"Saya berasal dari kota Bandung. Karena utang bapak yang
beranak pinak pda juragan tanah di kampung halaman saya, saya nekat pergi ke
ibu kota untuk mencari uang agar dapat melunasi hutang beliau.
Tapi, karena saya hanya lulusan SMA, dan setiba di sini hp
saya terjambret… Ya tidak bisa mencari informasi lowongan kerja dengan modal
ijazah saya saja. Lalu saya putuskan untuk jadi pemulung saja, selama itu halah
dan tidak merugikan siapapun."
Doni dan Marissa sama-sama tercengang saat mendengar
pernyataan Elis. Untuk kesekian kalinya pasangan itu merasa seperti tertampar
saja. Mereka sempat terlena melupakan apa tujuan awalnya kemari.
"Ibu dan Bapak apakah tidak pergi untuk bekerja?" tanya Elis
membuyarkan lamunan dua orang tersebut.
"Oh, iya, kami akan bekerja nanti, kami akan bekerja
setengah hari saja, dan sudah mendapatkan izin dari atasan," jawab Marissa.
"Elis, apakah kamu ada bawa jtp dari kampung?" tanya Paka
Doni ikut menimpali.
"Tentu saja, Pak. Kartu identitas diri itu sangat penting,
beruntung Cuma hp yang dicopet bukan tas saya. Atau saya akan kehilangan
semuanya termasuk ijazah saya," jawab bocah itu sambil beranjak membuka tas
yang ia letakan di samping bantal yang sudah usah warna sarungnya. Kemudian ia
kembali seraya memberikan sebuah kartu bewarna biru muda tersebut kepada Pak
Doni.
Doni mengamati benda tersebut membacanya dengan teliti, dari situ dia
mengetahui nama lengkap serta data diri gadis yang ada di depannya yang
memiliki nama Ekiza Naora, dia baru berusia 19tahun dan tinggal di kecamatan
Ciwidey, desa Alam Endah yang terkenal dengan aneka makanan olahan dari
strowberi, kerajinan tangan, pertanian dan perkebunan.
Doni mengangguk-angguk, dan mengingat-ingat nomor RT/RWnya
kemudian segera mencatatnya pada ponsel agar tidak lupa, tanpa sepengetahuan dari Elis tentunya. Begitu
mendapatkan apa yang dimau, Doni dan Marissa pun pamit untuk pulang, mereka
berdua juga berjanji akan kemari lagi jika ada waktu. Tentu saja, setelah
menyelidiki kebenaran tentang Elis
berdasarkan kartu identitasnya pastinya.
Elis tidak tahu pasti kenapa, yang ada dalam pikirannya,
wajar saja orang kaya seperti mereka selalu begitu, karena para jamberet dan
juga copet memang kebanyakan berasal dari kaum sepertinya, ngamen dan memulung
hanyalah gedok belaka. Mereka hanya mawas diri dan antisipasi saja taka da
salahnya. Mau mengenalnya dengan baik saja sudah sangat bagus.
Sebenarnya Doni dan Marissa izin untuk libur bekerja saat
ini. Tapi, demi melatih kemandirian Diana pula, ia bilang kalau ada urusan dan
akan langsung pergi bekerja. Jadi, dari pda kosong mereka pun memutuskan untuk
pergi ke tempat asal Elis mencari tahu latar belakang gadis itu sebelum
memperkerjakan di rumahnya.
Setelah beberapa jam menempuh perjalanan, dan bertanya pada
setiap orang yang ia jumpai di jalan, mereka pun sudah tiba di RWnya Elis, RW
002, hanya saja beda RT. Tapi, itu tidak lah masalah, mereka bertanya pada
seorang ibu-ibu penjual es cincau keliling sambil membelinya dan mengbrol.
"Bu, permisi ya numpang tanya, bener gak di sini ada gadis
bernama Eliza Noura?" tanya Marissa ragu-ragu.
"Oh, si Elis? Dia anaknya pak Ranu dan bu Mirna, tinggal di RT sebelah. Tapi
sayang banget, Bu… " ucap ibu-ibu itu,
menjelaskan dengan logat sunda yang kental,namun terputus.
"Sayang kenapa, Bu?" tanya Marissa penasaran. Sedangkan
suamin ya hanya menyimak saja sambil menikmati es cincau yang rasanya
menyegarkan di kerongkongan mereka.
"Dia sudah tiak tinggal di kampung ini lagi, dia sudah lama
minggat karena menolak dijodohkan sama bapaknya. Padahal anaknya cantik, baik
mana pinter lagi, dia sama pacarnya dulu adalah ketua karang taruna. Banyak
sekali keahlian yang ia bisa. Di sekolahnya dulu dia juga selalu mendapatkan
beasiswa terus."
"Apa, punyapacar tapi dijodohkan maksutnya gimana, Bu kalau
saya boleh tahu?"
"Begini, mohon maaf sebelumnya ya, Bu. Utang pak Ranu punya
banyak utang pada pak Suto, si juragan tanah. Diam au menghapus utangnya secara
cuma-Cuma saja asal mau menikahkan Elis dan putra semata wayangnya. Jadi Elis
menolak, dia pilih kabur, denger-denger sih ke Jakarta."
Marissa berusaha tenag, meski aslinya di dalam hatinya juga
sudah heboh. Karena benar kalau Elis adalah anak baik-baik.
"Utang bapaknya berapa sih, Bu? Kok sampe mengorbankan anak
demi bayar utang."
"Duuh, banyak Bu pokonya, bapaknya Elis itu Cuma ngerti
mabuk dan judi saja, ya kartu, taruhan dan juga menyambung ayam. Istri dan
anaknya dulu jualan kue basah tapi gitu duit dihabiskan bapaknya kalau dah
ketahan. Kalau gak salah dengar utangnya pada juragan itu 22juta. Dan anak
juragan itu dia kabarnya memiliki kelainan sexual, berkali-kali nikah ujungnya
bercerai krena gak kuat dengan perlakuannya/. Sebab sat melakukan hal itu si
lakinya menyiksa istrinya dulu, bahkan ada yang sampai stress dan nyaris
gantung diri dulu itu. Makanya Elis menolak dan pilih kanur saja."
"kasian sekali Elis ya Bu? Harusya punya anak seperti itu
bangga. Tapi ini kok malah… " ucap Marissa tak dilamjutkan, ia bingung harus
berkomentar apa mengenai pak Ranu bapaknya Elis.
Setelah cerita Panjang lebar, Ibu itu baru sadar, kenapa
tiba-tiba ia main nyerocos saja cerita
mengenai salah satu anak yang ada di kampungnya pada prang asing tanpa tahu apa
tujuan dan maksut mereka.
"Maaf, sebelumnya, anda itu dari mana ya? Dan kenapa
tiba-tiba nanya Elis? Kenal di mana?"
Sebelum istrinya keceplosan, Pak Doni menjawab cepat
pertanyaan itu dengan alasan yang logis dan masuk akal Tentunya agar ibu itu
tidak curiga.
"Oh, kami Cuma kepo. Kan kemari nada acara perlombaan seni
dan budaya seluruh Bandung yang juga melibatkan anak-anak karang taruna, Bu.
Saya dengan nama Noura Elisa dari desa ini," ucap pak Doni. Beruntung sekali,
dia sudah membaca KTP gadis itu, jadi ia tahu nama lengkapnya.
"Oh, iya benar Pak, dia memang sangat popular karena pernah
ikut lomba olimpiade matematika juga menang juara dua seprovinsi."
Mendengar pernyataan itu, hati Marissa terasa teriris, ini
adalah emas berlian yang terlantar, gumamnya dalam hati.
"Ya sudah, Bu, berapa harga esnya?" tanya Doni.
"Semuanya enam ribu,
pak."
Doni memberikan selembar
uang lima puluh ribu pada pedangang tersebut sambil berkata, "Kembaliannya
simpan saja untuk ibu, terimakasih ya, Bu. Saya pamit dulu."
Sore hari, sekitar pukul empat sore, Doni dan Marissa sudah
tiba di rumah. Kebetulan rumahnya kosong karena putri mereka satu-satunya sudah
mulai magang di salah satu rumah sakit. Lelah sudah pasti. Tapi, lelah mereka
terbayarkan dengan informasi mengenai Elis yang dapat dikatakan sangatb detil.
"pih, buat makan malam kita pesen go food saja, ya? Mami
capek banget, nih!" seru Marissa sambil memijati tengkuknya sendiri.
"Iyad eh, Mih. Papi juga capek banget, gimana rencana kita
memperkerjakan Elis?"
"Momy sih setuju, anak baik dan bertalenta begitu,
didekatkan dengan putri kita juga akan memberi dampak dan pengaruh positif, lo
Pi."
"Benar kamu Mih. Jadi kapan enaknya kita ajak dia ke
kemari?"
"Lebih cepat lebih baik, bagaimana kalau minggu depan, untuk
beberapa hari kedepan ini sepertinya kita akan sangat sibuk, lo pih. Kan sekalian sambil nunggu luka di lengannya
pulih."
"Iya, Mih. Ide bagus."
***Seminggu kemudian.
Sudah dua hari
terhitung dari kemarin, Elis sudah memulai lagi rutinitasnya untuk memulung.
Seperti biasanya, ia selalu berangkat lebih awal menuju ke pengepul sampah sambil
memunguti botol-botol plastim yang kebetulan ia temukan di tong sampah yang ada
di pinggir jalan.
Baru ia tiba di gang yang menghubungkan dengan temoat
tinggalnya, sebuah mobil berwarna hitam mengkilat yang sudah taka sing lagi
baginya berhenti. Tak lama kemudian, dua orang laki-laki dan perempuan turun
dari dalamnya dengan pakaia formal, r=sepertinya mereka akan pergi ke kantor
bareng.
"Elis, apakah kamu sudah sembuh?" sapa Marissa.
Gadis itu tersenyum dan bersalaman dengan mereka. "Alhamdulillah,
Bu. Sudah dua hari ini saya dah mulai bekerja, Ibu sama Bpak apakah ada
keperluan?"
Marissa tersenyum dan menoleh ke arah suaminya, kemudian ia
berkata lirih namun jelas didengarkan oleh Elis.
"Begini, Elis. Kami di rumah tidak memiliki pembantu, dan
kami berdua juga jarang ada di rumah, karena seringnya ada tugas dari atasan
untuk keluar kota. Jadi, apakah kamu mau bekerja di rumah saya? Saya memiliki
satu anak yang usianya kira-kira tiga tahun lebih tua dari kamu, dia perempuan,
bisalah kamu temani dia saat di rumah dan ketika kami tidak pulang gimana?"
Elis diam sesaat, ia pernah dengar jadi pembantu rumah
tangga di Jakarta itu gajunya besar. Dengan gaji besar dan sudah tak terpotong
lagi untuk beli makanan dan kebutuhan lain, ia bisa dengan cepat mengumpulkan
uang. Tapi, bagaimana dengan teman-temannya yang ada di sana dan yang mengalami
nasib tidak seberuntung dirinya?
"Kamu tidak usah mengkhawatirkan soal gaji, kamu mau apa
tidak? Tempat untuk tinggal juga sudah kami siapkan. Sudah lama saya butuh
pembantu, tapi cari yang jumur seperti kamu itu susah," ibuh Marissa.
"Maaf, Bu, Pak. Bukannya saya niat mau menolak. Tapi,
sepertinya saya juga perlu berfikir dulu
gimana baiknya," jawab Elis dengan penuh kerendahan hati.
"BAiklah, saya beri waktu kamu berfikir selama tiga hari,
jika sudah, kami akan kembali menemuimu tiga hari kedepan," ucap Marissa lalu
kemudian mereka pun pergi meninggalkan Elis.
Sejak kejadian tadi pagi, Elis jadi lebih banyak diam. Ada
banyak hal yng ada dalam pikirannya sekarang. Kenapa tidak dari awal sebelum
aku kenal dengan mereka saja aku bertemu dengan bu Marissa da pak Doni? Kenapa
di saat aku sudah anggab mereka semua keluarga harus berpisah? Tidak, bukan
mereka semua. Tapi, hanya Arini, pengganti almarhum kak Tika dulu.
Siang sampai malam Elis juga lebih banyak diam dan melamun
dari pada berbicara. Hal itu cukup menarik perhatian bagi Arini.
"Kak Elis kenapa? Kok kayanya sedih banget begitu?" Gadis
berusia tujuh belas tahun itu pun duduk di sebelahnya sambil membuka nasi
bungkus yang tadi baru dibelinya.
"Tidak apa-apa, Rin." Entah, Elis tak bisa menyampaikan hal
itu atau bingung harus memulainya dari mana. Setiap kali mendapat pertanyaan
serupa, jawabnnya pun juga selalu sama di hari terakhir waktu ia berfikir.
Barulah gadis belia berusia Sembilan belas tahun itu menceritakan yang
sebelumnya.
"Rin, kemarilah!" panggil Elis.
"Iya, Kak. Ada apa?"
"Jika seandainya kak Elis pergi, berpindah dari sini
bagaimana?"
"Memang Kak Elis mau berpindah ke mana? Apakah Kak Elis tidak
betah di sini karena ada beberapa anak yang nakal dan suka jahilin Kakak?"
Elis tersenyum sambil mengelengkan kepalanya sebanyak dua kali. "Bukan! Kamu
tahu dua orang yang datang kemari memberi kita banyak nasi kotak dan juga
beberapa kardus minuman ringan itu?"
"Iya, kenapa mereka Kak? Spakah mereka akan membawamu?"
tanya bocah itu dengan semangat dan binary mata yang sangat cerah.
"Ya, mereka bilang tidak memiliki pembantu di rumahnya… "
"Kak Elis mau dijadikan pembantu di rumahnya? Mau saja kak!
Di sana kak Elis pasti akan punya tempat tinggal yang layak dan bisa makan
enak," tambah boicah itu, menyela.
"Kakak mau, Rin. Tapi, apakah kamu gak kangen sama kakak?"
tanya Elis, merasa gemas dengan gadis yang ada di depannya itu.
"Ya, kalau kangen aku maen ke sana, dan jika ada waktu, kamu
kemarilah kak. Beres, kan? Hasil dari memulung tak sebanyak jadi pembantu rumah
tangga orang kaya. Agar kakak bisa segera mewujudkan mimpi kaka pulang kampung dengan membawa uang banyak."
Ucap Arini.
"Iya, ya sudah! Ayom kita tidur. Agar besok saat waktu
sembahyang subuh kau tidak sulit dibangugnkan."
Tidak ada setengah jam, Elis melihat Arini sudah pulas
tertidur. Sementara dirinya sendiri, sa,mpai jam sebelas lewat tiga puluh menit
masih juga belum mengantuk. Ada banyak hal yang ia peertimbangkan sehingga
memberatkan pikirannya.
Bagi Elis, Arini masih sangat terlau polos menilai seseorang
hanya dari luarnya saja. Di sini bu Marissa dan suaminuya bisa bersikap ramah
dan baik. Tapi, apa yang ada di dalam hatinya seperti apa siapa yang tahu?
Bukannya dia menuduh dua orang itu seburuk itu. Tapi si jaman seperti ini
nukankah banyak orang hanya cari suara saja? Mencari pencitraan di
sana-sini. Bagi-bagi makanan dan uang
pada fakir miskin dan kaum jalanan tapi diabadikan fotonya diupload di medsos. Pemberian tidak karena semata-mata demi Allah
saja.
Di sini makan bersama
kaum duafaa, sesampai di rumah pakaian yang dikenakan langsung minta direnadam
air panas sebelum dicuci karena takut ada kuman. Atau yang lebih parah mereka
malah membuangnya. Jika Elis menyempatkan diri kemari itu masih mungkin saat
dirumah taka da banyak pekerjaan dan majikan pergi ke luar kota dalam jangka
lama. Tapi, untuk menerima Arini di sana… Pasti akan timbul masalah besar,
dong. Apakah harus kutolak saja?
Hanya soal mengambil keputusan itu saja, Elis sudah tidak bisa tidur semalaman penuh. Dia
benar-benar ada dalam dua pilihan yang sama-sama rumit. Dia ingat cita-citanya,
tapi tak mau jadi kacang lupa kulit. Untuk menjelaskan ke[ada Arini juga dia
bingung tidak tahu cara menyampaikannya dengan kalimat yang pas agar mudah
dipahami dan tidak menyinggung perasaannya yang jelas. Kaewna ia tahu, Arini,
hatinya termasuk sangat sensitive.