia mengenakan jubah putih yang kotor. Dia begitu asyik menggurat-
gurat tanah dengan ujung ranting kering di tangannya itu.
Wiro tak dapat menduga siapa adanya nenek-nenek ini. Baginya adalah satu hal yang aneh
seorang nenek-nenek berada di tengah jalan dan duduk menggurat-gurat tanah seperti dilihatnya
saat itu. Karena jalan itu kecil, tak mungkin Wiro Sableng untuk lewat begitu saja tanpa membentur
tubuh sang nenek. Dia bisa melompat di atas kepala si nenek tapi tentu saja ini satu kekurangajaran.
Maka Pendekar 212 pun menegurlah dengan hormat.
"Nenek harap maafkan aku mengganggumu. Sudilah memberikan sedikit jalan bagiku."
Si nenek anehnya terus saja asyik menggurat-gurat tanah dengan ranting kering di tangan
kanannya. Seakan-akan tiada didengarnya teguran Wiro tadi.
Mungkin nenek-nenek ini tuli, pikir Wiro. Tapi adalah mustahil kalau dia tidak melihat
Wiro yang berdiri sedekat itu di sampingnya.
Wiro menegur lagi dengan suara lebih dikeraskan.
"Nenek, harap suka memberi sedikit jalan untukku lewat."
Si nenek tiba-tiba angkat kepalanya. Sepasang matanya memandang Wiro dari rambut
sampai kaki, penuh meneliti dan penuh gusar. Kemudian kembali dia tundukkan kepala dan
menggurat-gurat tanah dengan ujung ranting.
Wiro memaki dalam hati. Kalau si nenek ini tidak sinting pastilah dia seorang aneh atau
seorang yang sengaja cari sengketa, pikir Pendekar 212 Wiro Sableng
"Nenek, aku mau lewat. Kuharap kau tak keberatan memberi jalan...."
"Setan alas!" Si nenek tiba-tiba mendamprat keras dan lantang. Wiro terkejut dan usap
dadanya. "Kapan aku kawin sama kakekmu kau panggil aku nenek!"
Wiro perhatikan tampang si nenek yang menjadi sangat galak. Dan Pendekar dari Gunung
Gede ini tak kuasa menahan rasa gelinya sewaktu mendengar ucapan perempuan tua itu. Dia
tertawa gelak-gelak sampai mukanya merah.
"Setan alas! Siapa yang suruh kau ketawa huh?!" Si nenek membentak lagi dengan suaranya
yang keras.
Wiro hentikan tawanya.
"Siapa yang suruh!" sentak perempuan berjubah putih itu lagi.
"Memang tak ada yang suruh, Nek... eh... aku musti panggil apa terhadap kau...?" Wiro
Sableng garuk-garuk kepalanya.
"Kentut betul! Kalau tak ada yang suruh kenapa musti ketawa?!"
"Apakah seseorang itu baru tertawa kalau disuruh?" bertanya Pendekar 212.
"Sudah! Jangan banyak tanya! Kentutmu sebakul! Jawab kenapa kau ketawa?! Kau
menertawai aku ya?! Ayo jawab!"
"Aku tidak menertawaimu Nek... eh... aku tertawa karena ucapanmu yang lucu tadi."
"Betul-betul setan alas! Kau anggap aku ini badut yang mau melucu di hadapanmu? Makan
rantingku ini!"
Habis berkata begitu si nenek hantamkan ranting kering di tangannya!
"Wutt!"
Pendekar 212 tersentak kaget dan buru-buru menghindar ke belakang. Sambaran ranting
yang di tangan si nenek mengeluarkan angin dingin dan keras. Nyatanya bahwa si nenek bukan
perempuan sembarangan, tapi seorang yang memiliki tenaga dalam yang tinggi. Dan ini berarti
bahwa dia adalah seorang tokoh silat berkepandaian hebat.
Karena serangannya tidak mengenai sasaran, si nenek menjadi gusar sekali. Dia melompat
dan ranting kering di tangannya menderu pulang balik tiada hentinya, membungkus tubuh Wiro
Sableng dalam serangan-serangan yang sangat berbahaya.
Pendekar 212 bersiul nyaring.
"Ah, nyatanya kau bukan nenek sembarang nenek!" seru Wiro sambil gerakkan tubuhnya
dengan cepat untuk menghindar dari serangan ganas si nenek.
Mendengar ucapan itu si nenek jadi tambah buas. Serangannya tambah ganas. Meski
senjatanya cuma sebuah ranting kering namun karena ranting itu mengandung aliran tenaga dalam
maka bahayanya tiada beda dengan bahaya sebuah senjata tajam seperti golok atau sebilah pedang.