Elis sengaja berlibur ke pusat perbelanjaan atau Mall
bersama Arini. Ia ingin menraktir anak itu. Kabarnya, dia sekarang sudah bkerja
di sebuah took perancangan milik warga lokal. Tapi, tetap saja gadis itu
mengamen saja saat toko sudah tutup. Sambil berjalan ke kos-kosan ia
mengumpulkan receh dari hasilnya menyayi.
"Kamu masih saja suka ngamen, emang gaji kerja di toko itu
masih kurang, Rin?" tanya Elis.
"Ya, cukup, lumayan bisa buat beli gorengan, lah hasil
ngamennya, hehehe. Lagian, Kak, sayang suara emasku ini jika dianggurin. Siapa
tahu aku ketemu editor rekaman dan aku ditarawarin jadi artis, kan?" jawab
bocah belia Sembilan belas tahun itu.
Sedangkan Elis hanya terkikik saja mendengar jawaban Arini
yang terdengar konyol. Tapi, Namanya nasib, siapa juga yang tahu, kan?
"Kak Elis, mau ajak aku ke mana, sih?"
"Kita ke mall. Kakak traktir kamu makan dan tak beliin baju
buat kenang-kenangan, sebab, dua bulan lagi kak Elis harus kembali ke kampung."
"Hah, pulang kampun?" Arini tekejut sampai mulutnya
ternganga. Rasanya baru kemarin kenal dan berpisah karena pekerjaan. Sekarang
kok ya sudah akan pulang kampung.
"Iya, kau masih ingat kan, tujuan kak Elis merantau ke Ibu
Kota?"
"Iya, jadi ini sudah sesuai hitungan? Kakak sudah bisa
membayar hutang bapak Kak Elis di kampung, dan akan segera melangsungkan
pernikahan dengan pacar Kak Elis itu?"
"Iya, kamu doakan semua berjalan lancer, ya, Rin. Oh, iya.
Kakak juga perlu baju couple untuk acara nikahan, kamu bantu pilihkan, ya?"
"Gaun pengantin?"
"Tidak, gaun pengantinnya nyewa saja. Jadi, kakak perlu
kebaya couple untuk acara lamaran."
"Ya, sudah. Ayo kita berangkat, kita akan cari yang terbaik
buat kakak nanti."
Elis dan Arini pun menikmati liburan mereka, dengan
jalan-jalan, mereka berbelanja apapun yang mereka inginkan, sementara Elis, ia
mengesampingkan keperluan pribadinya, ia juga membelikan beberapa pakaian untuk
ibu dan bapaknya, Selebihnya, mereka menikmati kuliner khas ibu kota dan
jalan-jalan ke monas.
***123
Pukul delapan lewat lima belas pagi, Marissa dan Doni baru
terjaga dari tidunya. Keduanya masih mengeliat dan bermalas-malasan dulu di
atas ranjang sambil mengobrol, membicarakan sesuatu yang ringan.
"Pi, ini Elis ikut kita sudah hampir dua tahun lamanya, dan
duit dia, juga sudah banyak lo."
"Ya, syukur, berarti dia berhasil, kan?" jawab pak Doni
sambil melihat ke layar laptop yang ada di pangkuannya.
"Bukan soal berhasil atau tidaknya. Pernah gak dia sekali
saja minta izin libur seharian? Terus belanjain duit gaji buat beli ini itu foya-foya
kaya para asisten bujang lain?"
"Tidak, kan dia emang ada cita-cita buat bayar hutang
bapaknya yang di kampung. Kala itu kan uda duapuluh dua juta, sedangkan
sekarang bertambah jadi berapa kita tidak tahu, kan?"
"Nah, itu inget. Setelah hutang terlunasi?"
"Dia merdeka dari perjodohan dengan anak si jueagan tanah di
kampungnya, dan menikah dengan pacarnya."
"Jadi, Pi?"
"Ya, dia bahagia dong! Emang apa, Mi?" Pak Doni masih saja
cuek. Tak sadar kalau istrinya melihat dia dengan tatapan gemas.
"Kita kehilangan asisten rumah tangga yang cantic macam
Elis, Ppapi sayang… Helooooo. Kok gak buruan ngeh, sih?" ucap Marissa jengkel.
"Eh, iya juga ya, Mi?" ucap pak Doni sambil menggaruk
kepalanya yang tidak gatal.
"Ya, kalau ma uke Yayasan, cari baru yang kaya Elis. Jika
tida, ya semua kembali mami yang ngerjain, dan dibantu sama Papi dan Diana,
gimana?"
"Repot juga kembali mandiri setelah lama bergantung. Tapi,
cari asisten baru yang kaya Elis juga, mana ada?"
"Nah, itulah Pi. Sedih juga, minta dia memperpanjang masa
bekerjanya juga, kesannya kok kejam."
"Ya sudahlah, Mi. jangan dipikirin lagi, sarapan yuk! Papi
dah lapar, Diana pasti juga sudah berangkat, dia piket pagi, kan hari ini?"
"Iya, ayuk Pi."
Mereka berdua pun akhirnya keluar setelah merapihkan tempat
tidur.
"Dianaaaaaaa! Di mana kamu?" teriak Marissa saat melihat
jejak kaki berlumpur berasal dari kamar Diana menuju kamar mandi.
Sedangkan Pak Doni hanya geleng-geleng kepala saja melihat
tingak anaknya yang sudah dewasa namun seperti anak keci. Tidak hanya Diana,
Elis pun juga, mereka berdua seperti pasangan Tom and Jerry saja.
"Anak kamu keterlaluan, Pi! Dia tidak tahu mungkin kalau
Elis ambil libur, kek gini yang repot dan capek beresin lumpur kan momy, Pi."
"Sudaah-sudah Mi, jangan emosi lagi, ya? Papi bantuin," ucap
pak Doni , berusaha menenangkan istrinya.
"Iya, deh Pi. Mami cuci muka dulu." Masih mood buruk karena
lumpur, Marissa pun berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Sebenarnya,
ia sudah mengira kalau kamar mandi akan berlumpur juga. Sebab, jejak kaki itu
mengarah ke sana. Tapi, ia sedikit pun tak menyangka kalau lumpurnya bisa
sampai naik ke westafel.
"Ampun, deh… Diana… Ni bocah masih bisa dikata waras apa
tidak, sih?" gerutu Marissa seorang diri.
Usai sarapan yang seharusnya mereka nikmati untuk bersantai
di kala libur malah kerja bakti karena lumpur di mana-mana. Terutama di kamar
Diana.
Hampir pukul sebelas siang, Mereka pun telah menyelesaikan
semuanya, dan bersantai menikmati salad buah buatan Marissa di halaman belakang
sambil bercengkrama.
Pukul dua siang, Diana sudah tiba kembali di rumah.
Kesibukan bekerja rupanya berhasil mengalihkan kejadian tadi pagi. Terlebih
ketika dia pulang rumah dan kamarnya juga sudah bersih. Barulah dia teringat
saat ia hendak mencuci muka faciel foamnya masih berisi lumpur, ia ingin
menggerutu tidak berani. Sebab, Elis tidak ada, ia sedang berlibur. Yang ada ia
malah nanti kena semprot sendiri oleh mami dan papinya.
"Momy… Papi," sapa Diana, ketika ia menghampiri mereka di
ruang keluarga.
"Sudah pulang kamu, Diana?"
"Iya, dong. Momy, tumben kelihatan cantik banget."
"Merayu, pasti ini ada maunya. Mau apa?"
"Hehehehe, gak mau apa-apa, kok Mi. Makasih, ya. Udah mau
bantu bersihin lumpur di kamar Diana."
"Lagian, ngapain sih kamu maen lumpur berantakan sampai ke
westafel segala? Kek anak kecil, tau nggak, sih?" cetus Marissa pada anak gadis
semata wayangnya.
"Ya ampun, kena lagi. Bukan ulah Diana, itu Mi. Itu semua
ulah si anak keong Elis, itu." Diana manyun sambil kedua alisnya saling
bertautan, karena tidak terima jika selalu dipersalahkan.
"Anak keong, anak keong. Kamu emaknya si keong. Berhenti lah
jailin dia. Awas kalau sampai dia gak betah dan minta pulang kampung, lo ya."
"Ya biarin aja, cari pembantu lain yang gak menindas anak
majikan."
"Terus kalau cari baru, nemu yang kerjanya gak bagus, atau
malah mau nyuri, gimana? Kamu yang bertanggung jawab, mau?"
"Dih, Momy, terlalu berkhayal buruk, deh. Ingan kata papi,
Mi. Jangan suka suudzon. Udah, Ah. Diana gerah, mau mandi."
Gadis itu pun beranjak meninggalkan Marissa di ruang tengah
yang tengah menikmatu santainya, mendengarkan musik sambil memakai masker wajah, untuk perawatan.