Chereads / Suamiku mantan gay / Chapter 17 - Dua pilihan

Chapter 17 - Dua pilihan

"Saya berasal dari kota Bandung. Karena utang bapak yang

beranak pinak pda juragan tanah di kampung halaman saya, saya nekat pergi ke

ibu kota untuk mencari uang agar dapat melunasi hutang beliau.

Tapi, karena saya hanya lulusan SMA, dan setiba di sini hp

saya terjambret… Ya tidak bisa mencari informasi lowongan kerja dengan modal

ijazah saya saja. Lalu saya putuskan untuk jadi pemulung saja, selama itu halah

dan tidak merugikan siapapun."

Doni dan Marissa sama-sama tercengang saat mendengar

pernyataan Elis. Untuk kesekian kalinya pasangan itu merasa seperti tertampar

saja. Mereka sempat terlena melupakan apa tujuan awalnya kemari.

"Ibu dan Bapak apakah tidak pergi untuk bekerja?" tanya Elis

membuyarkan lamunan dua orang tersebut.

"Oh, iya, kami akan bekerja nanti, kami akan bekerja

setengah hari saja, dan sudah mendapatkan izin dari atasan," jawab Marissa.

"Elis, apakah kamu ada bawa jtp dari kampung?" tanya Paka

Doni ikut menimpali.

"Tentu saja, Pak. Kartu identitas diri itu sangat penting,

beruntung Cuma hp yang dicopet bukan tas saya. Atau saya akan kehilangan

semuanya termasuk ijazah saya," jawab bocah itu sambil beranjak membuka tas

yang ia letakan di samping bantal yang sudah usah warna sarungnya. Kemudian ia

kembali seraya memberikan sebuah kartu bewarna biru muda tersebut kepada Pak

Doni.

Doni mengamati benda tersebut  membacanya dengan teliti, dari situ dia

mengetahui nama lengkap serta data diri gadis yang ada di depannya yang

memiliki nama Ekiza Naora, dia baru berusia 19tahun dan tinggal di kecamatan

Ciwidey, desa Alam Endah yang terkenal dengan aneka makanan olahan dari

strowberi, kerajinan tangan, pertanian dan perkebunan.

Doni mengangguk-angguk, dan mengingat-ingat nomor RT/RWnya

kemudian segera mencatatnya pada ponsel  agar tidak lupa, tanpa sepengetahuan dari Elis tentunya. Begitu

mendapatkan apa yang dimau, Doni dan Marissa pun pamit untuk pulang, mereka

berdua juga berjanji akan kemari lagi jika ada waktu. Tentu saja, setelah

menyelidiki  kebenaran tentang Elis

berdasarkan kartu identitasnya pastinya.

Elis tidak tahu pasti kenapa, yang ada dalam pikirannya,

wajar saja orang kaya seperti mereka selalu begitu, karena para jamberet dan

juga copet memang kebanyakan berasal dari kaum sepertinya, ngamen dan memulung

hanyalah gedok belaka. Mereka hanya mawas diri dan antisipasi saja taka da

salahnya. Mau mengenalnya dengan baik saja sudah sangat bagus.

Sebenarnya Doni dan Marissa izin untuk libur bekerja saat

ini. Tapi, demi melatih kemandirian Diana pula, ia bilang kalau ada urusan dan

akan langsung pergi bekerja. Jadi, dari pda kosong mereka pun memutuskan untuk

pergi ke tempat asal Elis mencari tahu latar belakang gadis itu sebelum

memperkerjakan di rumahnya.

Setelah beberapa jam menempuh perjalanan, dan bertanya pada

setiap orang yang ia jumpai di jalan, mereka pun sudah tiba di RWnya Elis, RW

002, hanya saja beda RT. Tapi, itu tidak lah masalah, mereka bertanya pada

seorang ibu-ibu penjual es cincau keliling sambil membelinya dan mengbrol.

"Bu, permisi ya numpang tanya, bener gak di sini ada gadis

bernama Eliza Noura?" tanya Marissa ragu-ragu.

"Oh, si Elis? Dia anaknya pak Ranu dan bu Mirna, tinggal di RT sebelah. Tapi

sayang banget, Bu… " ucap ibu-ibu  itu,

menjelaskan dengan logat sunda yang kental,namun terputus.

"Sayang kenapa, Bu?" tanya Marissa penasaran. Sedangkan

suamin ya hanya menyimak saja sambil menikmati es cincau yang rasanya

menyegarkan di kerongkongan mereka.

"Dia sudah tiak tinggal di kampung ini lagi, dia sudah lama

minggat karena menolak dijodohkan sama bapaknya. Padahal anaknya cantik, baik

mana pinter lagi, dia sama pacarnya dulu adalah ketua karang taruna. Banyak

sekali keahlian yang ia bisa. Di sekolahnya dulu dia juga selalu mendapatkan

beasiswa terus."

"Apa, punyapacar tapi dijodohkan maksutnya gimana, Bu kalau

saya boleh tahu?"

"Begini, mohon maaf sebelumnya ya, Bu. Utang pak Ranu punya

banyak utang pada pak Suto, si juragan tanah. Diam au menghapus utangnya secara

cuma-Cuma saja asal mau menikahkan Elis dan putra semata wayangnya. Jadi Elis

menolak, dia pilih kabur, denger-denger sih ke Jakarta."

Marissa berusaha tenag, meski aslinya di dalam hatinya juga

sudah heboh. Karena benar kalau Elis adalah anak  baik-baik.

"Utang bapaknya berapa sih, Bu? Kok sampe mengorbankan anak

demi bayar utang."

"Duuh, banyak Bu pokonya, bapaknya Elis itu Cuma ngerti

mabuk dan judi saja, ya kartu, taruhan dan juga menyambung ayam. Istri dan

anaknya dulu jualan kue basah tapi gitu duit dihabiskan bapaknya kalau dah

ketahan. Kalau gak salah dengar utangnya pada juragan itu 22juta. Dan anak

juragan itu dia kabarnya memiliki kelainan sexual, berkali-kali nikah ujungnya

bercerai krena gak kuat dengan perlakuannya/. Sebab sat melakukan hal itu si

lakinya menyiksa istrinya dulu, bahkan ada yang sampai stress dan nyaris

gantung diri dulu itu. Makanya Elis menolak dan pilih kanur saja."

"kasian sekali Elis ya Bu? Harusya punya anak seperti itu

bangga. Tapi ini kok malah… " ucap Marissa tak dilamjutkan, ia bingung harus

berkomentar apa mengenai pak Ranu bapaknya Elis.

Setelah cerita Panjang lebar, Ibu itu baru sadar, kenapa

tiba-tiba ia main nyerocos  saja cerita

mengenai salah satu anak yang ada di kampungnya pada prang asing tanpa tahu apa

tujuan dan maksut mereka.

"Maaf, sebelumnya, anda itu dari mana ya? Dan kenapa

tiba-tiba nanya Elis? Kenal di mana?"

Sebelum istrinya keceplosan, Pak Doni menjawab cepat

pertanyaan itu dengan alasan yang logis dan masuk akal Tentunya agar ibu itu

tidak curiga.

"Oh, kami Cuma kepo. Kan kemari nada acara perlombaan seni

dan budaya seluruh Bandung yang juga melibatkan anak-anak karang taruna, Bu.

Saya dengan nama Noura Elisa dari desa ini," ucap pak Doni. Beruntung sekali,

dia sudah membaca KTP gadis itu, jadi ia tahu nama lengkapnya.

"Oh, iya benar Pak, dia memang sangat popular karena pernah

ikut lomba olimpiade matematika juga menang juara dua seprovinsi."

Mendengar pernyataan itu, hati Marissa terasa teriris, ini

adalah emas berlian yang terlantar, gumamnya dalam hati.

"Ya sudah, Bu, berapa harga esnya?" tanya Doni.

"Semuanya  enam ribu,

pak."

Doni memberikan  selembar

uang lima puluh ribu pada pedangang tersebut sambil berkata, "Kembaliannya

simpan saja untuk ibu, terimakasih ya, Bu. Saya pamit dulu."

Sore hari, sekitar pukul empat sore, Doni dan Marissa sudah

tiba di rumah. Kebetulan rumahnya kosong karena putri mereka satu-satunya sudah

mulai magang di salah satu rumah sakit. Lelah sudah pasti. Tapi, lelah mereka

terbayarkan dengan informasi mengenai Elis yang dapat dikatakan sangatb detil.

"pih, buat makan malam kita pesen go food saja, ya? Mami

capek banget, nih!" seru Marissa sambil memijati tengkuknya sendiri.

"Iyad eh, Mih. Papi juga capek banget, gimana rencana kita

memperkerjakan Elis?"

"Momy sih setuju, anak baik dan bertalenta begitu,

didekatkan dengan putri kita juga akan memberi dampak dan pengaruh positif, lo

Pi."

"Benar kamu Mih. Jadi kapan enaknya kita ajak dia ke

kemari?"

"Lebih cepat lebih baik, bagaimana kalau minggu depan, untuk

beberapa hari kedepan ini sepertinya kita akan sangat sibuk, lo pih.  Kan sekalian sambil nunggu luka di lengannya

pulih."

"Iya, Mih. Ide bagus."

***Seminggu kemudian.

Sudah dua hari

terhitung dari kemarin, Elis sudah memulai lagi rutinitasnya untuk memulung.

Seperti biasanya, ia selalu berangkat lebih awal menuju ke pengepul sampah sambil

memunguti botol-botol plastim yang kebetulan ia temukan di tong sampah yang ada

di pinggir jalan.

Baru ia tiba di gang yang menghubungkan dengan temoat

tinggalnya, sebuah mobil berwarna hitam mengkilat yang sudah taka sing lagi

baginya berhenti. Tak lama kemudian, dua orang laki-laki dan perempuan turun

dari dalamnya dengan pakaia formal, r=sepertinya mereka akan pergi ke kantor

bareng.

"Elis, apakah kamu sudah sembuh?" sapa Marissa.

Gadis itu tersenyum dan bersalaman dengan mereka. "Alhamdulillah,

Bu. Sudah dua hari ini saya dah mulai bekerja, Ibu sama Bpak apakah ada

keperluan?"

Marissa tersenyum dan menoleh ke arah suaminya, kemudian ia

berkata lirih namun jelas didengarkan oleh Elis.

"Begini, Elis. Kami di rumah tidak memiliki pembantu, dan

kami berdua juga jarang ada di rumah, karena seringnya ada tugas dari atasan

untuk keluar kota. Jadi, apakah kamu mau bekerja di rumah saya? Saya memiliki

satu anak yang usianya kira-kira tiga tahun lebih tua dari kamu, dia perempuan,

bisalah kamu temani dia saat di rumah dan ketika kami tidak pulang gimana?"

Elis diam sesaat, ia pernah dengar jadi pembantu rumah

tangga di Jakarta itu gajunya besar. Dengan gaji besar dan sudah tak terpotong

lagi untuk beli makanan dan kebutuhan lain, ia bisa dengan cepat mengumpulkan

uang. Tapi, bagaimana dengan teman-temannya yang ada di sana dan yang mengalami

nasib tidak seberuntung dirinya?

"Kamu tidak usah mengkhawatirkan soal gaji, kamu mau apa

tidak? Tempat untuk tinggal juga sudah kami siapkan. Sudah lama saya butuh

pembantu, tapi cari yang jumur seperti kamu itu susah," ibuh Marissa.

"Maaf, Bu, Pak. Bukannya saya niat mau menolak. Tapi,

sepertinya saya juga perlu berfikir  dulu

gimana baiknya," jawab Elis dengan penuh kerendahan hati.

"BAiklah, saya beri waktu kamu berfikir selama tiga hari,

jika sudah, kami akan kembali menemuimu tiga hari kedepan," ucap Marissa lalu

kemudian mereka pun pergi meninggalkan Elis.

Sejak kejadian tadi pagi, Elis jadi lebih banyak diam. Ada

banyak hal yng ada dalam pikirannya sekarang. Kenapa tidak dari awal sebelum

aku kenal dengan mereka saja aku bertemu dengan bu Marissa da pak Doni? Kenapa

di saat aku sudah anggab mereka semua keluarga harus berpisah? Tidak, bukan

mereka semua. Tapi, hanya Arini, pengganti almarhum kak Tika dulu.

Siang sampai malam Elis juga lebih banyak diam dan melamun

dari pada berbicara. Hal itu cukup menarik perhatian bagi Arini.

"Kak Elis kenapa? Kok kayanya sedih banget begitu?" Gadis

berusia tujuh belas tahun itu pun duduk di sebelahnya sambil membuka nasi

bungkus yang tadi baru dibelinya.

"Tidak apa-apa, Rin." Entah, Elis tak bisa menyampaikan hal

itu atau bingung harus memulainya dari mana. Setiap kali mendapat pertanyaan

serupa, jawabnnya pun juga selalu sama di hari terakhir waktu ia berfikir.

Barulah gadis belia berusia Sembilan belas tahun itu menceritakan yang

sebelumnya.

"Rin, kemarilah!" panggil Elis.

"Iya, Kak. Ada apa?"

"Jika seandainya kak Elis pergi, berpindah dari sini

bagaimana?"

"Memang Kak Elis mau berpindah ke mana? Apakah Kak Elis tidak

betah di sini karena ada beberapa anak yang nakal dan suka jahilin Kakak?"

Elis tersenyum sambil mengelengkan kepalanya sebanyak dua kali. "Bukan! Kamu

tahu dua orang yang datang kemari memberi kita banyak nasi kotak dan juga

beberapa kardus minuman ringan itu?"

"Iya, kenapa mereka Kak? Spakah mereka akan membawamu?"

tanya bocah itu dengan semangat dan binary mata yang sangat cerah.

"Ya, mereka bilang tidak memiliki pembantu di rumahnya… "

"Kak Elis mau dijadikan pembantu di rumahnya? Mau saja kak!

Di sana kak Elis pasti akan punya tempat tinggal yang layak dan bisa makan

enak," tambah boicah itu, menyela.

"Kakak mau, Rin. Tapi, apakah kamu gak kangen sama kakak?"

tanya Elis, merasa gemas dengan gadis yang ada di depannya itu.

"Ya, kalau kangen aku maen ke sana, dan jika ada waktu, kamu

kemarilah kak. Beres, kan? Hasil dari memulung tak sebanyak jadi pembantu rumah

tangga orang kaya. Agar kakak bisa  segera mewujudkan mimpi kaka pulang kampung dengan membawa uang banyak."

Ucap Arini.

"Iya, ya sudah! Ayom kita tidur. Agar besok saat waktu

sembahyang subuh kau tidak sulit dibangugnkan."

Tidak ada setengah jam, Elis melihat Arini sudah pulas

tertidur. Sementara dirinya sendiri, sa,mpai jam sebelas lewat tiga puluh menit

masih juga belum mengantuk. Ada banyak hal yang ia peertimbangkan sehingga

memberatkan pikirannya.

Bagi Elis, Arini masih sangat terlau polos menilai seseorang

hanya dari luarnya saja. Di sini bu Marissa dan suaminuya bisa bersikap ramah

dan baik. Tapi, apa yang ada di dalam hatinya seperti apa siapa yang tahu?

Bukannya dia menuduh dua orang itu seburuk itu. Tapi si jaman seperti ini

nukankah banyak orang hanya cari suara saja? Mencari pencitraan di

sana-sini.  Bagi-bagi makanan dan uang

pada fakir miskin dan kaum jalanan tapi diabadikan fotonya diupload di medsos.  Pemberian tidak karena semata-mata demi Allah

saja.

Di sini makan bersama

kaum duafaa, sesampai di rumah pakaian yang dikenakan langsung minta direnadam

air panas sebelum dicuci karena takut ada kuman. Atau yang lebih parah mereka

malah membuangnya. Jika Elis menyempatkan diri kemari itu masih mungkin saat

dirumah taka da banyak pekerjaan dan majikan pergi ke luar kota dalam jangka

lama. Tapi, untuk menerima Arini di sana… Pasti akan timbul masalah besar,

dong. Apakah harus kutolak saja?

Hanya soal mengambil keputusan itu saja, Elis  sudah tidak bisa tidur semalaman penuh. Dia

benar-benar ada dalam dua pilihan yang sama-sama rumit. Dia ingat cita-citanya,

tapi tak mau jadi kacang lupa kulit. Untuk menjelaskan ke[ada Arini juga dia

bingung tidak tahu cara menyampaikannya dengan kalimat yang pas agar mudah

dipahami dan tidak menyinggung perasaannya yang jelas. Kaewna ia tahu, Arini,

hatinya termasuk sangat sensitive.