"Toook tokk took!"
"Bu, kok pintunya di kunci?" teriak pak Ranu dari luar.
Bahkan nada berbicaranya pun juga sudah banyak berubah.
"Bapak itu, Bu? Cepat bu sembunyikan semua uang dan
perhiasannya. Bapak biar hanya lihat yan duapuluh lima juta ini saja," ucap
Elis
Elis pun berjalan keluar untuk membuka pintu. Begitu pintu
terbuka, berdiri seorang pria paruh baya dengan tubuh yang lebih kurus dari
pada ia bertemu terakhir kalinya, dua tahun setengahan yang lalu. Ia nampak
tercengang melihat gadis cantic berdiri dan melepar senyum kepadanya dan
memanggilnya bapak.
"Elis.. Apakah ini kamu beneran, Nak?"
"Iya, Pak, ini Elis. Sudah pulang. Bagaimana kabar Bapak?"
tanya gadis itu sambil mencium punggung tangan pria paruh baya itu.
"Bapak kok tumben sudah pulang biasanya sore?"
"Iya, tadi denger orang-orang pada heboh ada gadis kota
datang kemari. Ternyata anak bapak, udah kaya artis saja," ucap pak Ranu nampak
bangga dengan putrinya.
"Sini, Pak duduk sini. Elis buatkan minum, ya?''
"Sudah jangan repot-repot, kamu pasti capek. Duduk saja di
sini temani ibu dan bapak ngobrol saja. Sebentar lagi bapak juga akan kembali
ke tempat juragan untuk bekerja."
Elis merasakan banyak perubahan dari bapaknya. Bahkan,
ibunya tadi juga bilang kalau sejak ia kabur ke Jakarta bapak sudah tak lagi
pernah judi. Uang hasil kerja juga diberikan semua pada istrinya dan ia hanya
ambil uang buat beli rokok saja. Setengahnya, di potong untuk nyicil
utang-utangnya.
"Pak, Elis pulang bawa uang buat bayar utang. Sebentar, ya?"
Seketika gadis itu pun masuk ke dalam kamarnya, di mana barang bawaannya di
simpan di sana oleh ibunya.
Saat Elis masih ada
di dalam kamarnya, terdengar suara gaduh di depan. Lebih tepatnya seperti suara
orang yang tengah marah-marah.
Dengan cepat Elis mengambil amplop tebal warna coklat berisi
uang cash sebanyak duapuluh lima juta dan membawanya keluar.
"Utang kamu itu belum lunas. Di mana Elis anakmu? Katanya
sudah datang? Udah gak usah lama-lama, nikahkan saja dia dan Doni sekarang
juga!" bentak seorang pria berbada tinggi besar kulit hitam dan perutnya yang
buncit.
Sementara pak Ranu dan istrinya nampak diam ketakutan sambil
menunduk menghadapi juragan Suto dengan beberapa anak buahnya.
"Tunggu! Berapa memangnya utangnya bapakku pada anda? Jika
utabng itu sudah dilunasi, perjodohan dibatalkan, bukan?" teriak Elis.
Doni yang melihat Elis kian cantik bak artis metro politas,
seperti Ranty Maria pun hanya menelan ludah. Dasarnya dia memang sudah cantic
dan yang tercantik di sini. Apa lagi setelah pulang dari ibu kota. Pasti juga
di sana melakukan perawatan.
"Utangnya delapanbelas juta anak manis. Apa kamu sanggup
bayar?" jawab Juragan dengan nada sombong.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, gadis itu membuka amplop
tersebut dan mengeluarkan uang ratusan rubuan yang sudah diikat lima juta aan.
Setelah genap delapan belas juta, gadis itu pun memberikan pada juragan dan
berkata, "Sekarang sudah selesai urusan anda dengan bapak saya, Jangan siksa
lagi dia."
Dengan raut wajah malu dan kecewa, Juragan, Doni outranya
dan juga beberapa anak buahnya pun nuyar pergi meninggalkan kediaman pak Ranu
dan juga bu Mirna,
"Pak, ini ada sisa uang tujuh juta, bisa lah buat bapak dan
ibu buka usaha di rumah, ya? Jangan lagi bekrja di rumah juragan, dia kan
selama ini selalu kejam dan suka mendindas," ucap Elis sambil menyerahkan sisa
uang yang ada di dalam amplop coklat tersebut kepada bapaknya.
Dengan tangan gemetar bahkan menangis, pak Ranu menerima menerima
pemberian putrinya. Putri semata wayang yang dulu selalu di sia-siakan.
"Elis, uang sebanyak ini, kenapa kau berikan pada bapak secara
Cuma-Cuma begini? Bukankah kamu sudah melunasi utang bapak pada juragan barusan?"
ucap pak Ranu, tak kuasa menahan tangisnya.
"Pak, Elis dua tahun lalu sengaja kabur ke Jakarta itu untuk
bekerja mencari uang. Agar utang bapak pada juragan segera terlunasi."
"apa kamu taka da cita-cita meneruskan sekolah ke jenjang
yang lebih tinggi? Bukannya selama ini kamu sangat menyukai bidang computer?"
"Cita-cita Elis menikah sama mas Yaoga, Pak," jawab gadis
itu dengan raut ceria dan sorot mata yang berbinar.
"Kemari, Pak! Elis membelikan sepasang baju untuk bapak dan
ibu buat acara lamaran Elis sama mas Yoga nanti. Coba lihat! Bagus, bukan?" Dengan
semangat dan ceria gadis itu menunjukan semua baju-baju untuk kedua orang tuanya
dan juga baju couple untuk dia dan Yoga.
Sedangkan kedua orang tuanya hanya diam. Tak sanggup
mengatakan yang sebenarnya. Tapi, cepat atau lambat kelak Elis juga sudah akan
tahu.
"Elis, sebenarnya… " Kata-kata apak Ranu pun terputus karen
bu Mirna diam-diam mencubitnya dan memberi isyarat pada suaminya agar tidak
dilanjutkan.
"Nak. Kamu pasti lelah. Mandi dan beristirahatlah dulu,"
ucap bu Mirna dengan lembut.
Elis pun tidak membantah, ia pun ke kamar mengambil handuk
dan menuju kamar mandi.
Di ruang tamu bu Mirna dan pak Ranu mengobrol prihal putri
mereka yang baru saja pulang merantau dan membawa sejuta harapan yang dulu
telah menjadi janji antara dia dan juga kekasihnya.
"Pak, dari awal Elis pulang tadi, dia sudah nampak sangat
bahagia dan senang menceritakan bagaimana maunya untuk lamaran dan
pernikahannya kelak dengan Yoga. Tapi, Yoga sudah menikah dan juga sudah
memiliki anak. Ibu mau mengatkannya juga tak sampai hati. Jelas ia akan sangat
sakit dan kecewa."
"Iya, Bu. Kamu benar. Tapi, bagaimana lagi? Cepat atau
lambat dia juga akan tahu, kan?"
"Iya, Pak. Tapi, ibu tidak tega melihat putri ibu yang sudah
berjuang keras mati-matian demi kita dan pria yang dicintainya malah ibalas
dengan penghianatan."
"Penghianat? Siapa yang berkhianat, Bu?" sahut Elis yang
entah sejak kapan dia berada di ambang pembatas antara ruang tamu dan ruang
tengah.
"Ah, tidak Nak. Kau istirahatlah dulu. Di suruh makan juga
tidak mau," jawab bu Mirna dengan sedikit gelagapan.
Lagi-lagi, Elis pun hanya menuruti perintah sang ibu. Ia pun
merebahkan tubuhnya di kamar yang paling nyaman selama hidupnya wakaupun
sederhana, dan beda jauh debgan kjamarnya di Jakarta. Taoi, tetap saja kamr ini
yang selalu ia rindukan selama merantau.